Pencegahan pandemi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pencegahan pandemi merupakan seluruh upaya pengaturan dan pengelolaan tindakan pencegahan terjadinya pandemi. Tindakan pengelolaan tersebut berupa strategi mengurangi penyebab munculnya penyakit-penyakit menular baru dan mencegah berkembangnya wabah dan epidemi menjadi pandemi. Dalam sejarah kehidupan manusia, ada beberapa wabah penyakit menular yang menyebar dan berkembang menjadi pandemi, antara lain: infeksi virus, contohnya cacar, influenza, dan AIDS; infeksi bakteri, misalnya sifilis, kolera, tuberkulosis, dan tifus; serta infeksi protozoa, contohnya malaria.[1] Sedangkan wabah yang dapat dikendalikan dan muncul sebagai epidemi antara lain adalah Ebola yang menyerang Afrika Barat pada kurun 2014 hingga 2016 dan SARS yang mewabah di Cina dan beberapa negara lainnya selama enam bulan pada 2003.[2][3] Beberapa karakteristik yang menentukan pandemi antara lain adalah cakupan geografis yang luas, pergerakan penyakit, kebaruan, keparahan, tingkat serangan dan ledakan kasus yang tinggi, imunitas populasi yang rendah, serta tingkat penularannya. Pandemi mengakibatkan krisis yang berdampak besar pada sektor kesehatan, ekonomi, masyarakat dan keamanan nasional dan dunia. Dampak lain dapat berupa gangguan dalam bidang politik dan disrupsi sosial.[2] Oleh karenanya, pencegahan menjadi aspek penting saat membahas pandemi.

Pencegahan pandemi yang dimaksud di sini berbeda dengan kesiapsiagaan atau mitigasi pandemi yang sebagian besar merupakan upaya meminimalkan efek negatif dari sebuah pandemi. Meski demikian, tumpang tindih dalam beberapa hal mungkin saja terjadi saat menjelaskan kedua konsep tersebut.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Wabah SARS 2003

Virus SARS 2003 berhasil dicegah menjadi pandemi. Sindrom pernapasan akut berat (SARS) adalah penyakit pernapasan yang disebabkan oleh virus korona SARS. Penyakit ini pertama kali diidentifikasi pada akhir Februari 2003 saat wabah mulai terjadi di Guangdong, Tiongkok, dan menyebar ke beberapa negara lainnya. Perlu waktu enam bulan untuk menghentikan wabah ini.[3] Organisasi Kesehatan Dunia melakukan kerja sama internasional dengan bantuan dari Global Outbreak Alert and Response Network (GOARN) dan bekerja erat dengan otoritas kesehatan di negara-negara yang terkena dampak untuk memberikan dukungan epidemiologi, klinis, dan logistik guna mengendalikan wabah.[4] Tindakan cepat yang dilakukan otoritas kesehatan di tingkat nasional dan internasional tersebut membantu memperlambat penularan dan akhirnya memutus rantai penularan dan mengakhiri epidemi lokal sebelum membesar menjadi pandemi. Namun, penyakit ini belum benar-benar musnah dan suatu saat bisa muncul kembali. Oleh karena itu, pemantauan dan pelaporan tetap diperlukan jika ditemukan kasus pneumonia atipikal yang tidak biasa.[5] Isolasi pasien SARS terbukti efektif untuk mengendalikan penyebaran karena individu yang terinfeksi umumnya tidak menularkan virus sampai beberapa hari setelah gejala mulai terasa dan penularan hanya terjadi setelah timbul gejala yang parah.[6]

Tindakan pengendalian[sunting | sunting sumber]

Pengembangan infrastruktur dan kerja sama internasional[sunting | sunting sumber]

Sistem kesehatan masyarakat yang baik dan kolaboratif menjadi prasyarat utama dalam mengendalikan pandemi. Sistem kesehatan nasional yang baik dan otoritas pemerintah yang tanggap memungkinkan upaya deteksi dini terhadap kasus yang mencurigakan serta memobilisasi sumberdaya kesehatan yang ada untuk segera menghentikan penularan. Pemerintah dan otoritas kesehatan dapat melakukan isolasi terhadap orang-orang yang dinyatakan telah terinfeksi dan mereka yang sedang menunjukkan gejala infeksi.[7][8][9] Pencegahan pandemi pada dasarnya adalah kombinasi dari beragam unsur, antara lain berupa infrastruktur global yang memadai, pertukaran informasi yang cepat dan birokrasi yang memudahkan, serta tindakan pengobatan yang efektif dan tepat sasaran. Tantangan terbesar dari aspek infrastruktur dan kerja sama internasional ini adalah kurangnya sistem pendukung pangkalan data kesehatan masyarakat global.[10] Kondisi ini diperparah dengan dengan masih besarnya ketimpangan infrastruktur kesehatan antara negara maju dan negara berkembang dan miskin.[11] Tenaga medis dan dokter di negara-negara Afrika, Asia atau Amerika Selatan sering kali dapat mengenali dan mengelompokkan gejala penyakit yang tidak biasa, tetapi mereka tidak memiliki akses ke fasilitas penelitian lebih lanjut.[12] Negara berkembang dan miskin juga menghadapi banyak tantangan untuk mencegah perluasan infeksi. Kepadatan penduduk yang tinggi menyulitkan mereka untuk menerapkan pembatasan sosial yang efektif. Demikian juga dengan masalah ketersediaan air bersih dan sabun untuk sanitasi.[8] Meski Organisasi Kesehatan Dunia telah menetapkan rencana kesiapsiagaan pandemi yang berlaku untuk semua negara, negara berkembang dan miskin akan sulit menerapkan rencana tersebut akibat sumber daya yang rendah. Jika setiap negara mampu menerapkan rencana tersebut dan membangun kesiapsiagaan pandemi, maka akan banyak kematian yang dapat dicegah.[8]

Penelitian dan metode identifikasi[sunting | sunting sumber]

Deteksi dan prediksi patogen[sunting | sunting sumber]

Pandemi sering kali bermula dari penyakit-penyakit zoonosis. Beberapa patogen telah menjadi endemik dalam kehidupan manusia, misalnya campak dan cacar. Penyakit zoonosis memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan sosial, budaya, dan ekonomi. Awal kemunculan penyakit ini belum dapat dipastikan, tetapi setidaknya ada dua faktor yang mendukung perkembangannya. Kedua faktor tersebut adalah perubahan ekologi dan demografi berskala besar, termasuk di dalamnya domestikasi hewan ternak, dan pertumbuhan populasi manusia yang cukup besar pada 10.000-an tahun yang lalu. Seiring berkembangnya masyarakat, patogen dari inang hewan terus menyebar ke dalam populasi manusia.[13]

Perubahan lingkungan sosial ekonomi dan antropogenik merupakan penyebab berkembangnya zoonosis. Salah satunya tampak pada kasus campak. Domestikasi ternak yang memunculkan penyakit campak terjadi bersamaan dengan intensifikasi produksi pangan global dan berkontribusi pada munculnya varian penyakit Creutzfeldt-Jakob serta beberapa zoonosis lainnya. Perluasan jaringan jalan raya, pengembangan pertanian budaya lahan, dan intensifikasi perdagangan satwa liar mendorong munculnya patogen baru dari satwa liar, contohnya virus Nipah, HIV, dan SARS.[13] Dari sejarah pandemi, pemicu penyebaran zoonosis di masa lalu pada dasarnya sama dengan era globalisasi saat ini. Beberapa faktor pemicu tersebut adalah perluasan jalur dagang, peningkatan jumlah perjalanan dan integrasi antar manusia, urbanisasi, perubahan pemanfaatan lahan, dan eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran.[13][14][15] Ekspansi jalur dagang telah terbukti memunculkan pandemi maut hitam di abad 14 dan cacar di Amerika pada abad 16. Kasus yang sama juga terjadi dalam penyebaran SARS, virus West Nile, virus influenza A subtipe H5N1, dan cacar monyet.[13] Namun demikian, hasil penelitian lain menunjukkan bahwa beragam variabel pemrediksi tersebut (urbanisasi, alih guna lahan, dan lain-lain) hanya dapat menjelaskan sekitar 30% dari keseluruhan potensi zoonosis.[16] Virus RNA vertebrata, terlepas memang adanya transmisi antar spesies, telah berevolusi dengan inang mereka selama jutaan tahun. Temuan ini memperkuat teori bahwa penyakit-penyakit zoonosis yang disebabkan oleh limpahan virus RNA berhubungan dengan aktivitas manusia dan perubahan ekosistem.[17]

Ada beberapa metode untuk menjelaskan dan mengidentifikasi asal muasal sebuah pandemi. Pertama, metode-metode ekologi yang mampu menjelaskan bagaimana populasi spesies inang dan mikroorganisme berhasil diubah oleh perubahan sosial dan lingkungan. Metode ini memodelkan limpahan penyakit dari satwa liar, menelusuri kembali asal-usul penyakit menular, menggolongkan dan menganalisis penyebabnya, serta mengukur bagaimana jaringan sosial dapat mempengaruhi penyebaran penyakit. Kedua, bidang ekologi penyakit yang menawarkan cara memprediksi risiko limpahan dan penyebaran penyakit zoonosis yang telah terindentifikasi. Namun, untuk mengantisipasi pandemi zoonosis di masa depan yang biasanya disebabkan oleh patogen vertebrata yang tidak diketahui sebelumnya, peneliti memerlukan metode tambahan. Stephen Morse dan rekannya mengenalkan metode baru meta-analisis guna memprediksi pandemi. Meta-analisis ini digunakan untuk mengidentifikasi 'titik api' pandemi dengan terlebih dahulu menetapkan asal geografis dari 400 penyakit yang muncul pada manusia dalam beberapa dekade terakhir. Data ini kemudian dikoreksi untuk menghindari bias peneliti dan untuk menjelaskan perbedaan kapasitas negara dalam melakukan surveilans penyakit. Data tentang asal penyakit kemudian dapat dihubungkan dengan pemicu sosial ekonomi dan ekologi. 'Titik api' yang teridentifikasi sejauh ini meliputi daerah tropis dengan keanekaragaman satwa liar yang tinggi dan populasi manusia yang padat, serta sebagian wilayah Eropa dan Amerika Utara. Untuk menghadapi pandemi berikutnya, perlu ada upaya memfokuskan sumber daya global untuk pengawasan dan penemuan patogen hingga ke wilayah 'titik api'. Untuk mengidentifikasi pandemi di masa depan, program surveilans harus mampu menyaring spesies satwa liar yang diketahui mengandung patogen dan memfokuskan upaya di wilayah di mana sebagian besar kontak antara satwa liar dan manusia terjadi.[13]

Antara pencegahan dan mitigasi[sunting | sunting sumber]

Fokus pencegahan pandemi adalah mencegah terjadinya pandemi di masyarakat, sedangkan mitigasi lebih menitikberatkan pada upaya-upaya mengurangi tingkat keparahan saat pandemi sudah mulai berkembang. Pengendalian penyakit global saat ini hampir seluruhnya berfokus pada upaya menghadapi pandemi saat pandemi sudah menyebar secara luas. Pendekatan yang lebih berfokus pada pengobatan daripada pencegahan ini terbukti kurang berhasil untuk mengendalikan penyebaran beberapa penyakit menular, contohnya adalah kegagalan vaksin HIV meski penyakit ini telah berusia 25 tahun.[18]

Daftar referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Yamamoto, Taro (2013). "Pandemic control measures" (PDF). Japan Medical Association Journal. 56 (1): 51–54. 
  2. ^ a b Qiu, W.; Rutherford, S.; Mao, A.; Chu, C. (2017-12-08). "The Pandemic and its Impacts". Health, Culture and Society (dalam bahasa Inggris). 9 (0): 1–11. doi:10.5195/hcs.2017.221. ISSN 2161-6590. 
  3. ^ a b "CDC SARS Response Timeline | About | CDC". www.cdc.gov (dalam bahasa Inggris). 2018-07-18. Diakses tanggal 2021-03-16. 
  4. ^ "Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS)". www.who.int (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-03-05. 
  5. ^ "WHO | SARS outbreak contained worldwide". WHO. Diakses tanggal 2021-03-06. 
  6. ^ WHO (2006). SARS : how a global epidemic was stopped (PDF). Geneva: World Health Organization. ISBN 92 9061 213 4. 
  7. ^ The World Bank Group A to Z. Washington, District of Columbia. 2015. ISBN 978-1-4648-0383-3. OCLC 893674009. 
  8. ^ a b c Tolliver, Sandy (2020-04-03). "Want to stop pandemics? Strengthen public health systems in poor countries". TheHill (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-03-15. 
  9. ^ Lu, Michael C.; Post, The Washington. "What the world can do to halt future pandemics". Newsday (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-03-15. 
  10. ^ Ibrahim, Mustapha D; Binofai, Fatima AS; MM Alshamsi, Reem (2020-12-01). "Pandemic response management framework based on efficiency of COVID-19 control and treatment". Future Virology. 15 (12): 801–816. doi:10.2217/fvl-2020-0368. ISSN 1746-0794. PMC 7740003alt=Dapat diakses gratis. 
  11. ^ Benjamin, Georges C. (2020). "Ensuring health equity during the COVID-19 pandemic: the role of public health infrastructure". Revista Panamericana de Salud Pública (dalam bahasa Inggris): 1–4. doi:10.26633/rpsp.2020.70. ISSN 1020-4989. PMC 7279120alt=Dapat diakses gratis. PMID 32523608. 
  12. ^ "Pandemie-Bekämpfung - Der nächste Ausbruch kommt bestimmt". Deutschlandfunk (dalam bahasa Jerman). Diakses tanggal 2021-03-16. 
  13. ^ a b c d e Daszak, Peter (2012-12-01). "Anatomy of a pandemic". The Lancet (dalam bahasa English). 380 (9857): 1883–1884. doi:10.1016/S0140-6736(12)61887-X. ISSN 0140-6736. PMID 23200486. 
  14. ^ Jones, Kate E.; Patel, Nikkita G.; Levy, Marc A.; Storeygard, Adam; Balk, Deborah; Gittleman, John L.; Daszak, Peter (2008). "Global trends in emerging infectious diseases". Nature. 451 (7181): 990–993. doi:10.1038/nature06536. ISSN 0028-0836. PMC 5960580alt=Dapat diakses gratis. PMID 18288193. 
  15. ^ Morse, S. S. (1995). "Factors in the emergence of infectious diseases". Emerging Infectious Diseases. 1 (1): 7–15. ISSN 1080-6040. PMC 2626828alt=Dapat diakses gratis. PMID 8903148. 
  16. ^ Olival, Kevin J.; Hosseini, Parviez R.; Zambrana-Torrelio, Carlos; Ross, Noam; Bogich, Tiffany L.; Daszak, Peter (2017-06). "Host and viral traits predict zoonotic spillover from mammals". Nature (dalam bahasa Inggris). 546 (7660): 646–650. doi:10.1038/nature22975. ISSN 1476-4687. 
  17. ^ Cobey, Sarah (2020-05-15). "Modeling infectious disease dynamics". Science (dalam bahasa Inggris). 368 (6492): 713–714. doi:10.1126/science.abb5659. ISSN 0036-8075. PMID 32332062. 
  18. ^ Wolfe, Nathan D.; Daszak, Peter; Kilpatrick, A. Marm; Burke, Donald S. (2005-12). "Bushmeat Hunting, Deforestation, and Prediction of Zoonotic Disease". Emerging Infectious Diseases. 11 (12): 1822–1827. doi:10.3201/eid1112.040789. ISSN 1080-6040. PMC 3367616alt=Dapat diakses gratis. PMID 16485465.