Lompat ke isi

Sampah makanan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sampah makanan rumah, seperti kulit buah dan cangkang telur

Sampah makanan adalah makanan yang terbuang dan menjadi sampah. Definisi sampah dapat dilihat dari berbagai sisi sehingga berbagai lembaga dan organisasi dapat menggunakan definisi yang berbeda-beda mengenai sampah makanan ataupun makanan yang terbuang.[1][2][3] Sampah makanan dapat dilihat dari jenisnya, dari bagaimana sampah terbentuk, dan dari mana asalnya.[4][5]

Sebagian makanan dapat terbuang pada tahap tertentu dalam proses pengolahannya hingga selesai dikonsumsi oleh manusia. Berdasarkan Institution of Mechanical Engineers, setidaknya pada tahun 2013 setengah dari total makanan yang diproduksi manusia terbuang menjadi sampah.[6] Di negara miskin dan berkembang, sebagian besar makanan terbuang dalam proses produksi dan pengolahannya karena proses yang belum efisien. Sedangkan di negara maju, makanan terbuang lebih banyak dari sisi konsumsinya dan setiap individu dapat membuang sekitar 100 kg makanan per tahun.[7]

Kehilangan pangan atau makanan (food loss) merupakan penurunan kuantitas dan kualitas makanan yang disebabkan oleh keputusan dan tindakan dari pemasok makanan. Pengecer (penjual retail), penyedia layanan makanan, dan konsumen dalam arti ini bukan termasuk ke dalam pemasok makanan. Food loss dalam arti lain mengacu kepada limbah makanan yang dibuang ketika dalam masa panen, pascapanen, dan/atau penyembelihan, tetapi tidak digunakan kembali untuk dimanfaatkan ke dalam bentuk lain seperti digunakan untuk pakan atau benih.[8][9]

Limbah makanan (food waste) merupakan penurunan kuantitas atau kualitas makanan yang disebabkan oleh keputusan dan tindakan dari pengecer (penjual retail), penyedia layanan makanan, dan konsumen. Makanan dapat terbuang dengan berbagai cara:[8][9]

  • Produk makanan yang dianggap tidak memenuhi spesifikasi dalam hal bentuk, warna, dan ukuran akan dieliminasi.
  • Makanan telah masuk tanggal kedaluwarsa atau berada lewat dari tanggal “baik digunakan sebelum” akan dieliminasi oleh pengecer dan konsumen.
  • Tidak mengonsumsi bagian tertentu dari makanan.

Sampah makanan dapat terbentuk sejak dalam proses produksinya di lahan pertanian, pascapanen, pengolahannya, hingga konsumsinya.

Produksi makanan

[sunting | sunting sumber]

Di negara berkembang dengan pertanian komersial dan industri yang maju, sampah makanan dapat terbentuk pada tahap produksinya.[10] Sedangkan negara dengan pertanian subsisten yang dominan, sampah makanan yang terbentuk tidak dapat diketahui jumlahnya secara pasti namun diperkirakan tidak signifikan karena outputnya yang jauh lebih kecil dibandingkan pertanian industri. Meski demikian, besarnya kehilangan hasil panen ketika dilakukan pemanenan hingga transportasi dapat mencapai angka yang cukup tinggi di negara yang pertaniannya masih relatif kurang maju.[11][12]

Dalam tahap produksi makanan, kerusakan hasil panen oleh hama dan cuaca buruk dapat disebut limbah karena merupakan sebuah kehilangan, terbuang, dan tidak dapat dimanfaatkan oleh manusia, bahkan meski tanaman tersebut belum dipanen.[10][13][14] Sehingga cuaca dapat disebut berperan penting dalam menambah jumlah potensi makanan yang terbuang.[15] Pemanfaatan alat dan mesin pertanian juga dapat menyebabkan kehilangan hasil produksi makanan karena, misal, mesin pemanen umumnya memanen secara keseluruhan tanpa melihat secara individual apakah biji-bijian sudah siap dipanen atau belum. Mesin pascapanen seperti mesin perontok juga secara tidak sengaja dapat memecahkan bulir biji-bijian tertentu sehingga sebagian hasil tidak layak untuk dijual ke pasar.[10] Hal yang sama juga berlaku bagi hasil pertanian lain, seperti buah dan sayur yang memiliki penampilan buruk akan terganjal regulasi dan peraturan sehingga tidak layak masuk ke pasar.[16] Petani umumnya meninggalkan hasil pertanian yang buruk tersebut di lahan sehingga menjadi kompos, atau dijadikan pakan hewan ternak.[10] Besarnya kerugian pada tahap pascapanen cenderung lebih sulit dianalisis ketimbang loss pada pengolahan makanan.[17]

Pengolahan makanan

[sunting | sunting sumber]

Setelah pascapanen, kualitas penyimpanan makanan berperan penting dalam mencegah terbuangnya makanan.[18] Penyimpanan makanan menjadi relatif sulit di negara tropis basah karena temperatur dan kelembaban tinggi merupakan kondisi yang ideal bagi hama dan mikroorganisme untuk berkembang biak.[19] Kehilangan secara kualitatif seperti edibilitas, nilai kalori, nilai nutrisi, dan sebagainya lebih sulit dinilai ketimbang kehilangan secara kuantitas.[18][20][21][22] Penanganan dan pengemasan dapat menyusutkan volume dan massa juga dapat disebut sebagai kerugian.[10][18]

Beberapa tahapan proses tidak dapat menghindari terbentuknya sampah makanan karena alasan keamanan dan ingin mencapai bentuk atau kualitas tertentu dari makanan yang akan diproduksi.[2][10][23][24][25]

Penjualan

[sunting | sunting sumber]

Pengemasan makanan bertujuan untuk mengurangi makanan yang terbuang dengan menjaga kualitasnya hingga sampai ke konsumen.[26][27] Namun kemasan juga menjadikan upaya mendaur ulang sampah makanan lebih sulit karena biasanya makanan dibuang bersama dengan kemasannya, atau makanan yang terbuang terkontaminasi bahan kemasan sehingga tidak bisa dijadikan bahan baku pakan ternak.[28]

Toko dapat membuang sejumlah besar makanan, biasanya yang telah melewati usia simpannya atau yang telah kedaluwarsa. Tergantung kebijakan toko, makanan dapat dikembalikan ke produsen atau ke fasilitas daur ulang. Toko juga terkadang mengalami masalah manajemen penyimpanan produk sehingga harus membuang sebagian. Jika yang harus dibuang adalah makanan yang masih layak dikonsumsi, toko dapat menyumbangkannya ke lembaga amal. Kebijakan pemilik toko, terutama dalam hal pemesanan juga berpengaruh dalam menentukan seberapa besar makanan yang terbuang dari sisi produksi. Jika toko tidak mampu menyerap hasil panen petani atau produsen sesuai dengan perjanjian, maka kemungkinan besar petani atau produsen akan membuang hasil panennya tersebut.[29]

Dampak terhadap lingkungan

[sunting | sunting sumber]

Bukti empiris terhadap jejak kaki lingkungan (environmental footprint) secara global untuk kelompok komoditas utama menunjukkan jika bertujuan untuk mengurangi penggunaan lahan, maka fokus utama yang harus diperhatikan adalah produksi daging dan produk hewani. Produksi daging dan produk hewani menyumbang 60% dari jejak kaki lahan (land footprint) yang terkait dengan kehilangan dan limbah makanan. Jika tujuannya adalah mengamati kelangkaan air, maka sereal dan kacang-kacangan memberikan kontribusi terbesar (lebih dari 70%) diikuti oleh buah-buahan dan sayuran. Dalam hal emisi gas rumah kaca yang terkait dengan kehilangan dan limbah makanan, kontribusi terbesar adalah sereal dan kacang-kacangan (lebih dari 60%), diikuti oleh akar, umbi, dan tanaman penghasil minyak. Namun, jejak kaki lingkungan untuk komoditas yang berbeda, juga dapat bervariasi di seluruh wilayah dan negara karena adanya perbedaan hasil panen dan teknik produksi.[30]

Penanganan

[sunting | sunting sumber]

Tempat pembuangan akhir

[sunting | sunting sumber]

Tempat pembuangan akhir merupakan solusi termudah dan termurah dalam menangani sampah makanan, namun menyebabkan masalah lingkungan yang tertinggi diantaranya menjadi sarang serangga penyebar penyakit, bau, dapat mencemari air tanah, dan mampu menciptakan gas rumah kaca akibat dekomposisi bahan organik dari sampah makanan. Di Inggris, sampah makanan menyumbang 19% total sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir.[31] Demi mencegah hal ini, seluruh restoran di kota New York dilarang membuang sampah makanan ke tempat pembuangan akhir.[32]

Pakan hewan

[sunting | sunting sumber]

Berbagai hewan dapat memakan makanan sisa yang dibuang manusia, tidak terkecuali hewan peliharaan dan hewan ternak.[33] Meski demikian, tidak semua sisa makanan manusia cocok untuk hewan.[34] Limbah organik yang akan diolah menjadi pakan hewan harus dibersihkan dan diseleksi terlebih dahulu sebelum dikonsumsi hewan ternak. Penanganan limbah organik harus dipisah dengan limbah anorganik. Limbah anorganik seperti logam berat dan plastik dikhawatirkan akan mencemari limbah organik yang akan diolah menjadi pakan ternak. Akumulasi dari logam berat dan plastik tersebut akan membahayakan manusia yang mengonsumsi daging ternak tersebut[35]. Ayam dan unggas lainnya secara tradisional dilepaskan di area lahan yang baru dipanen dan bangunan penggilingan biji-bijian untuk mencari sesuatu yang dapat dimakan.

Beberapa jenis limbah sayuran pasar yang dapat digunakan sebagai pakan ternak ruminansia adalah bayam, kangkung, kubis, kecamba kacang hijau, daun kembang kol, kulit jagung, klobot jagung dan daun singkong[35].

Limbah makanan seperti sisa nasi, sayuran, dan daging dapat digunakan untuk pembuatan pakan ikan dalam bentuk pelet. Untuk membuat pakan ikan dari limbah makanan, limbah makanan tersebut terlebih dahulu harus dikeringkan terlebih dahulu untuk mengurangi kadar airnya kemudian dicampur dengan bahan-bahan lain seperti tepung tapioka, vitamin, dan dedak[36].

Pengomposan adalah proses perubahan secara biokimia dari berbagai komponen limbah organik menjadi suatu zat humus stabil yang dapat digunakan untuk pengganti tanah atau sebagai pupuk organik.[37] Perubahan kimia dan proses metabolik kompleks dari berbagai mikroorganisme seperti bakteri, jamur, dan cacing akan menghasilkan variasi hasil material pengomposan.[38][39] Pengomposan biasanya digunakan untuk pertanian organik dimana limbah organik akan diuraikan selama berbulan-bulan dengan bantuan mikroorganisme.[39]Sampah makanan dapat terdegradasi dengan mudah sehingga dapat dikomposkan untuk dijadikan pupuk.[40][41][42]

Pengomposan dapat digunakan untuk metode alternatif dalam pembuangan limbah, mengalihkan pembuangan limbah dari TPA, mengurangi kontaminasi air tanah, mengurangi polusi udara, dan emisi gas rumah kaca, dan menghasilkan produk yang bermanfaat untuk kesuburan tanah.[39]

Daur ulang

[sunting | sunting sumber]

Limbah minyak goreng sisa restoran umumnya ada dalam jumlah besar, terutama yang menjalankan proses memasak secara deep frying. Limbah tersebut tidak dapat digunakan kembali secara langsung, namun dapat diolah untuk dijadikan biodiesel dan sabun,[43] juga lipid untuk nutrisi tambahan pakan ternak, kosmetik, dan deterjen.[44] Minyak jelantah atau limbah minyak goreng dapat dijernihkan kembali seperti minyak goreng baru melalui sistem filterisasi. Tetapi, memiliki keterbatasan yaitu kandungannya tetap mengalami kerusakan sehingga tidak baik bagi tubuh bila dikonsumsi.[45]

Sampah makanan seperti biji salak dapat diolah menjadi bahan kerajinan.[46] Kulit buah manggis juga dapat diolah menjadi makanan.[47]

Garbage enzyme atau ecoenzyme atau dalam bahasa Indonesia disebut ekoenzim merupakan hasil dari proses fermentasi limbah organik dengan bantuan mikroorganisme selektif seperti jamur dan bakteri.[48] Hasil fermentasi dari ekoenzim memiliki ciri khas yaitu berwarna coklat gelap dan memiliki aroma yang asam/segar yang kuat. Ekoenzim dibuat dengan cara memfermentasikan limbah organik dengan gula merah dan air.[49][50]

Manfaat ekoenzim dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu untuk agrikultur (pupuk organik cair, pestisida sayur), kesehatan (disinfektan, cairan pembersih), dan kebutuhan rumah tangga (pengganti sabun mandi, pembersih lantai, dan obat kumur).[51][52]

Ekoenzim dipercaya dapat membunuh virus yang ada di udara. Kelebihan dari ekoenzim adalah ramah lingkungan karena tidak berbahaya untuk tubuh, merujuk pada peringatan dari WHO di mana disinfektan kimia yang disemprotkan ke permukaan tubuh tidak dapat membunuh virus yang telah memasuki tubuh. Penggunaan disinfektan kimia yang tidak tepat dapat berbahaya karena kandungan klorin dan hidrogen peroksida dapat berbahaya jika terjadi kontak dengan tubuh sehingga cairan ekoenzim dapat menjadi alternatif untuk disinfektan kimia tersebut. Salah satu kandungan dalam ekoenzim adalah asam asam asetat yang dapat membunuh mikroba, virus, dan bakteri. Ekoenzim juga mengandung enzim protease, lipase, dan amilase yang dapat membunuh patogen.[51][53]

Selain itu, ekoenzim juga dapat berfungsi sebagai pupuk organik cair.[54] Campuran ekoenzim dengan air dapat digunakan untuk mengairi tanaman agar diperoleh hasil tanaman yang lebih baik dan dapat membantu mengusir hama. Sementara, limbah organik hasil fermentasi dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik.[51]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Westendorf, Michael L. (2000). Food waste to animal feed. Wiley-Blackwell. ISBN 978-0-8138-2540-3. Diakses tanggal 2009-08-19. 
  2. ^ a b Oreopoulou, Vasso; Winfried Russ (2007). Utilization of by-products and treatment of waste in the food industry. Springer. ISBN 978-0-387-33511-7. Diakses tanggal 2009-08-19. 
  3. ^ "Organic Materials Management Glossary". California Integrated Waste Management Board. 2008. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-12-07. Diakses tanggal 2009-08-20. 
  4. ^ "Glossary". Eastern Metropolitan Regional Council. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-09-11. Diakses tanggal 2009-08-25. 
  5. ^ "Terms of Environment: Glossary, Abbreviations and Acronyms (Glossary F)". United States Environmental Protection Agency. 2006. Diakses tanggal 2009-08-20. 
  6. ^ "Food Waste: Half Of All Food Ends Up Thrown Away". Huffington Post. 10 January 2013. Diakses tanggal 5 February 2013. 
  7. ^ Gustavson, Jenny; Cederberg, Christel; Sonesson, Ulf; van Otterdijk, Robert; Meybeck, Alexandre (2011). Global Food Losses and Food Waste (PDF). FAO. 
  8. ^ a b "Food Loss and Food Waste". Food and Agriculture Organization of the United Nations (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-01-06. 
  9. ^ a b Gustavsson, Jenny (2011). Global food losses and food waste : extent, causes and prevention : study conducted for the International Congress "Save Food!" at Interpack 2011 Düsseldorf, Germany (PDF). Rome: Food and Agriculture Organization of the United Nations. ISBN 978-92-5-107205-9. OCLC 800037286. 
  10. ^ a b c d e f Kantor, Linda (January–April 1997). "Estimating and Addressing America's Food Losses" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2007-03-17. Diakses tanggal 2009-08-14. 
  11. ^ Waters, Tony (2007). The Persistence of Subsistence Agriculture: life beneath the level of the marketplace. Lexington Books. ISBN 978-0-7391-0768-3. Diakses tanggal 2009-08-21. 
  12. ^ "Food Security". Scientific Alliance. 2009. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-07-11. Diakses tanggal 2009-08-21. 
  13. ^ Savary, Serge; Laetitia Willocquet; Francisco A. Elazegui; Nancy P. Castilla; Paul S. Teng (March 2000). "Rice pest constraints in tropical Asia: Quantification of yield losses due to rice pests in a range of production situations". Plant Disease. 84 (3): 357–369. doi:10.1094/PDIS.2000.84.3.357. Diakses tanggal 2009-08-21. 
  14. ^ Rosenzweig, Cynthia (2001). "Climate change and extreme weather events, Implications for food production, plant diseases, and pests" (PDF). Global Change and Human Health. 2. Diakses tanggal 2009-08-21. (Free preview, full article available for purchase)  [pranala nonaktif permanen]
  15. ^ Haile, Menghestab ((Published online) 24 October 2005). "Weather patterns, food security and humanitarian response in sub-Saharan Africa". The Royal Society. 360 (1463): 2169. doi:10.1098/rstb.2005.1746. PMC 1569582alt=Dapat diakses gratis. PMID 16433102. Diakses tanggal 2009-08-21. 
  16. ^ "Wonky fruit & vegetables make a comeback!". European Parliament. 2009. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-09-24. Diakses tanggal 2009-08-21. 
  17. ^ Morris, Robert F.; United States National Research Council (1978). Postharvest food losses in developing countries. National Academy of Sciences. Diakses tanggal 2009-08-24. 
  18. ^ a b c Hall, David Wylie (1970). Handling and storage of food grains in tropical and subtropical areas. Food & Agriculture Organisation. ISBN 978-92-5-100854-6. Diakses tanggal 2009-08-21. 
  19. ^ "Loss and waste: Do we really know what is involved?". Food and Agriculture Organization. Diakses tanggal 2009-08-23. 
  20. ^ Lacey, J. (1989). "Pre- and post-harvest ecology of fungi causing spoilage of foods and other stored products". Journal of Applied Bacteriology Symposium Supplement. Diakses tanggal 2009-08-22. [pranala nonaktif permanen]
  21. ^ "Post-harvest system and food losses". Food and Agriculture Organization. Diakses tanggal 2009-08-23. 
  22. ^ Kader, A. A. (2005). "Increasing Food Availability by Reducing Postharvest Losses of Fresh Produce" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2010-06-13. Diakses tanggal 2009-08-22. 
  23. ^ Dalzell, Janet M. (2000). Food industry and the environment in the European Union: practical issues and cost implications. Springer. hlm. 300. ISBN 0-8342-1719-8. Diakses tanggal 2009-08-29. 
  24. ^ "Environmental, Health and Safety Guidelines for Meat Processing" (PDF). 2007: 2. Diakses tanggal 2009-08-29. 
  25. ^ "Specific hygiene rules for food of animal origin". Europa. 2009. Diakses tanggal 2009-08-29. 
  26. ^ "Making the most of packaging, A strategy for a low-carbon economy" (PDF). Defra. 2009. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2010-01-08. Diakses tanggal 2009-09-13. 
  27. ^ Robertson, Gordon L. (2006). Food packaging: principles and practice. CRC Press. ISBN 978-0-8493-3775-8. Diakses tanggal 2009-09-27. 
  28. ^ "Review of Food Waste Depackaging Equipment" (PDF). Waste and Resources Action Programme (WRAP). 2009. Diakses tanggal 2009-09-27. [pranala nonaktif permanen]
  29. ^ Stuart, Tristram (2009). Waste: Uncovering the Global Food Scandal: The True Cost of What the Global Food Industry Throws Away. Penguin. ISBN 0-14-103634-6. 
  30. ^ "Document card | FAO | Food and Agriculture Organization of the United Nations". www.fao.org. Diakses tanggal 2022-01-08. 
  31. ^ From Farm to Fridge to Garbage Can. // The New York Times, 1.11.2010
  32. ^ Joel Rose (2014-03-11). "Turning Food Waste Into Fuel Takes Gumption And Trillions Of Bacteria". NPR. 
  33. ^ "Feeding Your Chickens Table Scraps | McMurray Hatchery Blog". Blog.mcmurrayhatchery.com. 2011-10-04. Diakses tanggal 2012-10-21. 
  34. ^ Chicken Feed: How to Feed Chickens. "Feeding Chickens: What to feed chickens to keep them healthy | Keeping Chickens: A Beginners Guide". Keeping Chickens. Diakses tanggal 2012-10-21. 
  35. ^ a b Wolayan, Fenny R.; Tulung, Yohanis R.L.; Bagau, Betty; Liwe, Hengkie; Untu, Ivonne M. (2019-01-11). "SILASE LIMBAH ORGANIK PASAR SEBAGAI PAKAN ALTERNATIF TERNAK RUMINANSIA (SEBUAH REVIEW)". Pastura. 7 (1): 52. doi:10.24843/pastura.2017.v07.i01.p12. ISSN 2549-8444. 
  36. ^ Yanuar, Achadri; Fitria, Gemma Tyasari; Putri, Awaliya Dughita (2018). "Pemanfaatan Limbah Organik dari Rumah Makan sebagai Alternatif Pakan Ternak Ikan Budidaya". Agronomika. 13 (1): 210–213. 
  37. ^ Torkashvand, A. Mohammadi (2010). "Improvement of compost quality by addition of some amendments". Australian Journal of Crop Science. 4 (4): 252. 
  38. ^ Kadir, Aeslina Abdul; Azhari, Nur Wahidah; Jamaludin, Siti Noratifah (2016). "An Overview of Organic Waste in Composting". MATEC Web of Conferences (dalam bahasa Inggris). 47: 05025. doi:10.1051/matecconf/20164705025. ISSN 2261-236X. 
  39. ^ a b c Kadir, A A; Ismail, S N M; Jamaludin, S N (2016-07). "Food Waste Composting Study from Makanan Ringan Mas". IOP Conference Series: Materials Science and Engineering. 136: 012057. doi:10.1088/1757-899X/136/1/012057. ISSN 1757-8981. 
  40. ^ Vermicomposting study for reducing food waste
  41. ^ "Vermicomposting for reducing food waste" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2010-10-11. Diakses tanggal 2014-09-25. 
  42. ^ Vermicomposting for reducing food waste in restaurants
  43. ^ "Production of biodiesel based on waste oils and/or waste fats from biogenic origin for use as fuel" (PDF). CDM - Executive Board. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2007-09-27. Diakses tanggal 2007-09-05. 
  44. ^ Murphy, Denis J. Plant lipids: biology, utilisation, and manipulation. Wiley-Blackwell, 2005.
  45. ^ Erviana, Vera Yuli; Suwartini, Iis; Mudayana, Ahid (2018-10-30). "Pengolahan Limbah Minyak Jelantah dan Kulit Pisang Menjadi Sabun". Jurnal SOLMA. 7 (2): 144. doi:10.29405/solma.v7i2.2003. ISSN 2614-1531. 
  46. ^ Hadi, Bambang Sutopo (2014-06-29). Supratiwi, Fitri, ed. "UNY kembangkan sandal terapi rematik biji salak". ANTARA News. Antara. 
  47. ^ "Kini Kulit Manggis Bisa Jadi Es Krim". Inilah. 10 Juli 2014. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-09-06. Diakses tanggal 2014-09-25. 
  48. ^ Neupane, Karuna; Khadka, Rama (2019-12-07). "Production of Garbage Enzyme from Different Fruit and Vegetable Wastes and Evaluation of its Enzymatic and Antimicrobial Efficacy". Tribhuvan University Journal of Microbiology. 6: 113–118. doi:10.3126/tujm.v6i0.26594. ISSN 2382-5499. 
  49. ^ Rifki, Maulana; Mia, Siti Khumaeroh (2021). "Pelatihan Pembuatan Ekoenzim di tengah Masa Pandemi Covid-19". Proceedings UIN Sunan Gunung Djati Bandung. I (XXXVI). 
  50. ^ Nazim, Fazna (2013-12-30). "Treatment of Synthetic Greywater Using 5% and 10% Garbage Enzyme Solution". Bonfring International Journal of Industrial Engineering and Management Science. 3 (4): 111–117. doi:10.9756/BIJIEMS.4733. 
  51. ^ a b c Hasanah, Yaya (2021-01-09). "Eco enzyme and its benefits for organic rice production and disinfectant". Journal of Saintech Transfer. 3 (2): 119–128. doi:10.32734/jst.v3i2.4519. ISSN 2621-4830. [pranala nonaktif permanen]
  52. ^ Gu, Sitong; Xu, Dongying; Zhou, Fuhui; Chen, Chen; Liu, Chenghui; Tian, Mixia; Jiang, Aili (2021-11). "The Garbage Enzyme with Chinese Hoenylocust Fruits Showed Better Properties and Application than When Using the Garbage Enzyme Alone". Foods (dalam bahasa Inggris). 10 (11): 2656. doi:10.3390/foods10112656. PMC PMC8622515alt=Dapat diakses gratis Periksa nilai |pmc= (bantuan). PMID 34828937 Periksa nilai |pmid= (bantuan). 
  53. ^ Neupane, Karuna; Khadka, Rama (2019-12-07). "Production of Garbage Enzyme from Different Fruit and Vegetable Wastes and Evaluation of its Enzymatic and Antimicrobial Efficacy". Tribhuvan University Journal of Microbiology (dalam bahasa Inggris). 6: 113–118. doi:10.3126/tujm.v6i0.26594. ISSN 2382-5499. 
  54. ^ Tong, Yujie; Liu, Bingguang (2020-06). "Test research of different material made garbage enzyme's effect to soil total nitrogen and organic matter". IOP Conference Series: Earth and Environmental Science (dalam bahasa Inggris). 510 (4): 042015. doi:10.1088/1755-1315/510/4/042015. ISSN 1755-1315. 

Bahan bacaan terkait

[sunting | sunting sumber]
  • Juul, Selina (2011). Stop spild af mad - en kogebog med mere. Gyldendal. ISBN 87-02-10152-1. 
  • Bloom, Jonathan (2010). American Wasteland - How America Throws Away Nearly Half of Its Food (And What We Can Do About It). Perseus Books Group. ISBN 0-7382-1364-0. 
  • Stuart, Tristram (2009). Waste: Uncovering the Global Food Scandal. Penguin. ISBN 0-14-103634-6. 
  • LeGood, Paul; Andrew Clarke (November 2006). "Smart and Active Packaging to Reduce Food Waste" (PDF): 32. Diakses tanggal 2009-04-28. 
  • Willand, Lois Carlson (1979). The Use-It-Up Cookbook: A Guide for Minimizing Food Waste. Practical Cookbooks. ISBN 0-9614556-0-8. 
  • Venkat, Kumar (September 2011). "The Anatomy of Food Waste". Diakses tanggal 2011-10-04. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]