Teori perang yang benar

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Teori perang yang adil (Inggris: just war) atau perang yang sah, atau secara lebih tepat teori perang yang dapat dibenarkan (Latin: jus bellum iustum), adalah suatu doktrin, juga disebut sebagai suatu tradisi, etika militer yang dipelajari oleh para teolog, pakar etika, pembuat kebijakan, dan pemimpin militer. Tujuan dari doktrin ini adalah membedakan antara cara-cara yang dapat dibenarkan dengan yang tidak dapat dibenarkan dalam penggunaan angkatan bersenjata yang terorganisasi. Teori-doktrin tentang perang yang sah berupaya untuk memahami bagaimana penggunaan senjata dapat dikendalikan, dilakukan dengan cara yang lebih manusiawi, dan pada akhirnya ditujukan pada upaya untuk menciptakan perdamaian dan keadilan yang abadi.

Tradisi Perang yang Sah membahas moralitas penggunaan kekuatan dalam dua bagian: kapan suatu pihak dapat dibenarkan dalam menggunakan angkatan bersenjatanya (keprihatinan tentang jus ad bellum) dan cara-cara apa yang harus dilakukan dalam menggunakan angkatan bersenjata itu (keprihatinan tentang jus in bello). (Sumber: [1] Diarsipkan 2009-05-09 di Wayback Machine. Meninjau kembali alasan yang sah])

Pada tahun-tahun yang lebih belakangan, muncul pula kategori yang ketiga - Jus post bellum, yang mengatur bagaimana suatu peperangan dapat diakhiri dengan adil dan perjanjian perdamaian dapat dicapai, sementara penjahat-penjahat perang juga diadili.

Doktrin tentang Perang yang Sah mempunyai akar yang sudah tua sekali. Nyanyian Debora dalam Alkitab Ibrani dalam Kitab Hakim-hakim membahas konsep dari Zaman Perunggu tentang apa yang membedakan perang suci "yang adil". Cicero membahas gagasan ini beserta aplikasi-aplikasinya. Augustinus dari Hippo, Thomas Aquinas dan Hugo Grotius belakangan menyusun suatu perangkat hukum untuk Perang yang Sah, yang hingga masa kini masih mencakup pokok-pokok yang sering diperdebatkan, dengan sejumlah modifikasi.

Mengapa Perang yang Sah dipandang perlu?[sunting | sunting sumber]

Selama beribu-ribu tahun, perang dianggap sebagai suatu peristiwa yang tidak menyenangkan, memuakkan namun tidak terhindarkan. Dalam sejarah Barat, salah satu pertanyaan yang terus-menerus diajukan ialah: dapatkah penggunaan kekerasan dibenarkan secara moral untuk melindungi dan melestarikan nilai-nilai? Adakah situasi-situasi atau kondisi-kondisi di mana membunuh dapat dianggap sebagai suatu tuntutan moral? Bila membunuh dapat dibenarkan, apakah batasan-batasan moral yang harus diberikan – apabila memang ada? Doktrin tentang Perang yang Sah pada hakikatnya adalah suatu upaya untuk membenarkah peperangan, atau suatu tindakan perang.

Sementara doktrin tentang Perang yang Sah beranggapan bahwa membunuh, dalam pengertian umum, secara moral tidak dapat diterima, doktrin ini pun mengakui bahwa perang antara negara tidak dapat dihindari dan akan menyebabkan kematian. Doktrin tentang Perang yang Sah berusaha untuk mendefinisikan kondisi-kondisi dan situasi-situasi di mana pembunuhan terhadap orang lain menjadi suatu kewajiban moral. Kepedulian utama dari Doktrin tentang Perang yang Sah adalah perlindungan terhadap mereka yang tidak bersalah (orang-orang yang tidak ikut berperang), penyusunan aturan-aturan yang dapat meminimalkan kematian, dan pelaksanaan perang di dalam batas-batas yang telah ditetapkan. Karena itu, Perang yang Sah tidaklah semata-mata ditentukan oleh kriteria utilitarian semata-mata, tetapi juga oleh sarana-sarananya, prinsip-prinsipnya, dan nilai-nilainya.

Menurut St. Agustinus[sunting | sunting sumber]

Santo Agustinus dari Hippo menegaskan bahwa hal ini adalah suatu sikap pribadi, suatu pendirian filosofis:[1]

"Apa yang diperlukan di sini bukanlah tindakan fisik, tetapi suatu disposisi batin. Tahta suci kebajikan adalah hati."

Meski demikian, ia menegaskan, kedamaian dalam menghadapi suatu kesalahan yang berat dan serius, yang hanya dapat dihentikan melalui kekerasan, akan menjadi suatu dosa. Pertahanan atas diri sendiri atau orang lain dapat menjadi suatu keharusan, terutama jika diizinkan oleh suatu otoritas yang resmi dan sah:[2]

"Mereka yang telah berperang dalam ketaatan pada perintah ilahi, atau sejalan dengan hukum-Nya, telah terwakili dalam diri mereka keadilan publik atau kebijaksanaan pemerintah, dan dalam kapasitas ini telah membunuh orang-orang jahat; orang-orang tersebut tidaklah berarti melanggar perintah, 'Jangan membunuh'."

Walau tidak merinci persyaratan yang dibutuhkan agar perang dapat dibenarkan, yang biasa disebut dengan istilah just war (perang yang adil/sah), Agustinus mengambil istilah tersebut dari karyanya sendiri Kota Allah:[2]

"Tetapi, kata mereka, orang bijak akan melancarkan perang yang adil (just war). Seolah ia tidak akan lebih meratapi pentingnya perang yang adil, jika ia ingat bahwa ia seorang manusia; karena jikalau tidak adil ia tidak akan melancarkannya, dan karena itu akan bebaslah dari segala peperangan."

Sementara bagi seorang Kristen yang berada di bawah kekuasaan suatu pemerintahan dan terlibat dalam perang yang tidak bermoral, Agustinus memperingatkan bahwa orang-orang Kristiani, "menurut perintah ilahi, tidak mempunyai pilihan selain tunduk pada para pimpinan politik mereka dan [harus] berusaha untuk memastikan bahwa mereka menjalankan tugas mereka dalam peperangan dengan seadil mungkin."[3]

Kapan suatu perang dapat dianggap sah berdasarkan kriteria ini? (Jus ad bellum)[sunting | sunting sumber]

Dalam bahasa modern, agar suatu perang dapat dianggap sah maka ia harus memenuhi kriteria berikut ini sebelum penggunaan kekerasan dapat dilaksanakan (Jus ad bellum):

  • Alasan yang Sah: Kekerasan hanya boleh digunakan untuk memperbaiki suatu kejahatan publik yang parah (mis. pelanggaran hak-hak asasi seluruh populasi dalam skala yang parah) atau sebagai upaya pembelaan diri;
  • Perbandingan Keadilan: Sementara semua pihak yang terlibat konflik mungkin mempunyai sisi-sisi yang benar dan salah, penggunaan kekerasan dapat dibenarkan ketidakadilan yang diderita oleh salah satu pihak haruslah jauh melebihi penderitaan yang dialami oleh pihak yang lainnya;
  • Kekuasaan yang Sah: Hanya penguasa yang diakui sah oleh masyarakat yang boleh menggunakan kekerasan yang mematikan atau menyatakan perang;
  • Niat yang Benar: Kekerasan hanya boleh digunakan dalam suatu alasan yang benar-benar sah dan semata-mata untuk maksud itu saja; Memperbaiki kesalahan yang diderita oleh suatu pihak dianggap sebagai niat yang benar, sementara keuntungan materi tidak.
  • Probabilitas Keberhasilan: Senjata tidak boleh digunakan dalam usaha yang sia-sia atau dalam kasus di mana langkah-langkah yang tidak proporsional dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan;
  • Proporsionalitas: Kerusakan keseluruhan yang diperkirakan akan ditimbulkan dari penggunaan kekerasan haruslah dikalahkan oleh kebaikan yang akan dicapai.[2] Diarsipkan 2006-07-12 di Wayback Machine.
  • Upaya Terakhir: Kekerasan hanya boleh digunakan setelah semua alternatif perdamaian dan upaya-upaya yang mungkin telah dengan sungguh-sungguh diusahakan dengan tuntas .

Perhatikan bahwa semua ini hanyalah kondisi-kondisi yang paling umum dikutip oleh para teoretikus Perang yang Sah; sebagian orang (seperti misalnya Brian Orend) menghilangkan Perbandingan Keadilan, karena menganggapnya sebagai lading yang subur untuk dieksploitasi oleh rezim-rezim yang ingin mengadakan perang.

Melaksanakan suatu Perang yang Sah (Jus in Bello)[sunting | sunting sumber]

Sekali peperangan telah dimulai, Doktrin tentang Perang yang Sah juga mengarahkan bagaimana para kombatan harus bertindak:Jus in bello

  • Perilaku dalam Perang yang Sah conduct harus diatur oleh prinsip-prinsip pemilahan (diskriminatif). Tindakan-tindakan perang harus diarahkan kepada pelaku tindakan yang salah, dan bukan kepada warga sipil yang terjebak dalam keadaan-keadaan yang tidak mereka ciptakan. Tindakan-tindakan yang dilarang termasuk pengeboman terhadap daerah hunian warga sipil yang tidak mencakup target militer dan melakukan tindakan-tindakan terorisme atau pembalasan terhadap warga sipil biasa. Sebagian orang percaya bahwa aturan ini melarang senjata pemusnah massal dari jenis apapun, dengan alasan apapun seperti misalnya penggunaan bom atom.
  • Tingkah laku dalam Perang yang Sah harus dipimpin oleh prinsip proporsionalitas. Kekuatan yang digunakan haruslah proporsional dengan kesalahan yang dialami, dan demi kebaikan yang diharapkan akan dihasilkan. Semakin tidak proporsional jumlah kematian warga sipil sebagai korban sampingan, semakin harus dicurigai ketulusan dari klaim suatu negara yang berperang tentang keadilan dari perang yang dimulainya.
  • Tingkah laku dalam Perang yang Sah harus diatur oleh prinsip kekuatan yang minimum. Suatu tingkat kekuatan tertentu tidak boleh digunakan apabila tingkat kekuatan yang lebih sedikit sudah cukup untuk mencapai tujuan-tujuan yang sama. Prinsip ini dimaksudkan untuk membatasi kematian da n kehancuran yang berlebih-lebihan dan tidak perlu Ini berbeda dengan proporsionalitas karena jumlah kekuatan yang proporsional dengan tujuan misinya tidak boleh melampaui kekuatan yang dibutuhkan untuk mencapai misi tersebut.
  • Siksaan Penyiksaan, terhadap para kombatan (prajurit yang ikut bertempur) atau non-kombatan (warga sipil), dilarang.
  • Tawanan perang harus diperlakukan dengan penuh hormat.
  • Sepanjang sejarah banyak orang yang telah menganggap bahwa wajib militer paksa sebagai suatu cara yang tidak adil, mis.

Memaksa orang untuk menyerahkan hidupnya, atau menimbulkan kematian dalam cara yang berlawanan dengan kehendak mereka, atau tanpa keyakinan tentang kebenaran tindakan mereka, adalah suatu tindakan yang merendahkan harkat kemanusiaan.

Mengakhiri suatu Perang: Jus Post Bellum[sunting | sunting sumber]

Pada tahun-tahun belakangan, sebagian teoretikus telah mengusulkan kategori yang ketiga di dalam Doktrin tentang Perang yang Sah. Jus post bellum berkaitan dengan pengaturan tentang proses mengakhiri perang, dan transisi dari perang menuju perdamaian. Salah satu adri penganjur utama dari jus post bellum ini adalah Brian Orend, yang mengusulkan aturan-aturan berikut:

  • Alasan yang sah untuk mengakhiri – Sebuah negara dapat mengakhiri suatu peperangan apabila pembalasan terhadap hak-hak yang pertama-tama dilanggar itu sudah, dan bila si agresor bersedia merundingkan syarat-syarat penyerahan. Syarat-syarat penyerahan itu mencakup permintaan maaf yang resmi, pembayaran ganti rugi, pengadilan terhadap kejahatan-kejahatan perang, dan barangkali juga rehabilitasi.
  • Niat yang benar – Suatu negara hanya boleh mengakhiri suatu peperangan di bawah kondisi-kondisi yang telah disepakati berdasarkan kriteria-kriteria di atas. Pembalasan tidak diizinkan. Negara yang menang juga harus bersedia memberlakukan objektivitas dan investigasi pada tingkat yang sama terhadap kejahatan-kejahatan perang apapun yang mungkin telah dilakukan oleh pasukan-pasukannya.
  • Pernyataan umum dan kekuasaan – Syarat-syarat perdamaian harus dibuat oleh kekuasaan yang sah, dan syarat-syarat itu harus diterima oleh kekuasaan yang sah.
  • Diskriminasi – Negara yang menang harus melakukan pembedaan antara para pemimpin politik dan militer, dan antara kombatan dan warga sipil. Langkah-langkah penghukuman harus dibatasi hanya kepada mereka yang secara langsung bertanggung jawab atas konflik itu.
  • Proporsionalitas – Syarat-syarat apapun untuk penyerahan diri haruslah proporsional dengan hak-hak yang pertama-tama dilanggar. Syarat-syarat yang kejam, tindakan-tindakan absolusionis, dan upaya apapun yang menyangkal hak-hak dari negara yang telah menyerah untuk ikut serta dalam komunitas dunia tidak diizinkan.

Tantangan[sunting | sunting sumber]

Telah muncul sejumlah teori yang menantang Doktrin tentang Perang yang Sah. Sebagian juga mencatat bahwa Doktrin tentang Perang yang Sah tidak praktis dalam situasi-situasi perang sungguhan.

Doktrin-doktrin alternatif[sunting | sunting sumber]

  • Realisme – Proposisi inti realisme adalah skeptisisme tentang apakah konsep-konsep moral seperti keadilan dapat diterapkan pada perilaku dalam masalah-masalah internasional. Para penganjur realisme percaya bahwa konsep-konsep moral tidak boleh sekali-kali menjadi dasar atau membatasi perilaku suatu negara. Sebaliknya, negara harus mengutamakan keamanan negara dan kepentingan dirinya. Salah satu bentuk dari realisme - realisme descriptive – menyatakan bahwa negara tidak dapat bertindak secara moral, sementara bentuk yang lainnya – realisme prescriptif – berpendapat bahwa faktor-faktor yang memotivasi negara adalah kepentingan dirinya sendiri.
  • Pasifisme – Pasifisme adalah keyakinan bahwa perang seperti apapun secara moral tidak sah. Sebuah argumen yang diajukan oleh kaum pasifis untuk menentang Doktrin tentang Perang yang Sah ialah bahwa doktrin itu membela perlindungan dan kesucian nyawa orang yang tidak bersalah, namun dalam suatu peeprangan nyawa orang-orang yang tidak bersalah tidak dapat dijamin perlindungannya. Karenanya, bila nyawa orang-orang yang tidak bersalah tidak dapat dijamin, perang pun tidak dapat dianggap sah dengan alasan apapun juga.
  • Perang yang "Sah" yang melanggar prinsip-prinsip Perang yang Sah. Banyak ideologi yang sepakat dengan tradisi bahwa perang hanya boleh dilakukan dengan Alasan yang Sah (Just Cause) tetapi menolak sebagian besar atau bahkan semua criteria lainnya dari tradisi ini. Tradisi Marxis dapat dilihat sebagai bagian dari kategori ini. Bagi kaum Marxis satu-satunya kriteria yang menentukan ialah apakah suatu perang itu "progresif" (artinya, sah menurut pengertian mereka) sementara seberapa mahalnya perang itu tidaklah relevan. Husayn bin Ali terkenal karena usahanya ketika ia menyatakan klaimnya atas jabatan kalifah sah, meskipun pada kenyataannya pemberontakannya sudah pasti akan gagal. Namun menurut kriteria tradisi Perang yang Sah, pemberontakan Husayn adalah suatu Perang yang Tidak Sah karena melanggar prinsip bahwa perang itu harus memiliki alasan yang cukup masuk akal untuk berhasil.
  • Absolutisme - Absolutisme berpendapat bahwa ada berbagai aturan etis yang, sesuai dengan namanya, mutlak atau absolut. Melanggar aturan-aturan moral itu tidak pernah sah dan karenanya tidak akan pernah dapat dibenarkan. Filsuf Thomas Nagel terkenal sebagai pendukung pandangan ini, karena ia pernah membela pandangan ini dalam esainya “Perang dan Pembantaian”.
  • Militerisme - Militerisme merujuk kepada keyakinan bahwa perang tertentu pada dasarnya tidak buruk, dan sebaliknya dapat membawa manfaat kepada masyarakat. Namun teori ini tidak banyak diikuti oleh kebanyakan teoretikus arus utama.
  • Revolusi dan perang saudara - Doktrin tentang Perang yang Sah menyatakan bahwa hanya pemerintah yang sah saja yang boleh melakukan perang. Namun hal ini tidak memberikan banyak ruang untuk perang kemerdekaan atau perang saudara, di mana suatu badan yang tidak sah dapat mengumumkan perang karena alasan-alasan yang cocok dengan kriteria lainnya dari Doktrin tentang Perang yang Sah.

Doktrin tentang Perang yang Sah dan Situasi perang yang sesungguhnya[sunting | sunting sumber]

  • Sementara mereka yang terlibat dalam perang secara moral bertanggung jawab untuk membedakan antara tentara lawan dan warga sipil yang tidak berperang, adakalanya pembedaan itu tidak mugkin dilakukan. Taktik-taktik seperti “tembakan untuk memastikan” atau “tepukan ganda” - ketika pasukan menembak tentara musuh yang telah jatuh – untuk mencegah kejadian apapun yang mungkin dapat mengacaukan keamanan mereka, melanggar aturan-aturan perang. Sementara tentara, ketika menemui prajurit lawan yang terluka, diperintahkan untuk melucui prajurit itu, memeriksa status medisnya dan meminta bantuan medis, adakalanya hal-hal seperti itu justru menempatkan tentara-tentara itu dalam keadaan yang sangat berbahaya. Ada pula ancaman bahaya bahwa tentara musuh itu menyerang pasukan-pasukan tersebut, misalnya menembak mereka dari belakang.
  • Dalam peperangan modern, proporsionalitas, seperti yang digambarkan dalam jus in bello bisa sulit dicapai, karena adanya kecenderungan ut menempatkan target-target militer di wilayah sipil. Karena itu, adakalanya korban di pihak sipil terjadi. Kriteria proporsionalitas menggunakan konsep “dampak ganda” – artinya, orang dapat melakukan operasi-operasi militer yang ditujukan kepada sasaran-sasaran atau target-target objektif, meskipun operasi itu dapat menimbulkan konsekuensi-konsekuensi negatif, seperti misalnya korban di pihak sipil. Konsekuensi-konsekuensi negatif itu harus proporsional dengan keuntungan militer. Para pemikir dalam tradisi Perang yang Sah akan menerima bahwa ada ambang yang di luarnya konsekuensi-konsekuensi negatif mengalahkan pertimbangan-pertimbangan lainnya, bahkan bahaya kemungkinan kalah. Para teoretikus berbeda pendapat tentang seberapa ketat kriteria-kriteria Perang yang Sah harus ditafsirkan pada butir ini.

Teoretikus Perang yang Sah[sunting | sunting sumber]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ (Inggris) Robert L. Holmes. "City of God". ChristianityToday.com. Diakses tanggal 25 April 2015. 
  2. ^ a b (Inggris) "City of God". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-07-25. Diakses tanggal 25 April 2015. 
  3. ^ (Inggris) Augustine: Political and Social Philosophy, §3-c "War and Peace - The Just War"

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

Small, Brad. Thomas Aquinas "The Just War Theory" The Lincoln-Douglas Great Philosopher Library Series

Yang menentang[sunting | sunting sumber]