Lompat ke isi

Angsana

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Angsana
Ranting angsana (Pterocarpus indicus) yang menggantung.
Dramaga, Bogor, Jawa Barat
Klasifikasi ilmiah Sunting klasifikasi ini
Kerajaan: Plantae
Klad: Tracheophyta
Klad: Angiospermae
Klad: Eudikotil
Klad: Rosid
Ordo: Fabales
Famili: Fabaceae
Subfamili: Faboideae
Genus: Pterocarpus
Spesies:
P. indicus
Nama binomial
Pterocarpus indicus
Willd.(1802)[1]
Sinonim

Pterocarpus papuanus Mueller (1886)
Pterocarpus wallichii Wight & Arn. (1834)
Pterocarpus zollingeri Miq. (1855)

Angsana atau sonokembang (Pterocarpus indicus) adalah sejenis pohon penghasil kayu berkualitas tinggi dari suku Fabaceae (=Leguminosae, polong-polongan). Kayunya keras, kemerah-merahan, dan cukup berat, yang dalam perdagangan dikelompokkan sebagai narra atau rosewood.[2]

Di pelbagai daerah, angsana dikenal dengan nama-nama yang mirip: asan (Aceh); sena, sona, hasona (Batak); asana, sana, langsano, lansano (Min.); angsana, babaksana (Btw.); sana kembang (Jw., Md.). Namun juga, nara (Bima, Seram), nar, na, ai na (Tim.), nala (Seram, Haruku), lana (Buru), lala, lalan (Amb.), ligua (Ternate, Tidore, Halm.), linggua (Maluku) dan lain-lain.[3]

Sebutan di negara-negara yang lain, di antaranya: apalit (Filipina), pradu (Thailand), chan dêng (Laos), padauk, sena, ansanah (Burma), Malay padauk, red sandalwood, amboyna (bahasa Inggris), serta santal rouge, amboine (bahasa Prancis).[2]

Pengenalan

[sunting | sunting sumber]
Pohon angsana

Pohon yang kadang-kadang menjadi raksasa rimba, tinggi hingga 40m dan gemang mencapai 350cm.[2] Batang sering beralur atau berbonggol; biasanya dengan akar papan (banir). Tajuk lebat serupa kubah, dengan cabang-cabang yang merunduk hingga dekat tanah. Pepagan (kulit kayu) abu-abu kecoklatan, memecah atau serupa sisik halus, mengeluarkan getah bening kemerahan apabila dilukai.[4]

Daun majemuk menyirip gasal, panjang 12–30 cm. Anak daun 5-13, berseling pada poros daun, bundar telur hingga agak jorong, 6-10 × 4–5 cm, dengan pangkal bundar dan ujung meruncing, hijau terang, gundul, dan tipis.[4]

Buah angsana

Bunga-bunga berkumpul dalam malai di ketiak, 9–15 cm panjangnya. Bunga berkelamin ganda, berwarna kuning dan berbau harum semerbak, berbilangan-5. Kelopak serupa lonceng, berdiameter 6mm, dua taju teratas lebih besar dan kadang-kadang menyatu. Mahkota lepas-lepas, berkuku, bendera bundar telur terbalik atau seperti sudip. Benang sari 10 helai, yang teratas lepas atau bersatu.[4]

Buah polong bundar pipih, dikelilingi sayap tipis seperti kertas, lk. 6 cm diameternya, tidak memecah ketika masak. Biji 1-4 butir.[4] Polong akan masak dalam waktu 4-6 bulan, berwarna kecoklatan ketika mengering. Bagian tengah polong gundul pada forma indicus dan berbulu sikat pada forma echinatus (Pers.) Rojo. Ada pula bentuk-bentuk antaranya.[5]

Ekologi dan persebaran

[sunting | sunting sumber]
Lukisan menurut Blanco

Tak seperti anggota marga Pterocarpus yang lain, yang menyukai wilayah ugahari, angsana menyukai lingkungan hutan hujan tropika. Secara alami, pohon ini ditemukan mulai dari Burma bagian selatan, melewati Asia Tenggara dan Kepulauan Nusantara hingga ke Pasifik barat, termasuk di Cina selatan, Kep. Ryukyu, dan Kep. Solomon.[6]

Di Jawa, pada masa lalu banyak ditemukan tumbuh tersebar di hutan-hutan hingga ketinggian 500m dpl., terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Kalimantan didapati tumbuh liar di rawa-rawa pantai, di sepanjang aliran sungai pasang surut. Buahnya yang tua dan mengering, disebarkan oleh angin, aliran air dan arus laut.[4]

Angsana biasa ditanam orang untuk berbagai keperluan. Pohon ini mudah diperbanyak dengan biji maupun dengan stek cabang dan rantingnya. Diperbanyak melalui stek karena cepat tumbuhnya. Karena sifat ini, maka angsana banyak ditanam.[7] Kini angsana juga telah menyebar luas hingga ke Afrika, India, Srilanka, Taiwan, Okinawa, Hawaii dan Amerika Tengah.[2]

Pemanfaatan

[sunting | sunting sumber]
Angsana yang ditanam untuk pagar hidup

Karena kuat dan awet serta tahan cuaca, kayu angsana (disebut sono kembang atau narra) digunakan dalam konstruksi ringan maupun berat seperti rangka bangunan, penutup dinding, tiang, pilar, jembatan, bantalan rel kereta api, kayu-kayu penyangga, konstruksi perairan bahari, dan lain-lain dalam bentuk balok, kasau, papan, dan panil kayu yang lain.[2]

Warna dan motif serat kayunya yang indah kemerah-merahan menjadikan sono kembang sebagai kayu pilihan untuk pembuatan mebel, kabinet berkelas tinggi, alat-alat musik, lantai parket, panil kayu dekoratif, gagang peralatan, serta untuk dikupas sebagai venir dekoratif untuk melapisi kayu lapis dan meja berharga mahal. Sifat kembang susutnya yang rendah setelah kering menjadikan kayu ini cocok untuk pembuatan alat-alat yang membutuhkan ketelitian.[2] Sono kembang termasuk jenis kayu populer sebagai bahan sarung keris (warangka), terutama karena adanya pola totol-totol atau garis dan urat-urat kayunya dekoratif.[8]

Batang yang terserang penyakit sehingga berkenjal (monggol) menghasilkan kayu yang kuat dan bermotif bagus yang terkenal sebagai “amboyna”.[2] Istilah ini berasal dari nama tempat Ambon yang pada masa silam banyak memproduksi kayu termaksud dan diperdagangkan sebagai linggua, kayu buku atau kayu akar (Bld.: wortelhout). Namun sebenarnya kayu berpenyakit ini yang serupa dengan kayu gembol pada pohon jati, terutama dihasilkan oleh wilayah timur Pulau Seram.[3]

Getah yang keluar dari pepagan akan mengental dan berwarna merah gelap/merah darah[9] yang disebut kino atau sangre de drago (darah naga) dan memiliki daya obat (astringensia). Kino terdiri atas asam kinotanat dan zat warna merah.[9] Simplisia yang digunakan untuk obat seperti kayu, resin merah (kino), dan daun muda. Angsana bersifat diuretik. Menurut penelitian pada tahun 90-an -dari USU yang dikuti IPTEKnet- bahwasanya pengaruh infus daun angsana terhadap penurunan kadar gula darah kelinci dibandingkan dengan tolbutamid. Dari hasil penelitian tersebut, ternyata infus daun Angsana 5 ml, 10% dan 20°Io secara oral menurunkan kadar gula darah kelinci. Pengaruh infus 10% tidak ada beda dengan 50 mg/kg bb tolbutamid, sedangkan penurunan oleh infus 20% lebih besar daripada pengaruh oleh tolbutalmid.[9]

Secara tradisional, pepagan pohon ini biasa direbus dan airnya digunakan untuk menghentikan murus (diare), sebagai obat kumur untuk menyembuhkan sariawan, dan juga untuk mengobati migren.[10] Air rendaman daun-daunnya digunakan untuk keramas agar rambut tumbuh lebih baik. Sementara daun mudanya yang dilayukan digunakan untuk mempercepat masaknya bisul.[3] Kino dan ekstrak daun angsana juga dilaporkan memiliki khasiat untuk mengendalikan tumor dan kanker.[11] Ekstrak getah batang angsana dapat pula dijadikan penyembuhan untuk keracunan. Efek tumbuhan ini mirip dengan tumbuhan gambir, tetapi jarang diketahui.[10] Oleh Etnis Gayo, air remasan daun angsana yang dicampur dengan gula aren dapat menyembuhkan demam (diminum 2-3 kali sehari).[12]

Angsana juga sering ditanam sebagai pagar hidup dan pohon pelindung di sepanjang tepi kebun wanatani. Perakarannya yang baik dan dapat mengikat nitrogen mampu membantu memperbaiki kesuburan tanah. Karena tajuknya yang rindang, angsana kemudian juga populer sebagai tanaman peneduh dan penghias tepi jalan di perkotaan khususnya di Asia Tenggara.[2] Akan tetapi pohon-pohon angsana yang ditanam di tepi jalan, kebanyakan berasal dari stek batang yang berakar dangkal, sehingga mudah tumbang. Lagipula, pohon-pohon peneduh yang sering mengalami pemangkasan akan menumbuhkan cabang-cabang baru (trubusan) yang rapuh dan mudah patah; dengan demikian perlu berhati-hati bila menanamnya di daerah yang banyak berangin.

Sifat-sifat kayu

[sunting | sunting sumber]
Venir kayu sonokembang dengan pola khasnya

Kayu narra (Pterocarpus spp.) termasuk kayu keras hingga keras-sedang, berat-sedang, liat, dan lenting. Berat jenisnya sekitar 0.55-0.94 pada kadar air 15%. Kayu terasnya tahan lama, termasuk dalam penggunaan yang berhubungan dengan tanah dan tahan terhadap serangan rayap, tetapi sukar dimasuki bahan pengawet.[2]

Kayu teras narra berwarna kekuning-kuningan coklat muda hingga kemerah-merahan coklat dengan coreng-coreng berwarna lebih gelap. Kayu gubal jelas terbedakan, berwarna kuning jerami pucat hingga kelabu cerah. Tekstur kayu berkisar antara halus-sedang hingga kasar-sedang dengan urat kayu yang bertautan atau bergelombang. Kayu ini berbau harum dan mengandung santalin, suatu komponen kristalin merah yang menyusun bahan warna utama[2]

Pada umumnya kayu narra mudah dikerjakan dan tidak merusak gigi gergaji. Sifat kayu ini sangat baik untuk dibubut dan dipahat, cukup baik untuk diampelas, dipelitur, serta direkat. Tergolong baik untuk dipaku dan disekrup, tetapi papan narra yang tipis agak mudah pecah apabila dipaku.[2]

Perdagangan dan konservasi

[sunting | sunting sumber]

Pada masa silam, kayu sonokembang merupakan salah satu kayu yang digemari penduduk Indonesia, baik karena kualitas kayunya, keindahan motifnya, maupun karena ukurannya yang besar.[3] Karena telah hampir punah di alam, kini Indonesia praktis tidak lagi menghasilkan kayu ini dalam aras yang berarti secara ekonomi.

Nasib yang hampir serupa juga dialami oleh Filipina, Papua Nugini dan Thailand; tiga negara produsen utama kayu sonokembang. Berjaya mengekspor kayu narra hingga 3 juta kg pada tahun 1985, produksi kayu ini terus menurun di Filipina sehingga pada dua tahun berikutnya tinggal 0,4 juta kg yang bisa diekspor. Di Papua Nugini, karena mahal nilainya, ekspor kayu ini dilarang terkecuali setelah diolah. Sementara Thailand pada tahun 1990 telah memerlukan tambahan pasokan kayu ini dari Burma dan beberapa negara di Indocina agar ekspor kayu narra gergajian yang dilakukannya bisa tetap berlangsung. Eksploitasi yang tinggi yang tidak diimbangi oleh kemampuan regenerasi tegakan di alam, diduga menjadi salah satu penyebab utama penyusutan populasi angsana di alam. Sebab yang lain ialah hilangnya habitat alami angsana oleh karena perladangan. Bahkan pohon ini diduga telah habis di habitat alaminya di Semenanjung Malaya.[2]

Mengingat tekanan yang tinggi atas populasinya di alam, sejak 1998 Badan Konservasi Dunia IUCN telah memasukkan Pterocarpus indicus ke dalam kategori Rentan (VU, vulnerable).[13]

Kerabat dekat

[sunting | sunting sumber]

Marga Pterocarpus memiliki 20 spesies anggotanya, kebanyakan menyebar di Afrika barat (11 spesies). Di wilayah Indo-Pasifik dijumpai sebanyak 5 spesies, satu spesies di antaranya menyebar secara alami dan merata di kawasan Malesia, yakni P. indicus.[2]

Empat spesies lain di Indo-Pasifik tersebut yang juga menghasilkan kayu narra adalah:[2]

Angsana adalah pohon identitas nasional Filipina; juga merupakan pohon identitas provinsi-provinsi Chonburi dan Phuket di Thailand.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Willdenow, C.L. 1802. Sp. Pl. ed. 4, vol. 3(2): 904
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n Soerianegara, I. dan RHMJ. Lemmens (eds.). 2002. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara 5(1): Pohon penghasil kayu perdagangan yang utama. PROSEA – Balai Pustaka. Jakarta. ISBN 979-666-308-2. Hal. 404-410
  3. ^ a b c d Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, jil. 2. Yay. Sarana Wana Jaya, Jakarta. Hal. 998-1003.
  4. ^ a b c d e Argent, G. et al.. t.t. Manual of the Larger and More Important Non-Dipterocarp Trees of Central Kalimantan, Indonesia. Vol. 2:366. Forest Research Institute, Samarinda.
  5. ^ Danida Seed Leaflet: Pterocarpus indicus (pdf file) Diarsipkan 2008-04-09 di Wayback Machine.
  6. ^ International Legume Database & Information Service: Pterocarpus indicus
  7. ^ Sastrapradja, Setijati; Naiola, Beth Paul; Rasmadi, Endi Rochandi; Roemantyo; Soepardijono, Ernawati Kasim; Waluyo, Eko Baroto (Red. S. Sastrapradja) (1980). Tanaman Pekarangan. hal.69. 16. Jakarta:Kerjasama LBN - LIPI dengan Balai Pustaka.
  8. ^ Keris:Senjata Tradisional Indonesia. hal. 70.
  9. ^ a b c "Angsana". IPTEKnet. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-03-05. Diakses tanggal 6 April 2013. 
  10. ^ a b Dharma, A.P. (1987) Indonesian Medicinal Plants [Tanaman-Tanaman Obat Indonesia]. Hal. 23-24. Jakarta:Balai Pustaka. ISBN 979-407-032-7
  11. ^ Purdue University New Crops: Pterocarpus indicus
  12. ^ Hidayat, Syamsul (2005). Ramuan Tradisional ala 12 Etnis Indonesia. hal. 65 Jakarta: Penebar Swadaya. ISBN 979-489-944-5.
  13. ^ World Conservation Monitoring Centre (1998). Pterocarpus indicus. 2006 IUCN Red List of Threatened Species. IUCN 2006. Diakses 11 May 2006. Terdaftar sebagai Vulnerable (VU A1d v2.3)

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]