Lompat ke isi

Jaka Tarub

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Ilustrasi Jaka Tarub dan tujuh bidadari.

Jaka Tarub (Carakan: ꦗꦏꦠꦫꦸꦧ꧀) adalah seorang tokoh dalam cerita rakyat yang diabadikan dalam naskah populer Sastra Jawa Baru, Babad Tanah Jawi. Setelah dewasa ia digelari Ki Ageng Tarub (ꦏꦶꦄꦒꦺꦁꦠꦫꦸꦧ꧀). Ki Ageng Tarub adalah tokoh yang dianggap sebagai leluhur dinasti Mataram, dinasti yang menguasai politik tanah Jawa — sebagian atau seluruhnya — sejak abad ke-17 hingga sekarang. Menurut sumber masyarakat di desa Widodaren, Gerih, Ngawi peristiwa ini terjadi di desa tersebut. Sebagai buktinya, terdapat petilasan makam Jaka Tarub di desa tersebut. Rata-rata masyarakat setempat yang sudah lanjut usia tahu jalan cerita Jaka Tarub dengan 7 bidadari. Nama desa Widodaren itu dipercaya masyarakat setempat berasal dari kata widodari yang dalam bahasa Indonesia berarti bidadari. Di desa ini juga terdapat sendang (mata air) yang konon dulu adalah tempat para bidadari mandi dan Jaka Tarub mengambil selendang salah satu bidadari. Di daerah Rejang Lebong cerita ini dinyatakan dalam sebuah lagu berjudul Lalan Belek.

Mural di Jl. Sutomo, Yogyakarta, menggambarkan adegan Jaka Tarub mencuri selendang Nawangwulan.

Dalam versi "standar" legenda Jaka Tarub sebagaimana tertera pada Babad Tanah Jawi, dikisahkan bahwa Jaka Tarub adalah seorang pemuda gagah yang memiliki kesaktian. Ia sering keluar masuk hutan untuk berburu di kawasan gunung keramat. Di gunung itu terdapat sebuah telaga. Tanpa sengaja, ia melihat dan kemudian mengamati tujuh bidadari sedang mandi di telaga tersebut. Karena terpikat, Jaka Tarub mengambil selendang yang tengah disampirkan milik salah seorang bidadari. Ketika para bidadari selesai mandi, mereka berdandan dan siap kembali ke kahyangan. Salah seorang bidadari, karena tidak menemukan selendangnya, tidak mampu kembali dan akhirnya ditinggal pergi oleh kawan-kawannya karena hari sudah beranjak senja. Jaka Tarub lalu muncul dan berpura-pura menolong. Bidadari yang bernama Nawangwulan itu bersedia ikut pulang ke rumah Jaka Tarub karena hari sudah senja.

Singkat cerita, keduanya lalu menikah. Dari pernikahan ini lahirlah seorang putri yang dinamai Nawangsih. Sebelum menikah, Nawangwulan mengingatkan pada Jaka Tarub agar jangan pernah menanyakan rahasia kebiasaan dirinya kelak setelah menjadi isteri. Rahasia Nawangwulan adalah ia selalu menanak nasi menggunakan hanya sebutir beras dalam penanak nasi tetapi menghasilkan nasi yang banyak. Jaka Tarub yang penasaran tidak menanyakan kepada Nawangwulan, tetapi langsung membuka tutup penanak nasi. Akibat tindakan ini, kesaktian Nawangwulan hilang. Sejak itu ia menanak nasi seperti wanita pada umumnya. Akibat hal ini, persediaan gabah di lumbung menjadi cepat habis. Ketika persediaan gabah tinggal sedikit, Nawangwulan menemukan selendangnya, yang ternyata disembunyikan suaminya di dalam lumbung.

Nawangwulan marah saat mengetahui kalau suaminya yang telah mencuri benda tersebut. Ia mengancam meninggalkan Jaka Tarub. Jaka Tarub memohon istrinya untuk tidak kembali ke kahyangan. Namun, tekad Nawangwulan sudah bulat. Hanya saja, pada waktu-waktu tertentu ia rela datang ke marcapada untuk menyusui bayi Nawangsih.

Mural yang menggambarkan Nawangwulan bergabung kembali bersama bidadari lain.

Pernikahan Dewi Nawangsih

[sunting | sunting sumber]

Jaka Tarub kemudian menjadi pemuka desa bergelar Ki Ageng Tarub dan bersahabat dengan Brawijaya, raja Majapahit. Pada suatu hari Brawijaya mengirimkan keris pusaka Kyai Mahesa Nular supaya dirawat oleh Ki Ageng Tarub. Utusan Brawijaya yang menyampaikan keris tersebut bernama Ki Buyut Masahar dan Bondan Kejawan, anak angkatnya. Ki Ageng Tarub mengetahui kalau Bondan Kejawan sebenarnya putra kandung Brawijaya. Maka, pemuda itu pun diminta agar tinggal bersama di desa Tarub.

Sejak saat itu Bondan Kejawan menjadi anak angkat Ki Ageng Tarub, dan diganti namanya menjadi Lembu Peteng. Ketika Nawangsih tumbuh dewasa, keduanya pun dinikahkan. Setelah Jaka Tarub meninggal dunia, Lembu Peteng alias Bondan Kejawan menggantikannya sebagai Ki Ageng Tarub yang baru. Nawangsih sendiri melahirkan seorang putra, yang setelah dewasa bernama Ki Getas Pandawa. Ki Ageng Getas Pandawa kemudian memiliki putra bergelar Ki Ageng Sela, yang merupakan kakek buyut Panembahan Senapati, pendiri Kesultanan Mataram.

Babad Tanah Jawi adalah naskah sejarah Kesultanan Mataram. Pemberitaan tentang Panembahan Senapati dan para penggantinya memang mendekati fakta sejarah. Akan tetapi kisah-kisah sebelum Panembahan Senapati cenderung bersifat khayal, terutama seputar Kerajaan Majapahit. Ada yang berpendapat, Kesultanan Mataram didirikan oleh keluarga petani, bukan keluarga bangsawan. Oleh karena itu, demi mendapat legitimasi dan pengakuan dari rakyat Jawa, diciptakanlah tokoh-tokoh mitos yang serba istimewa sebagai leluhur raja-raja Mataram. Dalam hal ini, tokoh Nawangsih yang dinikahi Bondan Kejawan disebut sebagai wanita istimewa. Nawangsih merupakan anak campuran antara manusia dan bidadari. Kisah ini mengingatkan pada tokoh Ken Arok dalam Pararaton. Pihak Majapahit juga ingin menunjukkan bahwa leluhur mereka, yaitu Ken Arok adalah manusia istimewa setengah dewa.

Tokoh serupa

[sunting | sunting sumber]

Format cerita seorang lelaki yang menemukan bidadari yang mandi di sebuah danau hutan tersebar di beberapa daerah lain di Indonesia selain cerita Jaka Tarub.

Aryo Menak

[sunting | sunting sumber]

Aryo Menak adalah tokoh cerita rakyat yang berasal dari Jawa Timur tentang seorang pemuda yang menikahi bidadari kahyangan bernama Tunjung Wulan, namun akibat kesalahan Aryo membuka tutup penanak nasi yang sedang dibuat istrinya, sang bidadari akhirnya kembali ke kahyangan setelah menemukan selendang miliknya yang disembunyikan Aryo. Karena sedih dan menyesal, sejak saat itu Aryo Menak bersumpah bahwa ia dan keturunannya tidak akan pernah lagi memakan nasi.

Lenganjan

[sunting | sunting sumber]

Sebuah cerita rakyat dari daerah Manggarai, Nusa Tenggara Timur bercerita tentang seorang tokoh bernama Lenganjan. Dalam cerita ini, Lenganjan harus mengalahkan sesosok raksasa bernama Empo Rua. Untuk menemukan Empo Rua, Lenganjan mendatangi sebuah danau di hutan tempat tiga putri Empo Rua biasa mandi, dan mengambil pakaian salah satu putrinya (bernama Putri Biru) untuk ditanyai keberadaan Empo Rua, serta untuk dipersuntingnya sebagai istri. Putri itu membawa Lenganjan ke rumah Empo Rua, yang memberikan Lenganjan tiga tantangan untuk bisa menikah dengan putri yang dia temui. Cerita ini ditulis dengan judul "Raja Rebo Manggarai" dalam buku Cerita Rakyat Nusa Tenggara Timur terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun 1982.

Salambous

[sunting | sunting sumber]

Di Kepulauan Kei, Maluku, terdapat cerita seorang tokoh bernama Salambous. Salambous diceritakan hidup dengan ibunya dalam keadaan miskin, dan bekerja sehari-hari sebagai pengumpul kayu dari hutan untuk ditukar dengan makanan. Seperti cerita Jaka Tarub, Salambous menemukan tujuh bidadari dari kahyangan yang mandi di sebuah danau di hutan, mengambil pakaian salah satu bidadari tersebut, dan mengembalikannya dengan syarat si bidadari itu menjadi istrinya. Istri barunya itu kemudian diajak ke rumah Salambous dan dikenalkan kepada ibu Salambous.

Rajapala merupakan tokoh cerita rakyat di daerah Bali, yang dikisahkan berprofesi sebagai pemburu. Pada suatu hari, ketika sedang berburu, ia menemukan tujuh bidadari yang sedang mandi. Ia lalu mengambil salah satu selendang miliki bidadari itu. Bidadari yang kehilangan selendangnya diceritakan tidak bisa kembali ke kahyangan. Bidadari tersebut bernama Ken Sulasih. Ken Sulasih yang mengetahui bahwa selendangnya itu dicuri oleh Rajapala, kemudian meminta Rajapala untuk mengembalikannya. Rajapala bersedia untuk mengembalikan, asalkan Ken Sulasih mau menikah dengannya dan memberikannya seorang anak laki-laki. Ken Sulasih menuruti itu semua. Mereka menikah dan memiliki seorang putra bernama I Durma. Setelah beberapa tahun, Ken Sulasih menagih janji dari Rajapala untuk mengembalikan selendangnya. Rajapala dengan berat hati mengembalikan selendang Ken Sulasih. Ken Sulasih lalu diceritakan terbang kembali ke kahyangan dengan menggunakan selendangnya. Rajapala kemudian berpamitan kepada anaknya, ia akan pergi bertapa di hutan. Rajapala berpesan kepada anaknya agar selalu berperilaku yang baik.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  • Babad Tanah Jawi. 2007. (terj.). Yogyakarta: Narasi
  • Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius
  • Slamet Muljana. 2005. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (terbitan ulang 1968). Yogyakarta: LKIS
  • M. Widyatmika; B. Patty; A.Z. Soh; Piet. C. Kudu; & E. Kopong. 1986. "Raja Rebo Manggarai" dalam Cerita Rakyat Nusa Tenggara Timur. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
  • Maria Fatima Warajaan. 2019. "Salambous dan Tujuh Bidadari". Dalam Asrif & Adi Syaiful Mukhtar (penynt.); Cerita Rakyat Kepulauan Kei. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
  • Ni Nyoman Karmini. 2020. "Pendidikan Karakter Dalam Cerita Rakyat Rajapala". Mudra: Jurnal Seni Budaya.