Lompat ke isi

Nizar bin al-Mustansir

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Nizar bin al-Mustansir
Dinar emas dicetak atas nama Nizar di Aleksandria pada tahun 1095
Lahir26 September 1045
Kairo, Mesir
Meninggalca November/Desember 1095 (umur 50)
Kairo, Mesir
Sebab meninggalDieksekusi tanpa hukuman
GelarImamah dari Isma'ilisme Nizari
Masa jabatan1094-1095
Pendahulual-Mustansir Billah
PenggantiAli al-Hadi
Orang tua
KeluargaDinasti Fatimiyah

Abu Mansur Nizar bin al-Mustansir (bahasa Arab: أبو منصور نزار بن المستنصر, terjemahan. Abū Manṣūr Nizār ibn al-Mustanṣir; 1045–1095) adalah seorang pangeran Fatimiyah, dan putra tertua khalifah Fatimiyah kedelapan dan imam Isma'ili kedelapan belas, al-Mustansir. Ketika ayahnya meninggal pada bulan Desember 1094, wazir yang berkuasa, al-Afdal Shahanshah, mengangkat adik laki-laki Nizar, al-Musta'li, ke takhta di Kairo, melewati klaim Nizar dan putra sulung al-Mustansir lainnya. Nizar melarikan diri dari Kairo, memberontak dan merebut Aleksandria, di mana ia memerintah sebagai khalifah dengan nama pemerintahan al-Mustafa li-Din Allah (bahasa Arab: المصطفى لدين الله, diromanisasi: al-Muṣṭafā li-Dīn Allāh). Pada akhir tahun 1095 ia dikalahkan dan ditawan di Kairo, di mana ia dieksekusi tanpa hukuman.

Selama abad ke-12, beberapa keturunan Nizar mencoba untuk merebut takhta dari khalifah Fatimiyah, namun tidak berhasil. Banyak kaum Isma'ili, khususnya di Persia, yang menolak imamah al-Musta'li dan menganggap Nizar sebagai imam yang sah. Akibatnya, mereka memisahkan diri dari rezim Fatimiyah dan mendirikan cabang Isma'ilisme Nizari, dengan garis imam mereka sendiri yang mengaku sebagai keturunan Nizar. Garis keturunan tersebut berlanjut hingga hari ini dalam pribadi Aga Khan.

Kehidupan[sunting | sunting sumber]

Nizar lahir pada 26 September 1045 (5 Rabiulawal 437 Hijriyah) dari imamkhalifah Fatimiyah yang berkuasa, al-Mustansir (m. 1036–1094).[1] Pada waktu itu, al-Mustansir berusia sekitar 15 tahun dan telah bertakhta selama sepuluh tahun.[2] Nizar nampaknya merupakan putra sulung khalifah, walaupun putra lain bernama Abu Abdallah terkadang dinyatakan sebagai sosok senior dari putra-putra al-Mustansir.[a][2]

Pada akhir 1060-an, Kekhalifahan Fatimiyah memasuki krisis menonjol, dengan pergerakan Turki Seljuk dari timur mengancam kekuasaannya atas Suriah, dan kemunculan pertikaian antara pasukan Turki dan orang kulit hitam Afrika di Mesir berujung pada perpecahan pemerintahan pusat dan persebaran bencana kelaparan dan anarki.[4] Pada sekitar tahun 1068, kala pertikaian internal mengancam keruntuhan dinasti, al-Mustansir menyebar para putranya ke sepanjang wilayah kekuasaannya sebagai pengamanan, hanya mempertahankan putranya tanpa nama di bawah umur yang dekat dengannya. Catatan oleh sejarawan era Mamluk al-Maqrizi berujar bahwa Abu Abdallah dan Abu Ali dikerahkan ke Acre untuk bergabung dengan pasukan panglima Badr al-Jamali; Abu'l-Qasim Muhammad (ayah dari Khalifah al-Hafiz) ke Ascalon; sementara lainnya, putranya yang tak bernama dan di bawah umur, menetap di Kairo.[5] Nizar tak disebutkan oleh al-Maqrizi, namun ia nampaknya terlibat dalam tindakan tersebut,[6] dan al-Hidaya al-Amiriyya, sebuah proklamasi yang diedarkan pada 1122 oleh Khalifah al-Amir (m. 1101–1130), mengklaim bahwa ia dikirim ke pelabuhan Damietta.[7] Penyebaran para pangeran Fatimiyah tersebut berlangsung setidaknya sampai Badr al-Jamali meraih kekuasaan pada 1073 selaku wazir dan semi-diktator dan memulihkan tatanan di Mesir.[6][8]

Sengketa suksesi[sunting | sunting sumber]

Selaku putra sulung, Nizar nampak dianggap menjadi penerus paling menonjol dari ayahnya, sebagaimana kebiasaan;[9] sehingga, para sejarawan seringkali menyatakan bahwa Nizar telah menjadi penerus yang dirancang[b] dari ayahnya.[11][12] Namun, tak ada perancangan resmi terhadap Nizar selaku pewaris nampak terjadi kala kematian al-Mustansir pada Desember 1094.[9][13]

Al-Maqrizi menulis bahwa ini dikarenakan pergerakan putra Badr al-Afdal Shahanshah, yang meneruskan ayahnya dalam jabatan wazir pada Juni 1094.[14] Menurut al-Maqrizi, sebuah permusuhan terasa mendalam timbul antara al-Afdal and Nizar. Sebuah anekdot mengisahkan bagaimana al-Afdal sempat berniat untuk memasuki istana menunggangi kuda—sebuah hak yang dikhususkan untuk khalifah—kala Nizar menyambutnya dengan tidak hormat dan menyebutnya "Armenia kotor". Sejak itu, keduanya menjadi musuh bebyuytan, menangguhkan kegiatan al-Afdal dan memecat para pelayannya, sementara pada saat yang sama memenangkan para panglima tentara atas kepentingannya. Hanya satu dari mereka, Berber Muhammad bin Masal al-Lukki, yang dikatakan masih setia kepada Nizar, karena ia berjanji untuk mengangkatnya menjadi wazir alih-alih al-Afdal.[15][16]

Menurut al-Maqrizi, al-Afdal menekan al-Mustansir untuk mencegah pencalonan publik Nizar selaku pewaris,[15] dan kala khalifah wafat, al-Afdal menaikkan adik seayah[c] Nizar, al-Musta'li, ke takhta dan imamat.[d] Al-Musta'li, yang tak lama sebelum menikahi saudari al-Afdal, sepenuhnya bergantung pada al-Afdal untuk pengangkatannya. Ini membuatnya menjadi sosok pemimpin setia yang tak nampak mengancam keberadaan al-Afdal, dan sehingga walau rapuh, memegang kekuasaan.[11][24][25]

Dalam rangka mempertahankan suksesi al-Musta'li dan melawan klaim partisan Nizar, putra dan penerus al-Mu'stali, al-Amir, mengeluarkan al-Hidaya al-Amiriyya. Dokumen tersebut menempatkan putaran berbeda pada pengerahan para pangeran: mendadak, mereka dikirim dalam urutan pengaruh, dengan orang-orang yang paling dekat dengan Kairo (dan kemudian khalifah sendiri) diberi pangkat tertinggi.[6][7] Para sejarawan modern menekankan bahwa ini adalah arhumen yang sangat tak dipercaya, karena pangeran dikirim untuk perlindungan mereka. Menurut sejarawan Paul E. Walker, pengiriman Abu Abdallah ke pasuka kuat Badr al-Jamali adalah, jika terjadi hal apapun, sebuah indikasi pengaruh tingginya dan keinginan ayahnya untuk menjaganya agar tetap aman.[6] Pada saat yang sama, putra di bawah umur yang tak teridentifikasi tertinggal di Kairo secara jelas bukanlah al-Musta'li, yang belum lahir pada waktu itu. Walker mengidentifikasikan pangeran tak bernama tersebut dengan Abu'l-Qasim Ahmad, yang kelahirannya diumumkan pada 1060. Pangeran tersebut nampaknya wafat pada suatu waktu, karena kelak al-Musta'li, yang lahir pada 1074, diberikan nama yang sama.[6]

al-Hidaya al-Amiriyya dan catatan lainnya kemudian menganggap pengesahan kenaikan takhta al-Musta'li lewat laporan kisah bahwa pada makan besar perkawinan al-Musta'li, atau kala menjemput ajal, al-Mustansir telah memilihnya sebagai pewarisnya, dan bahwa salah satu saudari al-Mustansir dikatakan memanggilnya secara pribadi dan menerima nominasi al-Musta'li sebagai peninggalan.[9][26][27] Para sejarawan modern, seperti Farhad Daftary, meyakini bahwa kisah tersebut lebih nampak merupakan upaya untuk membenarkan dan secara retroaktif mengesahkan apa yang berdampak pada kudeta oleh al-Afdal.[11]

Namun, al-Maqrizi juga memasukkan penjelasan berbeda bahwa pengadaan keraguan terhadap apa yang menjadi pergerakan al-Afdal benar-benar merupakan kudeta yang disiapkan secara berhati-hati. Kala al-Afdal memanggil tiga putra al-Mustansir—Nizar, Abdallah, dan Isma'il, nampaknya sangat berpengaruh di kalangan keturunan khalifah—ke istana untuk menghadap kepada al-Musta'li, yang telah menduduki takhta, mereka semua menolak. Tak hanya mereka menolak al-Musta'li, namun mereka semua mengklaim bahwa al-Mustansir telah memilihnya selakuo penerusnya. Nizar mengklaim bahwa ia memiliki dokumen tertulis dari dampak tersebut.[28][29] Penolakan tersebut nampaknya membuat al-Afdal sangat terkejut. Para saudaranya diperkenankan untuk meninggalkan istana; namun kala Abdallah dan Isma'il berada pada masjid terdekat, Nizar langsung kabur dari Kairo.[28][29] Untuk menambahkan kekeliruan, dengan mengetahui kepergian al-Mustansir, Baraqat, da'i Kairo (kepala kelompok keagamaan Isma'ili) memproklamasikan Abdallah sebagai khalifah dengan nama regnal al-Muwaffaq.[30] Namun, al-Afdal kemudian merebut lagi kekuasaan. Baraqat ditangkap (dan kemudian dieksekusi), Abdallah dan Isma'il ditempatkan di bawah pengawasan dan kemudian secara terbuka mengakui al-Musta'li. Sebuah majelis besar perwira diadakan, yang menyatakan al-Musta'li selaku imam dan khalifah.[15]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Masa kekuasaan al-Mustansir menunjukkan bahwa ia mengalami sejumlah keturunan, namun tak ada daftar lengkap yang ada, dan kebanyakan putranya berbagai bagian dari nama mereka, membuat identifikasi mereka menyulitkan. Sejarawan Paul E. Walker memperkirakan bahwa al-Mustansir "memiliki sekurang-kurangnya tujuh belas putra yang nama-namanya dapat ditemukan".[3]
  2. ^ konsep perancangan (nass) terpusat pada Syi'ah awal, dan terutama Isma'ili, pembentukan imamat, selain juga menunjukkan pergesekan: karena imam memegang ketidakbersalahan Allah (isma), ia tak dapat mungkin dipersalahkan, khususnya dalam hal paling krusial sebagaimana pemilihan pewarisnya. Para pewaris yang dimilik yang menghadap ayah mereka kemudian menjadi sumber pergesekan menonjol. Sehingga, adatnya menyatakan bahwa, walau penerus dapat secara jelas disukai pada masa kekuasaan ayahnya, nass seringkali dipegang sampai tak lama sebelum kematian imam yang berkuasa, diproklamasikan dalam pernyataannya, atau ditinggalkan selaku permintaan dari pihak ketiga.[10]
  3. ^ Al-Musta'li nampaknya merupakan putra bungsu al-Mustansir.[9][6]
  4. ^ Seorang imam adalah pemimpin spiritual komunitas kepercayaan Islam (ummah) selaku penerus Muhammad.[17] Usai perang saudara pada zaman Muslim awal, arus utama Sunni mengikut para khalifah selaku penerus Muhammad dan menghimpun sedikit kondisi pada jabatan kepemimpinan.[18][19] Di sisi lain, Syi'ah secara hartahap mengembangkan pernyataan imam sebagai penerus Muhammad tuinggal, disahkan dan dipandu secara ilahiah, seorang sosok yang dihimpun dengan kualitas unik dan penunjangan hidup (hujja) dari Allah. Jabatan tersebut ditujukan untuk anggota keluarga Muhammad, dengan menantu Muhammad Ali bin Abi Talib dianggap sebagai imam semacam itu yang pertama.[20][21] Cabang-cabang Syi'ah Dua Belas Imam dan Isma'ili (atau Sevener) terpecah usai kematian Ja'far al-Sadiq pada 765. Dua Belas Imam mengikuti Musa al-Kadhim sebagai imam ketujuh mereka dan berujung pada garis imam mereka dengan al-Mahdi, imam kedua belas dan terakhir yang mendatangkan okultasi pada 874 dan bahwa pengembalian mesianik masih ditunggu.[22] Berbagai cabang Isma'ili mengikuti garis suksesi dari Isma'il bin Jafar melalui kehadiran berkelanjutan imam tersembunyi dan umum, termasuk para imam-khalifah Fatimiyah, sampai saat ini.[23]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Gibb 1995, hlm. 83.
  2. ^ a b Walker 1995, hlm. 250.
  3. ^ Walker 1995, hlm. 249.
  4. ^ Brett 2017, hlm. 201–205.
  5. ^ Walker 1995, hlm. 250–251.
  6. ^ a b c d e f Walker 1995, hlm. 251.
  7. ^ a b Stern 1950, hlm. 24.
  8. ^ Brett 2017, hlm. 205–206.
  9. ^ a b c d Gibb 1993, hlm. 725.
  10. ^ Walker 1995, hlm. 240–242.
  11. ^ a b c Daftary 2007, hlm. 241.
  12. ^ Brett 2017, hlm. 228.
  13. ^ Halm 2014, hlm. 90.
  14. ^ Halm 2014, hlm. 86–87.
  15. ^ a b c Walker 1995, hlm. 254.
  16. ^ Halm 2014, hlm. 89.
  17. ^ Madelung 1971, hlm. 1163.
  18. ^ Daftary 2007, hlm. 36–38.
  19. ^ Madelung 1971, hlm. 1163–1164.
  20. ^ Daftary 2007, hlm. 1, 39–86.
  21. ^ Madelung 1971, hlm. 1166–1167.
  22. ^ Daftary 2007, hlm. 38, 88–89.
  23. ^ Daftary 2007, hlm. 89–98, 99–100, 507ff..
  24. ^ Walker 1995, hlm. 252.
  25. ^ Brett 2017, hlm. 228–229.
  26. ^ Stern 1950, hlm. 25–29.
  27. ^ Walker 1995, hlm. 252, 257.
  28. ^ a b Halm 2014, hlm. 88.
  29. ^ a b Walker 1995, hlm. 253.
  30. ^ Walker 1995, hlm. 253–254.

Sumber[sunting | sunting sumber]

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

Nizar bin al-Mustansir
Lahir: 1045 Meninggal: 1095
Gelar kebangsawanan
Didahului oleh:
Al-Mustansir
Khalifah Fatimiyah
(pengklaim di Iskandariyah)

1095
Diteruskan oleh:
Al-Musta'li
Jabatan Islam Syi'ah
Didahului oleh:
Al-Mustansir
Imam Isma'ilisme Nizari ke-19
1094–1095
Diteruskan oleh:
Ali al-Hadi bin Nizar
(secara sembunyi-sembunyi)