Konstitusi zaman akhir Kekaisaran Romawi
Artikel ini adalah bagian dari seri Politik dan Ketatanegaraan Romawi Kuno |
Zaman |
|
Konstitusi Romawi |
Preseden dan Hukum |
|
Sidang-Sidang Rakyat |
Magistratus |
Magistratus Luar Biasa |
Gelar dan Pangkat |
Konstitusi zaman akhir Kekaisaran Romawi merujuk pada struktur pemerintahan, sistem hukum, dan kerangka politik yang berkembang selama periode Kekaisaran Romawi akhir, yang secara umum mencakup masa dari abad ke-3 hingga kejatuhan kekaisaran di Barat pada abad ke-5. Pada masa ini, terjadi perubahan besar dalam administrasi, organisasi, dan tatanan kekaisaran, yang ditandai dengan meningkatnya sentralisasi kekuasaan di tangan kaisar, birokrasi yang semakin kompleks, dan pengaruh Kristen yang semakin dominan.
Latar Belakang
[sunting | sunting sumber]Pada pertengahan abad ke-3 M, Kekaisaran Romawi mengalami krisis yang dikenal sebagai "Krisis Abad Ketiga," di mana kekaisaran hampir runtuh karena tekanan dari invasi barbar, perang saudara, kekacauan ekonomi, dan epidemi. Untuk mengatasi krisis ini, kaisar-kaisar Romawi mulai merombak struktur politik dan administratif kekaisaran. Reformasi ini mencapai puncaknya di bawah pemerintahan Diokletianus (284–305 M) dan Konstantinus Agung (306–337 M), yang memperkenalkan perubahan mendasar pada sistem pemerintahan Romawi yang masih terlihat hingga akhir kekaisaran.
Struktur Kekuasaan
[sunting | sunting sumber]1. Dominatus
[sunting | sunting sumber]Pada zaman akhir kekaisaran, sistem pemerintahan berubah dari "principatus" (di mana kaisar dianggap sebagai "yang pertama di antara yang sederajat") menjadi "dominatus", sebuah bentuk kekuasaan absolut di mana kaisar dianggap sebagai penguasa mutlak dengan kekuasaan ilahi. Kaisar tidak lagi berperan sebagai kepala negara yang hanya memimpin militer dan hukum, tetapi juga sebagai figur yang hampir disakralkan, sering kali digambarkan sebagai perantara antara Tuhan dan rakyatnya.
Kaisar memperoleh gelar "dominus" (tuan), sebuah istilah yang sebelumnya hanya digunakan dalam konteks perbudakan, tetapi sekarang diterapkan untuk menunjukkan kedudukan kaisar yang lebih tinggi dibandingkan warga Romawi lainnya. Diokletianus adalah sosok utama di balik perubahan ini, yang juga memperkenalkan tetrarki, sistem pembagian kekuasaan antara dua kaisar senior (Augustus) dan dua kaisar junior (Caesar).
2. Tetrarki
[sunting | sunting sumber]Untuk mengatasi masalah suksesi yang sering menyebabkan perang saudara, Diokletianus membentuk tetrarki pada tahun 293 M. Tetrarki adalah sistem pemerintahan di mana kekuasaan dibagi antara empat penguasa: dua kaisar senior yang disebut Augustus, dan dua kaisar junior yang disebut Caesar. Kekuasaan dibagi antara Timur dan Barat untuk lebih mudah mengelola wilayah yang luas dan beragam.
Setelah Diokletianus turun tahta, sistem tetrarki tidak bertahan lama karena konflik di antara para kaisar yang bersaing, tetapi reformasi ini membuka jalan bagi pembagian kekaisaran menjadi dua bagian yang lebih permanen: Kekaisaran Romawi Barat dan Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium).
Perubahan Administrasi
[sunting | sunting sumber]1. Sentralisasi Birokrasi
[sunting | sunting sumber]Pada masa akhir kekaisaran, birokrasi Romawi berkembang menjadi lebih kompleks dan sentralistik. Kekuasaan administratif yang sebelumnya didistribusikan kepada gubernur provinsi semakin banyak dipusatkan di tangan kaisar dan pejabat tinggi di ibu kota. Sistem birokrasi ini ditandai dengan keberadaan sejumlah besar pejabat, sekretaris, dan penasihat, yang memainkan peran penting dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari.
Beberapa posisi birokrasi utama termasuk:
- Magister officiorum: Kepala birokrasi sipil yang mengawasi berbagai departemen administrasi.
- Quaestor sacri palatii: Penasehat hukum kaisar dan kepala urusan yudisial.
- Comes rerum privatarum: Pengawas keuangan kekaisaran, khususnya urusan properti pribadi kaisar.
2. Militerisasi Administrasi
[sunting | sunting sumber]Untuk menghadapi ancaman dari luar, seperti serangan suku-suku barbar, kekaisaran akhir semakin memusatkan kekuasaan militer. Posisi gubernur provinsi sering kali dipegang oleh jenderal atau pejabat militer, dan kekuasaan militer lebih terintegrasi dengan pemerintahan sipil. Sistem militer kekaisaran dirombak dengan pembentukan comitatenses (pasukan bergerak) dan limitanei (pasukan perbatasan), yang bertugas mempertahankan perbatasan kekaisaran dan merespon serangan dari suku-suku barbar.
3. Reformasi Pajak
[sunting | sunting sumber]Diokletianus juga memperkenalkan reformasi pajak besar-besaran untuk mendanai birokrasi dan militer kekaisaran. Pajak dihitung berdasarkan unit tanah dan jumlah penduduk yang bekerja di tanah tersebut, yang dikenal sebagai capitatio-iugatio. Sistem pajak ini dimaksudkan untuk memastikan pendapatan yang stabil bagi negara, meskipun pada praktiknya sering menyebabkan kesulitan ekonomi bagi petani dan penguasa lokal.
Hukum dan Yurisprudensi
[sunting | sunting sumber]Pada masa akhir kekaisaran, hukum Romawi mengalami kodifikasi yang lebih sistematis. Salah satu pencapaian hukum terbesar dari periode ini adalah Kodeks Theodosianus, yang disusun atas perintah Kaisar Theodosius II pada tahun 438 M. Kodeks ini merupakan kumpulan undang-undang yang berlaku sejak masa Konstantinus hingga Theodosius II, dan berfungsi sebagai dasar hukum di seluruh kekaisaran.
Selain itu, perkembangan hukum Kristen juga mulai memengaruhi hukum kekaisaran. Konstantinus, kaisar pertama yang memeluk Kristen, mulai memasukkan nilai-nilai Kristen ke dalam hukum negara, seperti pelarangan pengorbanan hewan kepada dewa-dewa pagan dan penerapan sanksi bagi mereka yang tidak menghormati agama Kristen.
Pengaruh Kristen
[sunting | sunting sumber]Kristen menjadi agama resmi Kekaisaran Romawi setelah Edik Tesalonika pada tahun 380 M, yang dikeluarkan oleh Kaisar Theodosius I. Sejak saat itu, gereja memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pemerintahan kekaisaran. Para uskup sering kali memegang peran penting dalam pengambilan keputusan politik, dan ajaran Kristen mulai mempengaruhi kebijakan sosial dan moral di seluruh kekaisaran. Gereja juga menjadi institusi yang membantu mendistribusikan bantuan kepada masyarakat, khususnya selama masa-masa krisis ekonomi dan serangan barbar.
Kehancuran Kekaisaran Romawi Barat
[sunting | sunting sumber]Pada abad ke-5, Kekaisaran Romawi Barat mengalami tekanan yang semakin besar dari invasi suku-suku barbar seperti Visigoth, Vandal, dan Hun. Meskipun reformasi yang diperkenalkan pada zaman akhir berhasil memperpanjang usia kekaisaran, masalah ekonomi, militer, dan politik internal tidak dapat diatasi sepenuhnya. Pada tahun 476 M, Kekaisaran Romawi Barat secara resmi runtuh ketika kaisar terakhir, Romulus Augustulus, digulingkan oleh Odoacer, seorang jenderal barbar. Meskipun Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium) tetap bertahan, jatuhnya bagian Barat menandai akhir dari kekaisaran Romawi yang pernah berjaya selama lebih dari seribu tahun.