Perubahan iklim dan gender: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 86: Baris 86:
== Dampak gender perubahan iklim pada masyarakat asli ==
== Dampak gender perubahan iklim pada masyarakat asli ==
[[Berkas:Indigenous land management not corporate greed - - Melbourne climate strike - IMG 4063 (40419621683).jpg|jmpl|Demonstrasi perubahan iklim di Melbourne, Australia]]
[[Berkas:Indigenous land management not corporate greed - - Melbourne climate strike - IMG 4063 (40419621683).jpg|jmpl|Demonstrasi perubahan iklim di Melbourne, Australia]]
[[Pribumi|Penduduk asli]] (pribumi), termasuk mereka yang perempuan, merupakan penjaga kawasan, teritorial dan sumber daya di wilayah tradisional mereka.<ref name=":40" /> Menurut data FAO pada 2019, ada sekitar 476.6 juta warga pribumi di seluruh dunia yang terdiri atas 238.4 juta perempuan dan 238.2 juta laki-laki.<ref name=":40" /> Berdasarkan studi, 80% keanekaragaman hayati di seluruh dunia ada dalam penjagaan mereka.<ref name=":40" /> Warga pribumi memiliki pengetahuan turun menurun tentang cuaca dan iklim yang berkontribusi untuk ketahanan iklim dan kelestarian lingkungan hidup.<ref name=":40">{{Cite web|last=Bhattachan|first=Khrisna B.|last2=Thapa|first2=Kamala|date=2020|title=Climate justice for indigenous women: urgency and way forward|url=https://cdn.sei.org/wp-content/uploads/2020/07/climate-justice-for-indigenous-women-urgency-and-way-forward-web.pdf|website=Stockholm Environment Institute|access-date=2021-07-02|last3=Magar|first3=Sushila Kumari Thapa}}</ref> Mereka merupakan pihak yang pertama tahu dan merasakan dampak perubahan iklim terhadap lingkungan hidup dan kehidupan liar di sekitar mereka.<ref>{{Cite web|last=Evangeliou|first=Dean|date=2020-10-12|title=Indigenous Climate Justice in Canada|url=https://www.climaterealityproject.org/blog/indigenous-climate-justice-canada|website=Climate Reality|language=en|access-date=2021-07-02}}</ref> Ada dua alasan mengapa komunitas asli menjadi kelompok yang paling terpengaruh oleh perubahan iklim. Pertama, mereka memiliki hubungan yang unik dan erat dengan alam dan seringkali menggantungkan kehidupan mereka sepenuhnya ke alam. Masyarakat adat juga menganggap alam sebagai bagian tak terpisahkan dari kultur dan spiritualitas mereka.<ref name=":41" /> Kedua, mereka pada umumnya hidup dalam kemiskinan di lingkungan yang terpinggirkan dan di beberapa tempat, mengalami diskriminasi.<ref name=":41">{{Cite web|last=Mihlar|first=Farah|date=2008|title=Voices that must be heard: minorities and indigenous people combating climate change|url=https://minorityrights.org/wp-content/uploads/2015/07/MRG_Brief_ClimateC.pdf|website=Minority Right Group International|access-date=2021-07-02}}</ref>
[[Pribumi|Penduduk asli]] (pribumi), termasuk mereka yang perempuan, merupakan penjaga kawasan, teritorial dan sumber daya di wilayah tradisional mereka.<ref name=":40" /> Menurut data FAO pada 2019, ada sekitar 476.6 juta warga pribumi di seluruh dunia yang terdiri atas 238.4 juta perempuan dan 238.2 juta laki-laki.<ref name=":40" /> Berdasarkan studi, 80% keanekaragaman hayati di seluruh dunia ada dalam penjagaan mereka.<ref name=":40" /> Warga pribumi memiliki pengetahuan turun menurun tentang cuaca dan iklim yang berkontribusi untuk ketahanan iklim dan kelestarian lingkungan hidup.<ref name=":40">{{Cite web|last=Bhattachan|first=Khrisna B.|last2=Thapa|first2=Kamala|date=2020|title=Climate justice for indigenous women: urgency and way forward|url=https://cdn.sei.org/wp-content/uploads/2020/07/climate-justice-for-indigenous-women-urgency-and-way-forward-web.pdf|website=Stockholm Environment Institute|access-date=2021-07-02|last3=Magar|first3=Sushila Kumari Thapa}}</ref> Mereka merupakan pihak yang pertama tahu dan merasakan secara langsung dampak perubahan iklim terhadap lingkungan hidup dan kehidupan liar di sekitar mereka.<ref>{{Cite web|last=Evangeliou|first=Dean|date=2020-10-12|title=Indigenous Climate Justice in Canada|url=https://www.climaterealityproject.org/blog/indigenous-climate-justice-canada|website=Climate Reality|language=en|access-date=2021-07-02}}</ref> Ada dua alasan mengapa komunitas asli menjadi kelompok yang paling terpengaruh oleh perubahan iklim. Pertama, mereka memiliki hubungan yang unik dan erat dengan alam dan seringkali menggantungkan kehidupan mereka sepenuhnya ke alam. Masyarakat adat juga menganggap alam sebagai bagian tak terpisahkan dari kultur dan spiritualitas mereka.<ref name=":41" /> Kedua, mereka pada umumnya hidup dalam kemiskinan di lingkungan yang terpinggirkan dan di beberapa tempat, mengalami diskriminasi.<ref name=":41">{{Cite web|last=Mihlar|first=Farah|date=2008|title=Voices that must be heard: minorities and indigenous people combating climate change|url=https://minorityrights.org/wp-content/uploads/2015/07/MRG_Brief_ClimateC.pdf|website=Minority Right Group International|access-date=2021-07-02}}</ref>


Seperti halnya wanita di komunitas-komunitas lain, perempuan pribumi belum terwakili secara memadai dan belum banyak dilibatkan dalam pengambilan keputusan tentang iklim. Akibatnya, mereka kesulitan untuk memaksimalkan potensi dan ikut berperan dalam mencegah perubahan iklim serta menghapus kesenjangan gender dan diskriminasi terhadap masyarakat adat.<ref name=":40" /> Perempuan penduduk asli juga memikul beban ganda dengan statusnya sebagai perempuan sekaligus warga adat.<ref name=":42">{{Cite journal|last=Prior|first=Tahnee Lisa|last2=Heinämäki|first2=Leena|date=2017-11-10|title=The Rights and Role of Indigenous Women in Climate Change Regime|url=https://arcticreview.no/index.php/arctic/article/view/901|journal=Arctic Review|language=en|volume=8|pages=194-195|doi=10.23865/arctic.v8.901|issn=2387-4562}}</ref> Dalam konteks perubahan iklim, wanita adat sering menghadapi pelanggaran HAM sistemik, mengalami praktik eksklusivitas dan diskriminatif yang mendalam, baik di dalam komunitas mereka sendiri serta masyarakat secara umum.<ref name=":42" /> Hak-hak mereka sebagai perempuan penduduk asli masih terabaikan meski telah ada [[Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita]] (CEDAW) dan [[Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat]].<ref name=":42" />
Seperti halnya wanita di komunitas-komunitas lain, perempuan pribumi belum terwakili secara memadai dan belum banyak dilibatkan dalam pengambilan keputusan tentang iklim. Akibatnya, mereka kesulitan untuk memaksimalkan potensi dan ikut berperan dalam mencegah perubahan iklim serta menghapus kesenjangan gender dan diskriminasi terhadap masyarakat adat.<ref name=":40" /> Perempuan penduduk asli juga memikul beban ganda dengan statusnya sebagai perempuan sekaligus warga adat.<ref name=":42">{{Cite journal|last=Prior|first=Tahnee Lisa|last2=Heinämäki|first2=Leena|date=2017-11-10|title=The Rights and Role of Indigenous Women in Climate Change Regime|url=https://arcticreview.no/index.php/arctic/article/view/901|journal=Arctic Review|language=en|volume=8|pages=194-195|doi=10.23865/arctic.v8.901|issn=2387-4562}}</ref> Dalam konteks perubahan iklim, wanita adat sering menghadapi pelanggaran HAM sistemik, mengalami praktik eksklusivitas dan diskriminatif yang mendalam, baik di dalam komunitas mereka sendiri serta masyarakat secara umum.<ref name=":42" /> Hak-hak mereka sebagai perempuan penduduk asli masih terabaikan meski telah ada [[Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita]] (CEDAW) dan [[Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat]].<ref name=":42" /> Christiana Saiti Louwa, perempuan dari suku El Molo, [[Kenya]], mengungkapkan bahwa para perempuan di sukunya terdampak secara fisik, mental, dan emosional akibat kerusakan lingkungan dan kekeringan yang melanda wilayah mereka. Selama bertahun-tahun suku El Molo hidup dengan mencari ikan dan memelihara ternak, tapi karena penyusutan air di danau Turkana, mereka harus berpindah tempat ke daratan dan terpaksa belajar bertani.<ref name=":41" />


Untuk memengaruhi kebijakan iklim yang berdampak pada kehidupan mereka, suku-suku asli di dunia berhimpun dan memulai gerakan keadilan iklim untuk masyarakat adat (''indigenous climate justice'').<ref>{{Cite web|title=Indigenous Peoples and Climate Justice {{!}} University of Michigan School for Environment and Sustainability|url=https://seas.umich.edu/academics/courses/indigenous-peoples-and-climate-justice|website=seas.umich.edu|access-date=2021-07-02}}</ref> Mereka berasal dari berbagai wilayah di dunia, seperti Amerika Utara dan Amerika Selatan. Suku-suku yang hidup di [[hutan Amazon]] wilayah [[Ekuador]] timur, seperti Huaorani, Sápara dan Sarayaku Kichwa telah terlibat upaya pencegahan perubahan iklim sejak lama. Mereka menentang pendudukan dan deforestasi atas hutan yang telah mereka tinggali sejak berabad-abad yang lalu. Sejak 1990-an, suku-suku tersebut telah menyadari peran mereka dalam melindungi kawasan hutan dari efek perubahan iklim. Kesadaran bahwa masyarakat adat memiliki potensi memengaruhi pengambilan keputusan mendorong mereka untuk terlibat dalam kegiatan aktivisme, termasuk dengan berbicara di berbagai konferensi internasional.<ref>{{Cite journal|last=Etchart|first=Linda|date=2017-08-22|title=The role of indigenous peoples in combating climate change|url=https://www.nature.com/articles/palcomms201785|journal=Palgrave Communications|language=en|volume=3|issue=1|pages=1–4|doi=10.1057/palcomms.2017.85|issn=2055-1045}}</ref> Sejumlah perempuan adat yang menyadari tanggung jawabnya akhirnya terlibat dalam posisi kepemimpinan dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.<ref>{{Cite web|last=Whyte|first=Kyle Powys|date=2014-01-28|title=Indigenous Women, Climate Change Impacts, and Collective Action|url=https://kylewhyte.marcom.cal.msu.edu/wp-content/uploads/sites/12/2018/07/Indigenous_Women_Climate_Change_Impacts.pdf|website=Michigan State University|access-date=2021-07-02}}</ref>
Christiana Saiti Louwa, perempuan dari suku El Molo, [[Kenya]], mengungkapkan bahwa para perempuan di sukunya terdampak secara fisik, mental, dan emosional akibat kerusakan lingkungan dan kekeringan yang melanda wilayah mereka. Selama bertahun-tahun suku El Molo hidup dengan mencari ikan dan memelihara ternak, tapi karena penyusutan air di danau Turkana, mereka harus berpindah tempat ke daratan dan terpaksa belajar bertani.<ref name=":41" /> Untuk memengaruhi kebijakan iklim yang berdampak pada kehidupan mereka, suku-suku asli di [[Amerika Utara]] berhimpun dan memulai gerakan keadilan iklim untuk penduduk asli (''indigenous climate justice'').<ref>{{Cite web|title=Indigenous Peoples and Climate Justice {{!}} University of Michigan School for Environment and Sustainability|url=https://seas.umich.edu/academics/courses/indigenous-peoples-and-climate-justice|website=seas.umich.edu|access-date=2021-07-02}}</ref>


== Kritik terhadap studi perubahan iklim dan gender ==
== Kritik terhadap studi perubahan iklim dan gender ==

Revisi per 2 Juli 2021 10.30

Perempuan bekerja di persawahan di Gujarat, India

Perubahan iklim dan gender merupakan cara untuk menganalisis dampak gender akibat perubahan iklim. Perubahan iklim beserta kebijakan dan strategi adaptasinya memengaruhi masyarakat secara berbeda-beda bergantung pada aspek ekonomi, budaya, dan konteks sosial, termasuk pada konstruksi sosial mengenai peran dan relasi gender laki-laki dan perempuan.[1] Perempuan secara umum lebih rentan terhadap risiko perubahan iklim dan memikul beban yang lebih berat dibandingkan laki-laki[2]. Kerentanan tersebut disebabkan oleh proporsi perempuan yang lebih tinggi sebagai penduduk miskin dunia dan ketergantungan mereka terhadap sumber daya alam untuk mata pencaharian dan kelangsungan hidup keluarganya.[2] Dari 1,3 miliar penduduk miskin di negara berkembang, sebanyak 70 persennya adalah perempuan.[3] Kemampuan mereka dalam mengelola dampak perubahan iklim juga dibatasi oleh hambatan-hambatan sosial, ekonomi dan politik.[2]

Para perempuan yang paling terdampak hidup di negara berkembang yang memiliki kemampuan rendah dalam merespon perubahan iklim akibat keterbatasan sumber daya, infrastruktur, dan kapasitas.[4] Analisis gender dalam perubahan iklim diperlukan guna membantu masyarakat lebih memahami aspek kerentanan dan dampak perubahan iklim, adaptasi dalam beragam konteks, tanggung jawab atas emisi gas rumah kaca, ketidaksetaraan dalam tata kelola iklim, dan pengetahuan serta aksi sosial yang diperlukan dalam merespon perubahan iklim.[5]

Dampak jangka pendek perubahan iklim adalah bencana alam, antara lain berupa peningkatan permukaan air laut, banjir, tanah longsor, kekeringan, dan badai. Sedangkan efek jangka panjangnya adalah kerusakan lingkungan secara bertahap.[2] Keduanya memengaruhi kehidupan laki-laki dan perempuan. Namun, bagi perempuan, kondisi ini diperparah dengan relasi kekuasaan, politik, dan sosial yang tidak setara yang seringkali memposisikan mereka sebagai objek kebijakan dan implementasinya.[1] Perempuan tidak mendapatkan akses yang sama terhadap sumber daya alam dan tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.[2] Sehingga, menurut para pakar, minimnya akses, kontrol, dan partisipasi perempuan dalam kebijakan perubahan iklim berpotensi memperparah kesenjangan gender yang ada selama ini.[6][7] Penelitian yang melibatkan 141 negara yang terkena bencana alam pada kurun 1981-2002 oleh London School of Economics and Political Science telah menemukan korelasi kuat antara bencana dan status sosial ekonomi perempuan. Bencana alam menyumbang pada penurunan angka harapan hidup perempuan dan memperlebar kesenjangan gender dalam masyarakat.[8]

Para ilmuwan meyakini bahwa pemahaman yang komprehensif mengenai kesenjangan gender dan pemecahannya menjadi salah satu prasyarat dalam merespon perubahan iklim.[9] Seluruh aspek yang terkait dengan mitigasi, adaptasi, penyusunan kebijakan, dan pengambilan keputusan harus berperspektif gender.[10] Pemahaman mengenai peran, kontribusi, dan pengalaman perempuan juga diperlukan dalam menyusun kebijakan adaptasi perubahan iklim.[8] Organisasi internasional, seperti PBB, dan pemerintah berbagai negara telah memiliki kebijakan dan rencana aksi perubahan iklim yang mengarusutamakan gender. Persetujuan Paris menekankan pentingnya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dalam upaya mitigasi perubahan iklim.[11] Di Indonesia, misalnya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, telah merilis pedoman umum adaptasi perubahan iklim yang responsif gender pada 2015.[12]

Perubahan iklim mungkin tidak hanya berdampak pada perempuan dan laki-laki, tapi juga kelompok non biner. Gabungan dari berbagai macam diskriminasi bisa jadi memperburuk kondisi masyarakat gender non-biner di tengah menghangatnya isu perubahan iklim.[9] Sampai saat ini, studi yang mengkaji pengaruh perubahan iklim terhadap komunitas non-biner masih terbatas.[9] Isu gender dalam perubahan iklim juga berkelindan dengan faktor-faktor sosial lain yang juga turut memengaruhi tingkat keparahan dampak, antara lain usia, kelas sosial, status perkawinan, dan kelompok etnik.[13]

Perubahan iklim dan hak asasi manusia

Perubahan iklim mengancam kehidupan masyarakat dan melanggar hak asasi manusia mereka. Dampak negatif perubahan iklim telah membatasi sumber daya untuk rumah tangga dan kemampuan individu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Masyarakat pun kesulitan untuk memenuhi hak dasar mereka yang meliputi hak untuk hidup, mendapatkan makanan, air bersih, dan permukiman. Hilangnya kegiatan-kegiatan kultural, seperti mata pencaharian tradisional, dapat menyebabkan tekanan psikologis, kecemasan, dan ketidakpastian bagi semua orang.[14] Selain faktor kemiskinan, menurut beberapa peneliti, perempuan menjadi kelompok paling terdampak akibat kesenjangan historis.[14] Kesenjangan antara laki-laki dan perempuan telah berlangsung lama dalam sejarah.

Dampak gender perubahan iklim

Perubahan iklim membawa dampak ke berbagai aspek penting dalam kehidupan, seperti pertanian dan ketahanan pangan, keanekaragaman hayati dan ekosistem, sumber daya air, kesehatan manusia, permukiman dan pola migrasi, energi, transportasi, industri, dan margasatwa.[2][15] Dampak perubahan iklim dalam aspek-aspek tersebut mungkin saja berbeda antara laki-laki dan perempuan. Pada bidang kesehatan, misalnya, laki-laki di negara maju dilaporkan lebih rentan mengalami gangguan kesehatan jiwa yang bisa mengarah pada aksi bunuh diri dan isolasi sosial.[16] Berdasarkan penelitian The Lancet pada 2019, perempuan adalah salah satu kelompok yang paling rentan terhadap kondisi cuaca ekstrem.[17] Perubahan iklim, menurut studi, juga memicu peningkatan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak.[18] Salah satu contohnya adalah kawin paksa terhadap anak perempuan di beberapa negara di Afrika akibat himpitan ekonomi keluarga, yang salah satunya dipicu oleh perubahan iklim dan degradasi lingkungan.[18]

Kesehatan

Pemeriksaan terhadap wanita hamil di Brazil

Perubahan iklim memengaruhi kondisi kesehatan semua gender dan dapat memperlebar kesenjangan gender dalam bidang kesehatan yang telah lama ada.[19] Perubahan iklim meningkatkan risiko kejadian yang dapat mendorong munculnya gangguan kesehatan, antara lain berupa peningkatan paparan panas, kualitas udara yang buruk, peristiwa cuaca ekstrem, perubahan transmisi penyakit tular vektor, penurunan kualitas air, dan penurunan ketahanan pangan.[19] Semua masalah tersebut memengaruhi laki-laki dan perempuan secara berbeda bergantung pada wilayah geografis dan faktor sosial ekonomi.[19] Asia, terutama Asia tenggara dan Asia Selatan, diperkirakan menjadi kawasan yang paling terdampak pemanasan global dan perubahan iklim di antara bagian bumi yang lain.[20] Peningkatan suhu secara ekstem diprediksi mengancam kesehatan para pekerja di luar ruangan di negara-negara Asia Tenggara pada 2050.[21] Salah satu risiko kesehatan yang muncul adalah pitam panas.[21]

Perempuan adalah kelompok yang rentan terhadap efek perubahan iklim, di antaranya paparan panas tinggi dan bencana alam.[19] Panas yang ekstrem dapat memengaruhi kondisi ibu hamil dan janinnya, risiko yang dihadapi antara lain berupa kelahiran prematur, cacat bawaan, tekanan darah tinggi (hipertensi gestasional), dan pre-eklampsia.[19] Perempuan sebagai gender dengan kebutuhan spesifik, misalnya kebutuhan nutrisi yang cukup saat hamil, bisa terganggu kesehatannya akibat kurangnya ketersediaan pangan.[19] Bencana alam juga memicu kecemasan dan depresi pada perempuan.[22] Selain itu, perempuan yang melahirkan saat bencana juga berisiko mengalami komplikasi kehamilan, seperti pre-eklampsia, perdarahan, dan kelahiran bayi dengan bobot kurang.[19]

Badai yang merupakan salah satu dampak perubahan iklim juga memengaruhi kehidupan perempuan. Hurikan Katrina yang terjadi di New Orleans, Amerika Serikat, pada 2005 membuat banyak perempuan miskin kota harus hidup sebagai ibu tunggal. Selain itu, kesehatan mereka juga dapat berpotensi terganggu akibat fasilitas sanitasi yang kurang memadai di tempat penampungan.[23] Lokasi penampungan yang bercampur antara laki-laki dan perempuan juga menjadikan pengungsi perempuan rentan terhadap kekerasan seksual dan fisik.[23]

Berdasarkan laporan Oxfam di tiga negara yang terdampak tsunami pada 2004, yaitu Indonesia, India, dan Sri Lanka, didapati bahwa jumlah perempuan yang berhasil menyelamatkan diri lebih rendah daripada laki-laki. Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan hal ini terjadi. Pertama, perempuan pada umumnya tidak bisa berenang. Kedua, perempuan mungkin saja tidak fokus menyelamatkan dirinya sendiri, tapi juga memikirkan nasib anak-anak dan anggota keluarga yang lain.[23] Hasil riset di Serbia terhadap korban banjir Serbia pada 2014 menyatakan bahwa perempuan umumnya kurang memiliki keterampilan dan teknik untuk tanggap darurat yang efektif.[24] Perempuan dan anak-anak adalah kelompok yang paling rawan menjadi korban saat terjadi bencana alam.[24]

Dampak lingkungan dari perubahan iklim berupa tingkat hujan ekstrem, banjir, dan kekeringan yang akhirnya mengakibatkan gagal panen berkontribusi pada kenaikan angka bunuh diri di kalangan petani di India.[25] Jumlah petani pria India yang bunuh diri lebih tinggi daripada petani wanita.[26]

Pertanian dan ketahanan pangan

Perubahan iklim memiliki dampak yang signifikan terhadap pertanian dan ketahanan pangan. Perempuan perdesaan, dalam hal ini, merupakan salah satu kelompok yang paling terdampak. Berdasarkan hasil studi UNDAW dan UNESCO, petani wanita di Asia Selatan lebih cenderung menanam tanaman pangan, sedangkan petani pria lebih memilih tanaman komersial.[27] Perubahan iklim berdampak pada risiko menurunnya produksi pangan di kawasan tersebut pada 2050, seperti beras (menurun 14%), gandum (49%), dan jagung (9%).[27] Wanita juga bekerja di ladang milik keluarga sebagai tenaga tidak berbayar, melakukan hampir semua pekerjaan mulai dari menanam hingga memanen.[28] Wanita dewasa dan anak perempuan juga bertanggung jawab dalam pemeliharaan ternak dan mengumpulkan air permukaan untuk keperluan rumah tangga.[28] Iklim yang berubah dan kekeringan mengharuskan mereka mencari sumber air di tempat yang jauh dan ini menambah beban mereka yang telah berlebih.[29]

Di masyarakat agraris tradisional, peran laki-laki lebih dominan karena mereka adalah pemilik lahan dan ternak. Selain itu, mereka juga bertanggung jawab menyiapkan lahan pertanian dan mengurusi transportasi hasil panen.[28] Relasi kuasa yang tidak seimbang ini membuat perempuan tidak bisa banyak berperan dalam pengambilan keputusan, misalnya mengenai pilihan tanaman dan penentuan waktu panen. Mereka juga kesulitan mengakses sumber daya untuk bertani yang antara lain berupa lahan, ternak, pasokan benih,[30] peralatan pertanian, pupuk, tenaga buruh tani, dan dukungan penyuluhan.[28] Laki-laki juga lebih mudah mengakses pinjaman usaha dan layanan pasar.[30] Tanpa dukungan finansial yang memadai, perempuan rentan kehilangan aset saat terjadi kekeringan, banjir dan bencana alam lainnya.[27] Menurut FAO, kebijakan dan adaptasi perubahan iklim di bidang pertanian dan pangan yang responsif gender diperlukan untuk mengatasi masalah ketidaksetaraan akses pada sumber daya.[28]

Keanekaragaman hayati

Para ilmuwan berpendapat bahwa perubahan iklim menjadi faktor dominan yang memengaruhi hilangnya keanekaragaman hayati. Dalam jangka panjang, hal ini akan menghambat pembangunan, terutama dalam penyediaan air bersih, energi, makanan, lingkungan yang sehat, dan konservasi sistem ekologi, keanekaragaman hayatinya, serta barang dan jasa ekosistem terkait.[10] Dampak perubahan iklim dan kerusakan alam terhadap keanekaragaman hayati dapat dirasakan oleh hampir semua orang terlepas dari gender, ras, usia maupun tingkat pendapatan. Namun, dua faktor utama yang menentukan keparahan dampak adalah gender dan status sosial ekonomi.[31]

Keanekaragaman hayati dan sumber daya alam berperan besar dalam mencukupi kebutuhan dan menjadi penghidupan bagi masyarakat sekitarnya. Di wilayah Sub-Sahara Afrika, sekitar 30-50% sumber pendapatan masyarakat berasal dari sektor non-pertanian. Di Afrika Selatan, mencapai 80-90%. Di Asia Selatan, sekitar 60% pendapatan rumah tangga pedesaan berasal dari sumber non-pertanian. Namun, karena keanekaragaman hayati yang mulai hilang, lebih dari 60% orang termiskin di dunia tinggal di daerah yang rentan secara ekologis. Kerusakan ini ini tidak hanya mengancam spesies dan habitat di suatu wilayah, tetapi juga berkontribusi pada peningkatan kemiskinan masyarakatnya.[31] Masyarakat miskin memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap hasil alam, baik untuk memperoleh makanan, air, obat-obatan, dan bahan bakar.[31] Perempuan lebih rentan terhadap dampak kerusakan lingkungan karena mereka adalah mayoritas penduduk miskin dunia.[31] Di Indonesia, sejumlah perempuan di Jawa Tengah berjuang menyelamatkan lingkungan dan keanekaragaman hayati di daerah mereka, termasuk di Kendeng, Rembang.[32] Bencana ekologis akibat campur tangan manusia dan hilangnya keanekaragaman hayati telah mengubah struktur sosial yang berdampak langsung pada kesehatan dan terlanggarnya hak-hak seksual dan reproduksi perempuan.[32] Contohnya adalah peningkatan angka kematian ibu dan pernikahan anak. Bersama Jawa Barat, Jawa Tengah telah melampaui Jawa Timur untuk jumlah kedua kasus tersebut.[32]

Transportasi

Transportasi menyumbang emisi karbon dioksida sebesar 24,5% di seluruh dunia[33]dan merupakan salah satu dari tiga besar penyumbang gas rumah kaca.[34] Berdasarkan penelitian, laki-laki dan perempuan memiliki pola perjalanan yang berbeda sehingga berpotensi menghasilkan emisi karbon dioksida yang juga berbeda.[35] Studi perilaku perjalanan menunjukkan bahwa perempuan memiliki karakteristik khas terkait pilihan moda transportasi, waktu tempuh, tujuan perjalanan, rute, rantai perjalanan, dan jarak perjalanan.[36] Perbedaan tersebut sebagian besar disebabkan oleh kegiatan perempuan yang lebih kompleks daripada laki-laki. Pembagian kerja berbasis gender membuat perempuan memiliki kewajiban yang lebih bervariasi, termasuk di dalamnya pekerjaan, aktivitas rumah tangga, dan tugas pengasuhan.[36] Akibatnya, perempuan lebih cenderung melakukan perjalanan dengan jarak yang lebih pendek, lebih kompleks, perjalanan ulang alik dengan beberapa tujuan berbeda, perjalanan yang tidak terkait dengan pekerjaan, bepergian di luar jam sibuk, dan menggunakan lebih banyak variasi rute.[36] Mereka juga lebih memilih moda transportasi yang fleksibel tergantung pada sejumlah karakteristik sosial, seperti usia, pendapatan, ukuran rumah tangga, atau jumlah tanggungan.[36]

Sejumlah studi kasus di beberapa negara mengangkat pola transportasi masyarakat berbasis gender dan hasilnya cukup variatif. Studi terhadap data perilaku lingkungan di 10 negara anggota OECD menemukan bahwa tidak ada hubungan kuat antara jenis kelamin dan perilaku hemat energi.[37] Namun, pria, baik yang sudah menikah maupun lajang, mengemudi lebih sering daripada perempuan.[37] Di Swedia, laki-laki mengeluarkan anggaran lebih banyak untuk kendaraan dan bahan bakar dibandingkan perempuan.[37] Studi di Uni Eropa dan Amerika Serikat juga menemukan bahwa laki-laki secara keseluruhan menghasilkan jejak karbon yang lebih tinggi dari aktivitas berkendara.[37]

Dari hasil riset di beberapa negara, perempuan pada umumnya memiliki tingkat kepedulian lebih tinggi terhadap isu perubahan iklim, termasuk dalam bidang transportasi.[37] Studi kasus di Swedia[38] dan Selandia Baru[39] menemukan bahwa wanita melakukan perjalanan dengan dampak lingkungan yang lebih rendah dibandingkan pria dan mereka lebih mempertimbangkan isu keberlanjutan dalam pola transportasi mereka.[38] Namun, kepedulian ini belum tentu berkorelasi dengan pengetahuan mereka tentang perubahan iklim, baik laki-laki dan perempuan.[37] Penelitian di Semarang oleh Budiarti dan Nurhadi (2017) menunjukkan bahwa preferensi perjalanan perempuan menyiratkan konsumsi energi yang lebih efisien dan lebih sedikit menghasilkan gas rumah kaca.[35] Perempuan di Semarang juga memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap kendaraan umum.[35] Namun, hal ini lebih disebabkan oleh akses perempuan yang terbatas untuk kepemilikan dan penggunaan kendaraan.[35] Berdasarkan hasil penelitian di lima negara, yaitu Brazil, Tiongkok, Britania Raya, Italia, dan Spanyol, perempuan lebih berminat mengubah pilihan transportasi jika tersedia informasi mengenai jejak karbon yang mereka hasilkan.[40]

Energi

Perempuan suku Maasai di Afrika sedang mengumpulkan kayu

Kemiskinan energi menjadi salah satu isu penting dalam perubahan iklim dan gender, terutama di negara berkembang. Perempuan di negara berkembang memiliki akses ke energi yang terbatas. Para ilmuwan meyakini bahwa masalah akses ke energi adalah masalah interseksional.[41] Di perdesaan Asia dan Afrika, perempuan bertanggung jawab untuk mengumpulkan energi untuk memenuhi kebutuhan energi rumah tangga, terutama energi biomassa yang berasal dari kayu, arang, sampah, dan sisa produksi pertanian.[2] Akibat perubahan iklim, keanekaragaman hayati terancam dan manusia pun kesulitan untuk mendapatkan sumber-sumber energi tersebut.[2]

Transisi dari energi bahan bakar fosil ke energi yang lebih rendah karbon juga tidak serta merta menyelesaikan masalah akses energi. Menurut beberapa studi, perempuan berpotensi menjadi sekadar objek kebijakan jika tidak ada intervensi yang berbasis gender. Oleh karenanya, para peneliti merekomendasikan adanya kebijakan yang berbasis keadilan sosial dan gender saat mengenalkan energi terbarukan pada masyarakat negara berkembang.[41]

Permukiman dan pola migrasi

Pengungsi korban bencana alam di Bangladesh

Dampak perubahan iklim terhadap suatu wilayah dapat termanifestasi secara berbeda bergantung pada letak geografisnya. Beberapa negara di Asia Selatan dan gurun Sahara, misalnya, menghadapi bencana kekeringan yang merupakan salah salah satu efek dari pemanasan global. Di negara kepulauan, seperti Indonesia dan kepulauan Pasifik, dapat terimbas banjir dan terancam tenggelam akibat kenaikan permukaan air laut.[8] Peningkatan permukaan air laut mengancam kelangsungan hidup warga di area pesisir dan memaksa mereka untuk berpindah tempat. Menurut sejumlah studi, beberapa wilayah pesisir di Indonesia yang terancam tenggelam pada 2050 antara lain adalah Jakarta, Banda Aceh, dan kota-kota di pesisir utara Jawa, seperti Surabaya, Semarang, Tegal, serta Pekalongan.[42] Sedangkan kota-kota lain di dunia yang diperkirakan juga akan tenggelam meliputi Lagos, Houston, Dhaka, Venesia, Virginia Beach, Bangkok, New Orleans, Rotterdam, Alexandria, dan Miami.[42]

Migrasi menjadi salah satu strategi adaptasi perubahan iklim bagi masyarakat yang terdampak secara langsung.[43] Beberapa jenis migrasi meliputi mobilitas internal, pengungsian dari bencana, mobilitas mikro dalam wilayah tertentu, dan relokasi ke tempat yang jauh dari daerah rawan bencana.[44] Beberapa masyarakat mungkin terpaksa tetap tinggal dan gagal mengungsi.[44] Perpindahan bisa ke wilayah dengan jarak tempuh singkat hingga sampai ke luar negeri, bisa dalam jangka pendek, musiman, ataupun permanen.[44] Berdasarkan studi pada 2019 oleh SLYCAN Trust, sebuah organisasi nirlaba di Sri Lanka, ditemukan bahwa sebanyak 80% rumah tangga di distrik Trincomalee, Sri Lanka, memiliki paling tidak satu anggota keluarga yang bermigrasi.[44] Kepergian anggota keluarga tersebut didorong oleh kekeringan, kelangkaan air, dan kegagalan panen. Mereka umumnya pergi ke Kolombo dan kota-kota lainnya untuk bekerja di pabrik semen, konstruksi, pembangunan jalan, dan pekerjaan serupa lainnya. Mereka hanya kembali setiap beberapa bulan sekali atau saat musim panen tiba.[44]

Perpindahan manusia akibat perubahan iklim juga memiliki aspek gender. Sejumlah literatur telah mengkaji dampak gender dari pola mobilitas. Beberapa aspek yang membentuk mobilitas laki-laki dan perempuan antara lain adalah peran seks laki-laki dan perempuan, stratifikasi dan struktur tenaga kerja yang menentukan akses dan ketersediaan sumber daya dan peluang untuk bermigrasi, dan bagaimana proses tersebut dialami secara berbeda oleh pria dan wanita.[45] Gender, bersama dengan identitas-identitas sosial dan politik yang lain, seperti ras, kelas, usia, kelompok etnik, dan kasta, menentukan tingkat kerentanan seseorang ketika memutuskan berpindah tempat tinggal.[45] Studi kasus di Bahama tentang efek perpindahan akibat bencana badai Dorian menemukan bahwa komunitas LGBTI dan perempuan Haiti rentan mengalami diskriminasi dan kekerasan berbasis gender di tempat pengungsian.[46] Dari penelitian tersebut, gender, usia, kecacatan, status kewarganegaraan, status imigrasi, dan orientasi seksual menentukan kerentanan dan juga sedikit banyaknya kesempatan yang mereka peroleh setelah bencana.[46]

Urbanisasi telah mendorong pertumbuhan populasi di wilayah perkotaan, dan hal ini menyumbang kerentanan pada penduduk karena banyaknya kota besar di dunia yang berlokasi di dekat pantai dan garis patahan.[47] Sejumlah 14 persen dari penduduk kota di negara berkembang hidup di zona pesisir dataran rendah.[47] Urbanisasi, perencanaan perkotaan dan implementansi pengembangannya yang buruk, dan perubahan iklim menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat miskin yang tinggal di perkampungan kota dan permukiman kumuh. Berdasarkan studi oleh Adetokunbo dan Emeka (2015) di Lagos, beberapa dampak buruk tersebut antara lain berupa eksklusi sosial (hak dan akses yang terbatas terhadap infrastruktur publik, hukum, jaminan kepemilikan atas tanah dan perumahan, dan keterlibatan dalam pengambilan keputusan kebijakan yang memengaruhi hajat hidup mereka) dan kerentanan terhadap bencana alam dan polusi.[47] Para peneliti menemukan bahwa kelompok yang paling terdampak dari hal-hal tersebut adalah tunawisma dan mayoritas warga berpenghasilan rendah. Mereka terdiri atas orang lanjut usia, orang cacat, perempuan, dan anak-anak jalanan. Gender dan faktor usia (penuaan) menjadi dua faktor penting untuk memahami kerentanan yang diakibatkan oleh perubahan iklim terhadap permukiman.[47]

Kekerasan terhadap perempuan dan anak

Perubahan iklim juga dapat menjadi salah satu pemicu peningkatan kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga.[8] Berdasarkan laporan International Union for Conservation of Nature (IUCN), ada ribuan kasus kawin paksa di Afrika yang terjadi akibat dampak perubahan iklim. Keluarga petani miskin yang mengalami gagal panen dan kekurangan makanan umumnya menikahkan anak perempuannya yang masih remaja. Hal ini mereka lakukan untuk mengurangi jumlah tanggungan mereka dan mendapatkan pemasukan secara instan.[18] Beberapa kasus tersebut dilaporkan terjadi di Malawi, Sudan Selatan, dan Etiopia. Di Sudan Selatan dan Etiopia, anak perempuan dinikahkan untuk mendapatkan imbalan berupa hewan ternak.[18]

Kekerasan lain yang mungkin mengancam para perempuan di Afrika adalah kekerasan seksual. Kelangkaan sumber air dan semakin meluasnya permukaan gurun mengharuskan perempuan berjalan semakin jauh untuk mengumpulkan air dan mendapatkan makanan.[18][48] Risiko yang mungkin meningkat adalah diserang secara seksual di wilayah-wilayah yang dikuasai kelompok kejahatan bersenjata.[18] UNDP melaporkan bahwa di Uganda, perempuan dan anak-anak perempuan dipaksa berhubungan seksual untuk mendapatkan air dan makanan. Para penjual makanan, petani, dan pemilik tanah berupaya keras memaksa mereka meski para perempuan tersebut telah berusaha menawarkan penyediaan tenaga kerja sebagai pengganti hubungan seksual yang diminta.[48] Anak-anak perempuan yang sibuk dengan urusan pengumpulan makanan dan air juga tidak sempat lagi belajar dan harus putus sekolah. Kelelahan akibat beban bertumpuk membuat perempuan terlalu lelah untuk berhubungan seksual dan sebagian suami meresponnya dengan melakukan tindak kekerasan.[48] Perempuan juga rentan mengalami kekerasan seksual karena hidup sendiri di rumah sementara suami dan anggota keluarga laki-laki bekerja di tempat yang jauh.[48]

Dengan peran tradisional sebagai pekerja dan kepala keluarga, para pria di negara-negara tersebut juga mengalami berbagai tekanan. Sumber pencaharian mereka terdampak oleh gagal panen, kematian hewan ternak, berkurangnya pendapatan, dan kerentanan pangan. Sebagian dari mereka melarikan diri dari kenyataan dengan mengkonsumsi minuman beralkohol dan salah satu akibatnya, mereka bisa berperilaku semakin keras terhadap istri mereka.[48]

Perbedaan gender tentang persepsi mengenai perubahan iklim

Pandangan seseorang atau kelompok mengenai perubahan iklim dipengaruhi oleh berbagai macam faktor antara lain ras, kelompok etnik, status sosial ekonomi (pendidikan dan tingkat pendapatan), dan gender.[49] Terkadang juga ditambah dengan pandangan dan orientasi politik.[49] Faktor-faktor tersebut secara independen maupun bersama-sama membentuk sikap dan keyakinan masyarakat tentang perubahan iklim, serta memengaruhi motivasi individu dan kelompok dalam mempertimbangkan solusinya.[49]

Beberapa studi menemukan adanya kesenjangan gender dalam pandangan mengenai isu lingkungan dan perubahan iklim. Hasil penelitian di Amerika Serikat menyatakan bahwa perempuan memiliki tingkat kepedulian yang sedikit lebih tinggi terhadap isu perubahan iklim dan memiliki pandangan pro iklim yang lebih kuat daripada laki-laki.[50] Perempuan di AS memiliki persepsi yang lebih kuat bahwa perubahan iklim akan berdampak pada kehidupan pribadi mereka dan masyarakat AS. Namun, mereka sedikit lebih ragu tentang apakah mayoritas ilmuwan mempercayai bahwa perubahan iklim tengah terjadi saat ini.[50] Dalam studi lain di negara yang sama, perempuan ditemukan memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang perubahan iklim daripada laki-laki. Namun, dibandingkan dengan pria, wanita lebih cenderung menganggap remeh pengetahuan yang mereka miliki.[51]

Perbedaan gender tentang pendekatan kebijakan perubahan iklim

Anggota Parlemen Eropa

Menurut sejumlah penelitian, representasi perempuan dalam parlemen menentukan sikap parlemen terhadap kebijakan perubahan iklim. Sampel data yang dikumpulkan dari 91 negara menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan memengaruhi pendekatan negara dalam adaptasi perubahan iklim, termasuk di antaranya dengan mengadopsi kebijakan yang lebih ketat.[52] Sebuah studi di AS menyebutkan bahwa anggota parlemen perempuan memiliki pandangan yang lebih pro lingkungan hidup dibandingkan anggota laki-laki.[53] Penelitian terhadap anggota parlemen Eropa keenam dan ketujuh menyatakan bahwa anggota legislatif laki-laki dan perempuan menunjukkan kepedulian yang sama terhadap isu perubahan iklim, tetapi wanita secara signifikan lebih mungkin mendukung undang-undang lingkungan hidup daripada rekan pria mereka.[54] Peneliti menekankan bahwa meskipun dengan hasil riset demikian, kebijakan lingkungan hidup yang ada saat ini masih banyak diputuskan oleh laki-laki akibat keterwakilan perempuan yang masih rendah di lembaga legislatif.[54]

Partisipasi perempuan dalam penanganan bencana alam

Kajian mengenai riskscapes di tiga daerah di Indonesia, yaitu Aceh, Bantul, dan Merapi mengindikasikan bahwa intervensi berbasis gender perlu dilakukan dalam penanganan bencana alam. Peneliti studi tersebut menulis "Ketika perempuan diberdayakan, mempunyai partisipasi dan lebih setara dalam ruang publik dan sipil, dan memiliki peluang untuk mengembangkan modal sosial dan pengalaman kepemimpinan, maka para perempuan tersebut bersama keluarga serta komunitasnya memiliki kemampuan yang lebih besar untuk pulih dan menunjukkan ketahanan yang lebih besar dalam menghadapi bahaya yang menandai riskscapes bencana".[55] Mereka juga merekomendasikan para peneliti riskscapes untuk memasukkan aspek gender ke dalam penelitian, perencanaan, dan aksi penanganan bencana alam dan perubahan iklim.[55]

Menurut Satoshi Takada, profesor Ilmu Kesehatan Masyarakat di Universitas Kobe, keterlibatan perempuan dalam upaya mitigasi bencana sangat diperlukan. Satoshi berpendapat bahwa perempuan bisa berperan dalam meningkatkan ketahanan masyarakat terdampak. Dalam penanganan bencana, perempuan memiliki tugas yang berbeda dengan laki-laki. Dengan bekal kemampuan mereka dalam berbagai pekerjaan rumah tangga, perempuan dapat terlibat untuk merawat anak-anak dan orang lanjut usia.[56] Namun, untuk terlibat lebih jauh dalam urusan pengambilan keputusan, terutama terkait tata kelola penanganan bencana, perempuan seringkali menghadapi beragam kendala.[57]

Studi mengenai peran perempuan dalam tata kelola risiko bencana dilakukan oleh tiga peneliti di Universitas Huddersfield, Inggris. Metode yang digunakan adalah kajian literatur. Mereka mengidentifikasi sejumlah faktor yang menghambat perempuan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan terkait bencana. Kendala-kendala tersebut bersumber dari faktor sosial budaya, karakteristik individu, faktor hukum dan kelembagaan, serta faktor sosial ekonomi.[57] Hambatan sosial budaya yang dihadapi adalah kultur patriarki, paham agama, struktur keluarga, dan beban pekerjaan rumah tangga. Perempuan dan anak perempuan dalam masyarakat patriarki dipandang sebagai subordinat laki-laki dan peran perempuan seringkali direduksi hanya sebagai ibu dan istri. Hal ini membuat perempuan menjauh dari politik dan publik. Keyakinan agama menjadi kendala lain bagi perempuan untuk terlibat dalam kepemimpinan dan masyarakat. Menurut peneliti, Kristen Protestan lebih mendorong keterlibatan perempuan sebagai pemuka agama dibandingkan dengan Katolik dan Kristen Ortodoks. Fenomena yang sama juga terlihat di India, keyakinan terhadap agama telah membatasi kebebasan perempuan muslim dibandingkan dengan wanita Hindu.[57] Hal ini sedikit banyak memengaruhi pola pikir perempuan tentang perannya di masyarakat. Besar kecilnya keluarga dan komposisi di dalamnya juga berpengaruh. Jika banyak anggota keluarga terdiri atas laki-laki dewasa, maka perempuan cenderung kurang dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Multi peran dan beban kerja domestik berlebih juga menyibukkan perempuan sehingga kesulitan untuk terlibat aktif dalam kegiatan masyarakat.[57]

Sedangkan karakteristik pribadi yang menghambat perempuan untuk berperan lebih dalam upaya tata kelola bencana adalah tingkat pendidikan dan minat pribadi. Pendidikan dan kemampuan yang rendah, serta tidak adanya minta untuk terjun ke masyarakat menjadi faktor penghambat dari dalam. Perempuan di negara berkembang, menurut peneliti, kurang memiliki minat untuk masuk ke dalam bidang politik dan ikut mengambil peran sebagai pengambil/perumus kebijakan. Faktor penghambat dari unsur institusi dan hukum antara lain adalah budaya organisasi, lingkungan politik, dan hambatan kebijakan dan legislasi. Perempuan belum terepresentasikan secara memadai di level lokal maupun nasional. Budaya organisasi yang patriarkis juga menghambat partisipasi perempuan, terkadang ditemui pula diskriminasi berbasis gender di dalamnya. Faktor terakhir adalah terkait tingkat pendapatan keluarga. Status sosial ekonomi yang lebih rendah membuat perempuan kurang terlibat dalam pengambilan keputusan, baik di level keluarga maupun masyarakat.[57]

Dampak gender perubahan iklim pada masyarakat asli

Demonstrasi perubahan iklim di Melbourne, Australia

Penduduk asli (pribumi), termasuk mereka yang perempuan, merupakan penjaga kawasan, teritorial dan sumber daya di wilayah tradisional mereka.[58] Menurut data FAO pada 2019, ada sekitar 476.6 juta warga pribumi di seluruh dunia yang terdiri atas 238.4 juta perempuan dan 238.2 juta laki-laki.[58] Berdasarkan studi, 80% keanekaragaman hayati di seluruh dunia ada dalam penjagaan mereka.[58] Warga pribumi memiliki pengetahuan turun menurun tentang cuaca dan iklim yang berkontribusi untuk ketahanan iklim dan kelestarian lingkungan hidup.[58] Mereka merupakan pihak yang pertama tahu dan merasakan secara langsung dampak perubahan iklim terhadap lingkungan hidup dan kehidupan liar di sekitar mereka.[59] Ada dua alasan mengapa komunitas asli menjadi kelompok yang paling terpengaruh oleh perubahan iklim. Pertama, mereka memiliki hubungan yang unik dan erat dengan alam dan seringkali menggantungkan kehidupan mereka sepenuhnya ke alam. Masyarakat adat juga menganggap alam sebagai bagian tak terpisahkan dari kultur dan spiritualitas mereka.[60] Kedua, mereka pada umumnya hidup dalam kemiskinan di lingkungan yang terpinggirkan dan di beberapa tempat, mengalami diskriminasi.[60]

Seperti halnya wanita di komunitas-komunitas lain, perempuan pribumi belum terwakili secara memadai dan belum banyak dilibatkan dalam pengambilan keputusan tentang iklim. Akibatnya, mereka kesulitan untuk memaksimalkan potensi dan ikut berperan dalam mencegah perubahan iklim serta menghapus kesenjangan gender dan diskriminasi terhadap masyarakat adat.[58] Perempuan penduduk asli juga memikul beban ganda dengan statusnya sebagai perempuan sekaligus warga adat.[14] Dalam konteks perubahan iklim, wanita adat sering menghadapi pelanggaran HAM sistemik, mengalami praktik eksklusivitas dan diskriminatif yang mendalam, baik di dalam komunitas mereka sendiri serta masyarakat secara umum.[14] Hak-hak mereka sebagai perempuan penduduk asli masih terabaikan meski telah ada Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW) dan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat.[14] Christiana Saiti Louwa, perempuan dari suku El Molo, Kenya, mengungkapkan bahwa para perempuan di sukunya terdampak secara fisik, mental, dan emosional akibat kerusakan lingkungan dan kekeringan yang melanda wilayah mereka. Selama bertahun-tahun suku El Molo hidup dengan mencari ikan dan memelihara ternak, tapi karena penyusutan air di danau Turkana, mereka harus berpindah tempat ke daratan dan terpaksa belajar bertani.[60]

Untuk memengaruhi kebijakan iklim yang berdampak pada kehidupan mereka, suku-suku asli di dunia berhimpun dan memulai gerakan keadilan iklim untuk masyarakat adat (indigenous climate justice).[61] Mereka berasal dari berbagai wilayah di dunia, seperti Amerika Utara dan Amerika Selatan. Suku-suku yang hidup di hutan Amazon wilayah Ekuador timur, seperti Huaorani, Sápara dan Sarayaku Kichwa telah terlibat upaya pencegahan perubahan iklim sejak lama. Mereka menentang pendudukan dan deforestasi atas hutan yang telah mereka tinggali sejak berabad-abad yang lalu. Sejak 1990-an, suku-suku tersebut telah menyadari peran mereka dalam melindungi kawasan hutan dari efek perubahan iklim. Kesadaran bahwa masyarakat adat memiliki potensi memengaruhi pengambilan keputusan mendorong mereka untuk terlibat dalam kegiatan aktivisme, termasuk dengan berbicara di berbagai konferensi internasional.[62] Sejumlah perempuan adat yang menyadari tanggung jawabnya akhirnya terlibat dalam posisi kepemimpinan dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.[63]

Kritik terhadap studi perubahan iklim dan gender

Beberapa peneliti memandang studi perubahan iklim dan gender yang ada saat ini masih didominasi oleh pandangan dikotomis laki-laki dan perempuan dan masih kurang mempertimbangkan aspek interseksionalnya.[1] Kajian interseksionalitas sebenarnya telah lama digunakan untuk memahami permasalahan gender secara lebih komprehensif. Para peneliti tersebut meyakini bahwa isu perubahan iklim dan gender sifatnya kompleks dan multidimensional.[1] Menurut mereka, isu perubahan iklim dan gender bukan hanya masalah kekuatan dominan laki-laki melawan kelompok perempuan yang terdominasi dan lebih rentan, tapi juga tentang apa yang terjadi dalam kelompok rentan itu sendiri.[1]

Dikotomi laki-laki dan perempuan juga cenderung mengabaikan kompleksitas isu dan bagaimana kerentanan serta kemampuan adaptasi itu bersifat dinamis.[13] Laki-laki dan perempuan bukan merupakan kategori yang homogen.[13][28] Selain faktor gender, ada faktor-faktor lain yang juga turut mempengaruhi identitas perempuan, seperti ras/kelompok etnik, kelas, kasta, usia, status perkawinan, pendidikan, tingkat pendapatan, agama, dan lokasi geografis.[28][64] Sehingga, menurut sejumlah pakar, tidak tepat jika memandang perempuan semata-mata sebagai korban dari perubahan iklim[65] dan laki-laki memikul beban yang lebih ringan karena kenyataan di masyarakat tidak menunjukkan hal demikian.[28] Wanita di Asia dan Afrika, misalnya, tidak kekurangan rasa agensi mereka.[13] Namun, dalam kondisi di bawah tekanan dan keterbatasan pekerjaan, agensi mereka diarahkan ke kepentingan bertahan hidup dan mencari solusi jangka pendek.[13] Sejumlah literatur juga menunjukkan bahwa perempuan berpeluang menjadi agen perubahan yang proaktif dalam pengendalian perubahan iklim.[66]

Studi kasus di sejumlah negara

Indonesia

Pengarusutamaan gender telah mulai dilakukan di Indonesia dan para ilmuwan melihat komitmen pemerintah dalam hal ini.[67] Namun, terkait isu perubahan iklim, keterlibatan dan partisipasi dalam pertemuan dan keputusan-keputusan di tingkat nasional masih didominasi oleh laki-laki.[67] "Dokumen kebijakan perubahan iklim yang dibuat masih netral gender dan mekanisme dan struktur institusi dalam penanganan perubahan iklim dikembangkan tanpa adanya masukan memadai dari perempuan".[67] Dalam level implementasi di tingkat lokal, para pelaksana kebijakan belum sepenuhnya mampu memahami apa itu pengarusutamaan gender dan urgensinya.[68]

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh CIFOR terhadap mekanisme pendanaan iklim, ditemukan adanya kesenjangan pemahaman antara level nasional dan lokal. Di tingkat nasional, pengambil kebijakan telah mendukung kesetaraan gender, sementara mereka yang mengimplementasikan di tataran bawah masih belum memahami pentingnya isu ini dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.[68] Para peneliti CIFOR melakukan analisa terhadap lima mekanisme pendanaan dalam aspek integrasi tujuan kesetaraan gender dan pengentasan kemiskinan, yaitu Dana Desa, Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (BLUP3H), Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). Peneliti juga menyatakan bahwa mekanisme bantuan ini bisa berpotensi membantu ataupun menghambat upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di kalangan perempuan dan masyarakat miskin. Hal ini bergantung pada bagaimana perencanaan, perancangan, pengelolaan, dan pengawasan program ini dilakukan. Selain itu, mekanisme pendanaan iklim di Indonesia masih berfokus pada pengentasan kemiskinan, tetapi belum mempertimbangkan aspek kesetaraan gender.[68] Sementara itu, di tingkat nasional, perempuan di Indonesia masih menghadapi menghadapi hambatan hukum dan kebijakan dalam memperjuangkan kesetaraan gender di berbagai bidang, termasuk dalam isu perubahan iklim.[67] Indonesia berada di peringkat ke-85 dari 153 negara dalam Indeks Pembangunan Gender (IPG) 2020.[69]

Para ilmuwan merekomendasikan isu perubahan iklim dan gender dimasukkan ke dalam agenda nasional dengan pembahasan utama difokuskan pada gender dan kerentanan, gender dan mitigasi, serta gender dan adaptasi.[67]

India

Indeks Pembangunan Manusia 2020 menempatkan India di posisi ke-131 dari 189 negara dengan penilaian rendah untuk aspek kesetaraan gender. Mereka berada di peringkat ke-123 dalam Indeks Pembangunan Gender.[70] Menurut UNDP, kesenjangan gender dalam perubahan iklim di India diperparah oleh norma-norma sosial, stigma, mobilitas terbatas, angka buta huruf yang tinggi, sumber daya finansial yang rendah, pembatasan hak-hak, serta pengabaian terhadap aspirasi perempuan dalam penyusunan kebijakan perubahan iklim.[27] Salah satu kelompok perempuan paling rentan adalah mereka yang hidup di daerah kering dan semi-kering di India. Akibat beban kerja berlebih, perempuan di kawasan tersebut banyak yang tidak dapat mengakses pendidikan.[66] Kondisi ini semakin parah dengan munculnya dampak-dampak perubahan iklim, seperti kekeringan dan keterbatasan air bersih untuk kepentingan memasak, air minum, sanitasi, dan kepentingan produktif lainnya.[66]

Avantika Singh, akademisi ilmu politik di Universitas Delhi, mengemukakan bahwa diskursus kebijakan yang tertuang dalam Rencana Aksi Nasional untuk Perubahan Iklim di India masih buta gender dan sarat dengan maskulinisasi.[71] Menurutnya, hal ini tidak terlepas dari anggota dewan yang didominasi oleh laki-laki dengan kewenangan yang besar, serta tidak adanya upaya melakukan pendekatan ke bawah, termasuk menjaring suara perempuan yang berpengalaman dalam hal ini. Untuk memformulasi kebijakan perubahan iklim tersebut, tidak ada pelibatan perwakilan dari Kementerian Pengembangan Perempuan dan Anak, praktisi yang bekerja di masyarakat bawah, maupun LSM perempuan.[71]

Tiongkok

Menurut sejumlah peneliti, kebijakan perubahan iklim dan gender di Tiongkok telah mengalami perkembangan cukup baik selama sepuluh tahun terakhir, meski mungkin masih ditemui kelemahan dan cenderung terfragmentasi.[72] Sebelumnya, mereka dikritik karena menunjukkan komitmen lemah terhadap pengurangan emisi dan penanganan perubahan iklim.[72] Peneliti menduga perubahan sikap ini dipicu oleh laporan kenaikan kadar karbon dioksida, metana, dan dinitrogen monoksida oleh Administrasi Meteorologi Tiongkok pada 2017.[72] Tiongkok merilis kebijakan lingkungan pertamanya pada Juni 2007. Dalam rencana aksi perubahan iklim nasional tersebut, mereka menyatakan komitmennya untuk mengurangi emisi GHG (gas rumah kaca global) dengan syarat tidak mengorbankan kepentingan ekonominya.[72] Pembahasan mengenai aspek gender dalam perubahan iklim di Cina umumnya dimasukkan ke dalam kebijakan mengenai kesetaraan gender, bukan di kebijakan perubahan iklim.[72]

Penelitian di perdesaan Tiongkok mengungkap adanya perbedaan dampak gender pada isu perubahan iklim. Para perempuan lebih terdampak secara negatif daripada laki-laki.[72] Salah satu contohnya adalah riset di kalangan petani di Yunnan. Pada Januari hingga Maret 2008, komunitas petani di Yunnan terdampak hujan salju lebat yang mengakibatkan banjir. Kerugian yang mereka hadapi antara lain adalah bekerja lebih berat karena terlibat dalam upaya kesiapsiagaan sebelum bencana dan pemulihan setelah bencana, berkurangnya pendapatan, serta kesehatan yang terganggu.[72]

Berbeda dengan hasil penelitian di Eropa dan Amerika, dari beberapa studi didapati bahwa laki-laki Tiongkok lebih menunjukkan kepedulian lebih terhadap isu perubahan iklim dibandingkan perempuannya.[72][73] Salah satu contohnya adalah studi di sebuah desa di provinsi Ningxia. Partisipan laki-laki lebih mampu menjelaskan dampak perubahan iklim yang mereka rasakan, seperti adanya perubahan suhu dan kelembapan yang sifatnya musiman.[72] Sedangkan perempuan merespon pertanyaan dengan jawaban yang kurang jelas dan tidak spesifik. Dari sini, terlihat adanya kesenjangan pengetahuan mengenai perubahan iklim di antara kedua gender. Kesenjangan gender dalam pengetahuan lingkungan ini, menurut ilmuwan, akan terus bertahan kecuali perkembangan ekonomi Tiongkok diarahkan untuk menjamin akses perempuan ke pendidikan dan ekonomi yang lebih baik.[73]

Partisipasi perempuan dalam kebijakan perubahan iklim di Cina masih cukup rendah, baik di tingkat lokal maupun nasional. Sekitar 20-50% staf pemerintah yang bekerja di bagian perumusan kebijakan lingkungan adalah perempuan, tetapi mereka belum cukup terwakili di posisi kepemimpinan. Persentase pejabat perempuan hanya sekitar 5-20%.[72] Sejak berdiri pada 1984, kementerian lingkungan hidup belum pernah sekalipun dipimpin oleh seorang perempuan.[72]

Daftar pustaka

  1. ^ a b c d e Djoudi, Houria; Locatelli, Bruno; Vaast, Chloe; Asher, Kiran; Brockhaus, Maria; Basnett Sijapati, Bimbika (2016-12-01). "Beyond dichotomies: Gender and intersecting inequalities in climate change studies". Ambio (dalam bahasa Inggris). 45 (3): 248–249. doi:10.1007/s13280-016-0825-2. ISSN 1654-7209. PMC 5120018alt=Dapat diakses gratis. PMID 27878531. 
  2. ^ a b c d e f g h United Nations. "Women, Gender Equality and Climate Change" (PDF). WomenWatch. Diakses tanggal 2021-06-01. 
  3. ^ Denton, Fatma (2002-07-01). "Climate change vulnerability, impacts, and adaptation: Why does gender matter?". Gender & Development. 10 (asbtract) (2): 10. doi:10.1080/13552070215903. ISSN 1355-2074. 
  4. ^ "Introduction to Gender and Climate Change". unfccc.int. Diakses tanggal 2021-06-01. 
  5. ^ Pearse, Rebecca (2017). "Gender and climate change". WIREs Climate Change (dalam bahasa Inggris). 8 (2): abstract. doi:10.1002/wcc.451. ISSN 1757-7799. 
  6. ^ UNDP (2012). "Overview of linkages between gender and climate change". Gender and Climate Change. Diakses tanggal 2021-06-01. 
  7. ^ Rusmadi, Rusmadi (2017-07-06). "Pengarusutamaan gender dalam kebijakan perubahan iklim di Indonesia". Sawwa: Jurnal Studi Gender. 12 (1): 91. doi:10.21580/sa.v12i1.1470. ISSN 2581-1215. 
  8. ^ a b c d Pusat Penelitian Politik LIPI (tanpa tanggal). "Perempuan dan Dampak Perubahan Iklim". Pusat Penelitian Politik LIPI. Diakses tanggal 2021-06-27. 
  9. ^ a b c The Lancet (Februari 2020). "Climate change and gender-based health disparities" (PDF). The Lancet. Diakses tanggal 2021-06-02. 
  10. ^ a b Convention on Biology Diversity (tanpa tanggal). "Biodiversity, gender and climate change" (PDF). Convention on Biology Diversity. Diakses tanggal 2021-06-30. 
  11. ^ UN Women (2021). "Climate change and the environment". UN Women (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-06-03. 
  12. ^ Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2015). "Pedoman Umum Adaptasi Perubahan Iklim yang Responsif Gender" (PDF). Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Diakses tanggal 2021-06-02. 
  13. ^ a b c d e ASSAR (2018). "Gender is one of many social factors influencing responses to climate change: an ASSAR cross-regional insight" (PDF). ASSAR (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-06-02. 
  14. ^ a b c d e Prior, Tahnee Lisa; Heinämäki, Leena (2017-11-10). "The Rights and Role of Indigenous Women in Climate Change Regime". Arctic Review (dalam bahasa Inggris). 8: 194–195. doi:10.23865/arctic.v8.901. ISSN 2387-4562. 
  15. ^ National Oceanic and Atmospheric Administration (2019-02-01). "Climate change impacts". National Oceanic and Atmospheric Administration. Diakses tanggal 2021-06-02. 
  16. ^ WHO (2014). (acce "Gender, climate change and health" Periksa nilai |url= (bantuan). WHO. Diakses tanggal 2021-06-02. 
  17. ^ Watts, Nick; Amann, Markus; Arnell, Nigel; Ayeb-Karlsson, Sonja; Belesova, Kristine; Boykoff, Maxwell; Byass, Peter; Cai, Wenjia; Campbell-Lendrum, Diarmid (2019-11-16). "The 2019 report of The Lancet Countdown on health and climate change: ensuring that the health of a child born today is not defined by a changing climate". The Lancet (dalam bahasa English). 394 (10211): executive summary. doi:10.1016/S0140-6736(19)32596-6. ISSN 0140-6736. PMID 31733928. 
  18. ^ a b c d e f Cwienk, Jeannette (2020-02-22). "Perubahan Iklim Lebih Berbahaya Bagi Perempuan dan Anak". Deutsche Welle. Diakses tanggal 2021-06-27. 
  19. ^ a b c d e f g Sorensen, Cecilia; Murray, Virginia; Lemery, Jay; Balbus, John (2018-07-10). "Climate change and women's health: Impacts and policy directions". PLoS Medicine. 15 (7): 1–2. doi:10.1371/journal.pmed.1002603. ISSN 1549-1277. PMC 6038986alt=Dapat diakses gratis. PMID 29990343. 
  20. ^ Choudhury, Saheli Roy (2020-08-17). "Southeast Asia faces more severe effects of climate change than the rest of the world, McKinsey says". CNBC (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-06-02. 
  21. ^ a b Kjellstrom, Tord; Lemke, Bruno; Otto, Matthias (2013). "Mapping Occupational Heat Exposure and Effects in South-East Asia: Ongoing Time Trends 1980–2011 and Future Estimates to 2050". Industrial Health. 51 (1): 56–57. doi:10.2486/indhealth.2012-0174. 
  22. ^ Norris, Fran H.; Friedman, Matthew J.; Watson, Patricia J.; Byrne, Christopher M.; Diaz, Eolia; Kaniasty, Krzysztof (2002). "60,000 disaster victims speak: Part I. An empirical review of the empirical literature, 1981-2001". Psychiatry. 65 (3): 207–239. doi:10.1521/psyc.65.3.207.20173. ISSN 0033-2747. PMID 12405079. 
  23. ^ a b c Sartika, Resa Eka Ayu (2018-03-08). "Perubahan Iklim Lebih Berdampak Pada Perempuan, Kok Bisa?". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2021-06-27. 
  24. ^ a b Organization for Security and Cooperation in Europe (2019-08-21). "Strengthening the Role of Women in Disaster Management". Organization for Security and Cooperation in Europe (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-07-01. 
  25. ^ Nandi, Jayashree (2020-09-11). "Extreme rains lead to more rural farmer suicides than droughts: Study". Hindustan Times (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-06-02. 
  26. ^ Saini, Yashobanta Parida/Swati. "Weather woes add to farmer-suicide cases". @businessline (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-06-02. 
  27. ^ a b c d Chatterjee, Somiha (2021-03-01). "Why Gender Matters: Climate Change and Agriculture in India" (PDF). ICIMOD. Diakses tanggal 2021-06-10. 
  28. ^ a b c d e f g h FAO (2012). "Gender and climate change research in agriculture and food security for rural development: training guide" (PDF). FAO. Diakses tanggal 2021-06-02. 
  29. ^ FAO. "Gender-differentiated impacts of climate change". FAO. Diakses tanggal 2021-06-02. 
  30. ^ a b Hariharan, Vinod K.; Mittal, Surabhi; Rai, Munmun; Agarwal, Tripti; Kalvaniya, Kailash C.; Stirling, Clare M.; Jat, M. L. (2020-01-01). "Does climate-smart village approach influence gender equality in farming households? A case of two contrasting ecologies in India". Climatic Change (dalam bahasa Inggris). 158 (1): 78–79. doi:10.1007/s10584-018-2321-0. ISSN 1573-1480. 
  31. ^ a b c d Bechtel, Jamie D. (2010). "Gender, Poverty and the Conservation of BiodiversityA Review of Issues and Opportunities" (PDF). MacArthur Foundation. Diakses tanggal 2021-06-30. 
  32. ^ a b c Candraningrum, Dewi (2019-02-26). "Threatened Biodiversity and Empty Wombs: Climate Change and Women's Plight in Central Java". Heinrich-Böll-Stiftung (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-07-01. 
  33. ^ "gender cc - women for climate justice". www.gendercc.net. Diakses tanggal 2021-06-02. 
  34. ^ Priya Uteng, Tanu; Turner, Jeff (2019/1). "Addressing the Linkages between Gender and Transport in Low- and Middle-Income Countries". Sustainability (dalam bahasa Inggris). 11 (17): 1–2. doi:10.3390/su11174555. 
  35. ^ a b c d Budiarti, Ratna; Nurhadi, Moh (2017-02-27). "Gender Assessment in Urban Transportation Case Study: Semarang City, Indonesia". The Indonesian Journal of Planning and Development (dalam bahasa Inggris). 2 (1): 39–40. doi:10.14710/ijpd.2.1.39-50. ISSN 2442-983X. 
  36. ^ a b c d International Transport Forum (2019). "Gender and Climate Change" (PDF). United Nations Framework Convention on Climate Change. Diakses tanggal 2021-06-29. 
  37. ^ a b c d e f Rastogi, Nina Shen (2010-11-16). "Which is the greener gender?". Slate Magazine (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-06-29. 
  38. ^ a b Kronsell, Annica; Rosqvist, Lena Smidfelt; Hiselius, Lena Winslott (2016-09-13). "Achieving climate objectives in transport policy by including women and challenging gender norms: The Swedish case". International Journal of Sustainable Transportation. 10 (8): abstract. doi:10.1080/15568318.2015.1129653. ISSN 1556-8318. 
  39. ^ Shaw, Caroline; Russell, Marie; Keall, Michael; MacBride-Stewart, Sara; Wild, Kirsty (2020-09-01). "Beyond the bicycle: Seeing the context of the gender gap in cycling". Journal of Transport & Health (dalam bahasa Inggris). 18: abstract. doi:10.1016/j.jth.2020.100871. ISSN 2214-1405. 
  40. ^ Waygood, E. O. D.; Avineri, E. (2016-10-01). "Communicating transportation carbon dioxide emissions information: Does gender impact behavioral response?". Transportation Research Part D: Transport and Environment (dalam bahasa Inggris). 48: 200–201. doi:10.1016/j.trd.2016.08.026. ISSN 1361-9209. 
  41. ^ a b Johnson, Oliver W.; Han, Jenny Yi-Chen; Knight, Anne-Louise; Mortensen, Sofie; Aung, May Thazin; Boyland, Michael; Resurreccióne, Bernadette P. (2020-12-01). "Intersectionality and energy transitions: A review of gender, social equity and low-carbon energy". Energy Research & Social Science (dalam bahasa Inggris). 70: 1–2. doi:10.1016/j.erss.2020.101774. ISSN 2214-6296. 
  42. ^ a b CNN Indonesia (2020-02-28). "Jakarta, Aceh Hingga Surabaya Terancam Tenggelam 2050". CNN Indonesia. Diakses tanggal 2021-06-27. 
  43. ^ UN Women Deutschland (tanpa tanggal). "Migration as a climate change adaptation strategy: A gender perspective". UN Women Deutschland. Diakses tanggal 2021-06-28. 
  44. ^ a b c d e Mombauer, Dennis (2021-05-21). "Human mobility in the context of climate change". Daily FT (dalam bahasa English). Diakses tanggal 2021-06-28. 
  45. ^ a b Lama, Phudoma; Hamza, Mo; Wester, Misse (2021-04-21). "Gendered dimensions of migration in relation to climate change". Climate and Development. 13 (4): 326–327. doi:10.1080/17565529.2020.1772708. ISSN 1756-5529. 
  46. ^ a b Bleeker, Amelia; Escribano, Pablo; Gonzales, Candice; Liberati, Cristina; Mawby, Briana (2021). "Advancing gender equality in environmental migration and disaster displacement in the Caribbean" (PDF). Komisi Ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Amerika Latin dan Karibia (CEPAL). Diakses tanggal 2021-06-28. 
  47. ^ a b c d Adetokunbo, Ilesanmi; Emeka, Mgbemena (2015-12-30). "Urbanization, Housing, Homelessness and Climate Change". Journal of Design and Built Environment (dalam bahasa Inggris). 15 (2). doi:10.22452/jdbe.vol15no2.3. ISSN 2232-1500. 
  48. ^ a b c d e Gevers, Anik; Musuya, Tina; Bukuluki, Paul (2020-01-28). "Why climate change fuels violence against women". United Nations Development Programme (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-06-27. 
  49. ^ a b c Pearson, Adam R.; Ballew, Matthew T.; Naiman, Sarah; Schuldt, Jonathon P. (2017-04-26). "Race, Class, Gender and Climate Change Communication". Oxford Research Encyclopedia of Climate Science (dalam bahasa Inggris). doi:10.1093/acrefore/9780190228620.001.0001/acrefore-9780190228620-e-412. Diakses tanggal 2021-06-05. 
  50. ^ a b Ballew, Matthew; Marlon, Jennifer; Leiserowitz, Anthony; Maibach, Edward (2019-11-20). "Gender Differences in Public Understanding of Climate Change". Yale program on climate change communication. Diakses tanggal 2021-06-05. 
  51. ^ McCright, Aaron M. (2010). "The effects of gender on climate change knowledge and concern in the American public". Population and Environment. 32 (1): abstract. ISSN 0199-0039. 
  52. ^ Mavisakalyan, Astghik; Tarverdi, Yashar (2019-01-01). "Gender and climate change: Do female parliamentarians make difference?". European Journal of Political Economy (dalam bahasa Inggris). 56: 16. doi:10.1016/j.ejpoleco.2018.08.001. ISSN 0176-2680. 
  53. ^ Fredriksson, Per G.; Wang, Le (2011-12-01). "Sex and environmental policy in the U.S. House of Representatives". Economics Letters (dalam bahasa Inggris). 113 (3): abstract. doi:10.1016/j.econlet.2011.07.019. ISSN 0165-1765. 
  54. ^ a b Ramstetter, Lena; Habersack, Fabian (2020-09-18). "Do women make a difference? Analysing environmental attitudes and actions of Members of the European Parliament". Environmental Politics. 29 (6): 1063–1064. doi:10.1080/09644016.2019.1609156. ISSN 0964-4016. 
  55. ^ a b Tickamyer, Ann R; Kusujiarti, Siti (2020-07-01). "Riskscapes of gender, disaster and climate change in Indonesia". Cambridge Journal of Regions, Economy and Society. 13 (2): 246–247. doi:10.1093/cjres/rsaa006. ISSN 1752-1378. 
  56. ^ Marwati (2017-12-22). "Women Have Role in Disaster Risk Management". Universitas Gadjah Mada. Diakses tanggal 2021-07-01. 
  57. ^ a b c d e Hemachandra, Kinkini; Amaratunga, Dilanthi; Haigh, Richard (2018-01-01). "Role of women in disaster risk governance". Procedia Engineering (dalam bahasa Inggris). 212: 1191–1192. doi:10.1016/j.proeng.2018.01.153. ISSN 1877-7058. 
  58. ^ a b c d e Bhattachan, Khrisna B.; Thapa, Kamala; Magar, Sushila Kumari Thapa (2020). "Climate justice for indigenous women: urgency and way forward" (PDF). Stockholm Environment Institute. Diakses tanggal 2021-07-02. 
  59. ^ Evangeliou, Dean (2020-10-12). "Indigenous Climate Justice in Canada". Climate Reality (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-07-02. 
  60. ^ a b c Mihlar, Farah (2008). "Voices that must be heard: minorities and indigenous people combating climate change" (PDF). Minority Right Group International. Diakses tanggal 2021-07-02. 
  61. ^ "Indigenous Peoples and Climate Justice | University of Michigan School for Environment and Sustainability". seas.umich.edu. Diakses tanggal 2021-07-02. 
  62. ^ Etchart, Linda (2017-08-22). "The role of indigenous peoples in combating climate change". Palgrave Communications (dalam bahasa Inggris). 3 (1): 1–4. doi:10.1057/palcomms.2017.85. ISSN 2055-1045. 
  63. ^ Whyte, Kyle Powys (2014-01-28). "Indigenous Women, Climate Change Impacts, and Collective Action" (PDF). Michigan State University. Diakses tanggal 2021-07-02. 
  64. ^ Djoudi, H.; Brockhaus, M. (2011-06-01). "Is adaptation to climate change gender neutral? Lessons from communities dependent on livestock and forests in northern Mali". International Forestry Review. 13 (2): 123–135. doi:10.1505/146554811797406606. 
  65. ^ Djoudi, Houria; Locatelli, Bruno; Vaast, Chloe; Asher, Kiran; Brockhaus, Maria; Basnett Sijapati, Bimbika (2016-12-01). "Beyond dichotomies: Gender and intersecting inequalities in climate change studies". Ambio (dalam bahasa Inggris). 45 (3): 248–262. doi:10.1007/s13280-016-0825-2. ISSN 1654-7209. PMC 5120018alt=Dapat diakses gratis. PMID 27878531. 
  66. ^ a b c Yadav, S.S.; Lal, Rattan (2018-02-01). "Vulnerability of women to climate change in arid and semi-arid regions: The case of India and South Asia". Journal of Arid Environments (dalam bahasa Inggris). 149: abstract. doi:10.1016/j.jaridenv.2017.08.001. ISSN 0140-1963. 
  67. ^ a b c d e Murdiyarso, Daniel; Herawati, Hety (2005-01-01). Carbon Forestry, who Will Benefit? Proceedings of Workshop on Carbon Sequestration and Sustainable Livelihoods (dalam bahasa Inggris). CIFOR. hlm. 177–178. ISBN 978-979-3361-73-4. 
  68. ^ a b c Atmadja, Stibniati; Lestari, Hiasinta; Djoudi, Houria; Liswanti, Nining; Tamara, Ade (2020-12-01). "Making climate finance work for women and the poor: Insights from national climate finance mechanisms in Indonesia" (PDF). CIFOR. Diakses tanggal 2021-06-09. 
  69. ^ RI, Setjen DPR. "Pengarusutamaan Gender, Indonesia Masih Jauh dari Harapan". www.dpr.go.id. Diakses tanggal 2021-06-08. 
  70. ^ Krishnan, Revathi (2020-12-17). "India slips two spots to 131 on human development index 2020, ranks low on gender equality". ThePrint (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-06-08. 
  71. ^ a b Singh, Avantika (2020-06-01). "Introspecting Gender Concerns in National Action Plan for Climate Change of India". Indian Journal of Public Administration (dalam bahasa Inggris). 66 (2): 179–190. doi:10.1177/0019556120922833. ISSN 0019-5561. 
  72. ^ a b c d e f g h i j k Zhou, Yuan; Sun, Xiaoyan (2020-01-01). "Toward gender sensitivity: women and climate change policies in China". International Feminist Journal of Politics. 22 (1): 127–149. doi:10.1080/14616742.2019.1687001. ISSN 1461-6742. 
  73. ^ a b Shields, Todd; Zeng, Ka (2012). "The Reverse Environmental Gender Gap in China: Evidence from "The China Survey"". Social Science Quarterly. 93 (1): 1–20. ISSN 0038-4941.