Lompat ke isi

Makanan haram

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Makanan haram adalah segala makanan yang kondisinya haram dimakan oleh manusia. Pengharaman suatu makanan ditentukan oleh firman Allah dalam Al-Qur'an dan hadis dari Nabi Muhammad. Ciri utama makanan haram adalah buruk, menjijikkan dan membahayakan tubuh manusia. Penetapan makanan haram didasarkan oleh keharaman zat yang terkandung di dalamya dan keharaman cara memperolehnya.

Status halal, haram dan syubhat dari suatu makanan merupakan bagian dari kajian di dalam Islam. Kedudukannya berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan akan makanan. Kajiannya mencakup sumber, kebersihan, cara pengolahan dan penyajian hingga cara membuang sisa makanan. Tujuan pengkajian ini di dalam Islam berkaitan dengan peran makanan dalam membentuk akhlak individu.[1]

Hukum asal dari setiap makanan di dalam Islam adalah mubah atau boleh dimakan. Setiap makanan di Bumi status awalnya adalah halal. Pengecualiannya hanya dilakukan ketika ada dalil yang mengharamkannya. Jumlah makanan yang diharamkan pun sangat sedikit bila dibandingkan dengan makanan yang dihalalkan.[1] Makanan haram disebutkan dalam beberapa ayat di dalam Al-Qur'an. Ayat-ayat ini antara lain Surah An-Nahl ayat 115, Surah Al-Baqarah ayat 173, Surah Al-Ma'idah ayat 3, dan Surah Al-An'am ayat 145.[2]

Ciri-ciri

[sunting | sunting sumber]

Makanan haram telah disebutkan ciri-cirinya di dalam Al-Qur'an oleh Allah. Ciri utamanya adalah kondisi makanan yang buruk dan menjijikkan serta dapat membahayakan tubuh manusia. Dalam Surah Al-Baqarah ayat 173, ciri-ciri ini disebutkan yaitu bangkai, darah, daging babi dan hewan yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah.[3]

Hewan haram

[sunting | sunting sumber]

Surah Al-Ma'idah ayat 3 menyebutkan 10 jenis hewan haram dan kondisinya. Empat jenis pertama yaitu bangkai, darah, daging babi dan hewan yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah. Kemudian lima jenis berikutnya sesuai dengan kondisi matinya, yaitu mati dicekik, dipukul, jatuh, ditanduk, atau diterkam oleh hewan buas. Sedangkan jenis hewan haram terakhir adalah yang disembelih untuk penyembahan berhala.[4]

Jenis hewan haram lainnya yaitu hewan yang kotor dan menjijikkan. Keharamannya dilandaskan dari Surah Al-A'raf ayat 157. Ayat ini menyatakan bahwa manusia diharamkan dari segala sesuatu yang buruk. Contoh hewan yang kotor dan menjijikkan yaitu ulat, kutu, rayap, belatung, kaki seribu dan binatang pemakan kotoran.[5]

Bangkai merupakan segala sesuatu yang mati hingga menimbulkan bau yang menyengat. Sesuatu dinyatakan sebagai bangkai jika mati dalam keadaan tidak disembelih. Keadaan yang menyebabkannya antara lain mati dicekik, dipukul, jatuh, ditanduk, atau diterkam oleh hewan buas. Persyaratan keharaman bangkai dan kondisinya disebutkan dalam Surah Al-Ma'idah ayat 3.[6]

Pengharaman bangkai sebagai makanan disebabkan oleh ketidaktahuan akan penyebab kematiannya. Suatu bangkai memiliki kemungkinan untuk mengalami kematian akibat penyakit menular. Pengecualian untuk memakan bangkai tertentu juga disebutkan dalam sebuah hadis. Dalam hadis ini, Nabi Muhammad menyebutkan dua jenis bangkai yang halal dimakan, yaitu bangkai ikan dan belalang.[6]

Penetapan keharaman

[sunting | sunting sumber]

Penetapan makanan haram melalui dua kriteria. Kriteria pertama adalah zat dari makanan yang dimakan. Sedangkan kriteria yang kedua yaitu cara memperoleh makanan tersebut. Penentuan keharaman perolehan makanan ditentukan di dalam Al-Qur'an oleh Allah. Selain itu, penjelasannya juga diperoleh dari hadis.[7]

Syarat pengharaman suatu jenis makanan adalah ada dalil yang mengharamkannya. Tanpa dalil, semua makanan dalam status mubah sebagai hukum asalnya. Adanya aturan pengharaman ini membuat jumlah makanan haram lebih sedikit dibandingkan dengan makanan halal.[8]

Cara perolehan

[sunting | sunting sumber]

Pembelian dari harta yang haram

[sunting | sunting sumber]

Makanan yang dibeli dari harta yang haram statusnya menjadi makanan haram. Harta haram ini berlaku jika diperoleh dari harta orang lain atau harta negara yang penerimanya tidak memiliki hak atasnya sama sekali. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa daging di tubuh manusia akan masuk ke dalam neraka jika tumbuh dari makanan haram. Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari Abu Bakar Ash-Shiddiq.[9]

Pengecualian

[sunting | sunting sumber]

Suatu makanan haram dapat dimakan dalam keadaan darurat. Ini berdasarkan kepada firman Allah dalam Surah Al-Ma'idah ayat 3. Memakan makanan haram ini sebagai pengecualian hanya dalam keadaan berniat untuk tidak berbuat dosa.[10]

Dampak buruk

[sunting | sunting sumber]

Berkepribadian buruk

[sunting | sunting sumber]

Makanan haram akan membentuk kepribadian yang buruk pada individu yang memakannya. Kepribadian yang mulia pada diri individu akan cenderung berkurang. Dalam sebuah hadis tentang mengkonsumsi makanan haram, disebutkan bahwa memakan makanan haram membuat seseorang cenderung melakukan perbuatan haram.[11]

Terhalangnya doa

[sunting | sunting sumber]

Terhalangnya doa akibat makanan haram diperoleh dari sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Dalam hadis ini dijelaskan mengenai tidak diterimanya doa seorang pengelana yang tidak diterima. Penyebabnya adalah ia menggunakan pakaian yang haram, memakan makanan yang haram dan mengerjakan hal-hal yang haram.[11]

Referensi

[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b Husna, Faiqatul (2020). "Virus Corona Dampak dari Makanan yang Tidak Halal" (PDF). Salam: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i. 7 (6): 566. doi:10.15408/sjsbs.v7i6.15318. 
  2. ^ Syukriya dan Faridah 2019, hlm. 46.
  3. ^ Buhairi 2012, hlm. 39-40.
  4. ^ Afifah 2015, hlm. 21-22.
  5. ^ Afifah 2015, hlm. 23-24.
  6. ^ a b Buhairi 2012, hlm. 40.
  7. ^ Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an 2013, hlm. 143.
  8. ^ Syukriya dan Faridah 2019, hlm. 45.
  9. ^ Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an 2013, hlm. 146.
  10. ^ Fathoni, Muhammad Anwar (2021). Kesadaran Konsumen Terhadap Makanan Halal di Indonesia. Banyumas: Penerbit CV. Pena Persada. hlm. 9–10. ISBN 978-623-315-461-1. 
  11. ^ a b Tambunan, N,, dan Manshuruddin (2022). Makna Makanan Halal dan Baik Dalam Islam (PDF). Medan: CV. Cattleya Darmaya Fortuna. hlm. 20. ISBN 978-623-994-87-7-1. 

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]