Birrul Walidain

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Birrul Walidain (Arab: بر الوالدين) adalah bagian dalam etika Islam yang menunjukan kepada tindakan berbakti (berbuat baik) kepada kedua orang tua. Yang mana berbakti kepada orang tua ini hukumnya fardhu (wajib) ain bagi setiap Muslim, meskipun seandainya kedua orang tuanya adalah non muslim. Setiap muslim wajib mentaati setiap perintah dari keduanya selama perintah tersebut tidak bertentangan dengan perintah Allah.[1][2] Birrul walidain merupakan bentuk silaturahim yang paling utama.

Dalam Islam tidak saja ditekankan harus menghormati kedua orang tua saja, akan tetapi ada akhlak yang mengharuskan orang yang lebih muda untuk menghargai orang yang lebih tua usianya dan yang tua harus menyayangi yang muda,[3][4] seorang ulama dalam bukunya juga menjelaskan hal yang serupa.[5] Dalam segala kegiatan umat Islam diharuskan untuk mendahulukan orang-orang yang lebih tua usianya, penjelasan ini berdasarkan perintah dari Malaikat Jibril,[6] karena dikatakan bahwa menghormati orang yang lebih tua termasuk salah satu mengagungkan Allah.[7]

Akhlak ini telah dilakukan oleh para sahabat, mereka begitu menghormati terhadap yang orang yang lebih tua meskipun umurnya hanya selisih satu hari atau satu malam,[8][9] atau bahkan lahir selisih beberapa menit saja.[10]

Definisi[sunting | sunting sumber]

Al-Walidain maksudnya adalah kedua orang tua kandung. Al-Birr maknanya kebaikan, berdasarkan hadits rasulullah ﷺ: “Al-Birr adalah baiknya akhlak”.[11] Al-Birr merupakan hak kedua orang tua dan kerabat dekat, lawan dari Al-‘Uquuq (durhaka), yaitu "kejelekan dan menyia-nyiakan hak“. Al-Birr adalah mentaati kedua orang tua di dalam semua apa yang mereka perintahkan kepada engkau, selama tidak bermaksiat kepada Allah, dan Al-‘Uquuq dan menjauhi mereka dan tidak berbuat baik kepadanya.”[12]

Dasar hukum[sunting | sunting sumber]

Dasar hukum disyariatkannya untuk berbakti kepada orang tua di dalam Al-Qur'an, adalah firman Allah:

Sembahlah Allah dan jangan kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua Ibu Bapak”.

— (An-Nisa’:36).[13]

...dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.[14] Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. “...dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik saya waktu kecil".”

— (Al Isra’:23-24)[15]

...dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang Ibu Bapanya, Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Maka bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang Ibu Bapakmu, hanya kepada-Ku-lah kembalimu.”

— (Luqman: 14)[16]

“Katakan: Marilah kubacakan apa yang telah diharamkan kepada kalian oleh Rabb kalian yaitu janganlah kalian mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah kepada kedua orang tua.”

— (Al-An’am: 151)

Juga dalam As-Sunnah, rasulullah ﷺ bersabda:

“Keridhaan Rabb (Allah) ada pada keridhaan orang tua dan kemurkaan Rabb (Allah) ada pada kemurkaan orang tua”.[17]

“Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian mendurhakai para Ibu, mengubur hidup-hidup anak perempuan, dan tidak mau memberi tetapi meminta-minta (bakhil) dan Allah membenci atas kalian (mengatakan) katanya si fulan begini si fulan berkata begitu (tanpa diteliti terlebih dahulu), banyak bertanya (yang tidak bermanfaat), dan membuang-buang harta”.[18].

Kedudukan birrul walidain[sunting | sunting sumber]

Pengulangan perintah dan digandengkan dengan ayat perintah untuk mentauhidkan Allah menunjukan begitu pentingnya kedudukan berbakti terhadap kedua orang tua di dalam Islam. Allah meletakkan hak orang tua (untuk dibaktikan) setelah Hak Allah (untuk diibadahi) dalam ayat Al-Qur'an surah An-Nisa: 36[19] dan Al-Isra: 23.[20]

Kedudukan dan hak seorang ibu untuk diberikan bakti oleh seorang anak adalah lebih tinggi tiga berbanding satu dibandingkan hak seorang ayah, padahal hak seorang Ayah terhadap anaknya sangat besar.[21] Dari Abu Hurairah ia berkata: "Ada seorang lelaki datang kepada rasulullah, kemudian berkata, "wahai rasulullah, siapa manusia yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik dariku ?" Dia menjawab, "ibumu", ia berkata lagi, "kemudian siapa lagi ?" Dia menjawab, "ibumu", ia pun berkata lagi, "kemudian siapa lagi ?" Dia menjawab, "ibumu". Ia pun berkata lagi, "kemudian siapa lagi?" Dia menjawab, "bapakmu".[22]

Berkata Imam Al-Qurthubi: “Termasuk ‘Uquuq (durhaka) kepada orang tua adalah menyelisihi/ menentang keinginan-keinginan mereka dari (perkara-perkara) yang mubah, sebagaimana Al-Birr (berbakti) kepada keduanya adalah memenuhi apa yang menjadi keinginan mereka. Oleh karena itu, apabila salah satu atau keduanya memerintahkan sesuatu, wajib engkau mentaatinya selama hal itu bukan perkara maksiat, walaupun apa yang mereka perintahkan bukan perkara wajib tapi mubah pada asalnya, demikian pula apabila apa yang mereka perintahkan adalah perkara yang mandub (disukai/ disunnahkan).[23].

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam kitab Zaadul Musaafir bahwa Abu Bakr berkata: “Barangsiapa yang menyebabkan kedua orang tuanya marah dan menangis, maka dia harus mengembalikan keduanya agar dia bisa tertawa (senang) kembali”.[24]

Keutamaan birrul walidain[sunting | sunting sumber]

Amalan yang paling mulia[sunting | sunting sumber]

Dari Abdullah bin Mas’ud mudah-mudahan Allah meridhoinya dia berkata: Saya bertanya kepada rasulullah ﷺ: Apakah amalan yang paling dicintai oleh Allah?, Bersabda rasulullah ﷺ: “Sholat tepat pada waktunya”, Saya bertanya: Kemudian apa lagi?, Bersabada rasulullah ﷺ “Berbuat baik kepada kedua orang tua”. Saya bertanya lagi: Lalu apa lagi?, Maka rasulullah ﷺ bersabda: “Berjihad di jalan Allah”.[25]

Penyebab diampuninya dosa[sunting | sunting sumber]

Allah menjanjikan ampunan kepada seseorang yang berbakti kepada kedua orang tua: “...Mereka itulah orang-orang yang kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama penghuni-penghuni surga. Sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka.” (Al Ahqaf 15-16)

Diriwayatkan oleh Ibnu Umar, bahwasannya seorang laki-laki datang kepada rasulullah ﷺ dan berkata: Wahai rasulullah sesungguhnya telah menimpa kepadaku dosa yang besar, apakah masih ada pintu taubat bagi saya?, Maka bersabda rasulullah ﷺ: “Apakah Ibumu masih hidup?”, berkata dia: Tidak. Bersabda dia ﷺ: “Kalau bibimu masih ada?”, dia berkata: “Ya”. Bersabda rasulullah ﷺ: “Berbuat baiklah padanya”.[26]

Penyebab masuknya seseorang ke surga[sunting | sunting sumber]

Dari Abu Hurairah, mudah-mudahan Allah meridhoinya, dia berkata: Saya mendengar rasulullah ﷺ bersabda: “Celakalah dia, celakalah dia”, rasulullah ﷺ ditanya: Siapa wahai rasulullah?, Bersabda rasulullah ﷺ: “Orang yang menjumpai salah satu atau kedua orang tuanya dalam usia lanjut kemudian dia tidak masuk surga (karena tidak berbakti kepada keduanya)”. (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya No. 1758, ringkasan).

Dari Mu’awiyah bin Jaahimah, Bahwasannya Jaahimah datang kepada rasulullah ﷺ kemudian berkata: “Wahai rasulullah, saya ingin (berangkat) untuk berperang, dan saya datang (ke sini) untuk minta nasihat pada anda. Maka ﷺ bersabda: “Apakah kamu masih memiliki Ibu?”. Berkata dia: “Ya”. Bersabda ﷺ: “Tetaplah dengannya karena sesungguhnya surga itu dibawah telapak kakinya”.[27]

Lebih utama dari jihad kifa'i[sunting | sunting sumber]

Berbakti kepada orang tua lebih diutamakan dibanding Jihad yang fardhu kifayah.[28] Sehingga seseorang yang hendak berangkat berjihad kemudian Orang tuanya tidak mengizinkannya maka dia dilarang untuk pergi berjihad. Apabila jihad itu fardhu kifayah (tathawwu’), maka diwajibkan izin kepada orang tua dan diharamkan berangkat tanpa izin keduanya Ini adalah kesepakatan para ulama berdasarkan hadits Abdullah bin Amr bin Ash, dia berkata, “Datang seorang lelaki kepada Nabi ﷺ minta izin kepadanya untuk berangkat jihad. Maka dia bertanya, “Apakah kedua orangtuamu masih hidup?” la menjawab, “Iya.” Maka dia bersabda, “Pada keduanyalah engkau berjihad”.[29][30][31][32]

Berbakti kepada orang tua hukumnya adalah fardhu ain. Sehingga ia lebih didahulukan terhadap jihad yang hukumnya hanya fardhu kifayah.[33]

Sifat para nabi dan orang-orang saleh[sunting | sunting sumber]

Sifat para nabi[sunting | sunting sumber]

Berbakti kepada orang tua adalah akhlak para Nabi dan orang-orang saleh, hal ini sebagaimana yang telah Allah kabarkan sendiri di dalam al-Qur’an, di antaranya adalah: Allah menceritakan tentang permohonan ampun Nabi Ibrahim kepada Allah untuk ayahnya meskipun ayahnya adalah seorang yang kafir: "Dia (Ibrahim) berkata, ”Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memohonkan ampunan bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku" (Maryam: 47).

Firman Allah yang memuji Nabi Yahya; "...dan sangat berbakti kepada kedua orang tuanya, dan dia bukan orang yang sombong (bukan pula) orang yang durhaka" (Maryam: 14).

Allah juga bercerita tentang Nabi Isa: "...dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka" (Maryam: 32)

Juga sifat orang-orang yang saleh[sunting | sunting sumber]

Berkas:Gendongibu.jpg
Seorang anak menggendong ibunya saat thawaf.
Berkas:Suapiibu.jpg
Seorang anak memberi minum ibunya yang telah tua.

Diceritakan bahwa sahabat Nabi Abu Hurairah menempati sebuah rumah, sedangkan ibunya menempati rumah yang lain. Apabila Abu Hurairah ingin keluar rumah, maka dia berdiri terlebih dahulu di depan pintu rumah ibunya seraya mengatakan, “Keselamatan untukmu, wahai ibuku, dan rahmat Allah serta barakahnya.” Ibunya menjawab, “dan untukmu keselamatan wahai anakku, dan rahmat Allah serta barakahnya.” Abu Hurairah kemudian berkata, “Semoga Allah menyayangimu karena engkau telah mendidikku semasa aku kecil.” Ibunya pun menjawab, “dan semoga Allah merahmatimu karena engkau telah berbakti kepadaku saat aku berusia lanjut.” Demikian pula yang dilakukan oleh Abu Hurairah ketika hendak memasuki rumah.”[34]

Suatu hari, Ibnu Umar melihat seorang yang menggendong ibunya sambil thawaf (beribadah) mengelilingi Ka’bah. Orang tersebut lalu berkata kepada Ibnu Umar, “Wahai Ibnu Umar, menurut pendapatmu apakah aku sudah membalas kebaikan ibuku?” Ibnu Umar menjawab, “Belum, meskipun sekadar satu erangan ibumu ketika melahirkanmu. Akan tetapi engkau sudah berbuat baik. Allah akan memberikan balasan yang banyak kepadamu terhadap sedikit amal yang engkau lakukan.”[35]

Dari Anas bin Nadzr al-Asyja’i, dia bercerita, suatu malam ibu dari sahabat nabi Ibnu Mas'ud meminta air minum kepada Ibnu Mas’ud. Setelah Ibnu Mas’ud datang membawa air minum, ternyata ibunya sudah tertidur. Akhirnya Ibnu Mas’ud berdiri di dekat kepala ibunya sambil memegang wadah berisi air tersebut hingga pagi (menunggu ibunya terbangun untuk memberikan minumnya, melaksanakan perintah ibunya).”[36]

Haiwah binti Syuraih adalah seorang ulama besar, suatu hari ketika dia sedang mengajar (yang dihadiri banyak jamah), ibunya memanggil. “Hai Haiwah, berdirilah! Berilah makan ayam-ayam dengan gandum.” Mendengar panggilan ibunya dia lantas berdiri dan meninggalkan pengajiannya.[37]

Hafshah binti Sirin mengatakan, “Aku tidak pernah melihat Muhamad bin Sirin bersuara keras di hadapan ibunya. Apabila dia berkata-kata dengan ibunya, maka dia seperti seorang yang berbisik-bisik.[38]

Dari Asir bin Jabir dia mengatakan, “Jika para gubernur Yaman menemui khalifah Umar Ibnul Khatthab, maka khalifah selalu bertanya, “Apakah di antara kalian ada yang bernama Uwais bin Amir”, sampai suatu hari dia bertemu dengan Uwais, dia bertanya, “engkau Uwais bin Amir?”, “Betul” Jawabnya. Khalifah Umar bertanya, “Engkau dahulu tinggal di Murrad kemudian tinggal di daerah Qarn?”, “Betul,” sahutnya. Dia bertanya, “Dulu engkau pernah terkena penyakit belang lalu sembuh akan tetapi masih ada belang di tubuhmu sebesar uang dirham?”, “Betul.” Dia bertanya, “Engkau memiliki seorang ibu.” Khalifah Umar mengatakan, “Saya mendengar rasulullah ﷺ bersabda, “Uwais bin Amir akan datang bersama rombongan orang dari Yaman dahulu tinggal di Murrad kemudian tinggal di daerah Qarn. Dahulu dia pernah terkena penyakit belang, lalu sembuh, akan tetapi masih ada belang di tubuhnya sebesar uang dirham. Dia memiliki seorang ibu, dan dia sangat berbakti kepada ibunya. Seandainya dia berdoa kepada Allah, pasti Allah akan mengabulkan doanya. Jika engkau bisa meminta kepadanya agar memohonkan ampun untukmu kepada Allah maka usahakanlah.” Maka mohonkanlah ampun kepada Allah untukku, Uwais Al-Qarni lantas berdoa memohonkan ampun untuk Umar Ibnul Khaththab. Setelah itu Umar bertanya kepadanya, “Engkau hendak pergi ke mana? “Kuffah,” jawabnya. Dia bertanya lagi, “Maukah ku tuliskan surat untukmu kepada gubernur Kuffah agar melayanimu? Uwais Al-Qarni mengatakan, “Berada di tengah-tengah banyak orang sehingga tidak dikenal itu lebih ku sukai.”[39]

Dalam ajaran umat sebelumnya[sunting | sunting sumber]

Berbakti kepada orang tua merupakan perintah yang tercantum di dalam kitab umat Yahudi, yang disebut sebagai "Sepuluh perintah Allah (Ten Commandments)", pada perintah ke-lima. Termuat dalam kitab Keluaran 20:12 dan Ulangan 5:16. Hukum ini mencakup semua tindakan baik, dukungan materiil, hormat, dan ketaatan kepada orang-tua. Perintah ini mencegah kata-kata kasar dan tindakan yang mencederakan (Keluaran 21:15,17).[40] Begitu pula disebutkan di dalam kitab kekristenan pada Matius 15:4 dan 19:19; Markus 7:10 dan 10:19; dan Lukas 18:20.

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Rujukan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Yaitu misalnya perintah untuk berbuat maksiat atau kekafiran, sebagaimana hadits: “Tidak ada ketaatan kepada seorang pun di dalam bermaksiat kepada Allah. Sesungguhnya ketaatan itu (hanya) di dalam kebajikan.” (Hadits riwayat Al-Bukhari no. 40 dan Muslim no. 39 dari shahabat Ali bin Abi Thalib
  2. ^ Berkata Ibnu Hazm: “Birul Walidain adalah fardhu (wajib bagi masing-masing individu). Dia menukilkan dalam kitab Al-Adabul Kubra tentang perkataan Qadhi Iyyad: “Birrul walidain adalah wajib pada selain perkara yang haram.” (Ghadzaul Al-Baab 1/382)
  3. ^ “Bukanlah termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi orang muda di antara kami, dan tidak mengetahui kemuliaan orang-orang yang tua di antara kami”. (Hadits riwayat At-Tirmidzy dari Abdullah bin ‘Amr, dan dishahihkan Syeikh Al-Albany).
  4. ^ Hadist ini juga diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik, yang di dalamnya ada kisah bahwa seseorang yang sudah berumur tua hendak bertemu nabi ﷺ, namun para sahabat saat itu terkesan lamban dalam memberikan keluasan tempat baginya, sehingga rasulullah ﷺ pun bersabda: َﺲْﻴَﻟﺎَّﻨِﻣْﻦَﻣْﻢَﻟْﻢَﺣْﺮَﻳﺎَﻧَﺮﻴِﻐَﺻْﺮِّﻗَﻮُﻳَﻭَﺎﻧَﺮﻴِﺒَﻛ “Bukan termasuk golonganku orang yang tidak menyayangi orang muda di antara kami dan tidak menghormati orang yang tua”. (Hadits riwayat At-Tirmidzy, dishahihkan Syeikh Al-Albany).
  5. ^ Imam At-Tirmidzy berkata: َﻝﺎَﻗِﻞْﻫَﺃ ُﺾْﻌَﺑِﻢْﻠِﻌْﻟﺍِﻝْﻮَﻗ ﻰَﻨْﻌَﻣِّﻰِﺒَّﻨﻟﺍﻰﻠﺻ-ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ-ﻢﻠﺳﻭ‏«َﺲْﻴَﻟﺎَّﻨِﻣ‏»ُﻝﻮُﻘَﻳ .:َﺲْﻴَﻟْﻦِﻣ،ﺎَﻨِﺘَّﻨُﺳ ُﻝﻮُﻘَﻳ:َﺲْﻴَﻟﺎَﻨِﺑَﺩَﺃ ْﻦِﻣ “Berkata sebagian ulama bahwa makna sabda nabi ﷺ, “Bukan termasuk golonganku” adalah “Bukan termasuk sunnah kami, bukan termasuk adab kami”. (Sunan At Tirimidzy, 4/322).
  6. ^ “Jibril telah menyuruhku untuk mendahulukan orang-orang yang lebih tua”. (Hadits riwayat Imam Ahmad, dan dishahihkan Syeikh Al Albany dalam Silsilah Al Ahaadiits Ash-Shahiihah, no.1555, dengan keseluruhan sanad-sanadnya).
  7. ^ “Sesungguhnya termasuk mengagungkan Allah adalah menghormati orang muslim yang sudah tua”. (Hadits riwayat Abu Dawud, dari Abu Musa Al Asy’ary, dihasankan Syeikh Al-Albany).
  8. ^ Samurah bin Jundub: ُﺖْﻨُﻛ ْﺪَﻘَﻟﻰَﻠَﻋِﺪْﻬَﻋِﻪَّﻠﻟﺍ ِﻝﻮُﺳَﺭﻪﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ-ﻪﻴﻠﻋ ﺎًﻣَﻼُﻏ -ﻢﻠﺳﻭُﺖْﻨُﻜَﻓُﻆَﻔْﺣَﺃُﻪْﻨَﻋﺎَﻤَﻓﻰِﻨُﻌَﻨْﻤَﻳَﻦِﻣِﻝْﻮَﻘْﻟﺍ َّﻻِﺇَّﻥَﺃﺎَﻫًﻻﺎَﺟِﺭ ﺎَﻨُﻫُّﻦَﺳَﺃ ْﻢُﻫﻰِّﻨِﻣ “Sungguh saya dahulu di zaman rasulullah ﷺ adalah seorang anak, dan saya telah menghafal (hadist-hadist) dari dia, dan tidaklah menghalangiku untuk mengucapkannya kecuali karena disana ada orang-orang yang lebih tua daripada diriku”. (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya).
  9. ^ Malik bin Mighwal rahimahullah berkata: ُﺖْﻨُﻛْﻲِﺸْﻣَﺃَﻊَﻣَﺔَﺤْﻠَﻃِﻦْﺑ، ٍﻑِّﺮَﺼُﻣﺎَﻧْﺮِﺼَﻓﻰَﻟِﺇٍﻖَﻴْﻀَﻣ ْﻲِﻨَﻣَّﺪَﻘَﺘَﻓَّﻢُﺛْﻲِﻟ َﻝﺎَﻗ:«ْﻮَﻟُﺖْﻨُﻛُﻢَﻠْﻋَﺃَﻚَّﻧَﺃُﺮَﺒْﻛَﺃِﻲِّﻨِﻣ ٍﻡْﻮَﻴِﺑَﻚُﺘْﻣَّﺪَﻘَﺗ ﺎَﻣ‏» “Dahulu saya berjalan bersama Thalhah bin Musharrif, sampailah kami ke sebuah jalan sempit, maka diapun mendahuluiku, seraya berkata kepada saya: 'Seandainya saya mengetahui bahwa engkau lebih tua satu hari daripada saya niscaya saya tidak akan mendahuluimu'". (Diriwayatkan oleh Al-Khathiib Al-Baghdaady dalam Al-Jaami’ li Akhlaaqi Ar-Raawii wa Aadaabi As-Saami’, no: 249).
  10. ^ Ya’qub bin Sufyan bercerita: ْﻲِﻨَﻐَﻠَﺑَﻦَﺴَﺤْﻟﺍ َّﻥَﺃْﻲَﻨْﺑﺍ ﺎًّﻴِﻠَﻋَﻭٍﺢِﻟﺎَﺻﺎَﻧﺎَﻛ،ِﻦْﻴَﻣَﺃْﻮَﺗَﺝَﺮَﺧ ْﻢَﻠَﻓ ، ٍّﻲِﻠَﻋ َﻞْﺒَﻗ ُﻦَﺴَﺤْﻟﺍَﺮُﻳُﻦَﺴَﺤْﻟﺍ ْﻂَﻗَﻊَﻣٍّﻲِﻠَﻋْﻲِﻓ ﺎَّﻟِﺇ ٍﺲِﻠْﺠَﻣٌّﻲِﻠَﻋ َﺲَﻠَﺟ، ُﻪَﻧْﻭُﺩْﻢَﻟَﻭْﻦُﻜَﻳُﻢَّﻠَﻜَﺘَﻳِﻦَﺴَﺤْﻟﺍ َﻊَﻣ ﺍَﺫِﺇﺎَﻌَﻤَﺘْﺟﺍْﻲِﻓٍﺲِﻠْﺠَﻣ “Telah sampai kepada saya kabar bahwa Al-Hasan dan Ali, anaknya Shalih, adalah dua anak yang kembar; Al Hasan lahir sebelum Ali. Tidaklah Al Hasan dan Ali duduk bersama di sebuah majelis kecuali Ali duduk lebih rendah daripada Al-Hasan; dan tidaklah Ali berbicara ketika Al Hasan berbicara apabila keduanya berada dalam satu majelis”. (Diriwayatkan oleh Al-Khathiib Al-Baghdaady dalam Al-Jaami’ li Akhlaaqi Ar-Raawii wa Aadaabi As-Saami’, no: 252).
  11. ^ Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya Nomor 1794
  12. ^ Disebutkan dalam kitab Ad-Durul Mantsur 5/259
  13. ^ Dalam ayat ini (berbuat baik kepada Ibu Bapak) merupakan perintah, dan perintah disini menunjukkan kewajiban, khususnya, karena terletak setelah perintah untuk beribadah dan mengesakan (tidak mempersekutukan) Allah, serta tidak didapatinya perubahan (kalimat dalam ayat tersebut) dari perintah ini. (Al Adaabusy Syar’iyyah 1/434).
  14. ^ Adapun tentang makna (qadha), Berkata Ibnu Katsir: yakni, mewasiatkan. Berkata Al-Qurthubi: yakni, memerintahkan, menetapkan dan mewajibkan. Berkata Asy-Syaukani: “Allah memerintahkan untuk berbuat baik pada kedua orang tua seiring dengan perintah untuk mentauhidkan dan beribadah kepada-Nya, ini pemberitahuan tentang betapa besar hak mereka berdua, sedangkan membantu urusan-urusan (pekerjaan) mereka, maka ini adalah perkara yang tidak bersembunyi lagi (perintahnya). (Fathul Qodiir 3/218)
  15. ^ Berkata Urwah bin Zubair: “Jangan sampai mereka berdua tidak ditaati sedikitpun”. (Ad-Darul Mantsur 5/259)
  16. ^ Berkata Ibnu Abbas: “Tiga ayat dalam Al Qur’an yang saling berkaitan dimana tidak diterima salah satu tanpa yang lainnya, kemudian Allah menyebutkan diantaranya firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (artinya): “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang Ibu Bapakmu”, Berkata dia. “Maka, barangsiapa yang bersyukur kepada Allah akan tetapi dia tidak bersyukur pada kedua Ibu Bapaknya, tidak akan diterima (rasa syukurnya) dengan sebab itu.” (Al Kabaair milik Imam Adz Dzahabi hal 40).
  17. ^ Riwayat Tirmidzi dalam Jami’nya (1/346), Hadits ini Shahih, lihat Silsilah Al Hadits Ash Shahiihah No. 516
  18. ^ Hadits dari Al Mughirah bin Syu’bah diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya No. 1757
  19. ^ "...dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua" (An-Nisa: 36)
  20. ^ "...dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak" (Al-Isra: 23)
  21. ^ Seorang ibu telah mengandung anaknya selama 9 bulan dalam kesusahan yang bertumpuk-tumpuk, kemudian menyusuinya, menyapih, merawat, mendidiknya hingga dewasa (lihat Al-Ahqaf; 15). Seorang ayah telah bekerja dan bersusah payah demi keluarga, memberi perlindungan dan pendidikan, "dan katakanlah, "Wahai Tuhanku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil" Al-Isra; 24
  22. ^ Hadits riwayat Bukhari; 5971, Muslim; 2548
  23. ^ Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an Jil 6 hal 238
  24. ^ Ghadzaul Al Baab 1/382
  25. ^ Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam Shahihain, Hadits riwayat Al-Bukhari, 10/336 dan Muslim no. 85
  26. ^ Diriwayatkan oleh Tirmidzi di dalam Jami’nya dan berkata Al ‘Arnauth: Perawi-perawinya tsiqoh. Dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim. Lihat Jaami’ul Ushul (1/ 406)
  27. ^ Hadits Hasan diriwayatkan oleh Nasa’i dalam Sunannya dan Ahmad dalam Musnadnya, Hadits ini Shohih. (Lihat Shahihul Jaami No. 1248
  28. ^ Jihad yang syar'i terbagi dua dari segi kewajibannya, yaitu fardhu ain dan fardhu kifayah.
  29. ^ Hadits riwayat Al-Bukhâri no. 3004, 5972, Muslim no. 2549, Abu Daud no. 2529, At-Tirmidzy no. 1675, dan An-Nasa`i 6/10.
  30. ^ http://id.lidwa.com/app/?k=muslim&n=4623[pranala nonaktif permanen]
  31. ^ http://id.lidwa.com/app/?k=ahmad&n=6257[pranala nonaktif permanen]
  32. ^ http://id.lidwa.com/app/?k=nasai&n=3052[pranala nonaktif permanen]
  33. ^ http://jihadbukankenistaan.com/menyelami-jihad/beberapa-ketentuan-seputar-jihad.html#_ftnref6[pranala nonaktif permanen]
  34. ^ Adab al-Mufrad; karya Imam Bukhari
  35. ^ Al-Kabair; karya Imam adz-Dzahabi
  36. ^ Birrul walidain; karya Ibnul Jauzi
  37. ^ Al-Birr Wasilah; karya Ibnul Jauzi
  38. ^ Siyar A'lam An-Nubala, karya adz-Dzahabi
  39. ^ Hadits riwayat Muslim
  40. ^ http://alkitab.sabda.org/verse.php?book=Kel&chapter=20&verse=12#

Pranala luar[sunting | sunting sumber]