Lembah Bada

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Patung megalitik di Lembah Bada

Lembah Bada atau adalah lembah yang terletak di Kecamatan Lore Selatan, Poso Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Lembah ini adalah bagian dari Taman Nasional Lore Lindu.

Di lembah tersebut terdapat puluhan patung megalitik yang diperkirakan didirikan pada abad ke-14. Belum diketahui tujuan patung tersebut.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Dua nyonya Belanda berdiri di sebelah salah satu patung di Lembah Bada pada tahun 1930-an

Puluhan patung purbakala ini kabarnya sudah ada sejak abad ke-14.[1] Megalit di Lembah Bada ditemukan pertama kali pada 1908. Walaupun penemuan tersebut sudah berlangsung lebih dari 100 tahun, tetapi hanya sedikit hal yang diketahui tentang objek itu, salah satunya tentang kapan patung batu itu dibuat. Beberapa orang berspekulasi bahwa batu-batu tersebut dipahat sekitar 5.000 tahun lalu, sedangkan lainnya menduga megalit itu dibuat sekitar 1.000 tahun silam.[2]

Sementara itu, beberapa orang lainnya menduga bahwa batu tersebut masih berhubungan dengan budaya megalitik di Laos, Kamboja, dan beberapa wilayah di Indonesia pada 2.000 tahun lalu.[2]

Menurut Ancient Origins, hingga saat ini tak diketahui siapa yang membuat patung megalit di Lembah Bada. Meskipun terdapat dugaan bahwa batu itu dibuat oleh budaya yang membuat megalit di tempat lain di Asia Tenggara, tetapi megalit di Lembah Bada tergolong unik.

Namun dalam catatan A.C. Kruyt, pendiri Kota Poso, sebelum kedatangan Belanda tahun 1908 di Lore, masih berlaku orang membuat kubur dari batu. Dan masih ada tempat pembuatan Kalamba untuk penguburan. Jadi pemuatan benda-benda ini berasal dari berbagai masa, yang di antaranya ada yang berasal dari masa yang dekat ratusan tahun saja atau megalit muda.[3]

Geografi[sunting | sunting sumber]

Jalan menuju Lembah Bada di Napu

Lembah Bada terletak di daerah yang relatif datar, yang dikelilingi perbukitan, sehingga awan yang tertahan di puncak bukit yang mengelilingi lembah menyajikan pemandangan dramatis. Sering terlihat satu bagian Lembah Bada dimana hujan sedang jatuh, sedangkan bagian lainnya matahari menyelinapkan cahayanya dari balik awan.[4]

Ditengah Lembah Bada mengalir Sungai Lariang, menyatu dengan Sungai Malei, sehingga aliran Sungai Lariang menjadi lebih deras. Karena inilah Sungai Lariang dulu pernah dipakai sebagai tempat olahraga pengarungan sungai. Di tengah Lembah Bada sendiri arus Sungai Lariang cukup tenang karena alur yang dilalui relatif datar.[4]

Kearifan lokal[sunting | sunting sumber]

Tujuan dibuatnya megalit tersebut juga belum diketahui pasti. Masyarakat lokal percaya bahwa batu itu dulunya digunakan untuk melakukan pemujaan terhadap leluhur. Tak hanya itu, para penduduk juga mempunyai kisah tentang asal-usul terbentuknya megalit tersebut. Sebuah cerita mengatakan bahwa terdapat megalit bernama Tokala'ea yang dulunya merupakan pemerkosa, akhirnya dikutuk menjadi batu.[2]

Sementara itu, terdapat cerita tentang megalit lain bernama Tadulako. Masyarakat mengatakan bahwa dulunya Tadulako dikenal sebagai penjaga desa, tetapi setelah mencuri beras ia dikutuk menjadi batu. Cerita lain mengaitkan megalitik dengan pengorbanan manusia. Beberapa orang juga percaya bahwa batu tersebut dimaksudkan untuk menangkal roh jahat, sementara yang lain mengklaim bahwa benda tersebut memiliki kekuatan supranatural dan mempu menghilang atau berpindah tempat.

Palindo, Torompana, Tarae Roe, dan Loga adalah sederet nama pemberian penduduk lokal untuk patung-patung kuno tersebut. Kisah unik pun turut menyertai setiap patung yang ada di lembah Bada, salah satunya Palindo. Dulunya, masyarakat lembah Bada percaya bahwa Palindo berdiri tegak.[5]

Di Taman Nasional Lore Lindu ini juga masih kental dengan adat istiadat suku Lore. Selain pemandangan bebatuan dan sawah hijau, disana juga akan ditemui rumah adat suku Lore yang berjajar. Rumah kayu ini beratap ijuk dan berdinding bambu sering kali dijadikan tempat menginap, apabila baru berada disana.

Para tetua di Desa Sepe percaya bahwa patung Palindo yang berarti sang penghibur dalam bahasa setempat adalah representasi dari penduduk pendahulu mereka, yaitu suku Tosaloge. Sesuai legenda, Raja Luwuk memerintahkan 1800 patung dari Sepe ke Palopo untuk menandai kekuasaannya di Bada. Patung ini seharusnya menghadap ke selatan, tetapi misi ini gagal, karena penduduk Bada meletakkannya dengan menghadap ke barat. Ketika sang raja meminta untuk mengubah posisinya, patung-patung ini menimpa pasukan raja dan membunuh sekitar 200 orang. Masyarakat Bada di masa lalu memberikan sesajen kepada patung ini sebelum melakukan pekerjaan besar, seperti membuka lahan baru untuk pertanian.[6]

Patung megalit[sunting | sunting sumber]

Karakteristik[sunting | sunting sumber]

Patung Megalitik di Lembah Bada merupakan wajah manusia yang sudah distilasi, dimana alis dan hidung digambarkan menjadi satu, sedangkan bagian mulut dihilangkan. Patung di Lembah Bada umumnya memiliki tanda gender yang jelas. Di patung Palindo dan Meturu terukir gambar alat kelamin laki-laki. Dan sedangkan pada patung Langke Bulawa digambarkan alat kelamin wanita. Perbedaan gender juga digambarkan pada raut wajah, dimana pada patung wanita, wajahnya digambarkan seperti dahi yang tertutup poni.[4]

Pahatan pada megalit tersebut juga dideskripsikan minimalis. Tokoh tersebut biasanya digambarkan memiliki kepala besar dengan tubuh tanpa lekukan serta tanpa kaki. Pada bagian wajah, biasanya digambarkan dengan mata bulat dengan garis tunggal yang merepresentasikan alis, pipi, dan dagu. Sebagian besar patung tampak berdiri sendiri, tetapi ada beberapa yang ditempatkan secara berkelompok. Batuan-batuan megalitik ini terhampar di seluruh daerah lembah. Dari yang berbentuk ukiran manusia, hewan, Kalamba dan masih banyak lagi.[2]

Patung-patung manusia lainnya berukuran tinggi sekitar 1,5 meter dengan diameter sekitar 50 cm. Selain patung manusia dewasa terdapat patung Oba yang berukuran tinggi 70 cm dengan raut jenaka, dan tanda kelamin yang belum jelas. Warga menyebutnya sebagai bentuk kera, tetapi juga bisa diartikan sebagai representasi anak-anak.[1]

Kalamba[sunting | sunting sumber]

Kalamba merupakan artefak berbentuk tempayan besar bertutup berdiameter 1,5-2 meter, serta berbentuk tangki melingkar yang dipahat dari sebuah batu besar yang dahulu sepertinya digunakan untuk tempat penyimpanan. Mengenai apa yang disimpan didalamnya masih merupakan spekulasi. Bisa jadi tempayan ini dipakai untuk menyimpan air, barang-barang berharga, atau malah merupakan peti mati purbakala. Warga sekarang menyebutnya dengan Kalamba. Ada sekitar 50 buah Kalamba di lembah Bada, sebagian masih dalam kondisi utuh, dan sebagian lagi sudah rusak.

Kalamba dapat ditemukan di beberapa tempat di Lembah Bada dan memiliki bentuk serta ukuran bervariasi. Beberapa memiliki satu lubang di tengahnya, sementara lainnya memiliki dua lubang.[2] Menurut kepercayaan lokal, Kalamba digunakan sebagai bak berendam untuk para petinggi atau raja. Sementara yang lainnya menduga bahwa benda tersebut dulunya digunakan sebagai peti mati atau tangki air. Tutup terbuat dari batu sering ditemukan di dekat Kalamba, dan muncul dugaan bahwa benda tersebut digunakan untuk menutupi Kalamba sehingga tak mungkin digunakan sebagai bak berendam.[2]

Jumlah[sunting | sunting sumber]

Berdasarkan data Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sulawesi Tengah, saat ini terdapat 432 objek situs megalit di Sulawesi Tengah. Tersebar di Lore Utara dan Lore Selatan, sebanyak 404 situs dan di Kulawi, Kabupaten Sigi sebanyak 27 situs.[7]

Berdasarkan penelitian inventarisasi batuan megalit yang dilakukan oleh Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) Sagarmatha Fakultas Pertanian Universitas Tadulako tahun 1994, di sekitar kawasan Taman Nasional Lore Lindu terdapat 300-an lebih situs megalit ini.[3]

Sementara, menurut sumber data yang lain, jumlah bebatuan megalitik ini ada 1.451 buah.

Patung[sunting | sunting sumber]

Patung Palindo

Watu Palindo[sunting | sunting sumber]

Batuan megalitik yang paling terkenal adalah Watu Palindo dengan posisi miring, yang berada di Lembah Bada. Dinamakan Palindo, yang berarti sang penghibur. Wajah Watu Palindo ini seperti berwajah ceria dan ramah. Tinggi batu ini mencapai sekitar 4 meter dengan ukiran berbentuk tubuh oval memiliki mata yang bulat dan hidung besar yang memanjang kebawah. Pahatan mulut yang dalam berbentuk sebuah senyuman melengkapi batuan megalitik ini.[8]

Langka Bulawa[sunting | sunting sumber]

Selain Watu Palindo, Batu yang terkenal lainnya adalah Langka Bulawa. Ukiran batu ini berukiran sosok wanita dan mempunyai arti nama Ratu bergelang kaki emas. Mempunyai ukiran yang hampir sama dengan Watu Palindo tetapi mempunyai kesan raut muka sebagai sosok rumah suku Lore. Patung ini terletak 5 kilometer dari patung Palindo, tetapi di antara kedua bebatuan ini juga terdapat bebatuan lain. Batuan granit ini terkenal dengan batuan yang sangat keras. Cara mereka memahat dan menciptakan patung ini masih belum diketahui.[8]

Kerajinan[sunting | sunting sumber]

Kain kulit kayu[sunting | sunting sumber]

Di atas Baruga, rumah adat besar, tetua suku Lore, Lengkeka, Lore Barat, mengayunkan peboba, semacam alat pemukul dari batang enau (Arenga pimata), di atas potongan kulit kayu yang disusun berjajar. Di depannya, sekelompok wanita juga memukuli lembaran kulit kayu yang lebih halus menggunakan batu ike, alat pemukul dari lempengan batu dengan pola garis-garis yang diapit anyaman batang rotan sebagai pegangan. Seluruh proses pembuatan kain kulit kayu di Lembah Bada dilakukan secara manual menggunakan bahan alamiah yang jauh dari teknologi mekanik otomatik dan bahan-bahan kimiawi.[9]

Peneliti kain kulit kayu dari Universitas Surugadai, Jepang, Isamu Sakamoto, menyebut tradisi pembuatan kain kulit kayu di Lembah Bada muncul sejak zaman Neolitikum sekitar 3.600 tahun lalu. Artinya, tradisi ini sudah berkembang jauh sebelum zaman Megalitikum. Dengan demikian, Sulawesi Tengah menjadi tempat penting dalam hal konservasi kain kulit kayu menggunakan alat pemukul batu yang masih bertahan hingga sekarang.[9]

Penggunaan batu ike sebagai alat penumbuk kulit kayu menjadi ciri khas tradisi pembuatan kain kulit kayu di Lembah Bada. Menurut para peneliti, pemanfaatan batu seperti ini tidak ditemukan lagi di belahan dunia mana pun.

Peneliti kain kulit kayu lain dari Universitas Osaka, Jepang, Fukumoto Shigeki, menilai bahwa kulit kayu Lembah Bada relatif lebih putih, lembut, dan rapi dibandingkan dengan jenis kain kulit kayu lainnya. Di tempat lain, pembuatan kain kulit kayu tidak lagi menggunakan batu, tetapi kayu.[9]

Dengan demikian, tradisi ini diperkirakan lebih tua daripada pembuatan patung-patung megalitik di kawasan Lembah Bada, seperti arca menhir Palindo, batu kubur kalamba, dan lumpang batu. Para wisatawan bisa menyaksikan benda-benda peninggalan zaman prasejarah ini di sekitar Padang Sepe, Desa Bewa, Lore Selatan.

Akses[sunting | sunting sumber]

Untuk mencapai ke Taman Nasional Lore Lindu bisa menggunakan mobil pribadi. Demi mencapai lembah Bada, penunjung harus melakoni perjalanan selama 3 jam jika langsung dari Kota Palu dengan menggunakan mini bus.[5] Apabila dari Kota Palu menuju arah Kota Poso, bisa ditempuh selama 7-9 jam perjalanan. Dari Kota Poso menuju ke Tentena, kemudian menuju ke Lembah Bada bisa ditempuh selama 3 jam perjalanan. Jarak Lembah dari kota Poso kurang lebih 145 Km yang dapat ditempuh dengan kendaraan berpenggerak empat roda, atau bisa juga dari kabupaten sigi dengan jarak kurang lebih sama dengan menggunakan angkutan umum disambung perjalanan dengan ojek sepeda motor. Dari lembah Bada perjalanan dapat dilanjutkan dengan berjalan kaki (trekking) ke Besoa dan Napu. Disarankan kendaraan pribadi harus benar-benar fit karena akses jalan apabila hujan akan berlumpur tebal.

Lembah ini juga dapat dijangkau dengan pesawat dari Makassar ke Poso, dari Poso dibutuhkan waktu 5 jam dengan kendaraan roda 4, dengan kondisi jalan sudah relatif baik.

Pustaka[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b "Misteri Patung Megalitikum di Poso". Detik. Diakses tanggal 2016-06-06. 
  2. ^ a b c d e f "Lembah Bada, Situs Misterius di Indonesia yang Memukau Dunia". Liputan 6. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-06-07. Diakses tanggal 2016-06-06. 
  3. ^ a b "Wisata Sejarah di Lembah Bada, Napu, dan Besoa". Little Deja. Diakses tanggal 2016-06-06. 
  4. ^ a b c "Trekking di Lembah Bada". Palu Gate. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-07-23. Diakses tanggal 2016-08-06. 
  5. ^ a b "Lembah Bada, Nuansa Pulau Paskah di Daratan Indonesia". Bintang.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-12-08. Diakses tanggal 2016-12-02. 
  6. ^ "Bertualang Mencari Patung Megalitik". A S R I T O. Diakses tanggal 2016-12-02. 
  7. ^ "Langkah Pitarah di Lembah Napu". Kompasiana. Diakses tanggal 2016-08-06. 
  8. ^ a b "Batuan Megalitikum Cantik di Lembah Bada, Poso, Sulawesi Tengah". Go Celebes. Diakses tanggal 2016-08-06. 
  9. ^ a b c "Sensasi "The Flintstones" di Lembah Bada". Kompas. Diakses tanggal 2016-08-06.