Kudis
![]() | Artikel ini memberikan informasi dasar tentang topik kesehatan. Informasi dalam artikel ini boleh digunakan hanya untuk penjelasan ilmiah, bukan untuk diagnosis diri dan tidak dapat menggantikan diagnosis medis. Perhatian: Informasi dalam artikel ini bukanlah resep atau nasihat medis. Wikipedia bukan pengganti dokter. Jika Anda perlu bantuan atau hendak berobat berkonsultasilah dengan tenaga kesehatan profesional. |
Kudis atau skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei yang dicirikan dengan adanya keropeng, kebotakan, dan gatal pada kulit.[1]
Sarcoptes scabiei adalah tungau dengan ciri-ciri berbentuk hampir bulat dengan 8 kaki pendek, pipih, berukuran 300–600 x 250-400 μm pada betina dan 200-240 x 150-200 μm pada jantan, biasanya hidup di lapisan epidermis kulit.[2] Permukaan dorsal tungau ini ditutupi oleh lipatan dan lekukan terutama bentuk garis melintang sehingga menghasilkan sejumlah skala segitiga kecil.[3] Selain itu, pada betina terdapat bulu cambuk pada pasangan kaki ke-3 dan ke-4 sedangkan pada jantan, bulu cambuk hanya terdapat pada pasangan kaki ke-3.[4]
Proses Penyakit[sunting | sunting sumber]
Adapun proses penyakit kudis yaitu sebagai berikut:[2]
- Infeksi dari penyakit ini diawali dengan tungau betina atau nimfa stadium kedua yang secara aktif membuat terowongan di epidermis atau lapisan tanduk. Pada terowongan tersebut diletakkan 2-3 butir telur setiap hari.
- Telur menetas dalam 2-4 hari yang kemudian menjadi larva yang berkaki 6.
- Dalam 1-2 hari larva berubah menjadi nimfa stadium pertama kemudian berkembang menjadi nimfa stadium kedua, yang berkaki 8. * Nymfa ini menjadi tungau betina muda, yang siap kawin dengan tungau jantan
- Tungau berkembang menjadi tungau dewasa dalam 2-4 hari.
Untuk menyelesaikan daur hidup dari telur sampai bertelur lagi diperlukan waktu 10-14 hari.[2] Waktu yang diperlukan telur menjadi tungau dewasa kurang lebih 17 hari.[2] Tungau betina yang tinggal di sebuah kantong ujung terowongan, setelah 4-5 hari setelah kopulasi, akan bertelur lagi sampai berumur lebih kurang 3-4 minggu [2].
Gejala[sunting | sunting sumber]
Gejala yang khas pada kudis adalah liang pada permukaan kulit, gatal, dan kemerahan dan biasanya ada infeksi sekunder, misalnya akibat bakteri [5]. Pada bayi, gejala yang khas yaitu adanya bisul pada telapak kaki dan telapak tangan [5]
Diagnosis[sunting | sunting sumber]
Untuk mendiagnosis kudis ini dilakukan melalui kerokan kulit pada keropeng sampai keluar darah dengan menggunakan skalpel. Hasil kerokan kulit itu diberi beberapa tetes KOH 10% agar tungau terpisah dari reruntuhan jaringan kulit yang terbawa tersebut. Setelah itu campuran tersebut diperiksa di bawah mikroskop [6].
Pencegahan[sunting | sunting sumber]
- Mandi dengan memakai sabun dan shampo hingga bersih, sesudah mandi keringkan badan dengan handuk hingga bersih.
- Berjemur di bawah terik matahari langsung dapat mengurangi risiko sampai menghentikan siklus scabies ( bila sudah terjangkit ), waktu ideal untuk berjemur antara pk. 09.00 - 11.00 tergantung seberapa parah keluhan scabies yang diderita
- menjaga kebersihan rumah dan sekitarnya dan dalam periode tertentu diadakan disinfektan rumah dengan bahan anti septik
- Hindari masuknya hewan liar / tidak terawat ke dalam rumah tinggal seperti: Kucing, Anjing karena disinyalir kedua hewan dalah pembawa atau sumber scabies dan dapat menularkannya ke diri seseorang
Referensi[sunting | sunting sumber]
- ^ Barhoom S and Dalaab AH. 2009. Clinico-pathological and Control Studies of Mange Caused by sarcoptes scabie in Naturally Infected Sheep and Goats Tulkarem Governorate
- ^ a b c d e Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikrob pada Anjing dan Kucing. Yogyakarta: Gadjah Mada University
- ^ Lapaga Goffrey. 1962. Monnig’s Veterinary Helminthology and Entomology. 5th ed. London: Bailliere, Tindall and Cox. P: 516-528
- ^ Iskandar T. 2000. Masalah Skabies Pada Hewan dan Manusia serta Penanggulangannya.
- ^ a b "Scabies" (PDF). DermNet NZ. New Zealand Dermatological Society Incorporated.
- ^ Hadi UK dan Soviana S. 2000. Ektoparasit: Pengenalan, Diagnosis dan Pengendaliannya. Bogor: IPB. P: 65-118