Mitigasi bencana

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

MItigasi bencana adalah segala upaya untuk mengurangi risiko bencana. Program mitigasi bencana dapat dilakukan melalui pembangunan secara fisik maupun peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.[1] Mitigasi bencana merupakan bentuk pengurangan kerugian yang lebih besar akibat bencana yang sulit dideteksi kemunculannya secara tepat. Selain itu, mitigasi bencana juga dilakukan untuk menghindari maupun mencegah keberadaan bencana. Program mitigasi bencana dapat diterapkan pada ilmu alam maupun ilmu sosial.[2] Mitigasi bencana tidak dapat menghilangkan dampak buruk dari bencana secara keseluruhan, tetapi dapat menguranginya. Pengurangan bencana memanfaatkan strategi dan tindakan dalam bidang rekayasa dan konstruksi tahan bahaya. Selain itu, mitigasi bencana dilakukan dengan membuat kebijakan lingkungan dan kebijaan sosial serta membentuk kesadaran publik akan dampak buruk bencana.[3] Mitigasi bencana diawali dengan kajian risiko untuk mengetahui tingkat bahaya, kerentanan, dan kapasitas suatu wilayah dalam menerima bencana. Kajian risiko memperhatikan kondisi fisik dan kondisi wilayah.[4]

Konsep dasar[sunting | sunting sumber]

Analisis risiko[sunting | sunting sumber]

Analisis risiko merupakan kegiatan untuk memperkirakan banyaknya risiko bahaya yang dapat ditimbulkan oleh individu, populasi, properti, atau lingkungan. Bahasan utama dalam analisis risiko meliputi ruang lingkup bahaya, identifikasi bahaya, evaluasi kerentanan risiko, identifikasi konsekuensi dan jumlah risiko yang timbul. Penaksiran risiko sangat ditentukan oleh faktor bahaya dan kerentanan. Bahaya memungkinkan terjadinya kerugian secara kebendaan dan kejiwaan, sedangkan kerentanan merupakan tingkatan dari bahaya yang timbul. Risiko dianalisis sebagai produk dari kemungkinan terjadinya bahaya dan tingkat pengulangan bahaya.[5]

Prinsip-prinsip yang diterapkan dalam analisis risiko bencana yaitu:[6]

  1. Mengutamakan penggunaan data dan hasil perekaman kejadian yang diperoleh secara resmi dari lembaga yang berwenang;
  2. Menyatukan analisis kemungkinan kejadian ancaman dari para ahli dengan disertai kearifan lokal masyarakat;
  3. Proses analisis meliputi perhitungan potensi jumlah jiwa, kerugian harta benda, dan kerusakan lingkungan yang terkena bencana;
  4. Menggunakan hasil kajian risiko sebagai bahan untuk membuat kebijakan umum dalam rangka pengurangan risiko bencana.

Mitigasi[sunting | sunting sumber]

Mitigasi merupakan usaha yang dilakukan untuk mengurangi risiko dari sesuatu. Strategi yang digunakan untuk mengurangai risiko ada empat yaitu menghindari risiko, mengurangi risiko, pengalihan risiko, dan penyimpanan risiko. Risiko dapat dihindari dengan mengubah bahaya yang dapat timbul menjadi sesuatu yang berguna. Pengalihan risiko dilakukan dengan mengatasi kerentanan terhadap kerusakan dan gangguan. Pengalihan risiko dilakukan dengan memastikan pengubahan bahaya yang berpengaruh secara keuangan terhadap individu dan masyarakat. Sedangkan penyimpanan risiko merupakan usaha untuk menyiapkan keuangan untuk mengganti kerugian akibat adanya bahaya yang akan terjadi.[7]

Mitigasi dapat dibedakan menjadi mitigasi struktural dan mitigasi nonstruktural. Miitgasi struktural adalah upaya untuk menghindari kerugian akibat bahaya yang timbul dengan cara melakukan pembangunan secara fisik. Pembangunan berkaitan dengan teknik konstruksi infrastuktur yang memiliki daya tahan dalam memberikan perlindungan terhadap bahaya. Adapun mitigasi nonstruktural merupakan upaya untuk menghindari kerugian akibat bahaya yang yang timbul dengan cara pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan dilakukan dengan pembuatan kebijakan, meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya, serta mengembangkan pengetahuan akan bahaya. Selain itu, pemberdayaan masyarakat juga dilakukan dengan menggunakan metode partisipasi masyarakat dalam pencegahan kerusakan, gangguan dan bahaya.[7]

Pelaksanaan[sunting | sunting sumber]

Mitigasi bencana dapat dilakukan sebelum dan sesudah bencana terjadi. Bentuk mitigasi sebelum terjadinya bencana yaitu pencegahan, sedangkan setelah bencana berupa penanggulangan. Pengurangan risiko bencana melalui mitigasi bencana dilakukan secara terencana, terkoordinasi, terpadu dan membentuk sistem yang menyeluruh.[8]

Jenis-jenis[sunting | sunting sumber]

Mitigasi bencana banjir[sunting | sunting sumber]

Identifikasi kerawanan banjir[sunting | sunting sumber]

Identifikasi kerawanan banjir merupakan kegiatan identifikasi daerah yang rawan terkena banjir. Selain iut, identifikasi kerawanan banjir juga dilakukan di daerah pemasok air banjir atau daerah yang memiliki potensi air banjir. Tujuan identifikasi kerawanan banjir ialah memudahkan cara identifikasi sumber bencana secara sistematis. Dari identifikasi kerawanan banjir, kemudian diperoleh teknik pengendalian yang efektif dan efisien. Kemudahan identifikasi banjir diperoleh melalui penggunaan formula banjir. Dalam formula banjir, faktor-faktor penyebab banjir dibedakan menjadi faktor alami dan faktor manajemen. Faktor alami sangat sulit dikelola sedangkan faktor manajemen sangata mudah dikelola. Setiap faktor diberikan bobot dengan nilai yang berbeda dan dikategorikan sesuai tingkat perannya dalam proses banjir.[9]

Identifikasi tingkat kerawanan daerah yang terkena banji didasarkan pada karakter wilayahnya. Karakter yang umumnya diidentifikasi yaitu bentuk lahan, lereng kiri-kanan sungai, lika-liku sungai, pebendungan alami, dan bangunan pengendali banjir. Beberapa bentuk lahan dari sistem lahan merupakan daerah yang rentan terkena banjir. Dataran aluvial, lembah aluvial, kelokan sungai, dan rawa-rawa merupakan daerah rendah atau cekungan dengan lereng <2% sehingga mudah terkena banjir. Data bentuk lahan dapat diperoleh pada peta sistem lahan dari RePPProT (Regional Physical Planning Program for Transmigration). Ciri-ciri daerah yang rentan kebanjiran adalah adanya bangunan tanggul di sisi kiri dan kanan sungai. Bangunan ini digunakan sebagai bentuk manajemen pengurangan banjir. Penghambatan kecepatan aliran sungai dapat terjadi pada sungai yang berkelok-kelok atau bentuk seperti tapal kuda. Kedua daerah ini merupakan daerah yang rentan terkena banjir. Tingkat kelokan sungai diukur dengan nilai sinusitas. Nilai diperoleh melalui perbandingan panjang sungai sesuai kelokan dengan panjang sungai secara horizontal yang berupa garis lurus dalam satuan peta.[9]

Pertemuan aliran arus air dapat terjadi pada daerah pertemuan dua sungai. Pertemuan ini memperlambat atau menahan aliran air sehingga elevasi air pada daerah pertemuan tersebut bertambah. Pertambahan air yang melebihi tanggul palung sungainya menyebabkan air menggenangi daerah sekitar. Penahanan air lebih sering terjadi akibat pertemuan sungai kecil dengan sungai yang lebih besar. Kondisi yang mendukung penahanan air adalah aliran air sungai besar masuk ke dalam sungai yang lebih kecil. Sedikitnya daya tampung palung sungai kecil mengakibatkan air meluap dan terjadi banjir di sekitarnya. Proses banjir juga terjadi pada daerah muara sungai. Penyebab banjir di muara sungai diakibatkan oleh adanya aliran balik yang disebabkan oleh adanya penahanan aliran air sungai dari air laut pasang. Adanya aliran air yang terhambat menjadikan daerah hulu titik tersebut rawan kebanjiran.[10]

Identifikasi jumlah pasokan air banjir diidentifikasi dari jumlah curah hujan. Curah hujan menjadi masukan sistem daerah aliran sungai dan karakteristik daerah tangkapan air. Banjir yang terjadi akibat tingkat curah hujan diukur melalui jumlah hujan harian maksimum yang terjadi secara merata pada daerah tangkapan air tersebut. Sedangkan karakteristik daerah tangkapan air dibedakan berdasarkan faktor alami yang sulit dikelola dan faktor manajemen yang mudah dikelola. Faktor alami yang mempengaruhi air banjir dari daerah tangkapan air yaitu bentuk daerah aliran sungai, gradien sungai, kerapatan drainase, dan lereng rata-rata pada daerah aliran sungai. Faktor manajemen berupa penggunaan atau penutupan lahan yang dipengaruhi oleh kondisi hutan. Curah hujan yang sangat deras dan tersebar merata ke seluruh daerah tangkapan air menyebabkanterjadinya banjir besar. Banjir ini kemudian berubah menjadi limpasan permukaan yang terkumpul secara cepat pada suatu titik keluaran.[11]

Teknik pengendalian banjir[sunting | sunting sumber]

Teknik pengendalian banjir dilakukan secara menyeluruh pada daerah yang rawan terkena banjir dan daerah pemasok air banjir. Pengendalian daerah kebanjiran secara teknis dilakukan dengan meningkatkan dimensi palung sungai sehingga aliran air tidak keluar dari palung sungai. Pengendalian ini dapat dilakukan dengan membuat tanggul sungai yang memadai serta membuat waduk atau tandon air untuk mengurangi banjir puncak. Pemenuhan kapasitas tampung palung sungai dilakukan dengan menambah saluran pembuangan air dengan saluran banjir kanal. Selain itu, larangan penggunaan lahan untuk bangunan diperketat di bantaran dan badan sungai. Larangan pembuangan sampah ke sungai atau saluran drainase juga diberlakukan. [12]

Teknik pengendalian banjir di daerah tangkapan air menggunakan prinsip penurunan koefisien limpasan. Pengendalian banjir memanfaatkan teknik konservasi tanah dan air. Diadakan peningkatan resapan air hujan yang masuk ke dalam tanah dan pendalian limpasan air permukaan pada pola aliran yang aman. Teknik yang digunakan dapat berbentu teknik sipil, teknik vegetasi, teknik kimia, maupun perpaduan ketiganya. Pemilihan teknik disesuaikan dengan jenis penggunaan lahan dan karakteristik tapak setempat.[12]

Teknik peringatan dini bencana banjir[sunting | sunting sumber]

Peringatan dini bencana banjir dilakukan mulai dari hulu hingga ke hilir secara berurutan. Tujuan peringatan dini bencana banjir adalah untuk mempersiapkan penanggulangan banjir sehingga kerugian dapat dikurangi. Peringatan dini pada daerah hulu dilakukan dengan menempatkan pengukur hujan di hulu serta menyiapkan akses komunikasi ke wilayah di hilirnya. Masyarakat harus mengungsi ke tempat yang lebih tinggi jika curah hujan sudah mencapai 100 mm dalam sehari dan masih deras. Informasi ini harus dikirimkan ke daerah rawan kebanjiran di hilirnya. Selain itu, peringatan dini juga dapat diberikan dengan mengidentifikasi jenis material yg terbawa arus banjir. Peringatan dini diberikan ketika banyak material nontanah yang terbawa oleh aliran air. Material nontanah ini berupa ranting dan batang pohon. Jumlah material nontanah merupakan ukuran bagi kekuatan air yang mengangkutnya. Semakin banyak material non tanah yang terbawa oleh aliran air, maka semakin besar peluang terjadi banjir. Peringatan dini juga dapat diberikan jika awan terlihat sangat tebal dan hujan terjadi secara terus-menerus.[13]

Peringatan dini di daerah hilir lebih diduukung dengan perkembangan teknologi setempat. Pemberian peringatan dini menggunakan sistem telemetri. Pengamatan jarak jauh disesuaikan dengan pola sungai dari daerah hulu sampai hilir. Peralatan telemetri memanfaatkan citra satelit yang terhubung dengan stasiun monitoring banjir. Setiap kejadian yang terjadi di lokasi bencana akan disampaikan oleh stasiun pengendali sebagai informasi bagi bagian hilir yang rawan kebanjiran. Komunikasi dapat dilakukan dengan menggunakan telepon atau radio komunikasi. Pengiriman informasi juga dapat melalui layanan pesan singkat.[14]

Mitigasi bencana tanah longsor[sunting | sunting sumber]

Identifikasi kerawanan tanah longsor[sunting | sunting sumber]

Tanah longsor merupakan pemindahan massa tanah secara tiba-tiba dalam volume yang besar. Tanah longsor dapat terjadi jika terdapat lereng yang cukup curam, bidang peluncur yang kedap air di bawah permukaan tanah, dan tanah jenuh air. Identifikasi kerentanan bencana tanah longsor dilakukan dengan formula kerentanan tanah longsor. Faktor alami penyusun formulanya yaitu jumlah hujan harian selama 3 hari berturut-turut, keadaan lereng lahan, geologi, keberadaan patahan bumi dan kedalaman tanah sampai lapisan kedap. Sedangkan faktor manajemen meliputi penggunaan lahan, infrastruktur, dan kepadatan pemukiman.[15]

Teknik pengendalian tanah longsor[sunting | sunting sumber]

Pengendalian tanah longsor dilakukan dengan mengurangi jumlah air yang masuk ke dalam tanah. Air tanah dapat menjenuhi ruang antara lapisan kedap air dan lapisan tanah dan menyebabkan longsor. Tindakan mitigasi tanah longsor juga mencegah penurunan permukaan tanah akibat erosi permukaan.[16]

Peirngatan dini tanah longsor[sunting | sunting sumber]

Teknik peringatan dini dalam mitigasi tanah longsor disesuaikan dengan jenis potensi tanah longsor. Potensi ini diamati melalui retakan-retakan tanah pada lahan pertanian, hutan, kebun, pemukiman serta jalan yang cenderung semakin besar. Pengamatan juga dilakukan pada penggelembungan jalan aspal. Peringatan dini dipersiapkan dengan pemasangan penakar hujan di sekitar daerah rawan tanah longsor. Apabila selama 2 hari curah hujan rata-rata melebihi 200 mm dan masih berlanjut maka peringatan dini harus disampaikan kepada masyarakat. Peringatan dini juga harus diberikan ketika ada rembesan air pada kaki lereng, tebing jalan, tebing halaman rumah yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Selain itu, peringatan dini dilakukan jika aliran rembesan lebih besar dari sebelumnya. Peringatan dini juga diberikan ketika ada pohon yang posisinya condong ke arah bawah bukit dan adanya perubahan muka air sumur serta adanya perubahan penutupan lahan dari hutan ke non-hutan pada lahan berlereng curam dan kedalaman lapisan tanah sedang. Pemotongan tebing untuk jalan dan atau perumahan pada lahan berlereng curam dan lapisan tanah dalam juga menjadi saah satu alasan diadakannya peringatan dini tanah longsor.[17]

Mitigasi bencana tsunami[sunting | sunting sumber]

Mitigasi bencana tsunami struktural[sunting | sunting sumber]

Mitigasi bencana tsunami struktural merupakan upaya menangani masalah bencana tsunami dengan meredam atau mengurangi energi gelombang tsunami yang menjalar ke kawasan pantai. Penjalaran tsunami dapat diketahui karena arah peyebaran yang tegak lurus. Selain itu, penjalaran tsunami juga daoat diketahui melalui keterangan umum tentang teluk-teluk dan pelabuhan-pelabuhan.[18] Mitigasi bencana tsunami struktural dapat dianalisa melalui karakteristik gelombang tsunami, inventarisasi dan identifikasi kerusakan struktur bangunan. Pelaksanaan mitigasi bencana tsunami struktural dilakukan secara alami maupun buatan. Penanganan secara alami dilakukan dengan menanaman hutan pantai atau mangrove di sepanjang kawasan pantai dan perlindungan terumbu karang. Penanganan secara buatan dilakukan dengan membangun pemecah gelombang dan tanggul laut. Pemecah gelombang dibangun sejajar dengan garis pantai. Selain itu, mitigasi bencana tsunami struktural dilakukan dengan memperkuat desain bangunan serta infrastruktur lainnya dengan memanfaatkan teknik bangunan tahan bencana tsunami dan tata ruang akrab bencana. Penguatan bangunan dilakukan dengan memperkuat bahan bangunan permukiman sesuai teknik bangunan tahan tsunami. Penguatan bangunan juga dilakukan dengan mengurangi kepadatan penduduk pada daerah rentan tsunami. Pada daerah padat penduduk disediakan lahan untuk ruang publik yang dapat digunakan untuk evakuasi dan mobilitas masyarakat. Pengurangan dilakukan dengan memindahkan sebagian pemukiman ke lokasi lain dan menata ulang pemukiman sesuai dengan konsep kawasan pemukiman yang akrab bencana.[19]

Mitigasi bencana tsunami nonstruktural[sunting | sunting sumber]

Mitigasi bencana tsunami nonstruktural dimulai dengan pembuatan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang bencana alam. Selanjutnya ditentukan kebijakan tentang tata guna lahan, tata ruang, dan zonasi kawasan pantai yang aman dari bencana. Selain itu, dibentuk kebijakan tentang standarisasi bentuk bangunan pemukiman dan infrastruktur sarana dan prasarana. Mitigasi bencana tsunami nonstruktural juga dilakukan dengan membuat mikrozonasi daerah rawan bencana dalam skala lokal dan pembuatan peta potensi bencana tsunami dan peta tingkat ketahanan tsunami.[20] Peta tingkat ketahanan tsunami dirancang dengan memperhatikan ketahanan bangunan permukiman terhadap bencana tsunami serta mobilitas dan akses masyarakat pada saat terjadi bencana. Selain itu, diperlukan ruang fasilitas umum untuk keperluan evakuasi. Peta tingkat ketahanan tsunami juga harus memperhatikan mata pencaharian masyarakat yang bergantung pada hasil laut dan budidaya kawasan pantai. Sebelum pembuatan peta ketahanan tsunami, harus dibentuk kebijakan tentang eksplorasi dan kegiatan perekonomian masyarakat kawasan pantai. Selain itu, diadakan pelatihan dan simulasi mitigasi bencana tsunami serta penyuluhan dan sosialisasi upaya mitigasi bencana tsunami. Setelah itu, dilakukan pengembangan sistem peringatan dini adanya bahaya tsunami.[21]

Mitigasi bencana erosi pantai[sunting | sunting sumber]

Mitigasi bencana erosi pantai struktural[sunting | sunting sumber]

Mitigasi bencana erosi pantai secara struktural bertujuan untuk menjaga keseimbangan proses perpindahan sedimen di sepanjang garis pantai. Perpindahan ini diseimbangkan dengan menahan energi gelombang yang mencapai garis pantai, memperkuat struktur geologi garis pantai, maupun menambah suplai sedimen. Secara alami, mitigasi bencana erosi pantai dilakukan dengan penanaman mangrove dan penguatan gumuk pasir dengan vegetasi. Sedangkan secara buatan, mitigasi bencana erosi pantai dilakukan pembangunan dinding penahan gelombang dan pembangunan groin. Mitigasi bencana erosi pantai direncanakan secara cermat untuk mencegah perubahan pola dan karakteristik gelombang yang dalam jangka panjang dapat mengakibatkan terjadinya erosi di tempat lain.[22]

Mitigasi bencana erosi pantai nonstruktural[sunting | sunting sumber]

Upaya mitigasi bencana erosi nonstruktural diawali dengan pembuatan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang bencana alam. Setelah itu, diadakan pembuatan standarisasi dan metoda perlindungan pantai,. Selanjutnya dilakukan penyusunan sempadan garis pantai serta pengembangan sistem peringatan dini bencana erosi pantai.[23] Sistem peringatan dini bencana erosi menggambarkan terjadinya erosi pantai yang terjadi akibat gesekan antara gelombang dengan daratan di sepanjang garis pantai. Informasi penting dalam sistem peringatan dini tersebut adalah lokasi terjadinya erosi serta tingkat erosinya. Informasi lain yang cukup penting yaitu faktor utama penyebab erosi, kondisi topografi dan geologi, serta aktivitas manusia yang meningkatkan terjadinya erosi pantai.[24]

Mitigasi bencana kekeringan[sunting | sunting sumber]

Mitigasi bencana kekeringan dimulai dengan membuat kebijakan yang berarah kepada penyelamatan hutan. Dalam sektor hutan, pembakaran harus dihentikan terutama dalam pembukaan lahan. Selain itu, pembukaan lahan hutan untuk permukiman dan pertanian juga dibatasi. Lahan terbuka yang tidak digunakan harus diberi kebijakan reboisasi secara berkesinambungan. Pembakaran tidak boleh dilakukan di lahan rawa dan gambut. Daerah aliran sungai harus memiliki kawasan hutan minimal 40% dari keseluruhan luas kawasan. Selain itu, sumber daya air harus dipertahankan dengan menghentikan sistem pertanian yang berlangsung terus-menerus.[25]

Disiplin ilmiah terkait[sunting | sunting sumber]

Geodesi[sunting | sunting sumber]

Geodesi merupakan cabang ilmu alam yang mempelajari tentang peranan bumi dalam penyajian data serta informasi spasial terkait dalam mitigasi bencana.[2] Geodesi mempelajari bentuk dan ukuran bumi dengan menggunakan pengukuran-pengukuran pada permukaan bumi dari pesawat udara dan satelit. Selain itu, geodesi juga mempelajari planet-planet dan satelitnya, serta perubahan-perubahannya. Posisi dan kecepatan perpindahan objek pada permukaan bumi, orbit dan planet-planet ditentukan dalam suatu sistem referensi tertentu. Geodesi dimanfaatkan untuk berbagai teori ilmiah dan rekayasa yang menggunakan matematika, fisika, astronomi, dan ilmu komputer.[26]

Pemanfaatan[sunting | sunting sumber]

Perencanaan dan penyelenggaraan kepariwisataan[sunting | sunting sumber]

Penataan ruang diperlukan pada kawasan wisata yang terletak di kawasan yang rawan bencana alam. Kawasan wisata harus dilengkapi dengan jalur-jalur evakuasi. Dalam keadaan normal, jalur evakuasi dapat dimanfaatkan sebagai ruang publik dengan berbagai fungsi yang dapat diakses secara terbuka. Perlengkapan lain yang harus disiapkan yaitu pos penjagaan yang mengawasi dan memberikan informasi keamanan secara komunikatif.[27]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Hermon 2012, hlm. 23.
  2. ^ a b Sumantri, dkk. 2019, hlm. 23.
  3. ^ International Labour Organization (2020). Manajemen Konflik dan Bencana: Mengeksplorasi Kerja Sama antara Organisasi Pengusaha dan Pekerja (PDF). 978-92-2-032198-0: International Labour Organization. hlm. 19. ISBN 978-92-2-032198-0. 
  4. ^ Sandhyavitri, dkk. (2015). Mitigasi Bencana Banjir dan Kebakaran (PDF). Pekanbaru: UR Press. hlm. 11. ISBN 978-979-792-656-4. 
  5. ^ Kumalawati dan Angriani 2018, hlm. 6.
  6. ^ Amri, dkk. (2016). Risiko Bencana Indonesia (PDF). Jakarta Timur: Badan Nasional Penanggulangan Bencana. hlm. 34. 
  7. ^ a b Kumalawati dan Angriani 2018, hlm. 7.
  8. ^ Darmawan, dkk. Buku Panduan Perkuliahan Mitigasi Bencana Di Magelang (PDF). Pontianak: CV. Pustaka One Indonesia. ISBN 978-623-201-591-3. 
  9. ^ a b Paimin, Sukresno, dan Pramono 2009, hlm. 5.
  10. ^ Paimin, Sukresno, dan Pramono 2009, hlm. 5-6.
  11. ^ Paimin, Sukresno, dan Pramono 2009, hlm. 6.
  12. ^ a b Paimin, Sukresno, dan Pramono 2009, hlm. 19.
  13. ^ Paimin, Sukresno, dan Pramono 2009, hlm. 23.
  14. ^ Paimin, Sukresno, dan Pramono 2009, hlm. 23-24.
  15. ^ Paimin, Sukresno, dan Pramono 2009, hlm. 14.
  16. ^ Paimin, Sukresno, dan Pramono 2009, hlm. 21.
  17. ^ Paimin, Sukresno, dan Pramono 2009, hlm. 24.
  18. ^ Direktorat Jenderal Pesisir 2005, hlm. 27-28.
  19. ^ Direktorat Jenderal Pesisir 2005, hlm. 28.
  20. ^ Direktorat Jenderal Pesisir 2005, hlm. 29.
  21. ^ Direktorat Jenderal Pesisir 2005, hlm. 29-30.
  22. ^ Direktorat Jenderal Pesisir 2005, hlm. 19-20.
  23. ^ Direktorat Jenderal Pesisir 2005, hlm. 20.
  24. ^ Direktorat Jenderal Pesisir 2005, hlm. 20-21.
  25. ^ Hermon 2012, hlm. 236.
  26. ^ Sumantri, dkk. 2019, hlm. 23-24.
  27. ^ Majelis Guru Besar Institut Teknologi Bandung. Mengelola Risiko Bencana di Negara Maritim Indonesia: Buku 1 (PDF). Bandung: Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Institut Teknologi Bandung. hlm. 116. ISBN 979-1344-77-9. OCLC 880122366. 

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

  1. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (2005). Pedoman Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PDF) (edisi ke-2). Jakarta: Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan. ISBN 979-3556-18-8. 
  2. Hermon, Dedi (2012). Mitigasi Bencana Hidrometeorologi: Banjir, Lonsor, Ekologi, Degradasi Lahan, Puting Beliung, Kekeringan (PDF). Padang: UNP Press. ISBN 978-602-8819-52-7. 
  3. Kumalawati, R., dan Angraini, P. (2018). Mitigasi Bencana: Studi Kasus Banjir di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (PDF). Yogyakarta: Penerbit Ombak. 
  4. Paimin, Sukresno, dan Pramono, I. B. (2009). Teknik Mitigasi Banjir dan Tanah Longsor (PDF). Balikpapan: Tropenbos International Indonesia Programme. ISBN 978-979-3145-46-4. 
  5. Sumantri, dkk. (2019). Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System) Kerentanan Bencana (PDF). Jakarta: CV. Makmur Cahaya Ilmu. ISBN 978-602-53845-8-5. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2022-03-03. Diakses tanggal 2020-12-11.