Penyedap rasa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Mononatrium glutamat, penyedap rasa yang paling umum di masyarakat
Garam, pemberi rasa asin

Penyedap rasa adalah bahan tambahan makanan yang memberikan rasa pada bahan tertentu, sehingga suatu makanan dapat bertambah manis, asam, dan sebagainya. Umumnya penyedap rasa diberikan kepada makanan yang tidak atau kurang memiliki rasa (misal agar-agar, masakan berkuah, dan sebagainya) sehingga disukai konsumen. Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA), penyedap rasa haruslah hanya menambahkan rasa, tidak menambahkan nilai nutrisi apapun.[1]

Dalam regulasi yang ditetapkan Uni Eropa dan Australia, setidaknya ada tiga kategori utama penyedap rasa:[2]

Jenis Deskripsi
Penyedap rasa alami Didapatkan dari tumbuhan dan hewan secara langsung atau melalui proses fisik, mikrobiologi, atau enzimatis. Dapat dikonsumsi secara langsung atau diproses terlebih dahulu.
Penyedap rasa identik alami Penyedap rasa yang didapatkan dari sintesis atau isolasi secara proses kimiawi dan memiliki komposisi, struktur, dan sifat yang mirip dengan penyedap rasa alami secara kimiawi maupun organoleptik.
Penyedap rasa sintetis Penyedap rasa yang tidak terdapat di alam, didapatkan dari proses kimiawi dengan bahan baku dari alam maupun hasil tambang.

Meskipun yang diakui oleh Uni Eropa dan Australia terdapat tiga kategori, orang-orang umumnya mengategorikan penyedap rasa menjadi dua, yaitu penyedap rasa alami dan buatan.

Penyedap rasa seringkali tidak harus mengubah rasa makanan itu sendiri. Manusia merasakan makanan seringkali dari baunya terlebih dahulu. Sehingga mengubah bau makanan umumnya sudah cukup untuk memberikan rasa yang baru.[3][4][5] Contoh kasusnya adalah agar-agar yang biasanya diberikan bau yang berbeda untuk menciptakan variasi "rasa". Tidak hanya bau, manusia juga merasakan makanan dari warnanya. Contohnya adalah sereal fruit loops yang meskipun memiliki warna yang berbeda, tetap memiliki rasa yang sama.[6]

Pembuatan[sunting | sunting sumber]

Seringkali penyedap rasa alami dan buatan dibedakan berdasarkan cara pembuatan. Namun, sebenarnya kedua jenis penyedap rasa ini dibuat secara sintetis di laboratorium.[7] Perbedaan signifikannya adalah penyedap rasa alami biasanya merujuk pada penyedap yang dibuat menggunakan bahan alami yang bisa dimakan dan masih bisa ditemukan di alam. Sedangkan penyedap rasa buatan merujuk pada penyedap yang dibuat menggunakan bahan tidak alami yang tidak bisa dimakan. Meskipun sering disebut "tidak bisa dimakan", itu tidak sepenuhnya benar. "Tidak bisa dimakan" disini merujuk pada bahan yang digunakan. Bahan tersebut setelah diolah dan diproses, dapat ditambahkan kepada makanan untuk menambahkan rasa, tekstur, atau mengubah bau. Karena masalah kesehatan, umumnya bahan tidak alami ini hanya digunakan seminimal mungkin; cukup untuk mengubah makanan tanpa membahayakan kesehatan.[8]

Orang yang mempelajari dan membuat rasa disebut sebagai flavorist atau juga flavor chemist.[9][10] Tugas flavorist adalah mengetahui bagaimana sebuah struktur kimia pada bahan dapat mengubah rasa, dan bagaimana ia dapat memanfaatkannya.[7]

Penyedap rasa alami[sunting | sunting sumber]

Penyedap rasa alami dibuat dengan cara mengambil bahan kimia dari sebuah sumber alami. Misalnya mengambil minyak asiri dari sebuah buah. Seorang flavorist lalu akan menggunakan bahan tersebut, kadang dicampur dengan bahan kimia dari sumber alami lain untuk menciptakan rasa yang dituju.[9]

Sumber alami yang dapat diterima umumnya adalah:[11][12]

Penyedap rasa buatan[sunting | sunting sumber]

Seorang flavorist akan mempelajari struktur kimia dari sebuah bahan alami. Lalu flavorist akan menggunakan satu atau beberapa bahan sintetis untuk mereplikasi struktur kimia tersebut di Laboratorium. Penyedap rasa buatan kadang dibutuhkan karena harga produksi yang relatif lebih murah dan juga karena rasa yang dihasilkan konsisten.[9] Banyak penyedap rasa mengandung senyawa ester karena ia terkenal memberikan rasa buah.[13]

Beberapa contoh senyawa yang umumnya dibuat adalah:[11][14]

Efek pada manusia[sunting | sunting sumber]

Meskipun "buatan" terdengar menakutkan, secara kimiawi, kedua jenis penyedap ini memiliki struktur molekul yang sama, sehingga bisa dikatakan bahwa keduanya tidak memiliki perbedaan. Perbedaan hanya ada pada sumber struktur kimia tersebut.[12] Kegunaan penyedap rasa adalah untuk menyedapkan rasa, bukan untuk menambahkan nilai nutrisi. Menilai sebuah makanan dari digunakan atau tidaknya sebuah penyedap tidaklah akurat.[15]

Regulasi[sunting | sunting sumber]

Meskipun hampir setiap penyedap rasa umumnya aman untuk dikonsumsi (bahkan MSG sekalipun),[11] tentu terdapat kekhawatiran bahwa mereka dapat menyebabkan penyakit. Hampir setiap bahan penyedap rasa telah melalui eksperimen yang sangat ketat.[16] FDA umumnya tidak memerlukan sebuah perusahaan makanan untuk memberikan label yang menjelaskan kandungan dari penyedap rasa alami pada makanannya. Label hanya dibutuhkan jika penyedap mengandung bahan yang terkenal mengakibatkan alergi, seperti susu atau kacang.[7] FDA menyarankan untuk melihat kandungan bahan sebelum membeli sebuah produk makanan, lalu pilihlah makanan yang mengandung bahan tambahan paling sedikit.[11]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Gritzer, Daniel (10 Agustus 2018). "What's the Deal With Natural and Artificial Flavors?". seriouseats.com. Diakses tanggal 25 Januari 2022. 
  2. ^ "Australian Food Standards Guidelines" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2003-12-18. Diakses tanggal 2003-12-18. 
  3. ^ Peshin, Akash (22 Januari 2022). "How Do Artificial Flavors Work?". scienceabc.com. Diakses tanggal 25 Januari 2022. 
  4. ^ Lund, Cynthia (Juni 2006). "Taste, smell and flavour: How it all works". healthyfood.com. Diakses tanggal 25 Januari 2022. 
  5. ^ Fleming, Amy (8 Desember 2014). "Fake flavours: why artificial aromas can't compete with real food smells". theguardian.com. Diakses tanggal 25 Januari 2022. 
  6. ^ Locker, Melissa (21 Januari 2014). "Breaking Breakfast News: Froot Loops Are All the Same Flavor". time.com. Diakses tanggal 25 Januari 2022. 
  7. ^ a b c Dwyer, Kate (15 Maret 2017). "The Truth About Natural and Artificial Flavors". bonappetit.com. Diakses tanggal 25 Januari 2022. 
  8. ^ "Natural & Artificial Flavours – What Do the FSSAI Regulations Say?". aurigaresearch.com. Diakses tanggal 25 Januari 2022. 
  9. ^ a b c Anderson, Elisabeth; Li, Jinpeng (9 Desember 2019). "Flavors – Natural & Artificial". canr.msu.edu. Diakses tanggal 25 Januari 2022. 
  10. ^ Silva, Nathan (16 April 2020). "An Introduction to Using Flavors in Food & Drinks". foodcrumbles.com. Diakses tanggal 25 Januari 2022. 
  11. ^ a b c d "Artificial and Natural Flavors Are More Alike Than You Think — but Are They Safe to Eat?". livestrong.com. Diakses tanggal 25 Januari 2022. 
  12. ^ a b "The Difference Between Natural Flavor and Artificial Flavors". simplydelish.net. Diakses tanggal 25 Januari 2022. 
  13. ^ "How Do Artificial Flavors Work?". science.howstuffworks.com. Diakses tanggal 25 Januari 2022. 
  14. ^ "What is Flavor?". scienceofcooking.com. Diakses tanggal 25 Januari 2022. 
  15. ^ "Natural & Artificial Flavors: How are They Different?". flavorman.com. 21 April 2021. Diakses tanggal 25 Januari 2022. 
  16. ^ Rose Kennedy, C. (21 September 2015). "The Flavor Rundown: Natural vs. Artificial Flavors". sitn.hms.harvard.edu. Diakses tanggal 25 Januari 2022. 

Lihat juga[sunting | sunting sumber]

Pranala luar[sunting | sunting sumber]