Kematian menurut Islam

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kematian menurut Islam adalah suatu ketentuan yang dikehendaki oleh Allah atas tiap makhluk, termasuk manusia. Ayat-ayat Al-Qur'an menjelaskan bahwa kematian merupakan sebuah keniscayaan bagi makhluk yang bernyawa. Penyebab kematian dapat karena tidak terpenuhinya kebutuhan jasmani atau kesehatan tubuh yang melemah. Sementara Allah mustahil mengalami kematian.

Kematian merupakan siklus yang berulang dengan kehidupan bagi setiap makhluk. Prosesnya meliputi peralihan antara roh dan jiwa. Masa kejadian kematian menurut Islam hanya diketahui oleh Allah sebagai ketetapan-Nya. Ketetapan Allah atas kematian makhluk khususnya manusia pada usia kandungan 120 hari. Kematian pertama yang tercatatan dalam Al-Qur'an adalah kematian Habil oleh saudaranya Qabil.

Tanda kematian adalah terjadinya kondisi sekarat. Rasa sakit saat kematian akan terjadi lebih sakit dibandingkan dengan bagian tubuh yang terpisah-pisah. Kematian merupakan bentuk cobaan bagi kehidupan manusia dan batas untuk melakukan pertobatan dalam Islam. Setelah kematian terjadi, catatan amal manusia berakhir dan segala akad yang ditetapkannya semasa hidupnya juga diakhiri. Persiapan utama dalam menghadapi kematian dalam Islam adalah memperbanyak ibadah.

Dalam Islam, terdapat 4 kondisi yang menyebabkan seseorang mati dalam keadaan syahid, yaitu pembelaan terhadap harta, keluarga, agama dan nyawa. Sementara kematian dalam keadaan buruk terjadik ketika masa sekarat, manusia masih memikirkan dunia dan mengingkari Islam sebagai kebenaran.

Anjuran dalam Islam mengenai kematian adalah melakukan ziarah kubur dan takziah. Tujuannya untuk mengingatkan diri akan kematian. Terdapat pula larangan mengenai kematian, yaitu larangan mengharapkan kematian, mempercepat kematian, meratapi kematian dan menyiarkan kematian. Manusia yang telah mengalami kematian akan berpindah dari alam dunia menuju ke alam barzakh dan alam akhirat. Ilmu yang berkaitan dengan kematian adalah hukum waris.

Hakikat[sunting | sunting sumber]

Kematian sebagai suatu kemestian bagi makhluk[sunting | sunting sumber]

Kematian hanya dialami oleh makhluk. Sementara Allah mustahil mengalami kematian karena Allah adalah Yang Tidak Berawal dan Tidak Berakhir. Awal dan akhir hanya dialami oleh makhluk.[1] Salah satu nama Allah adalah Al-Hayyu yang berarti Yang Maha Hidup. Nama ini disebutkan dalam lima ayat dalam Al-Qur'an. Salah satunya Surah Al-Furqan ayat 58.[2]

Kematian merupakan salah satu cobaan dari Allah yang manusia tidak berdaya mengatasinya.[3] Umat manusia tidak dapat melindungi dirinya dari kematian.[4] Kematian merupakan peristiwa yang menjadi bentuk kekuasaan Allah. Allah menetapkan bahwa semua makhluk termasuk manusia akan mengalami kematian.[5]

Dalam beberapa ayat di dalam Al-Qur'an, kematian selalu dijelaskan sebagai suatu kemestian bagi manusia. Kemestian ini sifatnya tidak terhindarkan.[6] Setelah kematian itu, Allah juga menetapkan akan adanya hari kebangkitan. Ketetapan ini diberikan kepada para rasul pilihan-Nya untuk disampaikan. Hari kebangkitan setelah kematian ini merupakan awal dari kehidupan baru yang kekal dan abadi.[7]

Kematian sebagai peralihan roh dan jasad[sunting | sunting sumber]

Manusia diciptakan sebagai makhluk yang terdiri dari jiwa dan tubuh. Kondisi demikian membuat kematian menjadi sebuah kenyataan bagi keberadaan manusia.[8] Peralihan roh dan jiwa melalui kematian telah dialami oleh manusia secara biologis maupun filosofis. Surah Al-Baqarah ayat 28 menjelaskan bahwa manusia pada awalnya mati. Lalu Allah menghidupkannya, kemudian Allah mematikannya lagi. Setelah itu, manusia dihidupkan lagi untuk kemudian kembali kepada Allah. Konsep ini berkaitan dengan asal manusia yang berubah roh murni yang diciptakan oleh Allah. Dalam bentuk roh, manusia mengalami kematian fisik duniawi dii Bumi. Roh ini kemudian dihidupkan lagi dalam kandungan melalui proses biologis. Kematian terjadi dalam proses massal dan akbar pada jasad yang disebut sperma. Jumlah sel sperma yang berlomba untuk mencapai sel telur berjumlah sekitar 300 juta calon manusia. Namun yang sampai ke sel telur hanya 1 sel sperma saja. Sisanya mengalami kematian dan yang satunya mengalami kehidupan baru sebagai janin.[9]

Setelah hidup di dunia, kematian merupakan sebuah proses perpindahan dari tempat beramal ke tempat pembalasan. Tempat pembalasan ini disebut akhirat. Jasad dan roh akan merasakan kematian. Roh akan dianggap mati ketika berpisah dari jasad. Setelah kematian, roh tidak akan memasuki jasad lain dan tidak akan bereinkarnasi.[10]

Berdasarkan konsep roh dan jasad, para ulama memiliki dua pendapat mengenai kematian. Pertama, kematian yang hanya terjadi pada jasad. Pada pendapat ini, roh bersifat kekal namun kekekalannya tidak sama dengan Allah. Pendapat ini berdasarkan kepada isyarat Surah Ali Imran ayat 168. Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa segala jenis makhluk akan binasa, termasuk roh. Pendapat ini berdasarkan kepada isyarat Surah Al-Qasas ayat 88.[11]

Penyebab[sunting | sunting sumber]

Kebutuhan jasmani tidak terpenuhi[sunting | sunting sumber]

Kebutuhan jasmani merupakan salah satu potensi manusia yang bersifat fitrah. Kematian akan terjadi pada manusia bila kebutuhan jasmani tidak terpenuhi. Manusia juga secara fitrah akan berusaha memenuhinya dengan berbagai cara.[12]   

Kekebalan tubuh melemah[sunting | sunting sumber]

Manusia diberikan suatu kondisi oleh Allah agar dapat menjaga kesehatannya. Kondisi ini adalah adanya fungsi kekebalan tubuh terhadap virus dan bakteri penyebab penyakit. Fungsi kekebalan tubuh telah diprogram dalam asam deoksiribonukleat yang ada pada manusia. Tubuh manusia dapat tetap sehat karena unsur asing yang memasukinya dicegah masuk oleh sistem kekebalan tubuh. Kekebalan tubuh yang melemah akan membuat kesehatan menurun dan berakibat pada kematian bila tidak diobati.[13]

Masa kejadian[sunting | sunting sumber]

Kematian merupakan suatu peristiwa gaib yang mutlak. Pengetahuan akan kematian hanya akan diketahui oleh manusia ketika mengalaminya secara langsung.[14] Informasi mengenai kematian hanya diketahui oleh Allah saja. Kematian suatu makhluk tidak dapat terungkap sama sekali.[15] Dalam Surah Luqman ayat 34, Allah berfirman bahwa tidak ada satupun jiwa yang mengetahui di mana kematiannya.[16]

Dalam salah satu hadis Arbain Nawawi disebutkan bahwa waktu kematian merupakan salah satu dari empat perkara yang ditetapkan sejak manusia memperoleh kehidupannya dari Allah. Masa pemberian ini ketika manusia masih di dalam kandungan dan telah berusia 120 hari. Catatan kematian ini diberikan oleh Allah kepada malaikat bersama dengan ketentuan rezeki, amal, dan nasib.[17] Malaikat yang bertugas untuk mencabut nyawa adalah Malakul Maut. Nama ini diberikan langsung oleh Allah dan disebutkan dalam Surah As-Sajdah ayat 11. Sedangkan nama Izrail yang umum digunakan merupakan penyebutan-penyebutan tentang Malakul Maut di dalam kisah Israiliyat.[18]

Manusia pertama yang merasakan kematian adalah putra Nabi Adam yang bernama Habil. Ia mati dibunuh oleh saudaranya yang bernama Qabil. Kematian Habil juga menjadi awal dari dimulainya penguburan jenazah.[19]

Kondisi sekarat[sunting | sunting sumber]

Seseorang yang mengalami kematian dalam keadaan tenang.

Kondisi sekarat berbeda-beda pada setiap orang. Ada orang yang mati dalam keadaan tenang dan ada pula yang tubuhnya bergerak tidak karuan. Ada yang mati dengan mata terbelalak dan ada pula yang mati dengan mulut menguak dan mengeluarkan suara seperti sapi yang disembelih.[20] Surah An-Nazi'at ayat 1 dan 2 menyebutkan kondisi pencabutan nyawa seseorang oleh malaikat maut. Nyawa orang kafir dicabut dengan kekerasan. Sedangkan nyawa orang mukmin dicabut secara perlahan-lahan.[21]

Kematian memberikan rasa sakit melebihi pukulan pedang, penggergajian tubuh maupun pengguntingan tubuh. Perbedaan ini disebabkan oleh objek yang menerima rasa sakit. Pada pukulan pedang, penggergajian tubuh maupun pengguntingan tubuh, rasa sakit hanya diterima oleh tubuh yang terhubung ke nyawa. Sedangkan pada kematian, rasa sakit itu langsung diterima oleh nyawa. Karena rasa sakit yang teramat sangat, orang yang sekarat tidak dapat bersuara maupun berteriak. Rasa sakit menyebar di seluruh tubuhnya namun berpusat di hatinya, sehingga setiap anggota tubuh dalam kondisi lemah tak berdaya.[22]

Fungsi[sunting | sunting sumber]

Cobaan dalam kehidupan manusia[sunting | sunting sumber]

Dalam Surah Al-Baqarah ayat 155, Allah berfirman bahwa Ia akan memberikan cobaan kepada manusia. Salah satunya adalah kekurangan jiwa. Tafsir al-Jalalain menjelaskan bahwa kekurangan jiwa merupakan cobaan yang diakibatkan oleh kematian, pembunuhan dan penyakit.[23]

Batas pertobatan manusia[sunting | sunting sumber]

Kematian merupakan pertanda bahwa pertobatan sudah tidak lagi diterima oleh Allah. Pertobatan manusia tidak lagi diterima ketika manusia sudah mencapai keadaan sekarat.[24]

Persiapan[sunting | sunting sumber]

Islam merupakan salah satu agama yang meyakini bahwa keberadaan manusia sangat bergantung dengan kehidupan akhirat. Kematian menjadi bagian yang sangat penting dan positif bagi dunia.[25] Manusia yang tidak mengingat kematian umumnya tidak memiliki semangat untuk beribadah. Kondisi ini disebabkan oleh rasa cinta akan dunia. Namun, pada saat menjelang kematian, manusia akan memiliki dua ketakutan. Pertama, ketakutan akan kehilangan harta dan ketakutan akan kekurangan bekal menghadapi kematian.[26] Karena itu, umat Islam umumnya cenderung mempersiapkan diri dalam menghadapi kematian dengan memperbanyak ibadah. Ibadah ini utamanya adalah salat, puasa dan zikir. Di sisi lain, manusia juga masih memperhatikan tanggung jawab sosialnya meskipun tidak menjadi prioritas.[27]

Akibat[sunting | sunting sumber]

Pencatatan amal berakhir[sunting | sunting sumber]

Kematian merupakan tanda berakhirnya kesempatan untuk beramal bagi seseorang. Orang-orang beriman yang telah mengalami kematian tidak lagi dapat menambah kebaikan dari umur yang dimilikinya. Ketetapan ini diriwayatkan dalam sebuah hadis dari Anas bin Malik melalui Imam Muslim.[28] Amalan yang tidak terputus akibat kematian hanya ada tiga. Ini berdasarkan periwayatan hadis dari Imam Muslim. Ketiga amalan ini yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan doa anak yang saleh.[29]

Mengakhiri akad[sunting | sunting sumber]

Kematian merupakan salah satu penyebab berakhirnya ikatan pernikahan.[30] Sebelum terjadinya hubungan suami-istri, kematian pada suami atau istri ditetapkan sebagai tanda berakhirnya akad pernikahan. Namun, kematian tidak menjadi penyebab rusaknya akad pernikahan sebelum terjadinya hubungan suami-istri. Akad pernikahan tetap dilaksanakan termasuk pemberian mahar. Sebagian besar ulama memberlakukan hukum ini baik pada kondisi kematian alami maupun bunuh diri. Ada pula ulama dari Mazhab Hanafi yang mengecualikan kondisi ini pada istri yang bunuh diri. Pada kondisi ini, mahar tidak diberikan lagi karena bunuh diri dianggap sebagai suatu kemurtadan.[31]

Status kematian[sunting | sunting sumber]

Mati dalam keadaan syahid[sunting | sunting sumber]

Islam memberikan penghargaan yang tinggi atas kondisi seseorang yang membela dirinya. Salah satunya perihal kematian. Sebuah hadis periwayatan An-Nasa'i menyebutkan bahwa mati syahid dalam Islam dapat terjadi karena empat perkara. Pertama, mati karena membela harta yang dimiliki. Kedua, mati karena membela keluarga. Ketiga, mati karena membela agama. Keempat, mati karena membela nyawa.[32]

Pada masa para Sahabat Nabi, umat muslim berlomba untuk mati syahid. Mereka mengetahui bahwa kehidupan yang sejati akan mereka peroleh setelah kematian dunia. Pemahaman ini berdasarkan firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 154. Allah menyatakan bahwa orang-orang yang gugur demi membela agama Allah sesungguhnya tidak mati. Melainkan memperoleh kehidupan yang sejati.[33]

Su'ul khatimah[sunting | sunting sumber]

Kematian dalam kondisi su'ul khatimah memiliki dua jenis kondisi. Kondisi terburuk adalah kematian yang pada saat sekarat memiliki keraguan dan keingkaran. Kedua hal tersebut dimiliki oleh seseorang hingga nyawanya dicabut. Akibatnya, orang yang mati dalam keadaan ini akan memiliki penghalang antara dirinya dengan Allah di akhirat. Dirinya juga akan menerima siksaan yang abadi. Sedangkan tingkatan yang lainnya lebih baik. Kondisi su'ul khatimah kedua adalah kematian yang pada saat sekarat memiliki keinginan akan dunia atau syahwat. Di pikirannya hanya ada kehidupan dunia hingga kematiannya.[34]

Kondisi di alam kubur[sunting | sunting sumber]

Berdasarkan hadis periwayatan Ibnu Abdil Barr, diketahui bahwa orang yang telah mati di dalam kuburnya masih mengenali orang yang masih hidup. Pengenalan ini terjadi ketika memberi salam kepada penghuni kubur. Allah mengembalikan sementara roh orang yang telah meninggal untuk menjawab salam.[35]

Anjuran[sunting | sunting sumber]

Takziah[sunting | sunting sumber]

Takziah bertujuan untuk menghindari terjadinya tindakan meratapi kematian seseorang yang telah meninggal. Meratapi kematian biasanya terjadi pada keluarga dari  orang yang telah meninggal. Takziah berperan untuk menghibur keluarga tersebut agar perasaan susah dan sedih yang mereka rasakan menghilang. Takziah juga dilakukan untuk memberikan nasihat untuk menghadapi kematian dengan persiapan. Karena kematian dapat terjadi kapan saja pada diri seseorang.[36]

Ziarah kubur[sunting | sunting sumber]

Beberapa muslim yang sedang ziarah kubur.

Nabi Muhammad memerintahkan kepada umatnya untuk memperbanyak mengingat kematian. Kegiatan ini disebutkannya dapat mengurangi dosa yang dimiliki manusia. Mengingat kematian juga meningkatkan tingkat zuhud seseorang atas dunia. Dalam sebuah hadis periwayatan Imam Ibnu Majah, Nabi Muhammad menyatakan bahwa manusia yang bijak adalah manusia yang banyak mengingat kematian. Manusia yang bijak juga adalah yang banyak persiapannya dalam menghadapi kematiannya. Sikap bijak mereka akan memberikan kemuliaan baik di dunia maupun di akhirat.[21]

Cara mengingat kematian adalah dengan melakukan ziarah kubur. Sebuah hadis periwayatan Al-Hakim menyebutkan anjuran untuk menziarahi kubur. Selain untuk mengingatkan akan kematian, ziarah kubur juga dapat melembutkan perasaan dan mengingatkan akan adanya akhirat.[37]

Larangan[sunting | sunting sumber]

Mengharapkan kematian[sunting | sunting sumber]

Nabi Muhammad melarang umat muslim untuk mengharapkan kematian akibat tertimpa cobaan dalam Islam. Larangan ini diriwayatkan dalam sebuah hadis dari Anas bin Malik melalui Imam Muslim. Seseorang hanya diperbolehkan mengharapkan kematian melalui doa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad pada akhir hadis larangan ini. Doa tersebut berisi permohonan hamba kepada Allah untuk menghidupkannya jika kehidupan ini lebih baik menurut Allah. Lalu disambung dengan permohonan hamba kepada Allah untuk mewafatkannya jika kematian ini lebih baik menurut Allah.[28]

Salah satu contoh permohonan untuk memperoleh kematian adalah mengharapkan kematian dalam keadaan muslim. Menurut Ibnu Katsir, doa ini pertama kali dipanjatkan oleh Nabi Yusuf. Doa ini kemudian diajarkan oleh Nabi Muhammad kepada umatnya menjelang wafatnya.[38]

Nabi Muhammad juga melarang umat muslim untuk mengharapkan dan memohon atas kematian sebelum mencapai ajalnya. Larangan ini diriwayatkan dalam sebuah hadis dari Anas bin Malik melalui Imam Bukhari.[28] Larangan ini berkaitan dengan pelaksanaan kebaikan dan pertobatan. Masa sebelum kematian merupakan masa menambah kebaikan bagi orang baik. Sedangkan masa sebelum kematian merupakan masa melakukan pertobatan bagi orang jahat.[28]

Membuat keadaan yang mempercepat kematian[sunting | sunting sumber]

Donor organ tubuh manusia[sunting | sunting sumber]

Islam tidak mengizinkan donor organ pada tubuh manusia saat pendonor masih dalam keadaan koma atau hampir mencapai ajalnya. Berdasarkan sebuah hadis periwayatan Imam Malik yang menyatakan bahwa seseorang tidak boleh membuat keadaan darurat bagi dirinya sendiri. Seseorang juga tidak boleh menyebabkan permasalahan kepada orang lain. Kondis larangan ini terpenuhi dalam donor organ karena mendonorkan organ ketika pendonor masih hidup termasuk mempercepat kematiannya.[39]

Meratapi kematian[sunting | sunting sumber]

Anggota keluarga lain yang meratapi jenazah anggota keluarganya yang wafat dengan menangis.

Dalam Islam, tidak dikenal istilah meratapi kematian bagi muslim. Perilaku meratapi kematian dianggap sebagai tabiat orang kafir dan kebiasaan masa jahiliah. Nabi Muhammad melarang umatnya meratapi kematian dan menyamakan tindakan meratap dengan kekufuran. Dua jenis ratapan yang ditetapkan Nabi Muhammad sebagai penyebab kekufuran adalah meratapi garis keturunan dan meratapi jenazah. Nabi Muhammad juga menetapkan bahwa laki-laki yang meratapi jenazah secara berlebihan bukanlah bagian dari umatnya. Ratapan berlebihan ini adalah memukul pipi, merobek kantong dan menyeru dengan seruan jahiliah.[40] Wanita diperbolehkan berkabung atas kematian suami atau kerabatnya dalam masa waktu yang telah ditentukan oleh Nabi Muhammad dalam hadis. Dalam hadis yang disepakati oleh jemaah, masa berkabung ditetapkan selama paling lama tiga hari.[41]

Menyiarkan kematian[sunting | sunting sumber]

Dalam sebuah hadis periwayatan Imam Tirmidzi disebutkan bahwa menyiarkan berita kematian merupakan perbuatan kaum jahiliah. Hadis ini diperkuat oleh perkataan Hudzaifah yang mendengar langsung larangan ini dari Nabi Muhammad. Penyiaran berita kematian dilarang sehubungan dengan dilarangnya pula meratapi kematian. Larangan ini untuk menghindari timbulnya perasaan duka yang keputus-asaan yang berlebihan. Kedua kondisi ini dapat membuat jenazah tidak segera dikuburkan.[42]   

Fase lanjutan[sunting | sunting sumber]

Ilustrasi pembagian alam menurut Ibnu Arabi setelah kematian. Mulai dari alam dunia (cokelat), alam barzakh (Hijau kebiruan), surga (hijau) dan neraka (hitam).

Setelah manusia mengalami kematian, jiwanya akan meninggalkan alam dunia menuju ke alam selanjutnya yaitu alam barzakh.[43] Alam barzakh merupakan alam ketiga yang dilalui oleh manusia setelah alam rahim dan alam dunia. Setelah melalui alam barzakh barulah manusia menuju ke alam akhirat.[44]  

Dalam sebuah hadis periwayatan Imam Tirmidzi disebutkan tiga perkara setelah kematian. Ketiga perkara ini menyebabkan masuk ke dalam surga apabila tidak dimiliki oleh orang yang meninggal. Perkara tersebut adalah kesombongan, fanatisme dan utang.[45] Selain itu, manusia yang telah mengalami kematian akan mengalami kerugian. Kerugian ini diterimanya jika ia mati tidak dalam keadaan beriman. Sebab keimanan ini merupakan bekal menuju ke alam akhirat.[46]

Siklus kematian bagi manusia berakhir ketika manusia telah memasuki surga atau neraka. Surga dimasuki oleh penghuni surga, sedangkan neraka dimasuki oleh penghuni neraka. Baik penghuni surga dan penghuni neraka akan memperoleh pengumuman bahwa kematian tidak akan terjadi lagi kepada mereka. Mereka hanya akan menjalani kehidupan yang abadi. Keterangan ini berasal dari hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dan Abu Hurairah.[47] Keterangan lain mengenai berakhirnya kematian setelah memperoleh kehidupan abadi adalah pada Surah Ad-Dukhan ayat 56. Ayat ini khusus menjelaskan keabadian manusia yang menjadi penghuni surga.[48]

Hukum terkait[sunting | sunting sumber]

Hukum waris[sunting | sunting sumber]

Adanya kematian merupakan pokok utama dalam hukum waris. Kematian menciptakan hak dan kewajiban bagi individu yang meninggal dan urusan untuk menunaikannya.[49]  

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Ardiyansyah (2018). Islam berdialog dengan Zaman. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo. hlm. 15. ISBN 978-602-04-7629-2. 
  2. ^ Jahja, Zurkani (2010). Shohifullah, ed. 99 Jalan Mengenal Tuhan. Bantul: Pustaka Pesantren. hlm. 495. ISBN 978-979-8452-67-3. 
  3. ^ Hasan, Nurul Ichsan (2014). Ibad, Saiful, ed. Pengantar Asuransi Syariah (PDF). Jakarta: Referensi. hlm. 243. ISBN 978-979-9152-41-1. 
  4. ^ Badrudin 2020, hlm. 141.
  5. ^ Syukriah (2014). Nur, Aslam, ed. Tradisi Reuhab dalam Adat Kematian Desa Alue Tho Kecamatan Seunagan Kabupaten Nagan Raya (PDF). Banda Aceh: Balai Pelestarian Nilai Budaya Banda Aceh. hlm. 1. ISBN 978-602-9457-45-2. 
  6. ^ Munawar-Rachman, B., dkk. (2022). Haq. M. Z., dan Rahman, M. T., ed. Pemikiran Islam Nurcholish Madjid. Tangerang Selatan: Lembaga Studi Agama dan Filsafat. hlm. 381. ISBN 978-623-99805-1-1. 
  7. ^ Rohidin (2020). Pendidikan Agama Islam: Sebuah Pengantar (PDF). Yogyakarta: FH UII Press. hlm. 108. ISBN 978-602-53159-2-3. 
  8. ^ Fuadi (2017). Wahid, Abd., ed. Refleksi Makna Hidup Manusia Pada Epigrafi Islam Pasai (PDF). Banda Aceh: Forum Intelektual al-Qur’an dan Hadits Asia Tenggara. hlm. 99. ISBN 978-602-1027-27-1. 
  9. ^ Sholikhin, Muhammad (2012). Makna Kematian Menuju Kehidupan Abadi. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo. hlm. 2–3. ISBN 978-602-00-2535-3. 
  10. ^ Al-Suhaim, Muhammad Abdullah Shalih. Agama Islam: Risalah Singkat tentang Islam Berdasarkan Al-Qur'ān Al-Karīm dan As-Sunnah An-Nabawiyah. IslamHouse.com. hlm. 97. ISBN 978-603-832-953-5. 
  11. ^ Solichah, Aas Siti (2020). Sunhaji, A., dan Aziz, J. A., ed. Pendidikan Karakter Anak Pra Akil Balig Berbasis Al-Qur'an. Pekalongan: PT Nasya Expanding Management. hlm. 320–321. ISBN 978-623-6906-13-2. 
  12. ^ Fahrurrozie, Rendra (2021). Insani, Siti Jamalul, ed. Konsep Pendidikan Islam Taqiyuddȋn Al-Nabhȃni Kajian Kitab Niẕȃm Al-Islȃm (PDF). Solok: Penerbit Insan Cendekia Mandiri. hlm. 45. ISBN 978-623-348-164-9. 
  13. ^ Junus, Ismet (2013). Manusia Menurut Hidayah Al-Qur'an (PDF). Medan: Pusat Islam Universitas Medan Area. hlm. 61. ISBN 978-602-17953-2-3. 
  14. ^ El-Shafa, Ahmad Zacky (2012). Jangan Takut Mati Bila Khusnul Khatimah. MedPress Digital. hlm. 14. ISBN 979-878-086-8. 
  15. ^ Albar, D., dkk. (2020). Zulaiha, E., dan Rahman, M. T., ed. Penciptaan dan Pemeliharaan Alam dalam Perspektif Al- Qur‘an (PDF). Bandung: Prodi S2 Studi Agama-Agama UIN Sunan Gunung Djati Bandung. hlm. 18. ISBN 978-623-94239-7-1. 
  16. ^ Baswedan, Sufyan bin Fuad (2013). Andai Si Mati Bisa BIcara. Jakarta Timur: Jakarta Timur. hlm. 2. ISBN 978-602-9215-19-9. 
  17. ^ Mukaromah, S., dan Sari, D. R. (2020). Utas dan Ulasan Islam mengenai Persoalan-Persoalan. Guepedia. hlm. 117. ISBN 978-623-281-225-3. 
  18. ^ Aziz, Sa'ad Yusuf Abu (2017). Ensiklopedi Hak dan Kewajiban dalam Islam. Diterjemahkan oleh Nurdin, Ali. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar. hlm. 33. ISBN 978-979-592-791-4. 
  19. ^ Mansur, Syafi'in (2012). "Kematian Menurut Para Filosof" (PDF). Alqalam. 29 (2): 240. 
  20. ^ Ghofur, dkk. 2020, hlm. 50.
  21. ^ a b Ghofur, dkk. 2020, hlm. 51.
  22. ^ Badrudin 2020, hlm. 140.
  23. ^ Syafaruddin, dkk. 2017, hlm. 139.
  24. ^ Syafaruddin, dkk. 2017, hlm. 196.
  25. ^ Harari, Yuval Noah (2018). Wiyati, Nunung, ed. Homo Deus: A Brief History of Tomorrow. Tangerang Selatan: PT Pustaka Alvabet. hlm. 24. ISBN 978-602-6577-33-7. 
  26. ^ Abdullah, Ali (2015). Khotbah-Khotbah Terakhi Rasulullah saw.: Nasihat Rasulullah tentang Akhlak, Ilmu, serta Keselamatan Dunia dan Akhirat. Sleman: Penerbit Bunyan. hlm. 103. ISBN 978-602-291-128-9. 
  27. ^ Mughni, S., dkk. (2015). Diskursus Neo-Sufisme Muhammadiyah: Genealogi, Konstruksi dan Manifestasi. Malang: Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang. hlm. 118. ISBN 978-979-796-353-8. 
  28. ^ a b c d Al-Qurthubi, Imam (2020). At-Tadzkirah: Keindahan Menghadapi Kematian. Bandung: Penerbit Jabal. hlm. 1. 
  29. ^ Sholihah, S. (2020). Rosyadi, Imron, ed. Tanya Jawab Agama (PDF). Surakarta: Navida Media. hlm. 29. ISBN 978-623-93247-0-4. 
  30. ^ Muzammil 2019, hlm. 123.
  31. ^ Muzammil 2019, hlm. 138.
  32. ^ Suryadilaga, Sutrisna (2008). The Balance Way: Match to Rich. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. hlm. 15–16. ISBN 978-979-22-4041-2. 
  33. ^ Qardhawi, Yusuf (2009). Fiqih Jihad: Sebuah Karya Monumental Terlengkap Tentang Jihad Menurut Al-Qur'an dan Sunnah. Bandung: Penerbit Mizan. hlm. 463. ISBN 978-979-433-586-4. 
  34. ^ Hawwa, Sa'id. Mensucikan Jiwa. Robbani Press. hlm. 356. 
  35. ^ Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim (2008). Roh. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar. hlm. 17. ISBN 979-592-119-3. 
  36. ^ Fatmawati (2017). Shuhufi, Muhammad, ed. Tersenyum Bersama Sang Maut (PDF). Gowa: Pusaka Almaida Makassar. hlm. 141. ISBN 978-602-70293-7-8. 
  37. ^ Winoto, M., dan Amaliyah (2022). Kitab Mahkota Ziaroh. Banyumas: Penerbit CV. Pena Persada. hlm. 9. ISBN 978-623-455-059-7. 
  38. ^ Musfah, J., dan Masykhur, A. (2008). Doa Ajaran Ilahi: Kumpulan Doa dalam Al-Qur'an beserta Tafsirnya. Penerbit Hikmah. hlm. 86. 
  39. ^ Une, D., dkk. (2015). Katili, Lukman D., ed. Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi: Rujukan Utama Dosen dan Mahasiswa di Seluruh Prodi di Lingkungan Universitas Negeri Gorontalo (PDF). Gorontalo: Ideas Publishing. hlm. 81. ISBN 978-602-9262-56-8. 
  40. ^ Al-Hasyimi, Muhammad Ali. Kepribadian Wanita Muslimah. Jakarta: Qisthi Press. hlm. 327. ISBN 978-979-1303-96-5. 
  41. ^ 'Uwaidah, Kamil Muhammad (2016). Fikih Wanita. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar. hlm. 222. ISBN 978-979-592-662-7. 
  42. ^ Al-Hanbali, Muhammad Al-Manjibi (2007). Menghadapi Musibah Kematian. Jakarta Selatan: Penerbit Hikmah. hlm. 47. ISBN 978-979-114-075-1. 
  43. ^ al-Suyuthi, Jalal al-Din (2000). Kemenangan Besar Berjumpa Sang Mahabenar. Serambi Ilmu Semesta. hlm. 6. 
  44. ^ Hawwa, Said (1993). Al-Islam. Depok: Penerbit Gema Insani. hlm. 599. ISBN 978-602-250-472-6. 
  45. ^ Ghofur, dkk. 2020, hlm. 49-50.
  46. ^ Hidayat, R., dan Zuhdi, A. (2020). Hediansyah, ed. Islam On The Spot: Kumpulan Informasi Menarik Seputar Ajaran Islam Jilid 1. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo. hlm. 27. ISBN 978-623-00-1513-7. 
  47. ^ Al-Asyqar, Umar Sulaiman Abdullah (2017). Pengantar Studi Akidah Islam. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar. hlm. 320. ISBN 978-979-592-805-8. 
  48. ^ Surga yang Allah Janjikan. Jakarta: Qisthi Press. hlm. 423. ISBN 978-979-1303-58-3. 
  49. ^ Cahyani, Tinuk Dwi (2018). Hukum Waris dalam Islam: Dilengkapi Contoh Kasus dan Penyelesaiannya (PDF). Malang: Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang. hlm. 1. ISBN 978-979-796-327-9. 

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]