Gangguan identitas disosiatif

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Gangguan identitas disosiatif (Inggris: dissociative identity disorder, disingkat DID), yang sebelumnya dikenal sebagai gangguan kepribadian majemuk (Inggris: multiple personality disorder, disingkat MPD), dan dikenal dalam penggunaan sehari-hari yang umum tetapi salah kaprah sebagai kepribadian ganda (Inggris: split personality), adalah gangguan jiwa yang disebabkan oleh trauma parah pada masa kanak-kanak (umur 3-11 tahun) dan remaja (umur 12-18 tahun).[1]

Individu biasanya mengalami pengalaman traumatis yang cukup ekstrem dan terjadi berulang kali yang mengakibatkan terbentuknya dua atau lebih kepribadian yang berbeda.[2] Masing-masing kepribadian dengan ingatan sendiri, kepercayaan, perilaku, pola pikir, serta cara melihat lingkungan dan diri mereka sendiri.[2] Setidaknya dua kepribadian ini secara berulang memegang kendali penuh atas tubuh si individu.[2]

Kriteria diagnosis[sunting | sunting sumber]

Terdapat empat kriteria untuk mendiagnosis gangguan identitas disosiatif pada seseorang,[3] yakni:

  • Kehadiran dua atau lebih kepribadian;[3]
  • Kepribadian tersebut dapat mengendalikan perilaku;[3]
  • Ketidak-mampuan untuk mengingat informasi penting yang melebihi kelupaan pada normalnya;[3]
  • Gangguan bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat atau kondisi medis umum.[3]

Tanda dan gejala[sunting | sunting sumber]

Penderita gangguan identitas disosiatif memiliki gejala-gejala sebagai berikut:[4]

Depersonalisasi dan derealisasi[sunting | sunting sumber]

Penderita mengalami perasaan tidak nyata, merasa terpisah dari diri sendiri baik secara fisik maupun mental. Penderita merasa seperti mengamati dirinya sendiri, seolah-olah mereka sedang menonton diri mereka dalam sebuah film. Penderita merasa tidak mendiami tubuh mereka sendiri dan menganggap diri sebagai orang asing atau tidak nyata.

Mengalami distorsi waktu, amnesia, dan penyimpangan waktu[sunting | sunting sumber]

Penderita kerap kali mengalami kehilangan waktu, dimana kadang-kadang mereka menemukan sesuatu yang tidak diketahuinya, ataupun tersadar di suatu tempat yang tidak dikenal, sementara mereka tidak ingat kapan pergi ke tempat tersebut.

Sakit kepala dan keinginan bunuh diri[sunting | sunting sumber]

Penderita sering kali merasa sakit kepala, dan mendengar banyak suara-suara dikepalanya (mirip dengan gejala skizofrenia). Beberapa kepribadian dapat mendorongnya untuk melakukan bunuh diri.

Fluktuasi tingkat kemampuan dan gambaran diri[sunting | sunting sumber]

Berubah-ubahnya kondisi penderita terjadi saat satu kepribadian bertukar dengan kepribadian lain. Misalnya, saat kepribadian A muncul, maka kepribadian tersebut adalah kepribadian yang mempunyai kemampuan berhitung yang bagus. Sementara saat kepribadian lain muncul, kemampuan kepribadian A pun menghilang. Jadi, kemampuannya berubah tergantung dari kepribadian mana yang muncul. Begitu juga dengan gambaran dirinya, berfluktuasi sesuai kehadiran setiap kepribadian.

Perilaku menyakiti diri sendiri[sunting | sunting sumber]


Kecemasan dan depresi[sunting | sunting sumber]

Individu umumnya mengalami kecemasan dan depresi karena berulang kali mengalami hal-hal yang tidak diingatnya.

Diagnosis[sunting | sunting sumber]

Membuat diagnosis untuk gangguan identitas disosiatif tidaklah mudah dan memakan waktu yang lama.[butuh rujukan] Diagnosis bisa dilakukan dengan wawancara terstruktur dan melalui beragam tes psikologi.[butuh rujukan]

Wawancara Klinis Terstruktur[sunting | sunting sumber]

Wawancara Klinis Terstruktur (bahasa Inggris: Structured Clinical Interview for DSM-IV (SCID-D)).[5] Metode wawancaranya pun telah memiliki panduan, yaitu menggunakan Diagnosis dan Penjadwalan Wawancara Terstruktur untuk Penderita Gangguan Identitas Disosiatif (bahasa Inggris: Diagnosis dan Dissociative Disorders Interview Schedule (DDIS)).[6]

Sebuah tes sederhana dianggap tetap valid untuk melakukan diagnosis yang dinamakan Pengukuran Kejadian Disosiatif pada Penderita (bahasa Inggris: Dissociative Experience Scale (DES)).[7] Diagnosis harus dilakukan oleh psikiater atau psikolog yang berkompeten dan bersertifikat.[butuh rujukan]

Terkadang kesalahan sering terjadi karena gangguan kepribadian disosiatif kerap kali mirip dan/atau hadir dengan gangguan lainnya seperti disosiatif amnesia, depresi, kecemasan, atau gangguan panik[butuh rujukan]. Karena itu faktor komorbiditas perlu diawasi dengan teliti agar tidak terjadi diagnostik yang salah, terutama salah membandingkannya dengan skizofrenia.[butuh rujukan]

Panduan diagnosis[sunting | sunting sumber]

Berbagai panduan diagnosis dari gangguan identitas disosiatif bisa dilihat pada:

  • ICD-10 dengan kode F44.9[8]
  • DSM-IV TR dengan kode 300.14[3]
  • PPDGJ III dengan kode F60.2 [9]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Istilah gangguan identitas disosiatif merupakan sebuah istilah baru, dahulu gangguan ini dikenal dengan gangguan kepribadian majemuk ataupun banyak yang menyebutnya kepribadian ganda, istilah ini lalu diperkenalkan pada tahun 1987.[butuh rujukan]

Pada abad ke-18, keahlian para dukun untuk berubah menjadi roh binatang ataupun peristiwa kerasukan dianggap sebagai fenomena seseorang yang mempunyai kepribadian ganda.[butuh rujukan] Kasus Eberhardt Gmelin (1791) dianggap sebagai kasus kepribadian ganda pertama yang dilaporkan, walaupun sebelumnya pernah terjadi peristiwa amnesia yang menyerupai gejala kepribadian ganda yang dilaporkan pada tahun 1664.[butuh rujukan]

Pada tahun 1812, Benjamin Rush, yang juga dijuluki sebagai Bapak Psikiatri Amerika, mengoleksi kasus-kasus gangguan disosiatif dan kepribadian ganda.[butuh rujukan] Dia menulis buku psikiatri pertama tentang gangguan kepribadian ganda berjudul "Pertanyaan Medis dan Pengamatan dari Penyakit Kejiwaan" (asli dalam bahasa Inggris: "Medical Inquiries and Observations Upon Disesases of the Mind"), teorinya mengatakan bahwa gangguan kepribadian ganda terjadi karena kerusakan hubungan pada 2 hemisper otak.[butuh rujukan]

Pada akhir abad ke-19, Eugene Azam, seorang profesor bedah tertarik pada hipnosis, menerbitkan sejumlah laporan tentang Felida X, Felida X lahir pada tahun 1843, kehilangan ayahnya pada masa bayi dan masa kanak-kanak hidup dengan pengalaman yang menyakitkan.[butuh rujukan] Felida X memiliki 3 kepribadian dimana kepribadian 1 adalah kepribadian normalnya dan 2 lagi kepribadian lainnya yang abnormal.[butuh rujukan] Pierre Janet melaporkan beberapa kasus kepribadian ganda pada akhir abad ke-19 dan abad ke-20 awal, seperti kasus Leonie, Lucie, Rose, Marie, dan Marceline.[butuh rujukan]

Pada era 1880-1920, banyak konferensi medis internasional yang membahas tentang disosiasi.[butuh rujukan] Jean-Martin Charcot memperkenalkan gagasannya tentang disosiatif, dia mengatakan bahwa "gegar" (shock) pada saraf mengakibatkan berbagai kondisi neurologis yang abnormal.[butuh rujukan]

Kasus kepribadian ganda pertama yang pernah diselidiki secara ilmiah adalah kasus Clara Norton Fowler pada tahun 1906.[butuh rujukan] Pada tahun 1987, istilah Gangguan Kepribadian Majemuk (Multiple Personality Disorder disingkat MPD) pada DSM II mulai digantikan menjadi Gangguan Disosiatif (Dissociative disorder) pada DSM III.[butuh rujukan] Pada tahun 1989, Frank W. Putnam menerbitkan buku "Diagnosis and Treatment of Multiple Personality Disorder" dan pada tahun yang sama Colin A. Ross mencatat dan menerbitkan penelitian Gangguan Kepribadian Majemuk: Diagnosis, Ciri-ciri Klinis, dan Pengobatannya (judul asli dalam bahasa Inggris:"Multiple Personality Disorder: Diagnosis, Clinical Features, and Treatment".)[butuh rujukan]

Era baru dimulai kembali pada tahun 1994 saat diterbitkannya DSM-IV gangguan ini berganti nama menjadi Gangguan Identitas Disosiatif (Dissociative Identity Disorder).[10]

Di Indonesia istilah-istilah ini menjadi lebih dikenal semenjak diterbitkan buku yang diangkat dari kisah nyata dan menjadi banyak terjual (best-seller) pada tahun 2000an.[butuh rujukan] Buku yang bercerita tentang penderita-penderita gangguan identitas disosiatif diantaranya: Sybil,[11] Karen,[12] ,dan Billy.[13]

Penyebab[sunting | sunting sumber]

Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan gangguan identitas disosiatif,[14] yaitu:

  • Kemampuan bawaan untuk memisahkan kepribadian dengan mudah.
  • Pelecehan seksual pada masa kecil yang berulang.
  • Kurangnya orang yang melindungi ataupun menghibur dari pengalaman buruk yang dialami.
  • Pengaruh dari anggota keluarga lain yang memiliki gangguan psikologis.

Penyebab utama gangguan identitas disosiatif sebenarnya adalah trauma berkepanjangan yang dialami pada masa kanak-kanak. Trauma tersebut terbentuk akibat beragam penyiksaan dan pelecehan, seperti: penyiksaan dan pelecehan seksual, kekerasan fisik, kekerasan secara psikologis, dan juga ritual-ritual aneh yang menyakiti sang korban (Satanic Ritual Abuse).[11][12][13]

Teori Psikoanalisa[sunting | sunting sumber]

Menurut Teori Psikoanalisa oleh Sigmund Freud, trauma pada masa kanak-kanak adalah kejadian paling berpeluang mengakibatkan gangguan kepribadian seseorang.[15] Pada masa kanak-kanak itulah kepribadian mulai berkembang dan terbentuk.[butuh rujukan] Saat terjadi pengalaman buruk, pengalaman-pengalaman tersebut sebisa mungkin akan di tekan (repress) ke dalam alam bawah sadar.[butuh rujukan] Namun ada beberapa kejadian yang benar-benar tidak bisa ditangani oleh penderita, sehingga memaksanya untuk menciptakan sosok pribadi lainnya yang mampu menghadapi situasi itu.[butuh rujukan]Hal ini merupakan mekanisme pertahanan diri, suatu sistem yang terbentuk saat seseorang tidak bisa menghadapi sebuah kecemasan yang luar biasa.[butuh rujukan] Kepribadian-kepribadian baru akan terus muncul apabila terjadi lagi suatu peristiwa yang tidak bisa teratasi.[butuh rujukan] Munculnya kepribadian-kepribadian itu tergantung pada situasi yang dihadapi.[butuh rujukan] Kepribadian aslinya cenderung tidak mengetahui keberadaan kepribadian lainnya, karena memang hal itu yang diinginkan, yaitu melupakan hal-hal yang telah diambil alih oleh kepribadian lainnya.[16]

Pengobatan[sunting | sunting sumber]

Beberapa gejala gangguan identitas disosiatif mungkin akan muncul dan hilang secara fluktuatif, namun gangguannya sendiri akan terus ada.[butuh rujukan] Pengobatan untuk gangguan ini terutama terdiri dari psikoterapi dan hipnosis.[butuh rujukan]

Terapis berupaya mengungkap dan menemukan semua kepribadian yang terdapat dalam diri penderita dengan proses hipnosis.[butuh rujukan] Pada saat terhipnosis dan individu masuk ke dalam kondisi ambang, terapis dapat memanggil/ bertemu dengan kepribadian-kepribadian lainnya.[butuh rujukan] Memahami peran dan fungsi masing-masing kepribadian.[butuh rujukan] Terapis akan berusaha untuk membangun hubungan yang baik dan efektif dengan setiap kepribadian dan berusaha untuk menjadi sosok yang dapat dipercaya dan memberikan perlindungan.[butuh rujukan] Setelah mengetahui, memahami, dan memiliki hubungan yang baik dengan setiap kepribadian, proses selanjutnya adalah membuat kepribadian aslinya untuk bisa menerima dan membuka diri kepada kepribadian lainnya.[butuh rujukan] Pada kebanyakan kasus yang terjadi kepribadian asli tidaklah sadar akan keberadaan sosok lain dalam dirinya.[butuh rujukan] Namun, kepribadian-kepribadian lainnya sadar akan keberadaan sosok asli.[butuh rujukan]

Lazimnya tujuan akhir terapi adalah untuk mengintegrasikan suatu kepribadian dimana hal ini berhasil untuk kasus Sybil[11] dan Karen.[12] Prosesnya berlangsung dengan menghipnosis individu untuk bisa menerima dan bersatu kembali dengan kepribadian lainnya.[butuh rujukan] Proses ini tidak berjalan dengan mudah, karena setelah penyatuan tersebut individu biasanya akan merasakan kembali hal-hal yang dialami kepribadian lainnya, seperti pengalaman disakiti, dilecehkan, dan juga percobaan bunuh diri.[butuh rujukan] Kembalinya ingatan tersebut membuat masalah baru bagi individu, dan membutuhkan penanganan lainnya.[butuh rujukan] Namun, hal ini tidak berhasil untuk beberapa kasus.[butuh rujukan] Banyak kasus berakhir tanpa penyembuhan.[butuh rujukan] Obat-obatan medis seperti anti-depresan dan anti-psikotik juga kadang-kadang digunakan, untuk mengendalikan pikiran dan perasaan individu agar tetap pada kondisi normal.[17]

Prognosis[sunting | sunting sumber]

Prognosis individu dengan gangguan identitas disosiatif tergantung pada gejala dan fitur yang mereka alami.[butuh rujukan] Misalnya, orang yang memiliki tambahan gangguan kesehatan mental yang serius, seperti gangguan kepribadian, gangguan perasaan, gangguan makan, dan gangguan penyalahgunaan zat, memiliki prognosis yang lebih buruk.[butuh rujukan] Sayangnya memang tidak ada penelitian sistematis jangka panjang yang menelitinya.[butuh rujukan] Beberapa ahli percaya bahwa prognosis pemulihan sangat baik untuk anak-anak.[butuh rujukan] Meskipun pengobatan membutuhkan beberapa tahun, sering pada akhirnya efektif.[butuh rujukan] Walaupun dikembalikan lagi pada faktor pasien dan terapisnya.[butuh rujukan] Secara umum memang diketahui bahwa semakin baik pengobatan, maka semakin baik juga prognosisnya.[butuh rujukan] Pasien mungkin mengalami gangguan dari gejala-gejalanya saat memasuki usia empat puluhan.[butuh rujukan] Stres atau penyalah-gunaan zat juga berperan penting dalam kambuhnya gejala-gejala gangguan ini.[14]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Santrock, J. W. (2007). Child Development. New York: McGraw-Hill.
  2. ^ a b c Nevid., Greene., Beverly., Rathus. (2005) Psikologi Abnormal (5th ed). (Tim Fakultas Psikologi UI, trans). Jakarta: Erlangga.
  3. ^ a b c d e f 300.14 Dissociative Identity Disorder Diarsipkan 2008-02-26 di Wayback Machine. (formerly Multiple Personality Disorder). Diunduh pada 31 maret 2010
  4. ^ Merc.com: Dissociative Identity Disorder. Diarsipkan 2010-11-07 di Wayback Machine. Diunduh pada 31 maret 2010
  5. ^ Situs SCID-D: Structured Clinical Interview for DSM Disorder Diarsipkan 2016-10-21 di Wayback Machine.. Diunduh pada 31 Maret 2010
  6. ^ Situs community of Joel Barlow High School: SCID-D Diarsipkan 2020-07-27 di Wayback Machine.. Diunduh pada 31 Maret 2010
  7. ^ Situs Counselling Resource: Welcome to the Dissociative Experiences Scale, A Screening Test for Dissociative Identity Disorder Diarsipkan 2023-07-28 di Wayback Machine.. Diakses pada 31 Maret 2010
  8. ^ Situs WHO ICD-10: Mental and behavioural disorders Diarsipkan 2022-05-20 di Wayback Machine.. Diakses pada 31 Maret 2010
  9. ^ Dr. Tribowo Tuahta Ginting S, SpKJ. Psikiatri RSUP Persahabatan: Klasifikasi-Gangguan-Jiwa-Menurut-PPDGJ-III Diarsipkan 2023-07-28 di Wayback Machine. Diakses pada 31 maret 2010
  10. ^ A History of Dissociative Identity Disorder[pranala nonaktif permanen]. Diakses pada 31 maret 2010
  11. ^ a b c Schreiber, F. R. (2001). Sybil (Sarlito W, trans). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
  12. ^ a b c Baer, R. (2008) Menyingkap Karen (Berliana M., trans). Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta (Original Work Published 2007)
  13. ^ a b Keyes, D. (2005). 24 Wajah Billy. (Mariasti, trans). Bandung: Qanita
  14. ^ a b Situs Minddisorder.com: Dissociative identity disorder Diarsipkan 2022-07-01 di Wayback Machine.. Diakses pada 31 maret 2010
  15. ^ Lahey, B. B. (2007). Psychology: An introduction (9th ed). New York: Mc Graw-Hill
  16. ^ Lindzey, G. Hall, C.S. (1957). Introduction To Theory of Personality (1st ed)
  17. ^ Situs Healthyplace.com: Treatment of Dissociative Identity Disorder (DID) Diarsipkan 2010-12-09 di Wayback Machine.. Diakses pada 31 maret 2010