Interaksi antara hewan dan manusia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Interaksi antara hewan dan manusia telah berlangsung sejak zaman purbakala. Hewan dan manusia memiliki tingkat kemampuan yang berbeda yang menyebabkan tingkat interaksi di antara keduanya berbeda. Interaksi hewan dan manusia dapat ditelusuri secara arkeologi melalui ekskavasi tulang hewan. Lingkungan interaksi antara hewan dan manusia adalah lingkungan biotik bersama dengan tumbuhan. Pola interaksinya dengan gerak-gerik dan suara.

Interaksi antara hewan dan manusia berbentuk domestikasi oleh manusia dan komunikasi akustik oleh hewan. Media interaksinya adalah lingkungan binaan. Interaksi antara hewan dan manusia dapat dalam hubungan baik seperti pengendalian hayati, atau hubungan buruk seperti pemanfaatan berlebihan. Aspek hubungan interaksi antara manusia dan hewan mulai dibahasa sejak Kongres Arkeologi Dunia 1986.

Penelusuran[sunting | sunting sumber]

Hewan dan manusia memiliki tingkat kemampuan yang berbeda. Manusia mampu mengembangkan interaksi dengan segala isi alam semesta dan menghasilkan kebudayaan. Kemampuan ini dapat terwujud karena manusia memiliki akal yang digunakan untuk berusaha. Sementara perkembangan interaksi pada hewan hanya dapat mencapai tahap kebiasaan pada tingkatan kelompok.[1]

Pola interaksi antara hewan dan manusia dapat ditelusuri secara arkeologi. Keterangan mengenai interaksi diperoleh melalui ekskavasi tulang hewan. Selain memberikan penjelasan mengenai kehidupan manusia di masa purba, tulang hewan juga menjelaskan tentang pengetahuan manusia di masa purba. Penemuan tulang hewan juga memberikan pengetahuan mengenai revolusi produksi makanan manusia dari kehidupan berburu menjadi beternak.[2]

Pola interaksi[sunting | sunting sumber]

Manusia dan hewan merupakan anggota dari lingkungan biotik bersama dengan tumbuhan.[3] Interaksi antara hewan dan manusia dapat terjadi secara langsung. Kedekatan interaksi antara hewan dan manusia teramati dari gerak-gerik hewan dan suara yang dihasilkannya. Interaksi antara hewan dan manusia dapat mencapai tingkatan tinggal serumah.[4] Interaksi antara manusia dan hewan juga dapat terjadi pada hasil rekayasa manusia. Hasil rekayasa ini masih dalam batasan-batasan alami untuk hewan liar. Lingkungan initeraksinya antara lain pada taman margasatwa atau kebun binatang.[5]

Jenis interaksi[sunting | sunting sumber]

Domestikasi[sunting | sunting sumber]

Domestikasi hewan telah dilakukan sejak masa purbakala. Jenis domestikasi pada hewan dibedakan menjadi hewan peliharaan dan hewan ternak. Domestikasi hewan menjadi hewan peliharaan bertujuan untuk mempermudah urusan manusia dengan bantuan hewan. Domestikasi hewan menjadi hewan ternak bertujuan untuk dimanfaatkan sebagai bahan makanan.[6]

Domestika hewan oleh manusia tidak hanya berlaku pada genetika dari spesies hewan. Hewan dan manusia melakukan adaptasi timbal-balik dalam hubungan keduanya sebagai peliharaan dan pemelihara.[7] Hewan peliharaan juga dijadikan oleh manusia sebagai teman. Pandangan ini umumnya diyakini oleh pasangan suami-istri yang tidak ingin memiliki anak atau pemuda lajang yang enggan menikah dan memiliki anak hingga mencapai masa tua.[8]

Komunikasi akustik[sunting | sunting sumber]

Hewan menggunakan komunikasi akustik untuk melakukan adaptasi dengan lingkungannya. Komunikasi ini dilakukan untuk mengatasi ketidakmampuan komunikasi visual misalnya pada hutan yang lebat. Salah satu jenis hewan yang menggunakan komunikasi akustik adalah burung. Jenis komunikasi burung dibedakan menjadi dua, yaitu suara nyanyian dan suara panggilan. Suara nyanyian lebih banyak digunakan oleh burung jantan dengan tujuan menarik perhatian burung betina. Sementara suara panggilan digunakan oleh burung untuk memanggil atau memberi peringatan. Sistem komunikasi suara oleh hewan semakin meningkat karena evolusi hewan. Perkembangan akhir yang dicapai dalam komunikasi hewan adalah menghasilkan suara yang digunakan dalam bahasa manusia.[9]

Media interaksi[sunting | sunting sumber]

Lingkungan binaan[sunting | sunting sumber]

Teknologi pembangunan yang dikembangkan oleh manusia telah mengurangi interaksi hewan dan manusia melalui lingkungan alami. Interaksi hewan dan manusia beralih ke lingkungan binaan hasil buatan manusia. Pembangunan yang dilakukan oleh manusia mengurangi habitat hewan di lingkungan alami. Karena itu, terjadi migrasi dan adaptasi oleh hewan ke lingkungan binaan manusia. Proses ini menghasilkan fenomena yang disebut sinurbisasi dan sinantropisasi.[10]

Hubungan[sunting | sunting sumber]

Hubungan baik[sunting | sunting sumber]

Pengendalian hayati[sunting | sunting sumber]

Pengendalian hayati dilakukan oleh manusia untuk mengurangi populasi penganggu pada urusan manusia. Pada pengendalian hayati, manusia memanfaatkan musuh alami. Dalam artian luas, pengendalian hayati memanfaatkan hewan sebagai musuh alami. Hewan yang digunakan adalah yang mampu bertahan hidup dari serangan patogen, parasit dan pemangsa.[11]

Hubungan buruk[sunting | sunting sumber]

Pemanfaatan berlebihan[sunting | sunting sumber]

Pemanfaatan hewan untuk kepentingan manusia dapat berdampak buruk jika proporsionalitas tidak dipertimbangkan. Dampaknya berupa ketidakseimbangan ekologi yang akhirnya menjadi penyebab kerusakan alam. Manusia pada akhirnya merugi akibat kerusakan alam tersebut.[12]

Interaksi antara hewan dan manusia semakin meningkat karena kebutuhan dasar manusia yang menghasilkan kerusakan lingkungan. Manusia mengadakan pengalihan lahan dan menghasilkan limbha rumah tangga maupun industri. Ada pula bencana alam yang disebabkan oleh manusia. Kerusakan-kerusakan ini memunculkan berbagai penyakit, salah satunya zoonosis di mana penularan terjadi dari hewan ke manusia. Beberapa jenis zoonosis yaitu virus ebola, Virus Marburg, Mers-Cov, dan flu burung.[13]

Pemikiran[sunting | sunting sumber]

Kongres Arkeologi Dunia 1986[sunting | sunting sumber]

Pada September 1986 diadakan Kongres Arkeologi Dunia di Southampton. Kongres ini dihadiri oleh 850 ahli dari berbagai disiplin ilmu. Tema yang dibahas dalam kongres ini ada empat. Salah satu temanya adalah sikap budaya terhadap hewan, termasuk burung, ikan dan invertebrata. Tujuan dari pembahasan tema tersebut ntuk mengeksplorasi perkembangan aspek hubungan antara manusia dengan hewan. Para ahli yang menghadiri kongres ini secara khusus berdiskusi tentang penyebab manusia sebagai makhluk hidup digolongkan sebagai hewan.[14]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Mumtazinur (2019). Armia, Muhammad Siddiq, ed. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (PDF). Banda Aceh: Lembaga Kajian Konstitusi Indonesia, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry. hlm. 23. ISBN 978-602-50172-4-7. 
  2. ^ Saiful, A. M., dan Hakim, B. (2016). "Interaksi Manusia Terhadap Binatang Di Gua Batti". Jurnal Walennae. 14 (1): 1. 
  3. ^ Imron, I. F., dan Puspitarini, I. Y. D. (2018). Hubungan Interelasi Manusia dan Lingkungannya (PDF). Mojokerto: Lembaga Pendidikan dan Pelatihan International English Institute of Indonesia. hlm. 2. ISBN 978-602-61737-5-1. 
  4. ^ Jumanta (2020). Buku Pintar Hewan: Segala yang Perlu Kita Tahu tentang Mereka. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. hlm. 2. ISBN 978-602-049-052-6. 
  5. ^ Majelis Lingkungan Hidup Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Kementerian Lingkungan Hidup (2011). Teologi Lingkungan: Etika Pengelolaan Lingkungan dalam Perspektif Islam (PDF). Deputi Komunikasi Lingkungan dan Pemberdayaan Masyarakat, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Majelis Lingkungan Hidup, Pimpinan Pusat Muhammadiyah. hlm. 12. ISBN 978-979-16395-3-8. 
  6. ^ Nurmatias. "Interaksi Manusia dan Hewan dalam Arkeologi". Sekretariat Direktorat Jenderal Kebudayaan Komplek Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Sumatera Barat. Diakses tanggal 1 Oktober 2022. 
  7. ^ Maknun, Djohar (2017). Zaeni, Ahmad, ed. Ekologi Populasi, Komunitas, Ekosistem Mewujudkan Kampus Hijau Asri, Islami dan Ilmiah (PDF). Cirebon: Nurjati Press. hlm. 101. ISBN 978-602-9074-59-8. 
  8. ^ Noviana, Fajria (2018). "Hewan Peliharaan sebagai Human Subtitute dalam Keluarga Jepang". Kiryoku. 2 (1): 13. ISSN 2599-0497. 
  9. ^ Sumarto, S., dan Koneri, R. (2016). Ekologi Hewan (PDF). Bandung: CV. Patra Media Grafindo. hlm. 127–128. ISBN 978-602-60134-2-2. 
  10. ^ Ridha, S. R., dan Prasetyo, E. Y. (2018). "Arsitektur sebagai Media Interaksi Manusia dan Hewan" (PDF). Jurnal Sains dan Seni POMITS. 7 (1): G19. ISSN 2301-928X. 
  11. ^ Sopialena (2018). Pengendalian Hayati dengan Memberdayakan Potensi Mikroba (PDF). Samarinda: Mulawarman University Press. hlm. 41. 
  12. ^ Mangunjaya, F. M., dkk. (2017). Mangunjaya, F. M. ,dkk., ed. Pelestarian Satwa Langka untuk Keseimbangan Ekosistem: Penuntun Sosialisasi Fatwa MUI No 4, 2014, tentang Fatwa Pelestarian Satwa Langka untuk Menjaga Keseimbangan Eksosistem (PDF). Majelis Ulama Indonesia Pusat. hlm. iv. ISBN 978-602-0819-34-1. 
  13. ^ Swacita, Ida Bagus Ngurah (2017). Bahan Ajar Kesehatan Masyarakat Veteriner: One Health (PDF). Denpasar: Laboratorium Kesmavet, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana. hlm. 4. 
  14. ^ Sitohang, Lukas Rainhard (2018). "Tim Ingold: Manusia dan Hewan Semestinya Saling Berbagi Kehidupan". Balairung: Jurnal Multidisipliner Mahasiswa Indonesia. 1 (2): 251.