Lompat ke isi

Suku Moor

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Suku Mora)
Moor
Mora, Moora
Jumlah populasi
978[a]
Daerah dengan populasi signifikan
Indonesia (Pulau Moor)
Bahasa
Moor (asli)
Indonesia, Melayu Papua (basantara)
Agama
Kekristenan (terutama Protestan)
Kelompok etnik terkait
Biak • Yaur • Napan

Suku Moor (disebut juga sebagai Mora atau Moora) adalah kelompok etnis yang bermukim di Kabupaten Nabire, Provinsi Papua Tengah. Mereka sejak dahulu dikenal sebagai sekelompok suku yang berdiam diri di sebuah pulau yang bernama Pulau Moor yang terletak di Teluk Cenderawasih.

Asal usul

[sunting | sunting sumber]

Di suatu malam, dua orang laki-laki Moor mendengar suara deru ombak yang amat kencang. Keduanya lalu memutuskan untuk mencari tahu sumber dari suara tersebut. Hingga kemudian, mereka sampai di sebuah pesisir pantai. Cerita tersebut mereka sampaikan kepada kepala suku agar masyarakat suku Moor berpindah tempat ke pesisir pantai tersebut. Hingga kemudian, mereka menetap di sana sampai hari ini. Kata "Moor" yang tersemat pada nama suku Moor juga bermakna sebagai Mora yang berarti "orang dari tengah pulau yang turun ke pesisir pantai".[2]

Gambaran umum

[sunting | sunting sumber]

Suku Moor secara umum membagi kelompoknya ke dalam delapan marga (fam), yaitu Tawaru, Morare, Sembor, Sembiri, Senandi, Misiro, Kawaa, dan Sawaki.[3] Dari kedelapan marga tersebut, tidak terdapat perbedaan bahasa. Kedelapan marga yang ada menggunakan bahasa Moor sebagai bahasa percakapan sehari-hari. Di antara delapan marga suku Moor tersebut, marga Tawaru dianggap sebagai marga tertinggi yang ditunjuk oleh masyarakat suku Moor sebagai kepala atau pemimpin mereka.

Selain kedelapan marga tersebut, ada beberapa marga lainnya yang tersebar di Distrik Kepulauan Moora, misalnya di Pulau Moor, Pulau Ratewi, Pulau Hariti, Pulau Mambor, daratan Pulau Papua seperti di Distrik Napan, didiami juga oleh marga Weror, Inauri, Samberi, Manuaron, Aritahanu, Singgamui, Sawaa, Raraawi, Danomira, Rumadas, Wataha, Wanaha, Wanarina, Woromboni, Maniwa, Sayori, Rumadas, Sawo, dan Senandi.

Secara umum, masyarakat suku Moor bermatapencaharian sebagai nelayan. Profesi pekerjaan itu merupakan konsekuensi logis dari kondisi geografis tempat tinggal mereka yang berada di pesisir pantai. Lain ceritanya ketika mereka masih hidup di tengah pulau, kebanyakan dari mereka mencukupi kebutuhan sehari-harinya dengan berburu di hutan. Sementara itu, terkait kepercayaan yang mereka anut, suku Moor sebagian besar memeluk Kekristenan, khususnya Protestan. Hal itu berkaitan dengan masuknya Injil ke tanah Papua ketika periode kolonialisme. Sebelum memeluk agama Kristen, suku Moor dikenal sebagai penyembah berhala yang merupakan patung berbentuk manusia. Kendati telah memeluk agama Ibrahim, suku Moor masih mematuhi aturan-aturan adat yang sudah sejak lama mereka terapkan. Aturan-aturan adat itu melingkupi aturan dalam hal pengangkatan anak, pembagian warisan, dan tata cara perkawinan.[4]

Dalam hal aturan perkawinan, suku Moor tidak menghendaki perkawinan sedarah sekali pun saudara jauh. Saudara jauh dimaksudkan sebagai sepupu dua kali atau yang memiliki hubungan keluarga berderajat empat. Mereka juga melarang perkawinan sesama marga atau kedua mempelai yang berasal dari marga yang sama. Sebelum upacara perkawinan digelar, kedua mempelai suku Moor tidak diperkenankan untuk bertemu, apalagi bergandengan tangan sampai orang tua dari pihak perempuan mengajukan jumlah maskawin yang wajib diberikan oleh mempelai laki-laki.

Lebih jauh lagi, suku Moor umumnya memiliki ciri keterbukaan kepada siapa pun. Sebagai misal, ketika ada orang asing yang ingin menginap di perkampungan mereka, mereka akan menyambutnya dengan ramah dan penuh suka cita. Mereka juga tidak suka mencampuri urusan orang lain. Sedangkan dalam hal ciri-ciri fisik, mereka memiliki hidung mancung, kulit berwarna coklat tua, dan rambut bergelombang.

Demografi

[sunting | sunting sumber]

Pemukiman

[sunting | sunting sumber]

Suku Moor bermukim di Kabupaten Nabire, Provinsi Papua. Wilayahnya tepat berada di 'leher burung pulau Papua' atau di pesisir Teluk Cenderawasih. Secara geografis, terletak pada posisi antara 134.35.138.02 bujur timur dan 2.25.4.15 lintang selatan. Luas wilayah daerah tersebut kurang lebih 16.350 km yang berbatasan langsung dengan Teluk Sarera (di sebelah utara); Kabupaten Kaimana dan Kabupaten Mimika (di sebelah selatan); Kabupaten Waropen dan Kabupaten Paniai (di sebelah timur); Kabupaten Teluk Wondama (di sebelah barat).

Sementara itu, topografi perkampungan suku Moor juga bervariasi. Ada beberapa wilayah yang bertopografi datar, bergelombang, berbukit, dan bergunung. Sebagian besar suku Moor mendiami di distrik Napan dan Siriwo. Jumlah mereka yang mendiami di distrik Siriwo diperkirakan sejumlah 978 jiwa yang terdiri dari laki-laki sejumlah 584 jiwa dan perempuan sejumlah 394 jiwa.[1]

Aturan adat

[sunting | sunting sumber]

Sengketa warisan

[sunting | sunting sumber]

Dalam menyelesaikan sengketa warisan, suku Moor umumnya menggunakan cara yang rukun dan damai. Penyelesaian sengketa tidak hanya melibatkan dua atau lebih pihak yang bersengketa saja, melainkan juga anggota keluarga dari pihak yang bersengketa. Mereka amat menekankan kedamaian dan menghilangkan segala hal yang berpotensi mampu merusak keutuhan keluarga mereka.

Jalan yang ditempuh untuk memecahkan sengketa yang terjadi adalah melalui musyawarah. Musyawarah tersebut terbagi menjadi beberapa hal, yaitu musyawarah terbatas dalam lingkungan keluarga yang dihadiri oleh anggota keluarga, musyawarah kerabat, musyawarah perdamaian adat yang disaksikan langsung oleh kepala adat. Meskipun demikian, upaya musyawarah tersebut tidak jarang juga menemui kegagalan atau jalan buntu. Kegagalan yang ada biasanya disebabkan karena anggota keluarga telah dipengaruhi oleh unsur-unsur kepentingan pribadi atau hal-hal lain yang bersifat kebendaan. Apabila upaya musyawarah benar-benar tidak mampu menyelesaikan sengketa yang terjadi, kedua belah pihak biasanya akan membawa perkara tersebut ke Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri. Sebaliknya, pembagian warisan di masyarakat suku Moor biasanya tidak memerlukan campur tangan pemimpin atau pemuka adat, apalagi sampai dibawa ke ranah pengadilan agama apabila pembagian warisan tersebut berlangsung rukun dan damai antar ahli waris.

Sebelum sengketa dibawa ke pengadilan, sengketa tersebut biasanya diselesaikan terlebih dahulu melalui musyawarah yang juga memiliki tahapan atau tingkatan. Musyawarah biasanya akan dihadiri oleh para pemuka adat, dan seluruh ahli waris yang bersengketa terhadap harta orang tuanya. Pemuka adat pertama-tama akan memberikan semacam nasihat terkait pentingnya kedamaian dan kerukunan hidup, serta nasihat-nasihat lain mengenai betapa malunya kepada keluarga besar, kepada masyarakat setempat, dan kepada masyarakat di luar mereka. Apabila kesepakatan melalui musyawarah tersebut telah dicapai, kedua belah pihak yang bersengketa harus menerimanya dengan lapang dada.

Apabila hasil musyawarah tetap mengalami jalan buntu, maka persoalan tersebut akan dibawa ke kepala adat. Tempat musyawarah biasanya dilakukan di rumah kepala adat. Apabila kepala adat belum juga berhasil menyelesaikan sengketa tersebut, maka persoalan tersebut akan dibawa ke Pengadilan Negeri. Dalam hal itu, kepala adat akan bertindak sebagai saksi.

Pengangkatan anak

[sunting | sunting sumber]

Suku Moor merupakan sekelompok suku yang mempunyai tradisi pengangkatan anak, termasuk anak perempuan, dalam kehidupan mereka bermasyarakat. Anak angkat dalam bahasa Moor dikenal dengan istilah "nao nio ji ha uo" yang berarti anak yang diangkat. Menurut mereka, anak angkat adalah anak yang diangkat dan dimasukkan ke dalam keluarganya (keluarga orang tua angkat) dengan suatu upacara di mana hak dan kewajiban dari orang tua kandung beralih kepada orang tua angkat. Dalam bahasa lain, pengangkatan anak dalam tradisi mereka dikenal sebagai mengambil anak orang lain, memasukannya ke dalam keluarganya sendiri untuk dirawat, dididik, dan dibesarkan sebagaimana anak kandungnya sendiri, tentunya melalui suatu upacara adat.[5]

Pengangkatan anak secara umum biasanya dilakukan terhadap kerabatnya sendiri yang didasari oleh motif memperoleh harta warisan atau melanjutkan keturunan orang tua angkatnya. Tata cara pengangkatan anak sendiri sebelum disahkan menjadi anak angkat biasanya dilakukan melalui upacara adat tertentu yang dihadiri oleh kepala adat dan masyarakat adat setempat. Setelah rangkaian upacara adat selesai, maka anak tersebut secara resmi telah menjadi anak orang tua angkatnya. Ketua adat kemudian akan mengeluarkan surat pengesahan. Namun demikian, surat pengesahan dari ketua adat tersebut bukan menjadi satu-satunya hal yang menyebabkan sah atau tidaknya pengangkatan seorang anak. Pengangkatan seorang anak akan dianggap sah apabila sudah melalui serangkaian upacara adat di daerahnya.[6]

Pengangkatan anak tersebut juga dilakukan secara terang dan tunai. Orang tua angkat yang hendak mengangkat seorang anak harus memberikan timbal balik kepada orang tua kandung sang anak berupa benda-benda tertentu yang dimaksudkan untuk memutus hubungan antara anak kandung dengan orang tua kandungnya. Mereka juga memperhatikan syarat-syarat tertentu dalam pengangkatan anak, seperti jenis kelamin dan usia anak. Dalam tradisi suku Moor, mereka bisa mengangkat seorang anak sejak masih dalam kandungan atau dapat dilakukan saat anak telah berusia lima tahun. Mereka biasanya akan mengangkat anak laki-laki karena dianggap sebagai penerus keturunan, namun demikian, tidak sedikit pula suku Moor yang lebih memilih untuk mengangkat anak perempuan.

Dari seluruh perkampungan yang dihuni oleh suku Moor, ada 26 keluarga yang melakukan pengangkatan anak. Dari jumlah tersebut, sebagian besar suku Moor banyak melakukan pengangkatan anak berjenis kelamin laki-laki ketimbang perempuan. Sementara itu, sebagaimana dijabarkan di awal, pengangkatan anak yang terjadi di suku Moor juga masih mengikuti tata cara dan adat istiadat yang berlaku. Mereka biasanya melakukan pengangkatan anak pada keluarga yang masih memiliki hubungan kekerabatan yang dekat.

Prosesi yang mereka lakukan dalam pengangkatan anak adalah sebagai berikut:[5]

  • Seluruh pihak yang berkepentingan dalam pengangkatan anak akan dikumpulkan di rumah orang tua angkatnya. Pihak-pihak yang terlibat itu adalah orang tua kandung, kedua orang tua angkat, anak yang hendak diangkat, dan kerabat dari kedua orang tua angkat maupun orang tua kandung.
  • Kepala adat akan menjelaskan hak dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh kedua orang tua angkat maupun kandung, kemudian sang anak akan diserahkan secara langsung kepada calon orang tua angkatnya.
  • Penyerahan anak tersebut diiringi oleh penggantian biaya yang diberikan oleh orang tua angkat kepada orang tua kandungnya. Biaya tersebut mencakup biaya mengandung dan membesarkan sang anak hingga anak tersebut diserahkan kepada orang tua angkatnya. Setelah itu, kepala adat akan mengeluarkan surat pengesahan yang menunjukan bahwa sang anak telah resmi menjadi anak dari orang tua angkatnya.

Upacara pengangkatan anak tersebut wajib dilakukan oleh kedua belah pihak sebagai syarat pengesahan sekaligus pemberian informasi kepada sanak saudara-keluarga besar mengenai anggota baru keluarga mereka. Tanpa melalui upacara adat, keberadaan anak tersebut dalam keluarga barunya tidak dianggap tidak sah.

Tujuan pengangkatan anak

[sunting | sunting sumber]

Sebagaimana masyarakat umum lainnya, masyarakat suku Moor juga menganggap keberadaan anak sebagai harapan dan tumpuan bagi masa depan mereka. Dalam bahasa sederhana, mereka memerlukan keberadaan anak agar ada yang merawatnya ketika tua nanti. Selain itu, sebagai kelompok masyarakat yang menganut sistem kekerabatan patrilineal, keberadaan anak laki-laki menjadi sangat penting. Hal itu disebabkan oleh anak laki-laki yang kelak akan menjadi penerus keturunan mereka. Atas dasar itu, ada beberapa alasan dari suku Moor untuk mengangkat atau mengadopsi anak. Beberapa keluarga suku Moor tidak memiliki anak perempuan, sehingga mereka mengangkat seorang anak perempuan dari keluarga lain. Sebagian dari mereka juga mengangkat anak karena orang tua dari anak tersebut telah meninggal dunia sehingga memerlukan figur orang tua angkat. Selain masalah kematian dan keinginan, beberapa orang tua kandung juga tergolong miskin sehingga tidak mampu membiayai kehidupan dan pendidikan sang anak. Selain itu, suku Moor mengangkat anak perempuan dari keluarga lain karena keluarga tersebut telah memiliki banyak anak perempuan, sehingga ada satu atau dua anak yang perlu 'diberikan' kepada orang lain.[6]

Dari uraian tersebut, dalam bahasa yang lebih sederhana, pengangkatan anak perempuan oleh suku Moor lebih didasari karena orang tua kandung sang anak tidak mampu membiayai kehidupannya (alasan belas kasihan), anak yang bersangkutan telah yatim piatu, dan bersangkutan telah memiliki anak kandung laki-laki dalam jumlah banyak sehingga membutuhkan keberadaan anak perempuan. Usia anak yang diangkat umumnya sebelum berusia lima tahun, hal itu dimaksudkan agar anak angkat tersebut tidak mengetahui siapa orang tua kandungnya sebenarnya. Sesuai dengan aturan adat yang berlaku dalam kehidupan sosial mereka, seorang anak yang baru diangkat oleh orang tua angkatnya harus diputus hubungan darahnya dengan sang orang tua kandung. Upacara pengangkatan anak menjadi momentum terputusnya hubungan darah tersebut. Namun demikian, meski berstatus sebagai anak angkat, sang anak wajib menghormati dan menunjukkan baktinya kepada orang tua angkatnya. Begitupun sang orang tua angkat, harus menunaikan kewajibannya untuk menjaga dan merawat anak angkat tersebut sebagaimana anak kandungnya sendiri.[7]

Sanksi adat

[sunting | sunting sumber]

Sanksi adat yang diberikan lebih dimaksudkan untuk melindungi kedudukan anak perempuan dalam keluarga angkatnya. Ketika upacara pengangkatan anak atau oleh mereka disebut dengan istilah ratu arumio, seluruh keluarga besar baik dari pihak orang tua kandung maupun orang tua angkat akan hadir di rumah orang tua angkat. Seluruh anggota keluarga yang datang mengetahui dengan jelas asal usul anak angkat tersebut. Ketika anak tersebut beranjak dewasa, siapa pun tidak diperbolehkan untuk mengungkapkan asal usul anak angkat tersebut. Hal itu dimaksudkan agar sang anak tidak mencari orang tua kandungnya dan hak warisnya dalam keluarga angkat terlindungi. Sebab lain, ketika sang anak telah resmi menjadi anak angkat keluarga angkatnya, ikatan mereka secara penuh tidak ada lagi sangkut pautnya dengan orang tua kandungnya. Apabila ada salah seorang dari mereka mengungkap asal usul sang anak, dan apabila ada anggota keluarga atau kerabat mereka yang mengetahui tindakan orang tersebut, pihak orang tua angkat berhak menuntut ganti rugi kepadanya. Terkait besaran ganti rugi yang diminta, sangat bergantung pada keinginan sang orang tua angkat.[8]

Hak dan kewajiban anak angkat perempuan

[sunting | sunting sumber]

Dalam hal pewarisan, anak angkat perempuan di suku Moor memiliki hak yang sebagaimana anak kandung lainnya. Anak angkat perempuan berhak mewarisi harta orang tua angkatnya dengan kedudukan sebagaimana anak kandung lainnya. Anak perempuan akan diberikan bekal yang cukup sampai ia berumah tangga dan mengikuti suaminya. Namun demikian, mereka juga memiliki kewajiban untuk merawat dan menghormati orang tuanya. Kewajiban anak angkat perempuan kepada orang tuanya senada dengan kewajiban orang tua angkat kepada anak perempuannya. Mereka juga wajib mendidik, merawat, dan menjamin kesejahteraan anak tersebut hingga sang anak dewasa dan menikahkannya. Di beberapa kasus tertentu, anak angkat dari suku Moor tersebut juga ada yang hanya diberikan sebidang tanah, lebih kecil dibandingkan anak laki-lakinya. Sebidang tanah tersebut dimaksudkan sebagai bekal bagi sang anak untuk menjalankan rumah tangga bersama suaminya.[5]

Meskipun anak angkat perempuan memiliki hak sebagaimana anak laki-laki, dalam hal pembagian warisan, anak laki-laki memiliki hak yang lebih utama. Hal itu sesuai dengan konsep kekerabatan patrilineal yang dianut oleh Suku Moor. Beberapa harta benda berharga seperti guci atau mole-mole dan gelang batu akan diwariskan kepada anak laki-laki pertama. Sedangkan anak perempuan akan diberikan sebidang tanah atau kebun yang luas, meskipun luasnya jauh lebih kecil dibandingkan milik anak laki-laki. Luas tanah tersebut biasanya dibatasi dengan sebuah pohon kelapa. Ada pun alasan pemberian harta warisan lebih sedikit kepada anak perempuan dikarenakan ketika telah menikah, anak perempuan akan mengikuti suaminya dan segala kehidupannya akan ditanggung oleh sang suami. Begitu pun anaknya kelak, akan menggunakan nama marga sebagaimana marga ayahnya. Sedangkan anak laki-laki suku Moor akan menanggung kehidupan istrinya dengan menggunakan nama marga orang tuanya. Oleh sebab tanggungan hidupnya lebih berat, harta warisan yang diberikan kepadanya diberikan lebih banyak pula.[9]

Namun demikian, hubungan antara anak angkat dengan orang tuanya tersebut memiliki kemungkinan untuk putus. Putusnya hubungan di antara keduanya disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya apabila sang anak tidak menjalankan kewajibannya alias durhaka dan tidak merawat kedua orang tua angkatnya. Begitu pun apabila orang tua angkatnya tidak memelihara sang anak dengan baik, maka hubungan di antara keduanya dapat dikatakan putus. Dengan demikian, sang anak tidak lagi berhak atas harta warisan dari orang tua angkatnya. Mereka kemudian akan dikembalikan kepada orang tua kandungnya.[5]

Dalam hal penentuan pewarisan sendiri, suku Moor menggunakan beberapa cara. Cara yang paling umum mereka gunakan adalah dengan cara penerusan atau pengalihan. Cara itu dapat dilakukan ketika sang orang tua masih hidup sehingga memiliki kekuasaan penuh atas harta yang hendak diwariskan. Penerusan atau pengalihan harta biasanya berbentuk kebendaan, seperti bangunan rumah atau pekarangan tertentu, ladang, kebun serta sawah. Bagi masyarakat suku Moor yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal, anak laki-laki tertua memiliki porsi yang lebih besar dalam hal pembagian harta warisan.

Sementara itu, pembagian warisan dengan cara penunjukan juga dilakukan oleh sebagian besar suku Moor. Ketika masih hidup, orang tua angkat dari suku Moor akan menunjuk siapa ahli waris yang berhak menerima harta warisan darinya. Pembagian harta warisan itu baru akan berlaku ketika sang orang tua wafat. Apabila belum wafat, orang tua masih memiliki hak sepenuhnya pada harta benda itu. Harta warisan yang diwariskan tidak hanya berbentuk benda-benda tertentu, melainkan juga barang-barang lain seperti sawah, kebun, ladang, dan lain sebagainya. Pembagian harta benda tersebut sebagai misal adalah kalung atau cincin untuk anak-anak perempuan sedangkan cangkul, linggis, dan sabit adalah untuk anak laki-lakinya.

  1. ^ Jumlah populasi suku Moor yang mendiami distrik Siwiro, Kabupaten Nabire.[1]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b http://nabirekab.go.id/portal/geografis/
  2. ^ "Surua (Cerita dari marga Sabami-Moor)". arsip.jubi.id. Diakses tanggal 28 Juni 2023. 
  3. ^ http://www.papuaposnabire.com/News/Read/3511-kpu-nabire-umumkan-calon-pps
  4. ^ Read, Robert Dick. 2005. Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika: Penjelajah Bahari. Bandung: Penerbit Mizan. Lihat melalui https://books.google.co.id/books?id=Ud19pmI1DzoC&pg=PA151&lpg=PA151&dq=Suku+moor&source=bl&ots=oVpwEObHNb&sig=3OXWAO6A305LL3fIUH6kGAqnnEo&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwiZi4e_4eDXAhXIFpQKHTb4B78Q6AEITTAJ#v=onepage&q=Suku%20moor&f=false
  5. ^ a b c d Sicilia, Fenny. 2012. Hak Anak Angkat Perempuan dalam Pelaksanaan Pearisan masyarakat Suku Moor di Kabupaten Nabire, Provinsi Papua. Tesis. Program Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada.
  6. ^ a b Purnomo, Sri Hidayati. 2002. Kedudukan Anak Angkat terhadap Harta Orang Tanya menurut Hukum Waris di Kecamatan Sentant Kabupaten Jayapura. Tesis Program Pascasarjana Kenotariatan Universitas Diponegoro. Lihat melalui http://eprints.undip.ac.id/10849/1/2002MNOT1685.pdf
  7. ^ Anonymous. 1996. Hukum Waris Indonesia Menurut Perundang-undangan Hukum Adat: Hukum Agama Hindu dan Hukum Agama Islam. Bandung: PT Citra Aditya.
  8. ^ Hakim, S.A. 1976. Hukum Adat (Perorangan, Perkawinan, dan Pewarisan). Bandung: Transito.
  9. ^ Bushar, Muhammad. 1995. Pokok-pokok Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramitha.