Pujo Sumarto

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pujo Sumarto
Dalang wayang kulit purwa
Masa jabatan
19–19
Sebelum
Pendahulu
*
Pengganti
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir
Sudirman

21 Juli 1903
Desa Somopuro, Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten, Hindia Belanda
Meninggal9 Desember 1978
Indonesia Klaten, Indonesia
Sebab kematianKesehatan
Orang tua
  • Warnodiyoso (ayah)
  • Nama tidak diketahui (ibu)
Profesi
  • Dalang
Dikenal karenaDalang wayang kulit purwa
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Pujo Sumarto (21 Juli 1903–9 Desember 1978) adalah seorang dalang wayang kulit purwa gaya Surakarta yang dilahirkan pada tanggal 21 Juli 1903 di Klaten, Jawa Tengah dan meninggal pada tanggal 9 Desember 1978 di Makam Desa Gergunung, Kecamatan Ketandan, Kabupaten Klaten. Dia merupakan putra dari Kyai Warnodiyoso yang juga seorang seniman pedalangan gaya Surakarta. Ki Pujo Sumarto memperoleh pendidikan seni pedalangan dan karawitan di Sekolah Pedalangan Paheman Radya Pustaka di bawah asuhan Raden Ngabehi (R. Ng.) Atmocendono, Raden Mas Ngabehi (R.M. Ng.) Dutodilogo, Raden Lurah (R.L.) Mloyosudiro, R.L. Darmoperdonggo, R.L. Darmowiyogo, dan R.L. Jogopradongo. Kariernya sebagai dalang dimulainya sejak kecil. Pada awalnya, dia mendalang di desanya sendiri kemudian ke tingkat kabupaten dan kota-kota besar lainnya di Pulau Jawa.

Ki Dalang Raden Tjioe Bian Djiang atau Widayat Djiang (dalang peranakan China yang berasal dari Kabupaten Nganjuk) secara tidak langsung juga belajar pada Ki Pujo Sumarto. Ki Pujo Sumarto merupakan salah satu dalang panutan Widayat Djiang. Dia banyak menyerap ilmu tentang pedalangan dari Ki Pujo Sumarto dengan selalu menyaksikannya saat pentas. Selain memberikan hiburan, Ki Pujo Sumarto mampu mengedukasi penonton dan konsisten menjaga pakem[1] (teknis pakeliran)[2] dalam pertunjukan wayangnya. Kekaguman Widayat Djiang kepada Ki Pujo Sumarto lebih disebabkan karena tingkat keilmuan yang dimiliki oleh Ki Pujo Sumarto. Kemampuannya dalam meramu hiburan dan tuntunan dalam pertunjukan wayang menjadi daya tarik tersendiri bagi Widayat Djiang. Dalam menggali ilmu pedalangan pada Ki Pujo Sumarto, Widayat Djiang tidak hanya berhenti dalam menyaksikan pagelarannya saja, namun juga sering datang ke rumahnya. Widayat Djiang bahkan pernah meminta saran dan dukungan kepada Ki Pujo Sumarto ketika diminta Ir. Soekarno untuk mengisi acara di Jakarta.

Latar belakang[sunting | sunting sumber]

Keluarga[sunting | sunting sumber]

Pujo adalah putra dari dalang wayang kulit purwa bernama Warnodiyoso. Dia dilahirkan pada 21 Juli 1903 di Dukuh Sawahan, Desa Somopuro, Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten dengan nama Sudirman. Dia merupakan anak pertama dari empat bersaudara yang memiliki adik-adik bernama Ratri, Darmi (meninggal dunia saat masih kecil), dan Tuwirat. Menurut silsilahnya, ayahnya merupakan keturunan ketujuh dari Sunan Amangkurat IV, dengan urutannya, yaitu Sunan Amangkurat IV memiliki putri bernama Raden Ayu Megatsari, Raden Ayu Megatsari memiliki putra bernama K.R.T. Lembusari, K.R.T. Lembusari memiliki putra bernama R. Tirtolesono atau Mertoyoso, Mertoyoso memiliki putra bernama Mentokaryo, Mentokaryo memiliki putra bernama Mentodiryo, dan Mentodiryo memiliki putra bernama Warnodiyoso.

Pernikahan[sunting | sunting sumber]

Sudirman menikah pertama kali pada tahun 1924 dengan perempuan bernama Suliyem di Desa Plembon, Kabupaten Klaten. Setelah menikah, namanya kemudian diganti dengan Pujo Sumarto. Suliyem pun tidak lama dalam mendampingi Pujo Sumarto karena pada tahun 1925 dia meninggal ketika melahirkan. Pujo Sumarto lantas menikah kembali untuk kedua kalinya pada tahun 1926 dengan perempuan bernama Samiyem yang berasal dari Desa Ngingas, Kabupaten Klaten. Dari hasil pernikahannya tersebut, mereka dikaruniai 11 orang anak, yaitu:

  1. Suyanto, setelah dewasa bernama Ki Hagnyocarito dan menjadi seorang dalang.
  2. Suprapti, setelah dewasa menikah dengan seorang dalang dari Kartasura bernama Ki Donocarito.
  3. Waluyo, meninggal saat masih kecil.
  4. Sahadati, bekerja sebagai guru sekolah dasar di Bareng Lor, Klaten.
  5. Hastuti, meninggal saat masih kecil.
  6. Subagyo, setelah dewasa bernama Ki Pujotaryono dan menjadi seorang dalang serta pegawai di Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Klaten.
  7. Ir. Sri Hartati, bekerja sebagai pegawai pegawai di Kantor Dinas Pertanian Kabupaten Pati.
  8. Sri Handayani, S.H., bekerja sebagai pegawai di Kantor Kotamadya Malang.
  9. Sri Daruki.
  10. Sutopo Mulyo Widodo, S.H., setelah dewasa dia nunggak semi (mengambil nama ayahnya) dan bernama sama, yaitu Ki Pujo Sumarto. Dia bekerja sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta (sekarang bernama Universitas Negeri Surakarta).
  11. Ir. Yuwono Sri Suwito, setelah dewasa bernama Ki Pujosugrito dan menjadi seorang dalang.

Pendidikan[sunting | sunting sumber]

Setelah berusia delapan tahun, Sudirman dimasukkan ke sekolah Tweede Inlandsche School atau Sekolah Ongko Loro di desanya, namun dia lebih sering tidak masuk sekolah dan terpaksa keluar sekolah karena selalu ikut ayahnya mendalang. Sudirman selalu diserahi tugas oleh ayahnya sebagai penabuh gendang. Sejak keluar dari sekolah, Sudirman selalu berusaha menambah pengetahuan seni dalang dengan belajar sendiri di rumahnya. Pendidikan Sudirman dalam bidang seni pedalangan dan karawitan diperolehnya sejak kecil dari ayahnya maupun secara otodidak, sedangkan dalam bidang kebatinan diperolehnya dari tokoh spiritual Surakarta yang bernama Eyang Mangkubumen. Hal inilah yang menyebabkan Sudirman sejak kecil sudah dapat mendalang dan memukul gamelan.

Sudirman akhirnya memutuskan untuk masuk ke sekolah pedalangan dan karawitan di Sekolah Pedalangan Paheman Radya Pustaka untuk terus mengasah pendidikannya dalam bidang seni pedalangan dan karawitan. Di sekolah tersebut, Sudirman berhasil menyelesaikan pendidikan seni pedalangan dengan mendapatkan diploma dalang pangkat dua.

Pengabdian[sunting | sunting sumber]

Pujo merupakan dalang anak yang muncul ke publik pertama kali pada 1910-an dengan nama asli Sudirman. Ketenaran Sudirman sebagai dalang wayang kulit purwa dirintisnya dari bawah dengan penuh prihatin dan laku. Kehadirannya pada awalnya belum diterima secara penuh oleh sebagian masyarakat, bahkan permainannya pernah dihentikan dengan alasan anak kecil belum sepantasnya mendalang. Hal tersebut tidak membuat kecil hati Sudirman, dirinya tetap bersemangat dan berhasil menjadi dalang terkenal hingga akhir hayatnya (9 Desember 1978) dengan nama Ki Pujo Sumarto.

Seperti layaknya para dalang lainnya, Ki Pujo Sumarto juga memiliki kriteria tersendiri sesuai dengan kecakapan, keahlian, spesialisasi, dan orientasi. Dia mampu mempertunjukkan wayang dalam perspektif ajaran kesempurnaan hidup serta memiliki sikap gendhèng (menguasai lagu), gendhing (menguasai gending dari pengetahuan dan garapannya), gendheng (piawai melucu atau melawak), gendhung (percaya diri), dan gendhang (jelas suaranya).

Pada tahun 1933, Ki Pujo Sumarto diundang oleh seorang pengusaha perkebunan Belanda di Klaten untuk mendalang. Adapun tujuan pengusaha perkebunan tersebut mengadakan pentas wayang kulit purwa itu untuk minta hujan. Hal ini disebabkan musim kemarau pada waktu itu terlalu panjang, sehingga daerah pertanian dan perkebunan menjadi kering dan tanaman banyak yang mati. Permintaan pengusaha itu disanggupinya dengan mementaskan pagelaran wayang kulit purwa dengan cerita "Udan Agung Udan Mintoyo". Cerita ini merupakan cerita khusus untuk mendatangkan hujan yang membuat tertarik pengusaha tersebut. Hal inilah yang membuat Ki Pujo Sumarto mendapatkan imbalan dua kali lipat setelah pementasan.

Ki Pujo Sumarto pernah diperintahkan oleh Sri Susuhan Pakubuwono X untuk menggelar pementasan wayang kulit purwa di Keraton Kasunanan Surakarta. Sri Susuhan Pakubuwono X yang terkesan melihat pementasan Ki Pujo Sumarto lantas ingin menganugerahinya pangkat penewu Keraton Kasunanan Surakarta, namun hal tersebut ditolak oleh Ki Pujo Sumarto dengan alasan dirinya ingin lebih memperdalam ilmu pedalangan dan belum pantas mendapatkan anugerah pangkat tersebut.

Pada tahun 1950, Ki Pujo Sumarto bersama dengan Martosugito mendirikan kursus pedalangan yang diberi nama Kursus Pedalangan Kesenian Klaten. Kursus pedalangan ini diadakan di Jalan Pramuka No. 5 Klaten. Pendirian kursus ini ternyata mendapatkan tanggapan yang baik dari masyarakat, bahkan Jawatan Penerangan Kabupaten Klaten ikut mendukungnya. Adapun guru-gurunya antara lain: Ki Pujo Sumarto, Pringgosatoto, dan Tiknosudarso, sedangkan asistennya adalah Jayengkarsono dan Wijitanoyo. Para lulusan kursus Pedalangan Kesenian Klaten ini banyak yang berhasil menjadi dalang. Pada 1955, kursus pedalangan ini mengadakan pagelaran wayang kulit purwa di rumah Ki Pujo Sumarto. Pagelaran tersebut mendapatlan sambutan yang baik dari masyarakat Klaten dan keluarga Panunggaling Dalang Republik Indonesia (PADRI) Jawa Timur.

Sebagai seorang seniman, Ki Pujo Sumarto tidak hanya mementaskan pagelaran wayang kulit purwa saja, tetapi juga menciptakan cerita maupun mengubah adegan dengan tidak mengubah atau menyimpang dari pakem aslinya. Adapun hasil karyanya yang berupa cerita antara lain: Wahyu Purbasejati, Wahyu Makutoromo, Bimo Pakso, Sudarsono Kethok (wayang madya). Selain itu, Ki Pujo Sumarto juga memiliki hasil karya berupa adegan, yaitu: Adegan Perang Cakil dan Tancep Kayon. Ki Pujo Sumarto juga menciptakan tokoh wayang Arjuna dengan memakai bokongan sembulihan yang terinspirasi dari tokoh Arjuna yang terdapat dalam perangkat Kanjeng Kyai Kanyut. Tokoh Arjuna dengan bokongan sembulihan sekarang duplikatnya telah menjadi koleksi Ledjar Subrata, Yogyakarta.

Penghargaan[sunting | sunting sumber]

Pujo memperoleh beberapa penghargaan dari pemerintah, yaitu:

  1. Bupati Kepala Daerah Tingkat II Malang, pada tanggal 9 Maret 1963 atas jasa-jasanya yang telah menggelar wayang kulit purwa dengan cerita "Jono Daru-Dewa Daru" dalam rangka meruwat pagar tembok Kabupaten Malang.
  2. POM Pangdam VII Diponegoro, pada tanggal 22 Juni 1970.
  3. Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, pada 2 Mei 1977 ditunjuk sebagai salah saorang tokoh nasional sebagai "Pembina dan Seniman Pedalangan Tradisional Daerah Jawa Tengah" berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 1/M/Tahun 1977 tanggal 2 Mei 1977.[3][4][5][6][7][8][9][10][11][12][13]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Rujukan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Pakem dalam pertunjukan seni wayang kulit menjadi hal pokok yang tidak boleh diabaikan oleh para dalang.
  2. ^ Di dalam seni pakeliran, wayang berfungsi sebagai gambar pelaku yang dimainkan oleh dalang pada layar putih terbentang di atas batang pisang yang disebut dengan kelir. Lihat: Soekatno, B.A. (1992). hlm. 7.
  3. ^ Suhatno (Desember 2007). "Pengabdian Ki Pujo Sumarto dalam Bidang Seni Pedalangan". Jantra. Vol. 2, No. 4. ISSN 1907-9605. 
  4. ^ Suprojo, Aman (2018). Tinjauan Tentang Tata Cara Ngisis Wayang Kulit Purwa Keraton Kasunanan Surakarta (Tesis Skripsi). Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. http://repository.isi-ska.ac.id/2798/1/AMAN%20SUPROJO%20fik.pdf. 
  5. ^ Darsomartono, S. (1978). hlm. 22-23.
  6. ^ Sastroamidjojo, Seno. (1964). hlm. 90-92.
  7. ^ Darto Harnoko dan Salamun. (2016). hlm. 35.
  8. ^ Junaidi (November 2014). "Dalang Anak dalam Pertunjukan Wayang". Jurnal Kajian Seni. Vol. 1, No. 1. ISSN 2356-3001. 
  9. ^ Kusalamani. "Widayat Djiang, Dalang Peranakan Tionghoa". Diakses tanggal 18 Maret 2019. [pranala nonaktif permanen]
  10. ^ Santosa, Iwan (25 Januari 2012). "Widayat Djiang: Mendalang dengan Gerakan Kungfu" (PDF) (Kliping) – via Kompas. [pranala nonaktif permanen]
  11. ^ Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta. "Biografi Widayat Djiang "Sebuah Sketsa Kehidupan Dalang Peranakan Tionghoa"". Diakses tanggal 18 Maret 2019. 
  12. ^ Kisawa, Wisnu. "Somokaton Jadi Kawasan Cagar Budaya Seni Wayang". Diakses tanggal 18 Maret 2019. [pranala nonaktif permanen]
  13. ^ Darto Harnoko dan Salamun. (2016). hlm. 36.

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

  • Darsomartono, S. (1978). Tuntunan Pakeliran. Surakarta: Yayasan Pasinaon Dhalang Mangkunegaran. 
  • Darto Harnoko dan Salamun (2016). Biografi Widayat Djiang: Sebuah Sketsa Kehidupan Dalang Peranakan Tionghoa. Yogyakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Yogyakarta. 
  • Sastroamidjojo, Seno (1964). Renungan Tentang Pertunjukan Wayang Kulit. Jakarta: Kinta Jakarta. 
  • Soekatno, B.A. (1992). Mengenal Wayang Kulit Purwa: Gambar, Klasifikasi, Jenis, Sejarah. Semarang: Aneka Ilmu. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]