Sistem televisi berjaringan di Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Sistem televisi berjaringan di Indonesia (secara resmi disebut Sistem Stasiun Jaringan, disingkat SSJ)[1] diwajibkan pada setiap lembaga penyiaran di Indonesia yang hendak melakukan siaran dalam lingkup nasional, baik publik maupun swasta, sebagai sarana mewujudkan demokratisasi penyiaran. Sistem ini didasarkan pada Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Konsep sistem ini mengacu dan mirip dengan sistem penyiaran yang terdapat di sejumlah negara, terutama Amerika Serikat[2] dan Brasil.

Sistem ini mulai secara resmi diberlakukan di Indonesia pada tanggal 28 Desember 2009.[1] TV nasional dapat bertindak sebagai induk stasiun jaringan dan TV lokal bertindak sebagai anggota stasiun jaringan, dimana stasiun induk bertindak sebagai koordinator yang siarannya direlai oleh anggota. Dalam TV berjaringan, semangat dasar dari siaran berjaringan adalah terpenuhinya aspek keberagaman kepemilikan (diversity of ownership), keberagaman isi siaran (diversity of content), dan kearifan lokal.

Latar belakang[sunting | sunting sumber]

Kelahiran sistem televisi berjaringan tidak bisa dilepaskan dari lahirnya perubahan politik di Indonesia pasca 1998. Salah satu tuntutan dari perubahan tersebut adalah desentralisasi dan demokratisasi di berbagai bidang. Selama ini, sistem penyiaran di Indonesia, yang dibangun sejak kelahiran televisi swasta, dirasa tidak memenuhi aspek tersebut dengan keberadaan televisi swasta nasional yang bersiaran secara tersentralisasi dari Jakarta. Acara-acara televisi swasta hampir semuanya berasal dari Jakarta, tidak melokal dan keuntungan dari iklan pun mengalir ke Jakarta saja.[3] Selain itu, penguasaan frekuensi/kanal di banyak daerah oleh segelintir pihak, tidak sesuai dengan konsep bahwa frekuensi adalah milik publik yang mahal dan terbatas harganya.[4] Ini belum termasuk ide bahwa penyiaran harusnya memerhatikan aspek keragaman pemilik (diversity of ownership) dan keragaman konten (diversity of content).[5]

Jika ditarik ke belakang, pada awalnya konsep televisi di Indonesia yang dibangun adalah sistem berjaringan. TVRI misalnya memiliki memiliki sejumlah stasiun di daerah-daerah yang memiliki identitas dan acara yang berbeda dengan TVRI Nasional. Lalu, pada awal kehadiran televisi swasta pada akhir 1980-an, sistem yang ingin dikembangkan juga serupa: RCTI Jakarta berjaringan dengan tiga televisi swasta lokal di daerah-daerah yang menyiarkan acara serupa, namun dengan susunan program yang berbeda: RCTI Bandung, SCTV Surabaya dan SCTV Denpasar. Walaupun demikian, akibat tekanan dari pemilik stasiun televisi swasta yang umumnya berasal dari kerabat dan kroni Presiden Soeharto, maka hanya dalam waktu beberapa tahun (1990-1993), kebijakan tersebut ditinggalkan dan diganti menjadi sentralisasi siaran dari Jakarta.[3]

Konsep sentralisasi siaran ini kemudian berusaha diubah dalam penyusunan UU Penyiaran pertama di Indonesia: UU No. 24/1997, yang awalnya memasukkan klausul bahwa televisi swasta nasional hanya boleh menjangkau siarannya secara langsung dari pusat/Jakarta (lewat stasiun transmisi) paling banyak sebesar 50% penduduk Indonesia, dan 50% penduduk sisanya bisa dijangkau dengan menjalin kerjasama dengan televisi lokal di daerah-daerah. Walaupun demikian, lagi-lagi karena pemerintah menolak menandatanganinya akibat tekanan industri penyiaran, maka klausul itu dihapuskan.[3] Malahan, UU No. 24/1997 memasukkan klausul bahwa stasiun televisi swasta harus didirikan di ibukota negara dan jumlahnya dibatasi pemerintah.[6]

Seiring perubahan politik yang terjadi, maka klausul pembatasan siaran itu akhirnya kembali dimasukkan dalam penyusunan UU No. 32/2002, dengan kini seluruh televisi swasta nasional harus bersiaran secara berjaringan, itupun terbatas dengan tidak menjangkau 100% wilayah Indonesia. Walaupun sempat mendapat penolakan dari kelompok seperti ATVSI,[3] akhirnya UU Penyiaran tersebut bisa disahkan pada tahun 2002 dan masih berlaku hingga saat ini.

Rincian[sunting | sunting sumber]

UU No. 32/2002 menjadi landasan sistem penyiaran berjaringan di Indonesia, termasuk televisi. Pasal 6 undang-undang tersebut menyebut bahwa dalam sistem penyiaran nasional terdapat lembaga penyiaran dan pola jaringan yang adil dan terpadu yang dikembangkan dengan membentuk stasiun jaringan dan stasiun lokal.

Lebih jauh lagi, pasal 31 menjelaskan bahwa lembaga penyiaran, baik radio maupun televisi, terdiri atas stasiun penyiaran jaringan (atau stasiun induk jaringan) dan/atau stasiun penyiaran lokal. Namun terdapat perbedaan cakupan antara Lembaga Penyiaran Publik (LPP) dan Lembaga Penyiaran Swasta (LPP): pada saat jangkauan LPP meliputi seluruh wilayah Indonesia, jangkauan LPS dibatasi. Stasiun lokal dapat didirikan di suatu lokasi dengan jangkauan siaran terbatas pada lokasi tersebut, serta mayoritas pemilikan modal awal dan pengelolaan stasiun diutamakan kepada masyarakat setempat. Ketentuan lebih lanjut diatur oleh Pemerintah bersama KPI, lembaga negara yang dibentuk dari UU ini.

Klausul SSJ yang ada dalam UU No. 32/2002 (dan aturan turunannya) menghapuskan apa yang disebut "stasiun televisi nasional" dan "stasiun televisi lokal".[3] Secara ideal/de jure, bisa dikatakan kini seluruh stasiun televisi yang ada di Indonesia adalah stasiun televisi lokal yang izinnya didapat di daerah masing-masing. Yang membedakan mereka adalah apakah stasiun televisi lokal itu menjadi anggota/induk sebuah jaringan televisi atau berdiri sendiri.[7] Jaringan televisi pun, dapat beroperasi secara nasional maupun regional (contohnya JTV dan BBS TV yang merupakan jaringan televisi yang melingkupi beberapa kota di Jawa Timur). Maka, tidak tepat jika kita menyebut, misalnya RCTI atau Indosiar sebagai "stasiun televisi nasional", melainkan "jaringan televisi nasional", yang siaran nasionalnya (dari induk jaringannya di Jakarta) direlai oleh televisi lokal anggota-anggota jaringan yang ada di berbagai daerah.

Isi siaran[sunting | sunting sumber]

Terdapat aturan yang dikenakan mengenai relai siaran kepada televisi swasta, baik yang berjaringan maupun tidak. Hal ini untuk menjaga siaran lokal suatu stasiun: agar suatu jaringan tidak menyiarkan seluruh acaranya atau suatu stasiun anggota jaringan tidak merelai siaran dari stasiun induknya sepanjang waktu.

Menurut pasal 17 ayat 2 dan 3 PP No. 50/2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta,[8] durasi relai siaran untuk acara tetap yang berasal dari lembaga penyiaran dalam negeri bagi lembaga penyiaran melalui sistem stasiun jaringan dibatasi paling banyak 90% dari seluruh waktu siaran per hari. Sedangkan untuk lembaga penyiaran televisi yang tidak berjaringan, durasi relai tersebut dibatasi paling banyak 20% dari seluruh waktu siaran per hari. Maksud "relai siaran untuk acara tetap" adalah relai yang dilakukan secara berkala dan berlangsung lebih dari sebulan. Dalam aturan turunan PP tersebut, juga ditegaskan bahwa persentase relai siaran induk jaringan akan diturunkan secara bertahap menjadi 50% berdasarkan perkembangan kemampuan daerah dan lembaga penyiaran swasta.[7]

Pelaksanaan televisi berjaringan[sunting | sunting sumber]

  • Program siaran anggota jaringan:
  1. Produksi program muatan lokal sekurang-kurangnya diselenggarakan dalam jumlah 10% dari total waktu siar;
  2. Pelaksana produksi program muatan lokal diutamakan mengambil sumber daya manusia dan potensi-potensi penyiaran dari daerah setempat dengan mempertimbangkan profesionalisme;
  3. Program muatan lokal adalah isi siaran yang memuat hal-hal yang bersumber dari daerah dalam bidang sosial, politik, ekonomi dan budaya;
  4. Durasi siaran lokal dapat ditingkatkan dari tahun ke tahun menjadi maksimal 30% disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan.
  • Teknik operasional anggota jaringan:
  1. memiliki studio siaran dengan segala kelengkapannya;
  2. memiliki ruang pengendali siaran (master control room atau MCR) dengan segala kelengkapannya;
  3. memiliki peralatan-peralatan transmisi, pengiriman gambar melalui satelit, serat optik dan atau microwave, maupun jenis-jenis peralatan lainnya yang berfungsi untuk menyebarluaskan tayangan program televisi;
  4. peralatan-peralatan pasca-produksi yang memenuhi standar-standar penyiaran peralatan-peralatan kamera beserta kelengkapannya gedung kantor dan peralatan kantor yang menjadi pusat operasional
  • Administratif anggota jaringan:
  1. Anggota jaringan berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas yang terpisah dari induk jaringan.
  2. Mengikuti proses perizinan sebagaimana ditetapkan oleh UU No. 32/2002 tentang Penyiaran dan peraturan perundangan yang berlaku.
  • Ketentuan-ketentuan lain penyelenggaraan sistem televisi berjaringan:
  1. Bagi stasiun televisi yang telah memiliki stasiun relai di berbagai daerah wajib mendirikan induk jaringan atau anggota jaringan.
  2. Jumlah induk jaringan atau anggota jaringan sebagaimana dimaksud dalam ayat di atas didirikan sesuai dengan persentase dari jumlah stasiun relai yang dimiliki di ibu kota provinsi dengan mengacu pada ketentuan sebagai berikut: Tahun pertama berjumlah sekurang-kurangnya 50% dari jumlah provinsi yang terdapat stasiun relai, tahun kedua berjumlah sekurang-kurangnya 75% dari jumlah provinsi yang terdapat stasiun relai, tahun ketiga berjumlah 100% dari jumlah provinsi yang terdapat stasiun relai
  3. Persentase sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 huruf (a) dan (b) UU No. 32/2002, sebanyak-banyaknya 50% di Pulau Jawa.
  4. Pendirian induk jaringan atau anggota jaringan sebagaimana disebut dalam ayat 2 wajib dilakukan di lokasi stasiun relai yang sudah ada.
  5. Pendirian sistem stasiun berjaringan sebagaimana diatur dalam pasal 6 wajib memberikan kesempatan kepada mitra lokal untuk terlibat dalam kepemilikan saham sekurang-kurangnya sebesar 51% pada tahun 2010. Mitra lokal juga harus diberikan keutamaan dalam kepemilikan stasiun lokal.[3]
  6. Pelaksanaan pemberian kesempatan kepemilikan kepada mitra lokal sebagaimana dimaksud dalam ayat di atas dilaksanakan dengan mengacu pada ketentuan tahapan sebagai berikut:
    1. Tahun kedua sekurang-kurangnya mitra lokal dapat memiliki 20% kepemilikan saham terhadap stasiun induk jaringan.
    2. Tahun ketiga sekurang-kurangnya mitra lokal dapat memiliki 40% kepemilikan saham terhadap stasiun induk jaringan.
    3. Sekurang-kurangnya mitra lokal dapat memiliki 51% kepemilikan saham terhadap stasiun induk jaringan.
  • Pasal 32 PP No. 50/2005: Pada jaringan-jaringannya (atau mitra lokal) di berbagai daerah, kepemilikan induk jaringan (atau televisi nasional di Jakarta) dibatasi:[8]
  1. satu badan hukum paling banyak memiliki 2 IPP (Izin Penyelenggaraan Penyiaran) Televisi di dua provinsi berbeda;
  2. stasiun televisi (pusat/induk jaringan) secara progresif kepemilikannya dikurangi di stasiun televisi jaringannya di daerah-daerah: pada jaringan pertama 100%, kedua 49%, ketiga 20%, dan keempat-seterusnya 5%. Dalam pasal 68 PP yang sama, pelepasan kepemilikan untuk jaringan ketiga, keempat, kelima dan seterusnya dilakukan secara bertahap (tahun ke-4 hingga ke-6) setelah PP ini disahkan; lalu dalam pasal 69, pelepasan untuk jaringan kedua sudah harus dilakukan pada 28 Desember 2006. Perubahan dari stasiun relai ke badan hukum televisi lokal di daerah-daerah selambat-lambatnya dilakukan pada 28 Desember 2007 (kecuali jika ada alasan tertentu).
  • Pasal 34 PP No. 50/2005: Anggota jaringan hanya boleh menginduk pada satu induk jaringan saja.[8]
  • Pasal 36 PP No. 50/2005: Jangkauan siar sebuah jaringan televisi nasional dibatasi:[8]
  1. sebanyak 75% dari provinsi di Indonesia (dalam pengesahan saat itu, ada 33).
  2. sebanyak 80% dari provinsi tersebut, 80%-nya ada di daerah ekonomi maju dan sisanya di daerah ekonomi kurang maju (akan ditentukan oleh menteri).
  3. tidak boleh ada stasiun transmisi di Daerah Istimewa Yogyakarta dan DKI Jakarta.
  • Pasal 5 Permenkominfo No. 43/2009: Stasiun induk merupakan stasiun TV yang bertindak sebagai koordinator yang siarannya direlai oleh stasiun anggota dalam sistem stasiun jaringan, sedangkan stasiun anggota adalah stasiun TV tergabung dalam suatu sistem stasiun jaringan yang melakukan relai siaran pada waktu-waktu tertentu dari stasiun induk.[7]
  • Pasal 6 Permenkominfo No. 43/2009: Stasiun TV yang menjadi induk jaringan berada di ibukota provinsi, sedangkan anggota jaringan berkedudukan di ibukota provinsi, kabupaten atau kota.[7]
  • Pasal 7 Permenkominfo No. 43/2009: TV swasta yang bekerjasama dalam membentuk siaran berjaringan melakukan perjanjian kerja yang memuat hal berupa:
  1. penetapan stasiun induk dan stasiun anggota;
  2. program siaran yang akan direlai;
  3. persentase durasi relai siaran dari seluruh waktu siaran per hari;
  4. persentase durasi siaran lokal dari seluruh waktu siaran per hari;
  5. penentuan lokasi waktu siaran lokal.[7]
  • Pasal 24-25 Permenkominfo No. 6/2021: Pelaksanaan sistem siaran berjaringan harus seizin menteri, diajukan oleh induk SSJ yang melampirkan perjanjian kerjasama induk dan anggota jaringan dan daftar anggota jaringan. Evaluasi dilakukan selama 10 hari dan jika ada perubahan setelah SSJ berjalan, maka harus melaporkan kepada menteri.[9]

Manfaat[sunting | sunting sumber]

  1. Sistem stasiun berjaringan ini memiliki manfaat untuk menciptakan sistem penyiaran yang berkeadilan dan berpihak pada publik. Karena selama ini dominasi isi siaran televisi dipegang oleh para televisi yang berlokasi di Jakarta. Bahkan isi siarannya sudah sampai pada level menghegemoni.
  2. Sistem berjaringan mampu mengakomodasi isi siaran lokal sehingga dapat menjadi pengerem terhadap isi siaran yang memiliki bias kultur, nilai, dan cara pandang orang yang tinggal di Jakarta. Dengan begitu ada terdapat ruang bagi masyarakat daerah untuk mengekspresikan hasrat, kepentingan, kultur, nilai, dan cara pandang orang daerah di ruang publik yang bernama penyiaran. Sehingga tercipta penyiaran yang berkeadilan mendudukan kepentingan daerah dan kepentingan Jakarta pada posisi yang setara dan sejajar.
  3. Dengan diberlakukannya sistem ini maka porsi iklan yang jumlahnya triliunan rupiah yang selama ini hanya dinikmati TV yang ada di Jakarta akan terditribusi ke televisi-televisi lokal yang ada di daerah. Dengan begitu, pemerataan ekonomi di bidang penyiaran akan terjadi.[10]
  4. Pemerataan kesempatan bagi investor lokal di daerah untuk dapat berpartisipasi dalam bidang pertelevisian.

Istilah yang berkaitan[sunting | sunting sumber]

  1. Stasiun Televisi Lokal adalah stasiun penyiaran yang memiliki studio siaran yang berada di lokasi tertentu, dengan wilayah jangkauan siaran tertentu.
  2. Stasiun relai adalah stasiun penyiaran dengan tugas memancarkan siaran dari suatu stasiun penyiaran.yang tidak memiliki studio siaran di wilayah tertentu.
  3. Induk Jaringan adalah stasiun televisi yang berfungsi sebagai koordinator jaringan yang terletak di ibu kota provinsi, kabupaten atau kota.
  4. Anggota jaringan adalah stasiun televisi yang terletak di ibu kota provinsi, kabupaten atau kota bekerjasama dengan satu induk jaringan.

Implementasi[sunting | sunting sumber]

Perkembangan[sunting | sunting sumber]

Berdasarkan interpretasi pasal 60 ayat 2 UU No. 32/2002[11] (yang berlaku mulai Desember 2002), stasiun televisi yang sudah ada sebelum UU ini harus menyesuaikan dengan ketentuan UU (semisal bila ingin berjaringan harus bermitra dengan stasiun televisi lain); dengan tenggat waktu penyesuaian hingga akhir tahun 2005. Stasiun televisi yang sudah memiliki stasiun relai di satu daerah dan setelah berakhirnya masa penyesuaian bisa menggunakan stasiun relainya sampai berdirinya stasiun lokal berjaringan di daerah tersebut, dengan tenggat hingga akhir tahun 2006.

Namun, implementasi desentralisasi penyiaran yang diharapkan di Indonesia, nyatanya di lapangan susah diwujudkan. Ini tidak lain karena berbagai faktor, seperti tekanan industri penyiaran (atau asosiasi TV nasional) akan penerapan sistem ini, adanya gugatan-gugatan, ketidaksiapan televisi lokal, dan kemauan politik pemerintah.[12] Mantan anggota Komisi Penyiaran Indonesia, Ade Armando mencatat, pukulan pertama pada proses ini dimulai pada Juli 2004, ketika Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusannya atas gugatan yang dilakukan oleh sejumlah pihak seperti ATVSI, IJTI, PRSSNI, dan beberapa organisasi lainnya. Dalam putusan itu, MK mencoret klausul yang menyebutkan pengaturan regulasi harus dilakukan oleh KPI bersama pemerintah (seperti pasal 31 ayat 4 UU No. 32/2002: "Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sistem stasiun jaringan disusun oleh KPI bersama Pemerintah") menjadi hanya oleh pemerintah saja.[3]

Walaupun ada harapan bahwa pemerintah tetap akan mendukung proses demokratisasi penyiaran, nyatanya pemerintah kemudian "lebih akrab" dengan industri penyiaran televisi dengan mengeluarkan PP No. 50/2005 tentang Lembaga Penyiaran Swasta. Meskipun tampaknya PP ini membatasi langkah televisi swasta dalam proses televisi berjaringan dengan pembatasan kepemilikan bagi mitra lokal/jaringannya di daerah (seperti di atas), nyatanya aturan turunan yang sama juga mengatur bahwa jika stasiun televisi (nasional) yang sudah ada sudah memiliki stasiun transmisi di daerah, maka kebijakan pembatasan kepemilikan itu tidak berlaku, dengan kini boleh pada jaringan kedua, ketiga dan seterusnya sebesar 90%; sedangkan untuk daerah terpencil/perbatasan, kepemilikannya boleh 100%.[3]

Prinsip tersebut memberi keleluasaan bagi televisi berjaringan demi mempertahankan kendalinya atas jaringan-jaringannya dengan alasan yang sudah disebutkan. Ini masih belum ditambah klausul lainnya dalam PP yang sama (pasal 36), yang meskipun tampak restriktif (membatasi bahwa jaringan televisi nasional hanya bisa dinikmati di 75% wilayah Indonesia), namun juga memberi keleluasaan bisa dinaikkan menjadi 90% jika stasiun transmisinya sudah "keburu" dibangun di lebih dari 75% wilayah Indonesia. Pasal lainnya muncul dengan niat serupa: bahwa perizinan televisi kini ditangani dominan oleh pemerintah, dan KPI hanya sebagai "perantara" antara stasiun televisi dan Menkominfo (pasal 4); dan televisi swasta nasional bisa hanya "menyesuaikan izinnya" ke menteri Kominfo, bukan mengajukan izin baru.[3]

Keleluasaan lagi-lagi diberikan oleh pemerintah, dengan memberikan perpanjangan tenggat waktu transisi dari stasiun transmisi/relai ke televisi lokal di daerah (artinya perubahan dari "televisi swasta nasional" ke "jaringan televisi nasional") dari 2007 ke Desember 2009, setelah mendengar alasan dari ATVSI. Kemacetan niat sistem berjaringan diperparah dengan penerbitan Permenkominfo No. 32/2007 dan Permenkominfo No. 43/2009. Walaupun kedua aturan tersebut mewajibkan pelepasan saham stasiun jaringannya ke pemegang saham lokal serta pemberlakuan sistem siaran jaringan maksimal 28 Desember 2009 dan meminta adanya siaran lokal terus naik dari 10% menjadi 50%, namun masih memberi keleluasaan bagi pemilik stasiun televisi besar untuk mempertahankan kepemilikan mutlak atas stasiun jaringannya (hasil transisi dari stasiun relai) jika "di daerah tidak memiliki modal yang cukup atau alasan khusus".[3] Pada akhirnya, diversifikasi kepemilikan yang diharapkan dalam sistem jaringan, sampai saat ini relatif hanya angan-angan semata, karena aturan UU Penyiaran masih memberi peluang bagi pemain besar mempertahankan kepemilikan dan sentralisasi siarannya dengan alasan yang sudah disebutkan. Yang berubah hanyalah bentuk frekuensi yang dimiliki stasiun televisi Jakarta: dari awalnya dikelola oleh stasiun relai, kini menjadi stasiun jaringan yang pemiliknya tetap pihak yang sama.[3]

Salah satu contoh dari kemacetan penetapan klausul berjaringan tersebut adalah, dalam beberapa laporan keuangan induk sejumlah stasiun televisi (seperti Media Nusantara Citra dan Surya Citra Media), perusahaan jaringannya di daerah-daerah disebutkan "belum melakukan aktivitas (usaha)/beroperasi secara komersial".[13][14] Hal yang sama akhirnya juga diterapkan oleh jaringan televisi nasional yang terbentuk pasca UU Penyiaran (seperti iNews, NET., RTV dan Kompas TV). Mereka tidak menerapkan sistem dimana seharusnya TV nasional (atau Jakarta) bermitra dengan stasiun lokal (yang dimiliki terpisah), melainkan mengakuisisi kepemilikan stasiun televisi lokal di daerah-daerah[15] dan tetap menyiarkan siarannya yang didominasi dari pusat. Bahkan, ada juga yang "menyimpang", misalnya jaringan-jaringan NET. yang 100% kepemilikannya dipegang induk stasiun televisi ini, Net Visi Media lewat anak-anak usahanya yang dibentuk di daerah-daerah, bukannya oleh pemodal lokal.[16]

Ini belum termasuk definisi siaran lokal yang tidak jelas di peraturan-peraturan diatas, sehingga sangat leluasa diinterpretasikan televisi nasional (misalnya bisa siaran ulang beberapa kali asalkan bernuansa daerah), ditambah program dari stasiun lokal jaringan yang ada kebanyakan hanya 10% saja dari jam siar dan tidak bisa lebih dari itu.[3] Berdasarkan laporan KPI pada RDP dengan DPR awal Januari 2018, hanya 4 jaringan televisi nasional Jakarta yang memenuhi durasi minimal 10% jam tayang siaran lokal tiap harinya dari 14 televisi yang dievaluasi.[2] Kendali susunan program dan keorganisasian televisi lokal anggota jaringan juga dalam banyak kasus masih dikendalikan dari induk jaringan, tanpa input lokal yang memadai.[17] Meskipun banyak dipenuhi kecacatan (seperti masih dipenuhi sentralisasi yang kuat), saat ini nampak belum ada keinginan dari pemangku kebijakan untuk melaksanakan penuh penerapan SSJ yang ideal. Malahan, dalam rencana revisi UU Penyiaran, sebagian pihak menafsirkan niat dari pembuat kebijakan untuk menghilangkan atau mengaburkan klausul konsepsi siaran secara berjaringan.[2][18]

Penerapan selama ini[sunting | sunting sumber]

Secara dasar, implementasi sistem siaran berjaringan di Indonesia di televisi swasta dapat dikatakan tidak sempurna, yang tampak dari struktur kepemilikannya dan siaran lokalnya. Beberapa karakteristik penerapannya yang umum, meliputi:

  • Izin yang diberikan untuk induk jaringan dan anggota jaringan tidak sama (seperti RCTI Pusat Jakarta IPP-nya dikeluarkan pada 13 Oktober 2016 bernomor 1813/2016, sedangkan anggotanya contohnya RCTI Network Sumatera Selatan/PT RCTI Lima IPP-nya dikeluarkan pada 3 November 2011 bernomor 561/KEP/M.KOMINFO/11/2011) yang dikeluarkan oleh KPI Daerah masing-masing.[19]
  • Kepemilikan anggota jaringan umumnya dimiliki mutlak (90%) oleh induk jaringan atau perusahaan lainnya yang terafiliasi. Model kepemilikan pertama misalnya tampak pada kepemilikan jaringan-jaringan SCTV,[13] sedangkan model kedua tampak pada kepemilikan jaringan-jaringan NET.[16] Sedangkan 10%-nya bisa dimiliki oleh pemegang saham lokal, atau mungkin bahkan dikelola juga oleh perusahaan afiliasi jaringan televisi tersebut.[16][20] Akibat dari hal tersebut, harapan diversity of ownership, diversity of content dan pemerataan ekonomi yang digadang-gadang UU Penyiaran sulit terlaksana.[2]
  • Siaran lokal umumnya sangat minim (maksimal 10% dari waktu siaran, jika waktu siaran 24 jam maka siaran lokalnya hanya 2,4 jam bahkan bisa lebih singkat) dan ditayangkan di waktu non-prime time (biasanya dini hari atau pagi).[21] Program lokal yang umum biasanya berupa berita lokal, ataupun program-program lama bernuansa daerah yang ditayangkan berulang-ulang (re-run).[22] Kru yang membuatnya pun bukan dari sumber daya lokal, melainkan dari induk jaringan yang ditugaskan di daerah.[2] KPI (Daerah) sebenarnya sudah beberapa kali melakukan teguran dan bahkan mengeluarkan aturan bahwa siaran lokal harus bisa ditingkatkan sebesar 50% dari jam siar,[23] ​namun tampaknya karena KPI tidak memiliki kewenangan besar (terutama dalam izin penyiaran dibanding pemerintah) maka kebijakan ini lebih dianggap "angin lalu".
  • Identitas jaringan umumnya seragam dengan identitas induk jaringan, seperti dalam logo yang hanya dimodifikasi sedikit (ditambah tulisan daerah). Logo jaringan juga umumnya tidak ditampilkan dalam siaran televisi, kecuali saat siaran lokal.
  • Beberapa jaringan televisi di daerah, umumnya tidak memiliki sumber daya manusia yang memadai, studio yang memadai, dengan hanya membangun pemancar saja.[24]

Umumnya, jaringan televisi nasional "lama" (yang terbentuk sebelum UU Penyiaran No. 32/2002 dikeluarkan, seperti MNCTV, antv dan Indosiar serta sebelumnya dikenal sebagai stasiun televisi nasional) mengikuti prinsip yang ada dari PP No. 50/2005 dan aturan turunannya. Mereka melakukan konversi pada stasiun transmisi/relai di daerah-daerahnya, menjadi dikelola oleh sebuah badan hukum terpisah dari induknya di Jakarta. Satu perusahaan juga biasanya bisa memiliki dua izin siaran sekaligus di provinsi yang berbeda. Sebagai contoh, masing-masing untuk Jawa Barat dan Banten, RCTI bersiaran secara berjaringan di bawah PT RCTI Satu (dengan nama udara RCTI Network Jawa Barat dan RCTI Network Banten),[25] sedangkan SCTV bersiaran secara berjaringan di dua provinsi yang sama di bawah PT Surya Citra Mediatama (dengan nama udara SCTV Bandung dan SCTV Serang). Pola penamaan perusahaan ini ini umumnya serupa di semua eks-stasiun televisi nasional (nama televisi + daerah).[19] Pada beberapa jaringan juga, umumnya perusahaan-perusahaan jaringannya di daerah-daerah juga memancarkan siaran lokalnya dan mengelola transmisi di provinsi yang sama. Misalnya kembali ke PT RCTI Satu/RCTI Network Jawa Barat, siaran lokalnya ditransmisikan juga di beberapa kota di Jawa Barat.

Kemudian, pada jaringan televisi nasional baru (seperti NET. dan iNews), umumnya mereka membentuk jaringannya hasil akuisisi dari stasiun televisi lokal yang ada di berbagai daerah, atau membentuk anak usaha/jaringan baru. iNews misalnya merupakan "penyatuan" dari berbagai stasiun televisi lokal seperti KCTV Pontianak, Deli TV Medan, SUN TV Makassar, dan lainnya. Biasanya, anggota jaringan dari televisi nasional baru awalnya bersiaran dengan nama lokal, namun kemudian identitasnya disatukan. Siaran dari jaringan-jaringannya di daerah pun tidak bisa melingkupi satu provinsi, terbatas pada satu kota saja. Misalnya kembali ke iNews, di Sumatera Barat, ada tiga jaringannya yang terpisah: iNews Tanah Datar (PT Semesta Bumi Televisi) dengan cakupan siar Batusangkar; iNews Payakumbuh (d/h Pass TV, PT Pass Televisi) dengan cakupan siar Payakumbuh; dan iNews Padang (d/h Minang TV, PT Minang Media Televisi Sumbar) dengan cakupan siar Kota Padang.[19]

Meskipun demikian, ada juga tipe televisi berjaringan lain yang berada di luar pola diatas. Jaringan Jawa Pos Multimedia/JPM dan Indonesia Network misalnya, bisa kita katakan walaupun nampaknya kurang sesuai dengan pembatasan kepemilikan televisi (dipegang satu induk), namun masih mempertahankan identitas lokal yang cukup kuat di samping identitas nasional (hal ini dapat dilihat dengan jelas seperti pada kasus JPM. JPM memiliki siaran nasional seperti program berita Nusantara Kini, namun masih juga memiliki porsi acara lokal yang besar pada anggota jaringannya).[15] Tipe lainnya adalah sebagai content provider, dimana jaringan dibangun dengan adanya acara bersama yang disuplai induk/direlai sejumlah anggota jaringan tanpa adanya kesamaan pengendalian/kepemilikan. Biasanya, metode ini dipilih karena induk jaringan tidak memiliki izin IPP. Metode ini pernah ditempuh seperti oleh Tempo TV,[26] Kompas TV (saat awal kemunculannya),[27] dan QTV.

Perubahan dalam UU Cipta Kerja[sunting | sunting sumber]

Undang-Undang No. 11/2020 tentang Cipta Kerja bersama aturan turunannya (PP No. 46/2021 dan Permenkominfo No. 6/2021), mengubah sejumlah pasal dalam UU No. 32/2002 dan PP No. 50/2005 dalam siaran berjaringan. Secara umum, perubahan dalam UU Ciptaker dan aturan turunannya dalam penerapan SSJ meliputi:[9][28]

  • Pasal 33 UU No. 32/2002 secara dasar dirombak dengan menghilangkan pasal-pasal peran KPI (termasuk KPI Daerah) dalam proses pengajuan izin penyiaran (IPP). Penerbitan izin sepenuhnya berada di tangan menteri (Kemenkominfo) dan dari pemerintah pusat. Namun, uniknya dalam aturan turunan UU Ciptaker (PP No. 46/2021), justru tidak menghilangkan pasal-pasal di PP No. 50/2005 yang menyebutkan peran KPI dalam perizinan penyiaran. Aturan turunannya juga menambah hal lain dalam proses izin penyiaran, dengan adanya "Perizinan Berusaha" dan "Uji Laik Operasi".
  • UU Ciptaker dan aturan turunannya (seperti pasal 72(7) PP No. 46/2021) menyatakan bahwa Lembaga Penyiaran Swasta diperbolehkan untuk bersiaran di seluruh wilayah Indonesia, menyimpang dari Pasal 31 UU No. 32/2002 yang tidak direvisi (Lembaga Penyiaran Swasta dapat menyelenggarakan siaran melalui sistem stasiun jaringan dengan jangkauan wilayah terbatas). PP No. 46/2021 menghapus pasal 35 dan 36 PP No. 50/2005 yang menetapkan batasan dalam operasional televisi swasta, seperti batas 75% provinsi di Indonesia dan 80% wilayah ekonomi maju. Khususnya dalam televisi digital, siaran nasional diizinkan untuk "Layanan Program Siaran" (maksudnya saluran dalam siaran digital) sedangkan siaran lokal diberikan baik kepada "Layanan Program Siaran" dan Penyelenggara Multipleksing. Meskipun demikian, klausul tentang 10% siaran lokal dan kewajiban perusahaan di daerah-daerah masih ada dalam Permenkominfo No. 6/2021, dan dalam aturan turunan UU Ciptaker masih mewajibkan sistem siaran berjaringan jika stasiun televisi ingin bersiaran secara nasional.

Lihat juga[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b Siaran Pers No. 232/PIH/KOMINFO/12/2009 Pelaksanaan Stasiun Televisi Berjaringan Sejak Tanggal 28 Desember 2009
  2. ^ a b c d e SIstem Stasiun Jaringan
  3. ^ a b c d e f g h i j k l Armando, Ade (2011). Televisi Jakarta di Atas Indonesia: Kisah Kegagalan Sistem Televisi Berjaringan di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Bentang.
  4. ^ Ekonomi Politik Media Penyiaran
  5. ^ Dasar Pembentukan
  6. ^ UU No. 24/1997
  7. ^ a b c d e Permenkominfo No. 43/2009
  8. ^ a b c d "Salinan arsip" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2012-11-13. Diakses tanggal 2009-10-13. 
  9. ^ a b Permenkominfo 6/2021
  10. ^ Al-Faqih, M. Z. "Menyoal TV Berjaringan". newspaper.pikiran-rakyat.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-05-07. [pranala nonaktif permanen]
  11. ^ UU No. 32/2002
  12. ^ Ade Armando: Pelaksanaan Televisi Berjaringan Membutuhkan Kemauan Politik Pemerintah
  13. ^ a b Lapkeu Q3 SCM 2021
  14. ^ Lapkeu Q3 MNC 2021
  15. ^ a b Jawapostv Siapkan Dua Amunisi Baru
  16. ^ a b c "STRUKTUR HUBUNGAN KEPEMILIKAN,..." Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-19. Diakses tanggal 2021-12-05. 
  17. ^ PELAKSANAAN REGULASI SISTEM STASIUN JARINGAN KOMPAS TV DEWATA
  18. ^ Memahami Jiwa Penyiaran dalam UU NO.32 Tahun 2002
  19. ^ a b c DAFTAR IZIN PENYELENGG÷ARAAN PENYIARAN LEMBAGA PENYIARAN TELEVISI YANG SUDAH DITERBITKAN OLEH MENTERI KOMINFO SAMPAI DENGAN NOVEMBER 2017
  20. ^ IMPLEMENTASI REGULASI SISTEM STASIUN JARINGAN (ANALISIS EKONOMI POLITIK MEDIA PADA RCTI NETWORK BANTEN)
  21. ^ Televisi Jaringan Diingatkan Wajib Siaran Lokal
  22. ^ ASA MEWUJUDKAN KONTEN LOKAL 10%
  23. ^ Televisi SSJ Langgar Ketentuan Siaran Muatan Lokal 10%
  24. ^ KPID Maluku merekomendasikan cabut izin tiga lembaga penyiaran swasta
  25. ^ RCTI Targetkan Siaran Lokal 10 Persen
  26. ^ TEMPO TV Kini Disiarkan 27 TV Lokal
  27. ^ Kompas TV: Kami Content Provider, Tidak Perlu Izin Siaran
  28. ^ PP 46/2021

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

  1. (Indonesia) Menyoal TV Berjaringan di newspaper.pikiran-rakyat.com oleh M. Z. Al-Faqih Diarsipkan 2016-05-07 di Wayback Machine.
  2. (Indonesia) Pemerintah Didesak Implementasikan TV Berjaringan di antara.co.id[pranala nonaktif permanen]
  3. (Indonesia) Menkominfo Ingatkan Pengelola TV Soal TV Berjaringan di waspada.co.id[pranala nonaktif permanen]
  4. (Indonesia) Simpang Siur Pemahaman Televisi Berjaringan di televisiana.net Diarsipkan 2008-12-21 di Wayback Machine.
  5. (Indonesia) [1] Diarsipkan 2016-04-27 di Wayback Machine.