Pembicaraan:Tegaldowo, Gunem, Rembang

Konten halaman tidak didukung dalam bahasa lain.
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

pindahan dari artikel, tidak layak dimuat:

Kali ini merupakan tulisan ringan untuk mengenal karakter masyarakat Tegaldowo, Gunem Rembang. Tulisan ini merupakan buah dari pengamatan penulis sejak tahun akhir 2013 hingga awal tahun 2014. Kritik pedas dan koreksi selalu penulis nantikan, dalam upaya membangun narasi apik tentang sebuah karakter sosial masyarakat Tegaldowo. Selamat membaca.

Tegaldowo secara administrasi terbagi dalam tujuh padukuhan. Enam dukuh tersebut diantaranya adalah dukuh Tegaldowo, Nglencong, Ngelo, Ngablak, Dukoh, dan dukuh Karanganyar. Berdasarkan temuan di lapangan, nama Tegaldowo dan 5 dukuh yang ada, memiliki asal usul yang saling terkait satu sama yang lain. Antar dukuhnya saling membangun unit-unit naratif yang didalamnya terdapat rangkaian cerita runtut dengan episode yang menarik. Dari asal usul inilah, ditemukan corak kehidupan sosial yang khas dari tiap-tiap dukuh yang ada. Dan dari setiap keunikan kehidupan tia-tiap dukuh yang ada inilah telah menjadi penopang dari corak kehidupan masyarakatnya.

Tegaldowo merupakan nama desa yang dibangun dari konstruksi ekologi dan tindakan seseorang yang memiliki pengaruh kuat dalam perkembangan desa. Asal usul nama Tegaldowo dapat diperoleh melalui cerita lisan yang didalamnya menghadirkan tokoh suci, atau yang sering disebut dengan istilah mite.

Lha deso Tegaldowo kuwi mbiyen asale ono wong mati, wong banget duwure dikubur dowo. Tegalan dienggo ngubur wong, terus dijenengno Tegaldowo. (Desa Tegaldowo itu dulu asalnya ada orang mati, orang yang sangat tinggi dikubur panjang. Tegalan dipakai mengubur orang tersebut, kemudian daerah tersebut dinamakan Tegaldowo). Sumber: Wawancara dengan Tokoh Masyarakat Tegaldowo, tanggal 03 April 2014.

Menurut masyarakat setempat, Ronggodito merupakan orang yang bersemayam di “makam panjang”. Tokoh sosial ini diyakini berperan penting dalam memproduksi gagasan awal tentang keyakinan keagamaan yang berkembang di desa ini. Gagasan keyakinan awal tersebut juga telah menjadi pintu awal dalam membangun konstruksi religi masyarakat setempat. Hal ini dapat dilihat setiap malam Jum’at, di ““makam panjang”” inilah selalu dikunjungi para pengunjung.

Sumerep kulo nggih niku, riyin wonten tiyang sing manggon mriku, tiyang sing banget duwure, lha niku sedo teng mriku niku, di kubur luwih dowo terus di sebut deso Tegaldowo. Pejahe wong disik niku ngoten. Niki dedongengan, mboten sejarah. Sejarah nikukan masuk buku. Yen namine niku, nggih mboten reti. Sing nyukani nami Ronggodito niku nggih Kyai Purwo pas banggun niku. Lha kyai ne sing ngarani niku, kulo nggih mboten ngertos namine. Sing jelas kyaine saking Purwo. (Setahu saya ya itu, dulu ada orang yang bertempat tinggal disana, orang yang sangat tinggi badannya, meninggal disana, dikubur lebih panjang lalu dinamai desa Tegaldowo. Matinya orang dulu itu ya begitu. Ini dongeng bukan sejarah. Sejarah itu kan masuk buku. Yang memberi nama mbah Ronggodito itu ya Kyai Purwo ketika membangun itu [renovasi bangunan makam]. Kyai yang memberi nama itu [Ronggodito] saya ya tidak tahu. Yang jelas, Kyai itu berasal dari daerah Purwo [Purwo adalah daerah perbatasan antara kabupaten Rembang dengan kabupaten Blora]). Sumber: Wawancara dengan Tokoh Masyarakat Tegaldowo, tanggal 09 April 2014.

Reproduksi kaidah-kaidah sosial keagamaan di Tegaldowo tampaknya dimainkan oleh satu tokoh saja. Tokoh sosial berikutnya berdatangan dengan etika penghormatan yang mapan dengan bertindak mensosialisasikan keberadaan simbol sakral terdahulu. Kyai Purwo merupakan tokoh lanjutan pascatokoh Ronggodito.

Jane ora semono. Kuburan kuwi wis diingkret karo Kyai Purwo (Pada saat itu, seharusnya tidak segitu [panjang kuburannya], [panjang] kuburan itu sudah dikurangi [ukurannya] oleh Kyai Purwo). Sumber: Wawancara dengan Tokoh Masyarakat Tegaldowo, tanggal 03 April 2014.

Keterbatasan informasi yang akurat tentang siapa itu Ronggodito, Kyai Purwo membatasi perilakunya dengan cara melakukan perubahan ukuran makam saja, bukan mereproduksi gagasan yang dibangun oleh tokoh pendahulunya. Mengurangi ukuran makam merupakan perilaku simbolik yang memiliki makna bahwa tokoh lanjutan merupakan generasi penerus dari simbol yang disakralkan. Mengurangi ukuran makam juga berfungsi penegas tentang status sosial Kyai Purwo yang seakan sejajar dengan Ronggodito. Sebuah strategi perebutan kelas kesalehan yang terkesan lembut telah dilakukan di atas “makam panjang”.

Semua tokoh yang berinteraksi dengan simbol sakral di desa Tegaldowo sarat dengan legalisasi akan kepemilikan kekuatan supranatural. Beberapa pengunjung mengaku, setiap akan punya hajat, selalu menyempatkan diri ke “makam panjang”. Mereka meyakini, Ronggodito dapat dijadikan media penerus doa kepada Tuhan. Mereka yang terkabul hajatnya, segera membawa makanan untuk disajikan di depan “makam panjang” yang kemudian dinikamti bersama-sama dengan para pengunjung makam lainnya.

Masyarakat Tegaldowo selalu berziarah di makam Ronggodito. Ziarah dilakukan setiap malam Jumat. Masyarakat yang datang dimakam bertujuan mendo’akan tokoh desa yang sudah meninggal. Ronggodito sering kali digunakan tempat bertemunya masyarakat pada malam hari karena pada siang hari mereka sibuk diladang masing-masing. Memanjatkan do’a-doa di depan kuburan tokoh desa, agar mendapatkan kekuatan dan keselamatan seperti yang telah didapatkan oleh sang tokoh yang telah bersemanyam di “makam panjang”. Perihal fungsi ziarah, memang tradisi ziarah kubur telah berfungsi meningkatkan solidaritas dan menguatkan nilai-nilai pada masyarakat pengikut tradisi berdoa di makan yang di ziarahi.

Perihal konstruksi kesakralan tentang tokoh lokal, setiap tokoh sosial biasanya cenderung mendapatkan muatan legalitas akan kekuatan supranatural. Konstruksi sosial tentang simbol sakral inilah yang telah menajamkan bahwa “makam panjang” menjadi barometer kesalehan sosial dalam tingkat lokal. Namun tidak semua simbol sakral di desa Tegaldowo mendominasi asal-usul penamaan daerah-daerah kecil sebagai turunan dari daerah besarnya.

Miturut critane wong sing disik golek deso iku ora entuk, mulai ko kono ngantos ko kene. Kene niki jarene wong golek deso terus kele-kele wis kebongcong, terus dijenakno Nglencong. Terus wong kuwi mlaku maneh. Terus klitah-kliteh nganti awan, terus dijenakno Dowan. Ciritane wong disik. Iki dongeng lho. Ora sejarah. (Menurut cerita orang yang dulu mencari desa itu tidak boleh, mulai dari sana sampai sini. Sini itu katanya orang nyari desa terus, kebingunan tingkat tinggi hingga tidak menemukan jalan keluar, lalu daerah ini dinamakan Nglencong. Lalu orang itu mencari lagi. Lalu mencari lokasi yang pantas hingga siang hari, lalu dinamai Dowan. Ceritanya orang dulu. Ini adalah dongeng, bukan sejarah). Sumber: Wawancara dengan Tokoh Masyarakat Tegaldowo, tanggal 09 April 2014.

Beberapa deskripsi tentang nama dukuh yang ada di Tegaldowo memiliki hubungan erat dengan sejarah hidup tokoh desa. Hal ini dapat dilihat pada deskripsi tentang asal-usul dukuh Dowan, Nglencong, Timbrangan, Ngelu, Ngablak, Dukoh, dan dukuh Karanganyar berikut ini.

Asal usul dukuh Nglencong dan dukuh Dowan cenderung mendeskripsikan tentang etos hero seseorang di pegunungan kapur yang saat itu tidak diketahui memiliki daya tarik ekonomi yang menjanjikan. Pemukiman Jawa yang berlatar pegunungan kapur ini, bukit-bukit kapur yang pada umumnya rata, dengan ketinggian yang sedang-sedang saja.

Setiap komunitas tertentu yang memiliki potensi economic capital berkecenderungan perkembangan sosialnya linier. Kepastian infrastruktur sosial, juga mendorong orang tidak betah bertempat tinggal. Namun ketika ditemukannya pemukiman dengan fungsi pemukiman dan lahan pangan yang tidak begitu menjanjikan, di dukuh Tegaldowo semakin rapat dengan pemukiman

Terus ngalor maneh, kuwi jarene ono wong mati sing dik picis, terus dijenakno deso picis. Lha terus deso timbrangan kuwi bareng karo deso kene. Jan-jane ora timbrangan, tetapi timbangan. Wong asale kuwi dadi timbangane deso kene. (lalu ke utara lagi, katanya ada orang mati yang mirip dengan cara di salib, lalu dinamai desa Picis. Lalu, desa timbrangan itu bareng sama desa sini [Nglencong]. Sebenarnya bukan timbrangan, tetapi timbangan. Asalnya itu jadi pembanding desa [dukuh] sini [dukuh Ndowan]). Sumber: Wawancara dengan Tokoh Masyarakat Tegaldowo, tanggal 09 April 2014.

Desa Picis merupakan desa tetangga dari desa Tegaldowo. Desa Picis terletak di sebelah barat desa Tegaldowo. Desa Picis yang asal mula nama desa yang berdasar ritus kematian ini tampaknya tidak memiliki inter-relasi dengan situs “makam panjang”. Informasi hukum Picis di nusantara, hukum Picis membuat terhukum mengalami rasa pedih tak terkira sebelum mati. Cara eksekusi hukumannya pun dilakukan di tengah-tegah lapangan untuk dipertontonkan pada masyarakat sebagai bahan pelajaran agar anggota masyarakat tidak meniru kejahatan yang dilakukannya. Dalam informasi klasik, hukum Picis sendiri terilhami dari zaman Majapahit. Jenis hukumannya bervariasi, misalnya terhukum diikat di tonggak kayu atau pohon. Mereka yang di hukum picis, perlahan-lahan sekujur tubuhnya disayat-sayat dengan pisau atau belati, dan lukanya dioleskan cuka serta ditaburi garam.

Norma sosial sebagai pengendali perilaku buruk, tampak terlihat dari cerita asal usul desa Picis. Muatan makna dari cerita orang mati yang di picis berfungsi dalam membangun tatanan sosial pada masyarakat setempat. Terlepas dari benar dan salah informasi lisan di atas, latar ekologis masyarakat berbasis pertanian yang sarat dengan ketetanggaan ini, cenderung tidak memiliki keterkaitan dengan konteks ekologi kebudayaan setempat. Terlebih meninjau gagasan para ahli sosial, menegaskan bahwa masyarakat Jawa cenderung bersifat sinkretis, yaitu kaidah-kaidah sosial cenderung toleran, hidup berdampingan dengan mendapatkan tempat yang layak. Biasanya pada masyarakat yang beginian, tradisi selametan menjadi kental sebagai simbol ritus ekonomi dengan asas ketetanggaan yang semakin meneguhkan bahwa pengerjaan pertanian yang membutuhkan tenaga kolektif, telah memperkuat rasa kebersamaan. Jika memang benar terjadi peristiwa hukum picis, mungkin saja terdapat kasus luar biasa dan pelakunya dari outgroup setempat.

Dukuh yang ada di desa Tegaldowo selanjutnya adalah Trimbangan. Trimbangan dalam bahasa Jawa yang berarti pembanding dalam upaya meniadakan pertentangan.

“Sing mesti timbangan, ora timbrangan, tetapi gampange wong ngomong, yo dadi timbrangan. Iku perubahan wis”(yang pasti timbangan, bukan timbrangan, tetapi gampangnya orang ngomong, ya jadi timbrangan. Itu perubahan). Sumber: Wawancara dengan Tokoh Masyarakat Tegaldowo, tanggal 09 April 2014.

Koreksi tentang timbrangan yang sebenarnya adalah timbangan merupakan komunikasi kebudayaan tentang apa yang disebut tentang persoalan hubungan manusia dengan sesamanya dan persoalan hubungan manusia dengan alam. Arti kata timbangan dapat didekati dua perspektif, diantarnya ekonomi dan ekologi. Dalam konteks pembangunan ekonomi, timbangan diartikan sebagai adalah visi menuju equlitas ekonomi atau pemerataan kesejahteraan. Selanjutnya dalam konteks ekologis, timbangan dapat dimaknai sebagai etika lingkungan hidup yang arif yang diyakini para ahli memiliki kandungan makna kehidupan. Etika lingkungan yang demikian disebut ekologi berkelanjutan, yaitu pembangunan berkelanjutan yang menekankan pada kelestarian ekologis dalam politik pembangunan nasional. Melalui makna di balik dukuh Timbrangan, tatanan sosial masyarakat Tegaldowo pada dasarnya memiliki bangunan sosial seperti halnya masyarakat pada umumnya yaitu suatu visi pembangunan sosial masa mendatang yang penuh dengan muatan keadilan sosial, sebagaimana yang dijadikan dasar pada masyarakat global.

Perkembangan dukuh selanjutnya adalah dukuh Dukoh. Asal usul Dukoh, berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan perkembangan pemukiman di desa Tegaldowo. Pola pemukiman di desa Tegaldowo cenderung mendekati pada sumber daya ekonomi (econimic capital). Semakin tinggi kandungan ekonomi suatu daerah, maka semakin tinggi pula perkembangan pemukimannya. Pada umumnya penduduk masyarakat Tegaldowo cenderung membangun tempat tinggal dekat dengan tempat bekerjannya. Ekologi dukuh Dukoh yang memiliki infrastruktur irigasi alam dengan tingkat kesuburan tanah yang berada tepat di kaki gunungkapur, telah menjadi pemantik tumbuh kembangnya pemukiman ini.

Dukoh iku ngene. Kono kuwi yo asale tegalan terus di enggo medhok uwong terus tambah akeh tambang akeh, terus di jenakno deso Dukoh. Tegalan, ono wong omah-omah ning kono terus kesusul tonggo tetonggo terus dadi omah kerep terus dari dukuhan Dukoh. Yen wong ndisik, medok iku ngarani iku dukoh. Coro riyin, upomo sesasi mboten mantuk, kowe kok amen dukohan ae ning tegal. Wong-wong do nusul, tanggane akeh terus di jenakke deso Dukoh, ngono. ([Asal usul dukuh] Dukoh itu begini. Disana itu ya asalnya tegalan lalu dipakai medhok oran terus tambah banyak, terus dinamai desa Dukoh. Tegalan, ada orang yang tinggal disana lalu disusul tetangga-tetangga mendirikan rumah banyak kemudian [daerah itu] menjadi dukuh Dukoh. Kalau orang dulu, medok itu dinamai Dukoh. Kalau dulu misalnya satu bulan tidak pulang, kamu kok hanya dukuhan saja di tegal. Orang-orang menyusul, tetangganya banyak lalu dinamai desa Dukoh, begitu). Sumber: Wawancara dengan Tokoh Masyarakat Tegaldowo, tanggal 09 April 2014.

Dukuh selanjutnya adalah Ngablak. Menurut masyarakat setempat, dukuh Ngablak pada awal mulanya merupakan perdukuhan yang memiliki potensi pertanian yang menjanjikan. Areal sawahnya subur dengan topografi tanah yang landai. Penduduk yang tinggal di dukuh ini selalu berlimpah hasil padi saat musim hujan, dan berlimpah polowijo pascamusim padi. Namun dalam perkembangannya, perdukuhan ini mengalami gagal panen karena irigasi harus dibagi dengan perdukuhan lainnya. Pola hidup yang selalu berlimpah ini seakan tidak siap menghapadi bencana gagal panen. Yang terjadi kemudian adalah beberapa petani selalu protes dengan aturan pembagian irigasi yang merugikan. Protes selalu dilakukan hingga penduduk Tegaldowo memberi perdukuhan itu adalah Ngablak.

Desa yang menggunakan istilah Ngablak sebagai nama desanya dapat ditemui di beberapa wilayah. Beberapa desa tersebut adalah desa Ngablak di Kabupaten Magelang, desa Ngablak kabupaten Pati, dan desa Ngablak di kabupaten. Ngablak kerap kali diartikan membuka mulut atau berbicara. Pemukiman yang memiliki nama ngablak biasanya juga daerahnya sering terjadi perselisihan gagasan. Hal ini dapat dilihat dinamika sosial yang terjadi di desa Ngablak Kabupaten Pati yang kerapkali terjadi sengketa karena kasus penguasaan sumber daya alam dengan desa tetangga.

Berdasarkan deskripsi di atas, asal-usul dukuh Dowan, Nglencong, Timbrangan, dan Ngablak, dukuh Dukoh, relatif memiliki kesamaan yaitu terhubungkan dengan ekologi. Berbeda dengan dukuh Ngelo yang memiliki keunikan tersendiri. Istilah Ngelo didapat dari gaya berbicara yang seakan-akan bicara sambil makan. Masyarakat mengindentikkan, orang Ngelo itu seakan-akan mulutnya banyak makanannya pada saat bicara. Menurut masyarakat setempat, orang Ngelo terkesan meremehkan orang lain pada saat berbicara.

Ngelo niki mergane yen wong kono omongan iku koyok molo-molo. Mulane dik jenakno dukuh Ngelo. Timbangane karo Ngelo, omongane wis bedo (Ngelo ini karena kalau orang sana bicara itu seperti bicara sambil makan. Makanya dinamai deso Ngelo. Jika dibandingkan desa Dukoh, orang Ngelo bicaranya [logat bahasa] sudah berbeda). Sumber: Wawancara dengan Tokoh Masyarakat Tegaldowo, tanggal 09 April 2014.

Dukuh selanjutnya adalah Karanganyar. Penamaan dukuh Karanganyar memiliki asal usul yang berbeda dengan dukuh-dukuh lainnya. Nama Karanganyar merupakan padanan kata dari pemukiman baru. Pemukiman baru ini berdiri sejak tahun 1997. Dukuh Karanganyar dilatarbelakangi ledakan penduduk Tegaldowo yang tidak mampu ditampung pada dukuh-dukuh yang ada. Solusi cepat dalam mengatasi kekurangan lahan pemukiman adalah mengalihfungsikan areal persawahan menjadi pemukiman.

Karanganyar iku kan deso mburi. Dijenakno Karanganyar iku mergane desane anyar. Asale kuwi sawahan. Iku lak lagek bloko leh (Karang anyar itu adalah desa belakang [terjadi pemekaran pemukiman desa]. Dinamai Karanganyar itu karena desanya baru. Awal mulanya pemukiman tersebut adalah areal persawahan. Itu kan [desa ini] baru saja). Sumber: Wawancara dengan Tokoh Masyarakat Tegaldowo, tanggal 09 April 2014.

Walaupun relatif baru, perkembangan pemukimannya cukup padat. Penduduk yang bermukim di dukuh Karanganyar tergolong generasi baru. Mereka adalah anak cucu dan menantu dari angkatan generasi tua masyarakat Tegaldowo. Beberapa keluarga yang bermukim disana berasal dari kelompok luar yang sengaja mendirikan rumah di kampung baru tersebut. Tergolong pemukiman baru, Karanganyar memiliki keunikan dalam norma sosial dan budaya. Keunikan dalam dukuh ini adalah relatif banyak ditemukannya tren baru dalam membangun pondasi keluarga.

Rangkaian cerita tentang asal usul Tegaldowo berserta tujuh dukuhnya, terbalut dalam satu simpul yaitu cerita tentang “makam panjang”. Cerita tentang “makam panjang” di Tegaldowo merupakan bukti adanya relasi suatu perilaku manusia dan ekologi, ekonomi, dan logat bahasanya. Dengan keterkaitan yang kuat antara dukuh satu dengan dukuh satunya, turunan dari Tegaldowo ini terbukti memiliki corak kehidupan sosial yang khas dengan keragaman karakter tersendiri.

Terdapat delapan karakter dalam tujuh dukuh pada desa Tegaldowo. Tegaldowo memiliki kerakter religi (supranatural), dukuh Dowan dengan karakter perjuangan, dukuh Nglencong dengan karakter keterbatasan, dukuh Timbrangan dengan karakter keseimbangan dan kesetaraan [equel], dukuh Ngelo dengan karakter kesombongan, dukuh Ngablak dengan karakter konflik, dukuh Dukoh dengan karakter kemakmuran, dan dukuh Karanganyar dengan karakter dinamis atau perubahan. Tampaknya sebuah siklus menarik telah digelar dalam perkembangan masyarakat desa Tegaldowo.

Berdasar deskripsi diatas, nama daerah Tegaldowo cenderung bertautan dengan keadaan wilayah dan peranan tokoh sosial. Hal senada juga dapat dilihat fenomena penamaan daerah Kembangjaya di kabupaten Pati Jawa Tengah. Menurut sumber yang ada, Kembangjaya merupakan tokoh yang memiliki peranan penting dalam perkembangan daerah Pati, dahulu disebut nama Pesantenan. Hal serupa juga terjadi pada nama desa Bonang yang ada di Kabupaten Rembang. Bonang berasal dari nama tokoh agama penyebar dan penerus agama Islam. Dengan perjuangan Sunan Bonang, maka ketika dia meninggal di daerah Rembang, daerah tersebut diberi nama desa Bonang. Tampaknya, nama-nama daerah yang mengenakan tokoh sosial yang ada, kemudian membangun identitas sosial yang sengaja dipertahankan dari dahulu hingga sekarang.

Setiap penamaan daerah cenderung memiliki konsekwensi dalam membangun konstruksi sosial tentang makna daerah. Makna tersebut biasanya ditransformasikan dalam kehidupan sehari-hari tentang kenapa dan bagaimana anggota masyarakat dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Dengan demikian, nama suatu daerah akan membangun suatu konstruksi sosial dan konstruksi budaya. Kontruksi sosial tersebut biasanya akan menjadi suatu realitas yang dibangun dan diterima oleh masyarakat, dan konstruksi budaya akan selalu direproduksi dalam kehidupan sosial. Dengan demikian kedua-duanya selalu seiring dan sejalan dengan sifat-sifat yang secara sosial dan budaya diasosiasikan menjadi sifat yang dimiliki oleh masyarakat yang bersangkutan. Hal sama juga terjadi pada asal-usul desa Tegaldowo kecamatan Gunem kabupaten Rembang.

Berdasarkan deskripsi tentang asal usul desa Tegaldowo, terbukti memiliki rangkaian cerita yang memiliki titik simpul yang dihubungkan dengan perilaku manusia dan religi. Tegaldowo yang berasal dari konteks dan kenyataan yaitu adanya tempat pemakaman yang cukup panjang telah menjadi titik simpul bahwa daerah ini memiliki tautan antara ekologis dan perilaku kereligiusan. Simbol-simbol sakral terbukti telah mampu memainkan diri sebagai kekuatan integratif. Fungsi integratif itu dapat dilihat dari berkembangnya tujuh dukuh yang ada di Tegaldowo. Sehingga wajar jika “makam panjang” telah menjadi indentitas sosial masyarakat yang ada di tujuh dukuh desa Tegaldowo ini.

Tiap-tiap dukuh telah membangun identitas karakter khas yang kemudian bertemu dalam simbol sakral, yaitu “makam panjang”. Tegaldowo memiliki kerakter religi (supranatural), dukuh Dowan dengan karakter perjuangan, dukuh Nglencong dengan karakter keterbatasan, dukuh Timbrangan dengan karakter keseimbangan dan equel, dukuh Ngelo dengan karakter kesombongan, dukuh Ngablak dengan karakter konflik, dukuh Dukoh dengan karakter kemakmuran, telah bertali-temali dalam membangun sistem sosial.

Dukuh Karanganyar memiliki karakter dinamis. Dukuh yang satu ini memiliki keunikan dalam hal norma sosial, dimana terdapat kelonggaran berperilaku dalam mencukupi kebutuhan keluarga. Hal tersebut didorong dari kesan lepasnya karakter asal usul dukuh lainnya. Jika beberapa dukuh lainnya memiliki jalinan kuat dan terikat dalam titik simpul, berbeda dengan dukuh yang satu ini (Karanganyar). Memang fenomena tentang kecenderungan perubahan nama asli daerah menjadi nama peng-Indonesia-an alias dengan mudahnya nama daerah tergantikan atau terlupakan karena tidak adanya tradisi tutur tentang sejarah lokal. Perubahan nama daerah tersebut diyakini telah mendorong redefinisi makna daerah itu sendiri, sehingga menyebabkan runtuhnya makna sosial dan budaya. Namun ada pula yang menyakini bahwa karakter sosial dapat dipengaruhi oleh lingkungan. Konteks ekologi sosial diyakini memiliki peranan penting dalam membangun ciri-ciri kebudayan dan pola-pola kebudayaan yang khas di suatu daerah. Melalui kultur yang dimiliki masyarakat inilah, biasanya akan menentukan kemajuan dari masyarakat itu sendiri.

Berdasarkan data lapangan dan telaah para ahli di atas, maka tujuh karekter yang terdapat dalam asal usul daerah di Tegaldowo merupakan simbol dari mental sosial. Berdasarkan pembahasan di atas, karakter khas yang dimiliki masyarakat Tegaldowo adalah religius, pejuang, keterbatasan atau malas, keseimbangan dan kesetaraan, kesombongan, pertentangan, kemakmuran, dan dinamis dan menyimpang. Dengan demikian, karakter masyarakat Tegaldowo sama halnya sikap mental yang dimiliki masyarakat yang bersangkutan. Sikap mental inilah, biasanya diyakini akan menjadi pusat gagasan ideal suatu masyarakat dalam tindak pembangunan. Dengan demikian terdapat hubungan antara apapun fenomena dan dinaika sosial yang ada, baik saat ini hingga masa yang akan datang, terhadap karakter sosial yang dimiliki oleh masyarakat, termasuk masyarakat Tegaldowo.

Semoga tulisan ini bermanfaat dalam menganalisis berbagai hal yang ada dan yang terjadi di masyarakat Tegaldowo. Tentunya, setiap tindakan analisis itu ditujukan bermuara dalam rangka mensejahterahkan dari setiap proses pembangunan yang ada pada masyarakat Tegaldowo tercinta.

Tradisi pernikahan muda[sunting sumber]

Menurut data dari KUA Gunem, antara bulan Januari 2008 sampai Juni 2009 tercatat 21 pernikahan di bawah usia 16 tahun. Hal ini terkait dengan kepercayaan yang mereka anut, yaitu bahwa jika orang tua memiliki anak perempuan dan ditanyakan atau diminta seorang pria untuk dinikahi harus diterima. Jika menolak, maka dipercaya anak itu takkan menemui jodoh kembali di kemudian hari.

Sering orang tua tidak memedulikan apakah anak gadisnya mau dinikahkan atau tidak. Anak gadis usia belia di Tegaldowo banyak yang sudah menjanda, dan menurut tradisi di sana lebih diterima ketimbang menjadi perawan tua.

Sebelum Reformasi, cukup banyak terjadi anak perempuan usia di bawah usia 12 tahun dinikahkan dengan pria berusia 20 tahun lebih. Namun, sejak abad ke-21, tradisi menikahkan anak di bawah usia SD sudah amat jarang. Hanya pernikahan anak usia SLTP yang masih sering terjadi.

Perilaku perkawinan belia di Tegaldowo juga menjadi program perhatian pemerintah setempat. Pernyataan Bupati Rembang Jawa Tengah, Mochamad Salim dalam harian Kompas menyatakan: "Kami sudah awali kegiatan sosialisasi dengan homestay KRR di Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, kemarin. Kami pilih desa tersebut untuk sosialisasi pertama karena cukup banyak kasus pernikahan dini yang ditemukan," Berdasarkan data dari kantor urusan agama (KUA) kecamatan setempat, dalam kurun waktu tahun 2009-2009, jumlah kasus pernikahan dini sebanyak 21 kasus.[1]

Berdasarkan pelacakan dokumen tentang perkawinan belia di Tegaldowo, penulis berpandangan bahwa keputusan perkawinan belia cenderung didominasi oleh orang tua anak, bukan pelaku perkawinan belia. Terlebih melihat adanya orientasi kebutuhan sosial orang tua dalam bentuk nilai sosial dimana anak memiliki nilai tukar yang berharga dalam keluarga, ketika anak tersebut telah dikawini oleh laki-laki. Namun pandangan orang tua seolah-olah tidak mengedepankan masa depan kelangsungan hubungan perkawinan anak itu sendiri. Bahkan dalam pelacakan dokumen di atas dapat dilihat, bahwa orang tua tidak terbebani dengan status janda atau duda karena perkawinan belia memiliki pondasi hubungan yang labil. Jelas pandangan ini berseberangan dengan pandangan umum, dimana orang tua akan terbebani ketika anak-anaknya gagal dalam membangun hubungan keluarga. Pandangan umum yang sama juga terlihat pada alasan medis dalam memandang perkawinan belia:[2]

"Secara medis anak perempuan usia di bawah 16 tahun masih dianggap belum matang secara seksual karena organ reproduksinya belum mengalami menstruasi sehingga tidak dianjurkan untuk menikah," kata Ketua Satgas Perlindungan Anak (IDAI) DR Rahmat Sentika di Jakarta.

Risiko perkawinan belia memiliki dampak biologis dan psikologis pada pihak perempuan. Dampak biologis nikah belia yang dilansir oleh Suryadi Danuwisastra, Kepala Bidang KB dalam Pikiran Rakyat mengatakan:[3]

"Angka kematian ibu melahirkan terkait dengan usia ibu melahirkan, bisa karena terlalu muda, terlalu banyak, atau terlalu sering melahirkan. Ibaratnya, remaja sedang tumbuh lalu harus mengandung janin yang juga perlu ia beri makan. Rebutan dalam perkembangan, walaupun mungkin selamat, namun kualitas anak yang dilahirkan remaja tentu akan berbeda dengan yang dilahirkan perempuaan dewasa yang memang sudah siap untuk melahirkan" .

Adapun dampak psikologis dalam perkawinan belia dilansir oleh dr. H.M. Zainie Hassan A.R., Sp.K.J. (ahli jiwa) dalam harian Pikiran Rakyat mengatakan:[3]

"Usia remaja menimbulkan persoalan dari berbagai sisi seperti pendidikan yang mungkin belum lulus SMA. Karena minim pendidikan, pekerjaan semakin sulit didapat dan berpengaruh pada pendapatan ekonomi keluarga," ujarnya. Terlebih jika menikah muda karena ketelanjuran berhubungan seks. Ada penolakan keluarga yang terjadi akibat malu. "Ini bisa menimbulkan stres. Ibu hamil usia muda mempunyai risiko bunuh diri lebih tinggi, khususnya jika mereka hamil di luar nikah dan tanpa didukung keluarga"


Cun Cun (bicara) 5 September 2022 09.27 (UTC)[balas]

  1. ^ HU. Kompas; Sabtu, 31 Juli 2010.
  2. ^ http://stat.k.kidsklik.com Diarsipkan 2016-10-22 di Wayback Machine. pada hari Senin, 3 November 2008
  3. ^ a b HU. Pikiran Rakyat; 21 Maret 2007; 01.