Kaba Anggun Nan Tongga

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kaba Anggun Nan Tongga adalah sebuah cerita atau kaba yang populer di lingkungan masyarakat Minangkabau. Di daerah-daerah berbahasa Melayu cerita ini dikenal dengan nama Hikayat Anggun Cik Tunggal.

Kaba ini bercerita tentang petualangan dan kisah cinta antara Anggun Nan Tongga dan kekasihnya Gondan Gondoriah. Anggun Nan Tongga berlayar meninggalkan kampung halamannya di Kampung Dalam, Pariaman. Ia hendak mencari tiga orang pamannya yang lama tidak kembali dari merantau. Sewaktu hendak berangkat Gondan Gondoriah meminta agar Nan Tongga membawa pulang 120 buah benda dan hewan langka dan ajaib.

Meskipun pada awalnya dikisahkan secara lisan beberapa versi kaba ini sudah dicatat dan dibukukan. Salah satunya yang digubah Ambas Mahkota, diterbitkan pertama kali tahun 1960 di Bukittinggi.

Ringkasan cerita[sunting | sunting sumber]

Di sebuah lorong pendalaman kampung, Pariaman hiduplah seorang pemuda yang bernama Anggun Nan Tongga, yang di juga digelar Magek Jabang. Bundanya Ganto Sani wafat tak lama sesudah melahirkan Nan Tongga, sedangkan ayahnya pergi bertarak ke Gunung Ledang.Ia diasuh saudara perempuan ibundanya yang bernama Suto Suri. dari kecil Nan Tongga sudah dijodohkan dengan Putri Gondan Gondoriah, anak mamaknya. Anggun Nan Tongga tumbuh menjadi pemuda tampan dan cerdas. Ia mahir berkuda, silat, dan pandai mengaji Quran serta dalam ilmu agamanya.

Pada suatu hari terdengar kabar bahwa di Sungai Garinggiang Nangkodoh Baha membuka arena pertandingan untuk mencari suami bagi adiknya, Intan Korong. Nan Tongga minta izin pada Mandeh Suto Suri untuk ikut serta. Pada awalnya Mandeh Suto Suri tidak setuju, karena Nan Tongga sudah bertunangan dengan Gondan Gondoriah. namun akhirnya ia mengalah.

Di gelanggang Nan Tongga berhasil mengalahkan Nangkodo Baha pada tiap-tiap permainan: menyabung ayam, menembak maupun catur. Marah dan malu karena kekalahannya Nangkodoh Baha mengejek Nan Tongga karena membiarkan ketiga mamaknya ditawan bajak laut di pulau Binuang Sati. memandang barita itu Nan Tongga pulang dengan hati sedih.

Nan Tongga bertekad untuk merantau mencari mamak-mamaknya: Mangkudun Sati, Nangkodoh Rajo dan Katik Intan. Sebelum pergi nan tongga minto izin pada Mandeh Suto Suri dan tunangannya Puti Gondan Gondoriah. Gondoriah meminta Nan Tongga membawakannya benda-benda dan hewan-hewan langka sebanyak 120 buah. Beberapa di antaranya adalah seekor burung nuri yang dapat berbicara, beruk yang pandai bermain kecapi, dan kain cindai yang tak basah oleh air.yay

Nan Tongga berangkat berlayar dengan kapal bernama Dandang Panjang, ditemani pembantu setianya Bujang Salamat. Nakhodanya bernama Malin Cik Ameh. Setelah berlayar beberapa lama akhirnya mereka sampai di pulau Binuang Sati. Nan Tongga menyuruh kapal berlabuh di sana. Utusan Panglima Bajau, raja Pulau Binuang Sati, tiba untuk mengusir Nan Tongga, tetapi ia menolak. Dalam pertempuran yang pecah kemudian Bujang Salamat berhasil membunuh Panglima Bajau. Pulau Binuang Sati pun takluk.

Nan Tongga menemukan salah seorang mamaknya, Nangkodoh Rajo, dikurung dalam kandang babi. Nangkodoh Rajo menceritakan bahwa kedua mamak Nan Tongga lainnya, Katik Intan dan Makhudum Sati berhasil meloloskan diri ketika pertempuran di laut dengan lanun anak buah Panglima Bajau. Ia juga memberitahukan bahwa burung nuri yang pandai berbicara ada di Kuala Kota Tanau.

Kemudian Nan Tongga menyuruh Malin Cik Ameh pulang ke Pariaman menggunakan kapal rampasan dari Binuang Sati, dan memberi pesan ke kampung halaman bahwa Nangkodoh Rajo sudah dibebaskan. nan tongga sendiri berlayar dengan Dandang Panjang bersama Bujang Salamat ke Kota Tanau. Namun ketika bertemu Gondan Gondoriah ia terpesona pada kecantikan tunangan Nan Tongga itu. Ia lalu bercerita bahwa Nan Tongga ditawan oleh Panglima Bajau. Ia juga berkata Nan Tongga berpesan Malin Cik Ameh dijadikan pemimpin di kampungnya. Malin Cok Ameh lalu dirajakan di sana. Ia mengirim utusan untuk meminang Gondan Gondoriah namun ditolak dengan alasan masih berduka atas tertangkapnya Nan Tongga.

Sementara itu di Kota Tanau Anggun Nan Tongga menemukan pamannya yang lain menjadi raja di sana. Putri pamannya Putri Andami Sutan memiliki seekor burung nuri yang pandai berbicara. Nan Tongga lalu mencoba meminta burung tersebut. Dengan halus Andami Sutan mengisyaratkan Nan Tongga hanya dapat mendapatkan burung nuri ajaib tersebut dengan mengawini dirinya. Tak dapat menemukan cara lain Nan Tongga pun menikahi putri tersebut.

Burung nuri ajaib itu kemudian lepas dari sangkarnya dan terbang ke Tiku Pariaman. Di sana ia menemui Puti Gondan Gondoriah yang gundah mendengar tunangannya menikah dengan Andami Sutan.

Nan Tongga tidak dapat menahan rindunya pada kampung halaman dan tunangannya. Ia meninggalkan istrinya Andami Sutan yang sedang hamil. Ketika Gondan Gondoriah mendengar kabar bahwa Anggun Nan Tongga sudah pulang ia lari ke Gunung Ledang. Anggun Nan Tongga kemudian mengejar dan membujuknya untuk pulang. Gondoriah akhirnya luluh hatinya dan kembali bersama Nan Tongga.

Ketika hendak menikah Nan Tongga dan Gondan Gondoriah bersama Bujang Selamat pergi mencari Tuanku Haji Mudo untuk meminta restu. Namun Tuanku Haji Mudo berkata bahwa Nan Tongga dan Gondan Gondoriah adalah saudara sepersusuan, karena Nan Tongga pernah menyusu pada ibu Gondan Gondoriah. Menurut hukum Islam berarti Nan Tongga dan Gondan Gondoriah tidak boleh menikah di dunia ini dan hanya dapat berjodoh di akhirat.

Karena belum juga pulang orang tua Nan Tongga dan Gondan Gondoriah mengirim orang untuk mencari Nan Tongga dan Gondan Gondoriah. Mereka menemukan Bujang Selamat sendiri yang berkata bahwa Nan Tongga, Gondan Gondoriah, dan Tuanku Haji Mudo sudah naik ke langit.

Lihat pula[sunting | sunting sumber]