Kajian budaya

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Dasar kajian budaya adalah Marxisme

Kajian budaya (Inggris: cultural studies) adalah suatu cara pandang teoretis mengenai suatu objek dengan perspektif bidang kritik sastra, sosiologi, sejarah, kajian media, dan berbagai bidang lainnya.[1] Kajian budaya merupakan bidang interdisipliner yang mengambil berbagai cara pandang dari ilmu lain untuk meneliti hubungan antara kebudayaan dengan politik atau kekuasaan.[2] Objek kajian budaya tidak hanya dipahami secara sempit mengenai seni atau kebudayaan, tetapi juga menyetuh kehidupan sehari-hari manusia yang menyangkut budaya populer.[1] Namun, kajian budaya tidak bisa direduksi menjadi kajian budaya populer walaupun proyek utama kajian budaya adalah mengkaji budaya populer.[1] Teks, sebagai objek kajian, dalam kajian budaya tidak hanya dipandang secara sempit, tetapi dipandang menyentuh unsur subjektivitas dan latar belakang sosial yang membentuk sebuah teks.[1] Asumsi dasar kajian budaya adalah Marxisme[1]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Seperti yang Dennis Dworkin tulis,[3] "momen kritis" pada awal studi budaya sebagai kajian ketika Richard Hoggart menggunakan istilah tersebut pada tahun 1964 dalam mendirikan Pusat Studi Budaya Kontemporer Birmingham atau CCCS.[4]

Hoggart menunjuk Stuart Hall sebagai asistennya, dan Hall secara efektif mengarahkan CCCS pada 1968,[5] mengambil alih secara resmi sebagai Direktur pada tahun 1969 ketika Hoggart pensiun. Setelah itu, disiplin ilmu ini menjadi erat terkait dengan pekerjaan Hall.

Awal tahun[sunting | sunting sumber]

Dari tahun 1960-an dan seterusnya, kepeloporannya Stuart Hall, bersama dengan rekan-rekannya dan mahasiswa pascasarjana termasuk Paul Willis, Dick Hebdige, David Morley, Charlotte Brunsdon, John Clarke, Richard Dyer, Judith Williamson, Richard Johnson, Iain Chambers, Dorothy Hobson, Chris Weedon, Tony Jefferson, Michael Green and Angela McRobbie, menciptakan sebuah gerakan intelektual internasional. Banyak sarjana kajian budaya menggunakan metode-metode analisis Marxis, mengeksplorasi hubungan antara bentuk-bentuk budaya (suprastruktur) dan ekonomi politik (dasar). Pada 1970-an, kelas pekerja politik tangguh Inggris menurun. Industri manufaktur Inggris yang memudar dan serikat-serikat menyusut. Namun jutaan kelas pekerja warga Inggris mendukung munculnya Margaret Thatcher. Untuk Stuart Hall dan teoretisi Marxis lainnya, pergeseran dalam loyalitas dari Partai Buruh ke Partai Konservatif itu bertentangan dengan kepentingan kelas pekerja dan harus dijelaskan dalam hal politik budaya.

Teori hegemoni[sunting | sunting sumber]

Dalam rangka untuk memahami situasi politik yang berubah dari kelas, politik dan budaya di Inggris, sarjana di CCCS beralih ke pekerjaan Antonio Gramsci, seorang pemikir Italia tahun 1920-an dan 30-an. Gramsci telah prihatin dengan masalah yang sama: mengapa buruh Italia dan petani memilih fasis? Dengan kata lain, mengapa orang-orang yang bekerja memilih untuk memberikan kontrol yang lebih kepada perusahaan dan melihat hak-hak dan kebebasan mereka sendiri diabaikan? Gramsci memodifikasi Marxisme klasik dalam melihat budaya sebagai instrumen kunci kontrol politik dan sosial. Dalam pandangan ini, kapitalis digunakan tidak hanya untuk kekerasan (polisi, penjara, represi, militer) untuk mempertahankan kontrol, tetapi juga merambah budaya sehari-hari orang yang bekerja. Dengan demikian, rubrik utama bagi Gramsci dan kajian budaya adalah bahwa tentang hegemoni budaya.

Scott Lash menulis:

Dalam karya Hall, Hebdige dan McRobbie, budaya populer datang ke bagian depan ... Apa yang Gramsci berikan tentang hal ini adalah pentingnya persetujuan dan budaya. Jika Marxis mendasar melihat kekuatan dalam hal kelas-versus-kelas, maka Gramsci memberikan kepada kita sebuah pertanyaan dari aliansi kelas. Munculnya kajian budaya itu sendiri didasarkan pada penurunan keunggulan mendasar dalam kelas-versus-kelas politik.[6]

Budaya dalam Kajian Budaya[sunting | sunting sumber]

Apa yang dimaksud dengan "budaya" dalam kajian budaya bersifat lebih politis daripada estetis.[7] Budaya yang menjadi objek kajian budaya bukanlah budaya sebagai objek yang bernilai seni tinggi.[7] Budaya yang dimaksud bukan pula dalam pengertian sebuah perkembangan seni, intelektual dan spiritual.[7] Budaya yang menjadi objek kajian budaya adalah budaya sebagai teks dan kehidupan sehari-hari.[7] Dengan demikian objek kajian budaya bisa mencakup budaya populer yang mungkin tidak dianggap bernilai seni tinggi, bahkan salah satu proyek terpenting dalam kajian budaya adalah mengkaji budaya populer.[7]

Kajian Budaya dan Marxisme[sunting | sunting sumber]

Kajian Budaya bukanlah bagian dari Marxisme, tetapi dasar-dasar kajian budaya banyak berasal dari Marxisme.[2] Kajian budaya dan Marxisme sama-sama memandang bahwa kehidupan manusia dilingkari oleh struktur dan regulasi di luar dirinya.[2] Dalam paradigma yang sama ini baik sebagaimana Marxisme kajian mempunyai komitmen untuk merombak struktur dan melakukan perubahan lewat kombinasi antara teori dan praktik.[2] Dengan pengaruh dari Marxisme kajian budaya menganalisis untuk memamahami makna dari suatu teks dan praktik budaya dalam konteks sosial dan sejarahnya.[7] Selain itu kajian budaya setuju dengan pandangan Marxis bahwa masyarakat kapitalis telah dikelompokan secara tidak adil menurut, garis keturunan, ras, kelas dan gender.[7] Kajian budaya merombak pengelompokan suatu karya, prkatik budaya, atau teks atas dasar dominasi politis suatu kelompok tertentu.[7]

Rujukan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e John Storey (1996). John Storey, ed. What is Cultural Studies? (Cultural Studies: an introduction). London: Arnold. hlm. 1-3. ISBN 0-340-65240-3. 
  2. ^ a b c d Chris Barker (2005). Cultural Studies:Teori dan Praktik. Yogyakarta: Bentang. hlm. 8. ISBN 979-3062-37-1. 
  3. ^ Dworkin, Dennis. Cultural Marxism in Post-War Britain: History, the New Left, and the Origins of Cultural Studies (Durham and London: Duke University Press, 1997), p. 116.
  4. ^ see also Corner, John (1991), "Postscript: Studying Culture—Reflections and Assessment: An Interview with Richard Hoggart." Media, Culture and Society, Vol. 13, No. 2, April.
  5. ^ Ioan Davies, "British Cultural Marxism," International Journal of Politics, Culture and Society 4(3) (1991): 323-344, p. 328.
  6. ^ Lash, pp. 68-9.
  7. ^ a b c d e f g h John Storey (2008). Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra. hlm. 2=4. ISBN 979-3684-68-2.