Lompat ke isi

Tanin

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Asam tanat, salah satu jenis tanin
Bubuk tanin (campuran pelbagai senyawa)
Air gambut berwarna cokelat kehitaman karena banyak mengandung tanin
Sebotol larutan asam tanat

Tanin (atau tanin nabati, sebagai lawan tanin sintetik) adalah suatu senyawa polifenol yang berasal dari tumbuhan, berasa pahit dan kelat, yang bereaksi dengan dan menggumpalkan protein, atau berbagai senyawa organik lainnya termasuk asam amino dan alkaloid. Tanin dapat ditemukan dalam makanan dan minuman tertentu, seperti:teh, kopi, coklat, dan wine. Pada teh, kandungan tanin disebut paling banyak ada pada teh hitam, sedangkan teh hijau sering dianggap memiliki konsentrasi tanin yang paling rendah.

Tanin (dari bahasa Inggris tannin; dari bahasa Jerman Hulu Kuno tanna, yang berarti “pohon ek” atau “pohon berangan”) pada mulanya merujuk pada penggunaan bahan tanin nabati dari pohon ek untuk menyamak belulang (kulit mentah) hewan agar menjadi kulit masak yang awet dan lentur. Namun kini pengertian tanin meluas, mencakup aneka senyawa polifenol berukuran besar yang mengandung cukup banyak gugus hidroksil dan gugus lain yang sesuai (misalnya karboksil) untuk membentuk perikatan kompleks yang kuat dengan protein dan makromolekul yang lain.

Senyawa-senyawa tanin ditemukan pada banyak jenis tumbuhan; berbagai senyawa ini berperan penting untuk melindungi tumbuhan dari pemangsaan oleh herbivora dan hama, serta dalam pengaturan pertumbuhan.[1] Tanin yang terkandung dalam buah muda menimbulkan rasa kelat (sepat);[2] perubahan-perubahan yang terjadi pada senyawa tanin bersama berjalannya waktu berperan penting dalam proses pemasakan buah.

Kandungan tanin dari bahan organik (serasah, ranting dan kayu) yang terlarut dalam air hujan (bersama aneka subtansi humus), menjadikan air yang tergenang di rawa-rawa dan rawa gambut berwarna cokelat kehitaman seperti air teh, yang dikenal sebagai air hitam (black water). Kandungan tanin pula yang membuat air semacam ini berasa kesat dan agak pahit.[3]

Tanin terutama dimanfaatkan orang untuk menyamak kulit agar awet dan mudah digunakan. Tanin juga digunakan untuk menyamak (mengubar) jala, tali, dan layar agar lebih tahan terhadap air laut. Selain itu tanin dimanfaatkan sebagai bahan pewarna, perekat, dan mordan.[4]

Tanin yang terkandung dalam minuman seperti teh, kopi, anggur, dan bir memberikan aroma dan rasa sedap yang khas. Bahan kunyahan seperti gambir (salah satu campuran makan sirih) memanfaatkan tanin yang terkandung di dalamnya untuk memberikan rasa kelat ketika makan sirih. Sifat pengelat atau pengerut (astringensia) itu sendiri menjadikan banyak tumbuhan yang mengandung tanin dijadikan sebagai bahan obat-obatan.[4] Penelitian memperlihatkan adanya korelasi yang positif antara kadar tanin yang terkandung dalam teh dengan aktivitas antibakterinya terhadap penyakit diare yang disebabkan oleh Escherichia coli pada bayi.[5] Hasil penelitian yang lain juga menunjukkan bahwa daun teh segar yang belum mengalami pengolahan lebih berpotensi sebagai senyawa antibakteri, karena seiring dengan pengolahannya menjadi teh hitam, aktivitas senyawa-senyawa yang berpotensi sebagai antibakteri pada daun teh menjadi berkurang.[6]

Penyamakan

[sunting | sunting sumber]

Dalam proses penyamakan, tanin bereaksi dengan protein dari belulang. Proses ini akan mengawetkan kulit dari serangan-serangan bakteri. Di samping itu, penyamakan akan memberi warna tertentu, serta membentuk kepadatan dan kelenturan kulit tersamak yang berbeda-beda; bergantung kepada sifat-sifat kulit asal dan kepada proses penyamakan yang digunakan.[4] Salah satu sumber tanin untuk menyamak kulit adalah kulit kayu akasia mangium.[7]

Perekat kayu

[sunting | sunting sumber]

Tanin yang terkandung dalam tanaman bakau dan akasia dapat diekstrak untuk dijadikan perekat kayu lamina. Perekat ini sangat baik, dengan nilai keteguhan geser kayunya yang serupa dengan kayu lamina yang menggunakan perekat fenolformaldehida dan ureaformaldehida.[8]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Katie E. Ferrell; Thorington, Richard W. (2006). Squirrels: the animal answer guide. Baltimore: Johns Hopkins University Press. hlm. 91. ISBN 0-8018-8402-0. 
  2. ^ McGee, Harold (2004). On food and cooking: the science and lore of the kitchen. New York: Scribner. hlm. 714. ISBN 0-684-80001-2. 
  3. ^ "Tannins, lignins and humic acids in well water on www.gov.ns.ca" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2013-05-17. Diakses tanggal 2013-01-23. 
  4. ^ a b c Lemmens, R.M.H.J., N. Wulijarni-Soetjipto, R.P. van der Zwan & M. Parren. 1997. Pendahuluan dalam R.M.H.J. Lemmens dan N. Wulijarni-Soetjipto (Eds). Tumbuh-tumbuhan Penghasil Pewarna dan Tanin. Sumberdaya Nabati Asia Tenggara (PROSEA) 3: 15-38. Balai Pustaka, Jakarta
  5. ^ Hilyatuzzahroh. (2006) Korelasi kadar tanin pada produk teh komersial dengan aktivitasnya sebagai senyawa anti bakteri EPEC K1-1. Bogor: Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor.
  6. ^ Yulia, R. (2006). Kandungan tanin dan potensi anti Streptococcus mutans daun teh var. Assamica pada berbagai tahap pengolahan. Bogor: Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor. Skripsi tidak diterbitkan.
  7. ^ Nugraha, G. (1999). Pemanfaatan tanin dari kulit kayu akasia (Acacia mangium Willd) sebagai bahan penyamak nabati. Bogor: Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor. Skripsi tidak diterbitkan.
  8. ^ Susanti, CME. (2000). Autokondensasi tanin dan penggunaannya sebagai perekat kayu lamina. Bogor: Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor. Skripsi tidak diterbitkan.

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]