Zen

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Bagian dari serial
Agama Buddha
Lima Kelompok
Caodong / Sōtō
Linji / Rinzai
Fayan / Hōgen
Guiyang / Igyō
Yunmen / Unmon
Tata cara
Meditasi duduk
Samādhi
Pencerahan
Pelatihan Kōan
Naskah utama
Sūtra Laṅkāvatāra
Sūtra Intan
Sūtra Hati
Sūtra Śūraṅgama
Sūtra Altar
Kumpulan Kōan
Agama Buddha Mahāyāna
Garis waktu agama Buddha
(Kategori)

Zen adalah salah satu aliran Buddha Mahayana. Kata Zen adalah bahasa Jepang yang berasal dari bahasa mandarin "Chan" (禪, Pinyin: Chán). Kata "Chan" sendiri berasal dari bahasa Pali "jhana" atau bahasa Sanskerta dhyana( ध्यान ). Dalam bahasa vietnam Zen dikenal sebagai “thiền” dan dalam bahasa korea dikenal sebagai “seon”.

Jhana atau Dhyāna adalah sebuah kondisi batin yang terpusat yang ditemui dalam meditasi. Meski secara semantik, kata Chan sendiri berasal dari kata ‘dhyāna’ (Sansekerta) atau ‘jhana’ (Pali) atau 'Chan-na' 禪那 (Tionghoa). Zen tidak bertujuan pada pencapaian jhana. Ini sekadar menunjukkan bahwa ajaran Zen sangat menekankan pada aspek meditasi atau samadhi.

Asal usul dan pengaruh Tao[sunting | sunting sumber]

Ketika datang ke China dari India, ajaran Buddha awalnya disesuaikan dengan budaya dan pemahaman China sehingga terkena pengaruh Konfusianisme dan Taoisme. Goddard mengutip D.T. Suzuki dengan menyebut Chán sebagai sebuah “perubahan alami ajaran Buddha dalam kondisi Taois”.[1]

Dilihat dari penerimaan oleh karya Han Hinayana dan dari komentar-komentar awal, tampak bahwa ajaran Buddha dirasakan dan dicerna melalui Daoisme religius (Taoisme). Buddha dipandang sebagai orang asing yang abadi yang telah mencapai beberapa bentuk abadi Daois. Kehati-hatian umat Buddha dalam bernapas dianggap sebagai perluasan latihan pernapasan Daois.[2]

Terminologi Tao digunakan untuk mengekspresikan doktrin ajaran Buddha dalam terjemahan tertua dari teks-teks ajaran Buddha, dalam sebuah praktik yang disebut ko-i, yang berarti “sesuai dengan konsep-konsep”, saat ajaran Buddha versi China yang baru saja muncul harus bersaing dengan Taoisme dan Konfusianisme.[3]

Umat Buddha pertama yang direkrut di China adalah kaum Tao.[4] Mereka mengembangkan penghargaan yang tinggi terhadap teknik meditasi Buddha yang baru diperkenalkan, dan memadukannya dengan meditasi Tao. Anggota awal ajaran Buddha versi China seperti Sengzhao dan Tao Sheng sangat dipengaruhi oleh karya-karya dasar keimanan Tao yang ditulis oleh Laozi dan Zhuangzi. Berlawanan dengan latar belakang ini, konsep kealamian Tao diwariskan oleh para siswa awal Chán: mereka mensejajarkan sifat Tao and Buddha yang tak terlukiskan sampai batas waktu tertentu. Dengan demikian, mereka tidak merasa terikat pada "kebijaksanaan sutra" yang abstrak atau sifat-Buddha yang ditekankan yang dapat ditemukan di kehidupan manusia "sehari-hari", sama halnya dengan Tao.[5]

Guru-guru Zen[sunting | sunting sumber]

Pendeta Buddha-Zen di Jepang

Aliran Zen dianggap bermula dari Bodhidharma. Ia berasal dari India dan merupakan murid generasi ke-28 setelah Mahakassapa (dalam Bahasa Pali; bahasa Sanskerta:Mahakasyapa). Sekitar tahun 520 dia pergi ke Tiongkok Selatan di kerajaan Liang. Dia kemudian bermeditasi selama 9 tahun menghadap dinding batu di wihara di Luoyang. Di sinilah juga dipercayai berdirinya wihara Shaolin (少林寺).

Aliran Zen asli kemudian diteruskan sampai ke generasi ke-6 Hui Neng. Setelah itu aliran Zen berpencar di Tiongkok, dan Jepang.

  1. Bodhidharma (atau Damo 達摩) lahir sekitar 440 - meninggal sekitar 528
  2. Dazu Huike (慧可) lahir 487 - meninggal 593
  3. Jianzhi Sengcan (僧燦) lahir ? - meninggal 606
  4. Dayi Daoxin (道信) lahir 580 - meninggal 651
  5. Hung Ren (弘忍) lahir 601 - meninggal 674
  6. Hui Neng (慧能) lahir 638 - meninggal 713

Ajaran Zen[sunting | sunting sumber]

Meskipun narasi Zen menyatakan bahwa narasi tersebut adalah "penjabaran khusus di luar kitab suci" yang tidak tersusun atas kata-kata",[6] Zen memang memiliki latar belakang doktrinal yang kaya. Yang paling penting adalah "ajaran yang paling mendasar adalah bahwa kita sudah sejak awal tercerahkan",[7] dan idealisme Bodhisattva, yang melengkapi wawasan dengan Karunā, kasih sayang dengan semua makhluk hidup.[8]

Hampir tidak mungkin untuk menunjuk “ajaran Zen mana yang penting”, mengingat banyaknya macam aliran, sejarah yang disampaikan selama 1500 tahun, dan penekanan pada pemahaman yang apa adanya, kenyataan sebagaimana mestinya, yang harus diekspresikan dalam kehidupan sehari-hari, tidak dalam kata-kata. Tetapi yang umum untuk sebagian besar aliran dan ajaran adalah penekanan pada pemahaman yang apa adanya, idealisme Bodhisattva, dan prioritas zazen.

Ajaran Zen dapat disamakan dengan “jari yang menunjuk bulan”.[9] Ajaran Zen mengarah ke bulan, membangitkan, “realisasi dari interpenetrasi dharmadhatu yang tidak segera terjadi”.[10] Namun, tradisi Zen juga memperingatkan hal yang berlawanan dengan ajarannya, bahwa jari yang menunjuk, adalah wawasan itu sendiri.[11]

Berbagai tradisi meletakkan berbagai penekanan dalam ajaran dan praktik mereka:

Ada dua cara yang berbeda untuk memahami dan benar-benar mempraktikkan Zen. Kedua cara yang berbeda ini dalam bahasa China disebut pen chueh dan shih-chueh. Istilah pen chueh mengacu pada keyakinan bahwa pikiran seseorang telah tercerahkan sejak awal, sementara shih-chueh mengacu pada keyakinan bahwa pada suatu titik dalam waktu, kita meloloskan diri dari penjara ketidaktahuan dan kebodohan menuju visi realisasi Zen yang sebenarnya: "Pencerahan kami adalah abadi, namun realisasi kita terjadi pada saatnya.” Menurut keyakinan ini, mengalami momen kebangkitan dalam hidup ini adalah sesuatu yang sangat penting.[12]

Praktik Zen[sunting | sunting sumber]

Meditasi Zen[sunting | sunting sumber]

Yang utama dalam praktik Zen adalah dhyana atau meditasi. Tradisi Zen menyatakan bahwa dalam praktik meditasi, pengertian tentang doktrin dan ajaran mengharuskan adanya penciptaan berbagai gagasan dan penampilan (Skt. saṃjñā; Ch. 相, Xiang) yang mengaburkan makna kebijaksanaan tiap sifat makhluk Buddha. Proses penemuan kembali ini disebut dengan berbagai istilah seperti “introspeksi”, “langkah mundur”, “berbalik-haluan” atau “melihat lebih dalam”.

Mengamati napas[sunting | sunting sumber]

Selama duduk bermeditasi, praktisi biasanya mengambil posisi seperti posisi lotus, setengah lotus, Burma, atau postur seiza, dengan menggunakan dhyāna mudrā. Untuk mengatur pikiran, kesadaran diarahkan dengan menghitung atau mengamati napas, atau dimasukkan ke dalam pusat energi di bawah pusar (lihat juga anapanasati).[13] Seringkali, bantal persegi atau bulat ditempatkan di atas tikar empuk dan digunakan untuk duduk. Dalam beberapa kasus lain, kursi juga dapat digunakan. Praktik ini bisa disebut duduk dhyana, yang juga disebut zuochan (坐禅) dalam bahasa Tionghoa, dan zazen (坐禅) dalam bahasa Jepang.

Mengamati pikiran[sunting | sunting sumber]

Di aliran Zen Soto, meditasi tanpa objek, hasrat, atau isi, adalah bentuk utama dari praktik meditasi ini. Pelaku meditasi berusaha menyadari aliran pikiran yang memungkinkan pikiran tersebut untuk muncul dan hilang tanpa gangguan. Pembenaran secara tekstual, filosofis, dan fenomenologis yang cukup besar untuk praktik ini dapat ditemukan di seluruh Dogen Shōbōgenzō, seperti misalnya dalam buku "Principles of Zazen"[14] dan "Universally Recommended Instructions for Zazen”.[15] Dalam bahasa Jepang, praktik ini disebut shikantaza.

Meditasi kelompok Intensif[sunting | sunting sumber]

Tradisi Zen mencakup periode meditasi kelompok intensif di sebuah biara. Dalam rutinitas sehari-hari, para biarawan diharuskan untuk bermeditasi selama beberapa jam setiap hari. Namun, selama periode intensif ini, mereka mengabdikan diri semata-mata hanya untuk mempraktikkan meditasi duduk. Periode meditasi selama 30-50 menit yang berkali-kali disisipi dengan istirahat pendek, makan, dan kadang-kadang, pekerjaan jangka pendek harus dilakukan dengan kesadaran yang sama; tidur malam dilakukan seminimal mungkin: 7 jam atau kurang dari itu. Dalam praktik ajaran Buddha modern di Jepang, Taiwan, dan Barat, siswa biasa sering menghadiri sesi-sesi latihan yang intensif, yang panjangnya biasanya 1, 3, 5, atau 7 hari. Sesi-sesi latihan ini diadakan di banyak pusat Zen, terutama dalam rangka pencapaian Anuttarā Samyaksaṃbodhi Buddha. Salah satu aspek yang khas dari meditasi Zen dalam kelompok adalah penggunaan serpihan kayu datar yang digunakan untuk menjaga pelaku meditasi tetap fokus dan terjaga. Dalam bahasa Jepang, praktik ini disebut sesshin.

Praktik Kōan[sunting | sunting sumber]

Pada awal Dinasti Song, praktik dengan metode ''kōan'' menjadi populer, sedangkan yang lain mempraktikkan "iluminasi sunyi.” Hal ini menjadi sumber beberapa perbedaan antara tradisi Linji dan Caodong dalam praktiknya.

Sebuah kōan, yang secara harfiah berarti "kasus umum", adalah sebuah cerita atau dialog yang menggambarkan interaksi antara seorang master Zen dan seorang siswanya. Anekdot ini mendemonstrasikan wawasan sang master. Kōan menekankan wawasan non-konsepsional yang ditunjukkan oleh ajaran Buddha. Kōan dapat digunakan untuk memancing timbulnya "keraguan besar", dan menguji kemajuan siswa dalam praktik Zen.

Penanyaan Kōan dapat dipraktikkan selama duduk meditasi (zazen), meditasi berjalan (kinhin), dan seluruh aktivitas kehidupan sehari-hari. Praktik Kōan terutama ditekankan oleh aliran Rinzai Jepang, tetapi praktik ini juga dilakukan oleh aliran atau cabang Zen lain, tergantung dari cara mengajarnya.[16]

Penguasaan murid Zen atas kōan yang telah diberikan disajikan kepada guru dalam wawancara pribadi (dalam bahasa Jepang disebut sebagai dokusan (独 参), daisan (代 参), atau sanzen (参禅)). Meskipun tidak ada jawaban yang khusus untuk sebuah kōan, praktisi diharapkan untuk menunjukkan pemahaman mereka tentang kōan dan Zen melalui tanggapan mereka. Guru dapat menyetujui atau tidak menyetujui jawaban tersebut dan membimbing siswa ke arah yang benar. Interaksi dengan guru Zen penting dalam Zen, tetapi hal ini membuat praktik Zen, setidaknya di Barat, rentan terhadap kesalahpahaman dan eksploitasi.[17]

Seni Zen[sunting | sunting sumber]

Dari abad ke-12 dan abad ke-13, perkembangan lebih lanjut ialah seni Zen, mengikuti perkenalan aliran ini oleh Dogen dan Eisai setelah mereka pulang dari Tiongkok. Seni Zen sebagian besar memiliki ciri khas lukisan asli (seperti sumi-E dan Enso) dan puisi (khususnya haiku). Seni ini berusaha keras untuk mengungkapkan intisari sejati dunia melalui gaya impressionisme dan gambaran tak terhias yang tak "dualistik". Pencarian untuk penerangan "sesaat" juga menyebabkan perkembangan penting lain sastra derivatif seperti Chanoyu (upacara minum teh) atau Ikebana; seni merangkai bunga. Perkembangan ini sampai sejauh pendapat bahwa setiap kegiatan manusia merupakan sebuah kegiatan seni sarat dengan muatan spiritual dan estetika, pertama-tama apabila aktivitas itu berhubungan dengan teknik pertempuran (seni beladiri).

Zen telah sangat mempengaruhi perkembangan seni bela diri seperti Kendo, Kyudo, Judo, Karate dan Aikido. Di Jepang kuno, Zen memiliki dampak besar pada prajurit Samurai, dan secara luas diadopsi sebagai agama resmi mereka. Samurai mencapai kesempurnaan dalam seni bela diri praktik Zazen. Praktik ini ideal bagi cara hidup Samurai karena menekankan pada diri ketenangan, kewaspadaan, dan kerelaan dalam menghadapi kematian. Bahkan dalam tingkat tertentu, Zen disebut agama Samurai. Pendekar besar Miyamoto Musashi dan beberapa 47 Ronin adalah pakar Zen.[18]

Zen di Indonesia[sunting | sunting sumber]

Terdapat beberapa kelompok Zen yang sekarang berkembang di Indonesia, termasuk tradisi Plum Village, Dharma Drum Mountain (Chan Indonesia), dan Fo Guang Shan yang tersebar di kota-kota besar di Indonesia.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Goddard, Dwight (2007), History of Ch'an Buddhism previous to the times of Hui-neng (Wie-lang). In: A Buddhist Bible, Forgotten Books.
  2. ^ Lai, Whalen, Buddhism in China: A Historical Survey.
  3. ^ Brown Holt, Linda (1995), "From India to China: Transformations in Buddhist Philosophy", Qi: The Journal of Traditional Eastern Health & Fitness.
  4. ^ Fowler, Merv (2005), Zen Buddhism: Beliefs and Practices, Sussex Academic Press.
  5. ^ Dumoulin, Heinrich (2005), Zen Buddhism: A History. Volume 1: India and China, World Wisdom Books, halaman 168. ISBN 978-0-941532-89-1
  6. ^ Dumoulin, Heinrich (2005), Zen Buddhism: A History. Volume 1: India and China, World Wisdom Books, halaman 85-94. ISBN 978-0-941532-89-1
  7. ^ Schlütter, Morten (2008), How Zen became Zen. The Dispute over Enlightenment and the Formation of Chan Buddhism in Song-Dynasty China, Honolulu: University of Hawai'i Press, ISBN 978-0-8248-3508-8
  8. ^ Low, Albert (2006), Hakuin on Kensho. The Four Ways of Knowing, Boston & London: Shambhala.
  9. ^ Suzuki, Shunryu (1997), Branching streams flow in the darkness: Zen talks on the Sandokai, University of California Press.
  10. ^ Buswell, Robert E (1993), Ch'an Hermeneutics: A Korean View. In: Donald S. Lopez, Jr. (ed.)(1993), Buddhist Hermeneutics, Delhi: Motilal Banarsidass.
  11. ^ Abe, Masao; Heine, Seteven (1996), Zen and Comparative Studies, University of Hawaii Press.
  12. ^ Lachs, Stuart (2012), Hua-t’ou: A Method of Zen Meditation.
  13. ^ Sheng, Yen. "Fundamentals of Meditation"
  14. ^ Soto Zen Text Project. "Zazengi translation". Stanford University.
  15. ^ Soto Zen Text Project. "Fukan Zazengi". Diarsipkan 2008-04-29 di Wayback Machine. Stanford University
  16. ^ Loori, John Daido (2006), Sitting with Koans: Essential Writings on Zen Koan Introspection, Wisdom Publications, ISBN 0-86171-369-9
  17. ^ Lachs, Stuart (2006), The Zen Master in America: Dressing the Donkey with Bells and Scarves.
  18. ^ Zen & Martial Arts zen-buddhism.net

Pranala luar[sunting | sunting sumber]