Penghulu

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Penghulu merupakan sebutan bagi seorang pemimpin di beberapa kawasan.

Penghulu dalam bahasa Melayu Kuno, sama dengan paˆhulu,[1] dalam Bahasa Minang, sama dengan panghulu, di mana secara maknanya orang yang disebut dengan penghulu berkedudukan setara dengan raja atau sama juga dengan datuk.

Setelah masuknya pengaruh Islam, sebutan penghulu juga digunakan untuk seseorang yang bertugas atau berwenang dalam legalitas suatu pernikahan dalam agama Islam atau Penghulu Nikah sebutan lainnya Tuan Kadhi.[2]

Penghulu di Minang[sunting | sunting sumber]

Pada awalnya sebutan penghulu, digunakan dalam susunan struktur pemerintahan nagari di wilayah Minangkabau, di mana seorang penghulu juga merupakan pemangku adat dan bergelar Datuak, selanjutnya dalam susunan sebuah nagari terdapat struktur kekuasaan, yang dimulai dari Panghulu, Malin, Manti dan Dubalang.[3] Selanjutnya dari struktur tersebut, kemudian disatukan dengan istilah Urang Ampek Jinih (Empat orang dengan fungsi masing-masing).

Dalam suatu nagari, malin atau kadang kala disebut juga dengan imam, merupakan seseorang bertugas dalam urusan agama di dalam suatu suku, dan bertanggung jawab dalam permasalahan adat yang terkait dengan agama (Islam). Manti berhubungan dengan fungsi adat diantaranya menangani keluhan-keluhan atas pelanggaran adat, bertindak dalam urusan pengadilan serta menjadi juru tulis. Dubalang (hulubalang) berfungsi sama dengan fungsi polisi, bertugas menangani masalah-masalah keamanan atau semacam polisi penghulu, dan juga bertugas mengamankan nagari dari serangan luar nagari ataupun konflik intern yang terjadi antar kaum-keluarga di dalam satu nagari.[2][4]

Setiap suku-suku (klan) Minang memiliki struktur penghulu dengan gelar masing-masing. Tinggi rendahnya kedudukan seorang Penghulu dalam adat Minang sangat dipengaruhi oleh kaumnya, dan hal ini sangat memengaruhi status seorang penghulu untuk dapat mengatur dan mengelola sebuah nagari nantinya. Umumnya pada sebuah nagari, suku-suku awal pada nagari tersebut memiliki dominasi atas suku-suku yang datang kemudian. Selain memiliki tanah atau sawah yang luas, para penghulu dari suku-suku awal ini juga ditempatkan pada posisi terhormat dibanding penghulu dari suku-suku yang datang kemudian.

Jabatan penghulu dalam sistem matrilineal Minangkabau terdiri dari tingkatan sebagai berikut:[5]

  • Penghulu suku, penghulu yang menjadi pemimpin suku dan merupakan penghulu andiko (utama), serta disebut juga penghulu pucuk (Koto-Piliang) dan penghulu tuo (Bodi-Caniago).
  • Penghulu payung, penghulu yang menjadi pemimpin warga suku yang telah membelah diri dari kaum sukunya karena perkembangan jumlah warga suku tersebut.
  • Penghulu indu (turunan), penghulu yang menjadi pemimpin warga suku yang telah membelah diri dari kaum sepayungnya.

Persyaratan penghulu[sunting | sunting sumber]

Sesuai dengan pepatah masyarakat Minangkabau: dari niniak ka mamak, dari mamak ka kamanakan, jabatan penghulu diwariskan sesuai dengan garis matrilineal. Semua lelaki di Minangkabau dapat menjadi penghulu berdasarkan hubungan pertalian kemenakan. Ada empat jenis kemenakan dalam struktur kebudayaan Minangkabau:[5]

  • Kamanakan di bawah daguak, merupakan kemenakan yang ada hubungan pertalian darah.
  • Kamanakan di bawah dado, merupakan kemenakan yang ada hubungan karena sukunya sama, walaupun penghulunya berbeda.
  • Kamanakan di bawah pusek, merupakan kemenakan yang ada hubungan karena sukunya sama tetapi nagarinya berbeda.
  • Kamanakan di bawah lutuik, merupakan kemenakan yang sebelumnya berbeda suku dan nagari tetapi telah meminta perlindungan dan menjadi warga suku tersebut.

Mekanisme pengangkatan penghulu[sunting | sunting sumber]

Dalam budaya Minangkabau pendirian penghulu baru dikenal dengan nama Batagak penghulu (mendirikan penghulu), dengan beberapa macam mekanisme sebagai berikut:[5]

  • Mati batungkek budi, mendirikan penghulu baru karena penghulu yang lama meninggal dunia.
  • Mambangkik batang tarandam, mendirikan penghulu baru setelah bertahun-tahun tidak dapat dilaksanakan karena belum adanya biaya yang cukup untuk mengadakan Malewa gala (perjamuaan).
  • Mangambangkan nan talipek, mendirikan penghulu baru karena sebelumnya tertunda karena belum adanya kesepakatan dalam kaum tersebut.
  • Manurunkan nan tagantuang, mendirikan penghulu baru karena calon sebelumnya belum cukup umur.
  • Baju sahalai dibagi duo, mendirikan penghulu baru karena pembelahan suku akibat perkembangan warganya sehingga diperlukan seorang penghulu lain disamping penghulu yang telah ada.
  • Mangguntiang siba baju, mendirikan penghulu baru karena terjadinya persengketaan dalam suku tersebut sehingga suku tersebut dibelah dan mempunyai penghulu masing-masing.
  • Gadang mayimpang, mendirikan penghulu baru oleh suatu kaum yang ingin memisahkan diri dari pimpinan penghulu yang telah ada.
  • Bungo bakarang, pemberian status penghulu yang membawa gelaran datuk kepada seseorang oleh kesepakatan para penghulu yang ada di nagari tempat dia tinggal. Gelar ini tidak dapat diwariskan karena gelar ini semacam pemberian gelar kehormatan kepada yang bersangkutan saja.

Penghulu di Malaysia[sunting | sunting sumber]

Penghulu di Malaysia digunakan untuk sebutan ketua tertinggi dari suatu kawasan mukim, yang membawahi beberapa kampung. Penghulu dilantik dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Kozok, Uli, (2006), Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-603-6.
  2. ^ a b Holt, Claire, (2007), Culture and Politics in Indonesia, Modernization in the Minangkabau World by Taufik Abdullah, Jakarta: Equinox Publishing, ISBN 978-979-3780-57-3.
  3. ^ Batuah, A. Dt. & Madjoindo, A. Dt., (1959), Tambo Minangkabau dan Adatnya, Jakarta: Balai Pustaka.
  4. ^ Westenenk, L. C. (1918). De Minangkabausche Nagari. Weltevreden: Visser. hlm. 59. 
  5. ^ a b c Navis, A. A. (1984). Alam Terkembang Jadi Guru. Jakarta: PT.Grafiti Pers.