Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Peringatan
Sebagian atau keseluruhan dari artikel ini dicurigai telah melanggar hak cipta dari tulisan pihak di luar Wikipedia, dan selanjutnya akan dimasukkan dalam daftar Wikipedia:Artikel bermasalah hak cipta:
Disarankan untuk tidak melakukan perubahan apapun sampai masalah pelanggaran hak cipta di artikel ini diteliti pengguna lain dan diputuskan melalui konsensus
Jika Anda ingin menulis ulang artikel ini sebagai tulisan yang sama sekali baru, untuk sementara tuliskan di sini.
Berikan komentar mengenai hal tersebut di halaman diskusi artikel ini.
Perhatikan bahwa hanya mengubah sedikit atau beberapa bagian dari tulisan asli tidak cukup untuk menghilangkan pelanggaran hak cipta dari tulisan ini. Lebih baik membangun kembali artikel ini dari awal sedikit demi sedikit daripada membajak tulisan orang lain demi sebuah artikel besar.
Jika Anda sebenarnya memang adalah pemilik sumber tulisan asli yang dimaksudkan (dan termasuk pula pemilik bukti tulisan yang menjadi dasar kecurigaan pelanggaran hak cipta), dan ingin membebaskan hak cipta tulisan tersebut sesuai GNU Free Documentation License:
berikan keterangan di halaman diskusi artikel ini, kemudian bisa menampilkan pesan izin tersebut di halaman aslinya, atau berikan izin tertulis ke Wikipedia melalui email yang alamatnya tersangkut langsung dengan sumber tersebut ke alamat permissions@wikimedia.org atau surat tertulis ke Wikimedia Foundation. Berikan izin secara eksplisit bahwa tulisan tersebut telah dibebaskan ke dalam lisensi CC BY-SA 3.0 dan lisensi GFDL.
Jika tulisan bukti memang berada di wilayah lisensi yang bisa untuk dipublikasikan di Wikipedia,:
Max pun dipercaya sebagai Ketua Komisi IX (Keuangan dan Perbankan) DPR pada periode 1999-2004 dan Wakil Ketua Komisi XI (Keuangan dan Perbankan) DPR pada periode 2004-2009.
Menanggapi usulan tersebut, Ketua Pansus BLBI, Max Moein, mengatakan bahwa DPR saat ini memang sudah menerima hasil audit BPK mengenai pengucuran dan penyaluran dana BLBI kepada 48 bank penerima BLBI. Namun, Max berpendapat bahwa hasil yang disampaikan oleh BPK tetap membawa permasalahan baru yang juga tidak bersifat ringan.
Ketua Komisi IX DPR itu mengungkapkan bahwa beban BLBI yang menjadi tanggungan BI adalah sebesar Rp60 triliun, angka yang diketahui dari hasil audit BPK. Sementara itu, BI hanya aset memiliki aset sebesar Rp30 triliun. Jika DPR tetap bergantung pada hasil audit tersebut, Max mengatakan bahwa setiap saat BI bisa dipailitkan, walau hanya satu menit, yang bisa mengakibatkan penggantian seluruh Dewan Gubernurnya.
Dua politikus PDI-P, Ketua Fraksi PDI-P DPR RI Roy BB Janis dan mantan Ketua Komisi II DPR RI Amin Aryoso[2], mengklaim ada campur tangan asing selama proses amandemen UUD terjadi melalui LSM yang didanai pihak luar.
Mereka duga bahwa NDI telah memberikan dana kepada sejumlah anggota Dewan untuk menghadiri "Forum Regional tentang Pengawasan Legislatif yang Efektif untuk Transparansi dan Akuntabilitas" di Filipina. Anggota Dewan tersebut adalah Ketua Komisi IX DPR RI Max Moein dari PDIP dan Ketua Komisi I DPR RI Ibrahim Ambong dari Partai Golkar.[3]
Namun, NDI membantah dugaan tersebut karena dasar organisasi mereka sangat berbeda dengan dugaan intervensi yang disuarakan oleh Roy Janis. Lebih lanjut lagi, DPR RI rupanya sering menerima dana bantuan dari berbagai lembaga internasional.
Namun, Ketua Komisi IX Max Moein mengatakan bahwa pembentukan Panja lebih baik dibandingkan Pansus karena pembentukan Panja akan menjadi urusan internal komisi.
Pada Maret 2006, DPR belum menyetujui rencana pemerintah untuk membebaskan pajak pertambahan nilai (PPN) atas barang primer dan hasil pertanian di Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam rapat konsultasi yang berlangsung beberapa pekan sebelumnya, DPR dan Menteri Keuangan membahas gagasan pembebasan PPN. Namun, Komisi Keuangan dan Perbankan DPR memutuskan untuk menjadwalkan ulang pertemuan tersebut ke minggu depannya lagi agar pemerintah bisa diberi waktu untuk mempersiap usulan mereka lebih baik.[5]
"Saya minta ditunda dulu. Kami akan pelajari di internal komisi,” kata Max Moein dalam kapasitasnya sebagai Wakil Ketua Komisi Keuangan dan Perbankan DPR yang menghadiri rapat konsultasi tersebut.
Max menyatakan bahwa DPR tidak bisa menerima pembebasan PPN tanpa mengetahui rincian barang-barang yang akan dikecualikan dari penerimaan pajak dan kemungkinan pengurangan pendapatan negara.
"Harus ada kriteria baku tentang angka kemiskinan. Jangan BPS kriterianya beda, IMF beda, DPR beda. Ini bikin kita semua pusing," katanya.
Selain itu, Max juga mengusulkan, agar angka kemiskinan dan pengungguran dapat dimasukkan dalam asumsi makro APBN. Menurutnya, hal ini dapat mempermudah pemerintah dan masyarakat umum melihat apakah pertumbuhan ekonomi yang tinggi telah berhasil menurunkan angka kemiskinan dan pengangguran.
"Selama ini kan cuma inflasi pertumbuhan ekonomi, sebaiknya kalau sudah ada kan bagus. Ini kita tambahkan dalam asumsi makro kita. Jadi pencapaian bukan hanya pajak, SBI, tapi penurunan pengangguran dan kemiskinan dicapai atau tidak," katanya menambahkan.
Tahun 2003, saat menjabat sebagai Ketua Komisi Keuangan dan Perbankan DPR (Komisi IX), Max Moein, mendapat tuduhan adanya kasus suap di tubuh komisi IX DPR-RI seputar proses divestasi Bank Niaga.[7]
Ia mengaku mendapat surat dari PDIP. Isi suratnya agar dapat memenangkan Megawati di setiap daerah pemilihan.
Pada tahun 2011, Max Moein ditetapkan menjadi terdakwa dalam kasus dugaan suap cek perjalanan terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004, Miranda Gultom. Max Moein bersikukuh bahwa sejumlah cek perjalanan yang dia terima bukanlah dana suap melainkan bantuan partai untuk dana kampanye kadernya.[9]
Max meninggal dunia pada tanggal 19 Maret 2019[10] setelah menderita penyakit tumor dan diabetes yang dideritanya selama dua tahun[11]. Kabar duka tersebut dikonfirmasi oleh Politikus PDIP Hendrawan Supratikno.