Syariat Islam: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
LaninBot (bicara | kontrib)
k Perubahan kosmetik tanda baca
Menolak 3 perubahan teks terakhir (oleh Djohan 19 dan LaninBot) dan mengembalikan revisi 14673781 oleh 114.4.219.62
Baris 1: Baris 1:
{{Islam}}
{{Islam}}
'''Syariat Islam''' ([[Bahasa Arab|Arab]]: <font size=4>شريعة إسلامية</font> Kata syara' secara etimologi berarti "jalan yang dapat di lalui air", maksudnya adalah jalan yang ditempuh manusia untuk menuju Allah. Syariat Islam adalah [[hukum]] atau peraturan yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat Islam, baik di dunia maupun di akhirat.
Menurut bahasa ''syari'ah'' berarti tempat aliran air dan tempat keluar ternak menuju air yang mengalir. Kemudian pengertian kata ini dipinjam untuk digunakan pada istilah bagi setiap jalan yang ditetapkan oleh Allah yang tidak berubah, yang datang kepada kita oleh seorang nabi. Maka ''syari'ah'' dalam pengertian istilah yang berlaku adalah aturan yang ditetapkan oleh Allah ta'ala bagi hamba-Nya berupa hukum-hukum yang dibawa oleh salah seorang nabi diantara para nabi-Nya. Jadi ''syari'ah'' adalah buatan Allah bukan hasil [[Ijtihad|''ijtihad'']] manusia; bersifat tetap, tidak berubah.<ref>{{Cite book|title=Perang Terminologi Islam versus Barat|last='Imarah|first=Muhammad|publisher=Robbani Press|year=1998|isbn=9799078318|location=Jakarta|pages=102}}</ref>

'''Syariat Islam''' ([[Bahasa Arab|Arab]]: <font size="4">شريعة إسلامية</font> Kata ''syara''<nowiki/>' secara etimologi berarti "jalan yang dapat di lalui air", maksudnya adalah jalan yang ditempuh manusia untuk menuju Allah. Syariat Islam adalah [[hukum]] atau peraturan yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat Islam, baik di dunia maupun di akhirat.


== Sumber Hukum Islam ==
== Sumber Hukum Islam ==
Baris 17: Baris 15:
* ''Daif'' (lemah)
* ''Daif'' (lemah)
* ''Maudu''' (palsu)
* ''Maudu''' (palsu)
Hadis yang dijadikan acuan hukum hanya hadis dengan derajat ''sahih'' dan ''hasan'', kemudian hadis ''daif'' menurut kesepakatan [[Ulama]] salaf (generasi terdahulu) selama digunakan untuk memacu gairah beramal (fadilah amal) masih diperbolehkan untuk digunakan oleh umat Islam. Adapun hadis dengan derajat ''maudu'' dan derajat hadis yang di bawahnya wajib ditinggalkan, tetapi tetap perlu dipelajari dalam ranah ilmu pengetahuan.
Hadis yang dijadikan acuan hukum hanya hadis dengan derajat ''sahih'' dan ''hasan'', kemudian hadis ''daif'' menurut kesepakatan [[Ulama]] salaf (generasi terdahulu) selama digunakan untuk memacu gairah beramal (fadilah amal) masih diperbolehkan untuk digunakan oleh umat Islam. Adapun hadis dengan derajat ''maudu'' dan derajat hadis yang di bawahnya wajib ditinggalkan, namun tetap perlu dipelajari dalam ranah ilmu pengetahuan.


Perbedaan al-Quran dan al-Hadis adalah al-Quran, merupakan kitab suci yang berisikan kebenaran, hukum hukum dan firman Allah, yang kemudian dibukukan menjadi satu bundel, untuk seluruh umat manusia. Sedangkan al-hadis, merupakan kumpulan yang khusus memuat sumber hukum Islam setelah al Quran berisikan aturan pelaksanaan, tata cara ibadah, [[Akhlak]], ucapan yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad saw. Walaupun ada beberapa perbedaan ulama ahli [[fikih]] dan ahli hadis dalam memahami makna di dalam kedua sumber hukum tersebut tetapi semua merupakan upaya dalam mencari kebenaran demi kemaslahatan ummat, tetapi hanya para ulama [[mazhab]] (ahli fiqih) dengan derajat keilmuan tinggi dan dipercaya ummat yang bisa memahaminya dan semua ini atas kehendak Allah.
Perbedaan al-Quran dan al-Hadis adalah al-Quran, merupakan kitab suci yang berisikan kebenaran, hukum hukum dan firman Allah, yang kemudian dibukukan menjadi satu bundel, untuk seluruh umat manusia. Sedangkan al-hadis, merupakan kumpulan yang khusus memuat sumber hukum Islam setelah al Quran berisikan aturan pelaksanaan, tata cara ibadah, [[Akhlak]], ucapan yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad saw. Walaupun ada beberapa perbedaan ulama ahli [[fikih]] dan ahli hadis dalam memahami makna di dalam kedua sumber hukum tersebut tetapi semua merupakan upaya dalam mencari kebenaran demi kemaslahatan ummat , namun hanya para ulama [[mazhab]] (ahli fiqih) dengan derajat keilmuan tinggi dan dipercaya ummat yang bisa memahaminya dan semua ini atas kehendak Allah.


=== Ijtihad ===
=== Ijtihad ===
''[[Ijtihad]]'' adalah sebuah usaha para [[ulama]], untuk menetapkan sesuatu putusan hukum Islam, berdasarkan al-Quran dan al-Hadis. Ijtihad dilakukan setelah Nabi Muhammad wafat sehingga tidak bisa langsung menanyakan pada beliau tentang sesuatu hukum maupun perihal peribadatan. Namun, ada pula hal-hal [[ibadah mahdhah|ibadah]] tidak bisa di ijtihadkan. Beberapa macam ijtihad, antara lain:
''[[Ijtihad]]'' adalah sebuah usaha para [[ulama]], untuk menetapkan sesuatu putusan hukum Islam, berdasarkan al-Quran dan al-Hadis. Ijtihad dilakukan setelah Nabi Muhammad wafat sehingga tidak bisa langsung menanyakan pada beliau tentang sesuatu hukum maupun perihal peribadatan. Namun, ada pula hal-hal [[ibadah mahdhah|ibadah]] tidak bisa di ijtihadkan. Beberapa macam ijtihad, antara lain :
* [[Ijma']], kesepakatan para ulama
* [[Ijma']], kesepakatan para ulama
* [[Qiyas]], diumpamakan dengan suatu hal yang mirip dan sudah jelas hukumnya
* [[Qiyas]], diumpamakan dengan suatu hal yang mirip dan sudah jelas hukumnya
Baris 40: Baris 38:
Yaitu perkara yang tidak ada atau tidak jelas ketentuannya dalam al Quran dan al Hadis. Kedudukannya sebagai cabang Syariat Islam. Sifatnya pada dasarnya tidak mengikat seluruh umat Islam di dunia kecuali diterima [[Ulil Amri]] setempat menerima sebagai peraturan / perundangan yang berlaku dalam wilayah kekuasaannya. Perkara atau masalah yang masuk dalam furu' syara' ini juga disebut sebagai perkara ''ijtihadiyah''.
Yaitu perkara yang tidak ada atau tidak jelas ketentuannya dalam al Quran dan al Hadis. Kedudukannya sebagai cabang Syariat Islam. Sifatnya pada dasarnya tidak mengikat seluruh umat Islam di dunia kecuali diterima [[Ulil Amri]] setempat menerima sebagai peraturan / perundangan yang berlaku dalam wilayah kekuasaannya. Perkara atau masalah yang masuk dalam furu' syara' ini juga disebut sebagai perkara ''ijtihadiyah''.


Menurut Tahir Azhary, ada tiga sifat hukum islam:
Menurut Tahir Azhary, ada tiga sifat hukum islam :


* bidimensional, artinya mengandung segi kemanusiaan dan segi ketuhanan (ilahi)
* bidimensional, artinya mengandung segi kemanusiaan dan segi ketuhanan (ilahi)

Revisi per 1 Juli 2019 13.45

Syariat Islam (Arab: شريعة إسلامية Kata syara' secara etimologi berarti "jalan yang dapat di lalui air", maksudnya adalah jalan yang ditempuh manusia untuk menuju Allah. Syariat Islam adalah hukum atau peraturan yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat Islam, baik di dunia maupun di akhirat.

Sumber Hukum Islam

Mahkamah Syariat Negara Bagian Johor di Malaysia.

Al-Quran

Al-Qur'an sebagai kitab suci umat Islam adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia hingga akhir zaman.[1] Selain sebagai sumber ajaran Islam, Al Quran disebut juga sebagai sumber pertama atau asas pertama syarak.

Al Qur'an merupakan kitab suci terakhir yang turun dari serangkaian kitab suci lainnya yang pernah diturunkan ke dunia. Dalam upaya memahami isi Al Qur'an dari waktu ke waktu telah berkembang tafsiran tentang isi-isi Al Qur'an namun tidak ada yang saling bertentangan.

Al-Hadis

Hadis terbagi dalam beberapa derajat keasliannya, di antaranya adalah:

  • Sahih
  • Hasan
  • Daif (lemah)
  • Maudu' (palsu)

Hadis yang dijadikan acuan hukum hanya hadis dengan derajat sahih dan hasan, kemudian hadis daif menurut kesepakatan Ulama salaf (generasi terdahulu) selama digunakan untuk memacu gairah beramal (fadilah amal) masih diperbolehkan untuk digunakan oleh umat Islam. Adapun hadis dengan derajat maudu dan derajat hadis yang di bawahnya wajib ditinggalkan, namun tetap perlu dipelajari dalam ranah ilmu pengetahuan.

Perbedaan al-Quran dan al-Hadis adalah al-Quran, merupakan kitab suci yang berisikan kebenaran, hukum hukum dan firman Allah, yang kemudian dibukukan menjadi satu bundel, untuk seluruh umat manusia. Sedangkan al-hadis, merupakan kumpulan yang khusus memuat sumber hukum Islam setelah al Quran berisikan aturan pelaksanaan, tata cara ibadah, Akhlak, ucapan yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad saw. Walaupun ada beberapa perbedaan ulama ahli fikih dan ahli hadis dalam memahami makna di dalam kedua sumber hukum tersebut tetapi semua merupakan upaya dalam mencari kebenaran demi kemaslahatan ummat , namun hanya para ulama mazhab (ahli fiqih) dengan derajat keilmuan tinggi dan dipercaya ummat yang bisa memahaminya dan semua ini atas kehendak Allah.

Ijtihad

Ijtihad adalah sebuah usaha para ulama, untuk menetapkan sesuatu putusan hukum Islam, berdasarkan al-Quran dan al-Hadis. Ijtihad dilakukan setelah Nabi Muhammad wafat sehingga tidak bisa langsung menanyakan pada beliau tentang sesuatu hukum maupun perihal peribadatan. Namun, ada pula hal-hal ibadah tidak bisa di ijtihadkan. Beberapa macam ijtihad, antara lain :

  • Ijma', kesepakatan para ulama
  • Qiyas, diumpamakan dengan suatu hal yang mirip dan sudah jelas hukumnya
  • Maslahah Mursalah, untuk kemaslahatan umat
  • 'Urf, kebiasaan

Terkait dengan susunan tertib syariat, al Quran dalam Surah Al-Ahzab ayat 36 mengajarkan bahwa sekiranya Allah dan Rasul-Nya sudah memutuskan suatu perkara, maka umat Islam tidak diperkenankan mengambil ketentuan lain. Oleh sebab itu, secara implisit dapat dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara yang Allah dan rasul-Nya belum menetapkan ketentuannya, maka umat Islam dapat menentukan sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna ini didukung oleh ayat al Qur'an dalam Surah Al-Mai'dah[2] yang menyatakan bahwa hal-hal yang tidak dijelaskan ketentuannya sudah dimaafkan Allah.

Dengan demikian, perkara yang dihadapi umat Islam dalam menjalani hidup beribadahnya kepada Allah itu dapat disederhanakan dalam dua kategori, yaitu apa yang disebut sebagai perkara yang termasuk dalam kategori Asas Syarak (ibadah Mahdah) dan perkara yang masuk dalam kategori Furuk Syarak (Gairu Mahdah).

  • Asas Syarak (Mahdah)

Yaitu perkara yang sudah ada dan jelas ketentuannya dalam al Quran atau al Hadis. Kedudukannya sebagai Pokok Syariat Islam di mana al Qur'an itu asas pertama Syara` dan al Hadis itu asas kedua syarak. Sifatnya, pada dasarnya mengikat umat Islam seluruh dunia di mana pun berada, sejak kerasulan Nabi Muhammad hingga akhir zaman, kecuali dalam keadaan darurat.

Keadaan darurat dalam istilah agama Islam diartikan sebagai suatu keadaan yang memungkinkan umat Islam tidak mentaati Syariat Islam, ialah keadaan yang terpaksa atau dalam keadaan yang membahayakan diri secara lahir dan batin, dan keadaan tersebut tidak diduga sebelumnya atau tidak diinginkan sebelumnya, demikian pula dalam memanfaatkan keadaan tersebut tidak berlebihan. Jika keadaan darurat itu berakhir maka segera kembali kepada ketentuan syariat yang berlaku.

  • Furu' Syara' (Ghoir Mahdhoh)

Yaitu perkara yang tidak ada atau tidak jelas ketentuannya dalam al Quran dan al Hadis. Kedudukannya sebagai cabang Syariat Islam. Sifatnya pada dasarnya tidak mengikat seluruh umat Islam di dunia kecuali diterima Ulil Amri setempat menerima sebagai peraturan / perundangan yang berlaku dalam wilayah kekuasaannya. Perkara atau masalah yang masuk dalam furu' syara' ini juga disebut sebagai perkara ijtihadiyah.

Menurut Tahir Azhary, ada tiga sifat hukum islam :

  • bidimensional, artinya mengandung segi kemanusiaan dan segi ketuhanan (ilahi)
  • adil, artinya salam hukum islam keadilan bukan saja merupakan tujuan, tetapi sifat yang melekat sejak kaidah-kaidah salam syariah di tetapkan.
  • individualistik dan kemasyarakatan yang di ikat dengan nilai-nilai transendental yaitu wahyu Allah yang di sampaikan kepada Nabi Muhammad Saw.

Hukum islam mempunyai 2 sifat.

1. Al-tsabah (stabil)

2. Al-tathawwur

Referensi

  1. ^ "...dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui." (Saba' 34:28)
  2. ^ "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun." (Al-Māidah 5:101)

Lihat pula