Kebutuhan oksigen kimiawi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Dalam kimia lingkungan, kebutuhan oksigen kimiawi (KOK) adalah nilai yang menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam suatu reaksi penguraian senyawa organik dalam larutan terukur. Nilai KOK biasanya dinyatakan dalam satuan miligram per liter (mg/l). Pengujian KOK terutama dilakukan untuk mengukur jumlah polutan pada air permukaan (misalnya air danau dan sungai) atau air limbah, seperti halnya kebutuhan oksigen hayati (KOH).

Ringkasan[sunting | sunting sumber]

Prinsip pengujian KOK adalah bahwa hampir semua senyawa organik dapat dioksidasi menjadi karbon dioksida oleh zat pengoksidasi kuat dalam suasana asam. Jumlah oksigen yang diperlukan untuk mengoksidasi senyawa organik menjadi karbon dioksida, amonia, dan air ditentukan menurut persamaan reaksi:

Persamaan di atas tidak menyertakan jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam reaksi nitrifikasi (oksidasi amonia menjadi nitrat):

Kalium dikromat, zat oksidator yang digunakan dalam penetapan KOK, tidak mengoksidasi amonia menjadi nitrat, sehingga jumlah oksigen yang dihabiskan dalam reaksi nitrifikasi diabaikan.

Organisasi Internasional untuk Standardisasi mengatur metode standar untuk mengukur kebutuhan oksigen kimiawi dalam ISO 6060.[1]

Penggunaan kalium dikromat[sunting | sunting sumber]

Kalium dikromat adalah senyawa oksidator kuat yang bekerja dalam kondisi asam. Suasana asam biasanya dicapai melalui penambahan asam sulfat. Reaksi kalium dikromat dengan senyawa organik adalah sebagai berikut:

di mana .

Dalam pengujian KOK, konsentrasi kalium dikromat yang paling umum digunakan adalah 0,25 N, meskipun untuk sampel dengan nilai KOK di bawah 50 mg/l biasanya menggunakan konsentrasi kalium dikromat yang lebih encer.

Dalam proses oksidasi zat organik dalam sampel air, kalium dikromat direduksi membentuk Cr3+. Jumlah Cr3+ ditentukan setelah oksidasi selesai, dan dinyatakan sebanding dengan jumlah senyawa organik yang bereaksi.

Agar semua bahan organik teroksidasi sempurna, jumlah kalium dikromat yang ditambahkan harus berlebih. Setelah oksidasi selesai, jumlah kelebihan kalium dikromat harus diukur untuk memastikan bahwa jumlah Cr3+ dapat ditentukan dengan akurat. Untuk mengetahui jumlahnya, kelebihan kalium dikromat dititrasi dengan fero amonium sulfat (FAS) hingga semua sisa oksidator tereduksi menjadi Cr3+. Biasanya, indikator redoks ferroin juga ditambahkan dalam titrasi ini. Setelah semua dikromat habis bereaksi, indikator ferroin berubah warna dari biru-hijau menjadi coklat kemerahan. Jumlah fero amonium sulfat yang ditambahkan setara dengan jumlah kelebihan kalium dikromat yang ditambahkan ke dalam sampel. Catatan: Indikator Ferroin pada mulanya berwarna merah terang, tetapi ketika ditambahkan ke larutan yang mengandung kalium dikromat akan berubah warna menjadi hijau. Selama titrasi, warna indikator berubah dari hijau menjadi biru cerah lalu menjadi coklat kemerahan setelah mencapai titik akhir.[2]

Pembuatan pereaksi indikator ferroin[sunting | sunting sumber]

Larutan 1,485 g 1,10-fenantrolin monohidrat ditambahkan ke dalam larutan 695 mg FeSO4·7H2O dalam air suling, dan larutan diencerkan hingga 100 ml.

Perhitungan[sunting | sunting sumber]

Rumus berikut digunakan untuk menghitung nilai KOK:

di mana b adalah volume FAS yang digunakan dalam penitaran blanko, s adalah volume FAS dalam penitaran sampel, dan n adalah normalitas FAS. Hasil perhitungan KOK dinyatakan dalam satuan mg/l.

KOK juga dapat diperkirakan dari konsentrasi senyawa yang dapat teroksidasi dalam sampel, berdasarkan reaksi stoikiometrinya dengan oksigen untuk menghasilkan CO2 (anggap semua C menjadi CO2), H2O (anggap semua H menjadi H2O), dan NH3 (anggap semua N menjadi NH3), menggunakan rumus berikut:

COD = (C/FW)·(RMO)·32

Di mana

C = Konsentrasi senyawa teroksidasi dalam sampel,
FW = Berat rumus senyawa teroksidasi dalam sampel,
RMO = Perbandingan # mol oksigen dengan # mol senyawa yang teroksidasi menjadi CO2, air, dan amonia.

Misalnya, sampel memiliki 500 Bbpj (Berat Bagian per Juta) fenol:

C6H5OH + 7O2 → 6CO2 + 3H2O
COD = (500/94)·7·32 = 1191 Bbpj

Gangguan anorganik[sunting | sunting sumber]

Beberapa sampel air mengandung bahan anorganik dalam kadar tinggi yang dapat ikut teroksidasi yang dapat mengganggu penetapan KOK. Karena konsentrasinya yang tinggi di sebagian besar air limbah, klorida sering menjadi sumber gangguan yang paling serius. Reaksinya dengan kalium dikromat adalah menurut persamaan berikut:

Sebelum penambahan reagen lain, raksa(II) sulfat dapat ditambahkan ke dalam sampel untuk menghilangkan gangguan klorida.

Tabel berikut mencantumkan sejumlah zat anorganik lain yang dapat menyebabkan gangguan. Tabel ini juga mencantumkan bahan kimia yang dapat digunakan untuk menghilangkan gangguan tersebut, dan senyawa yang terbentuk ketika molekul anorganik dihilangkan.

Senyawa anorganik Dieliminasi oleh Hasil eliminasi
Klorida Raksa(II) sulfat Kompleks raksa(II) klorida
Nitrit Asam sulfamat Gas N2
Fero - -
Sulfida - -

Peraturan Pemerintah[sunting | sunting sumber]

Pemerintah di berbagai negara memberlakukan peraturan ketat mengenai nilai KOK maksimum yang diperbolehkan dalam air limbah sebelum dibuang ke lingkungan. Misalnya, di Swiss, nilai KOK maksimum antara 200 dan 1000 mg/l harus dicapai sebelum air limbah atau air industri dilepas ke alam.[3]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Selama bertahun-tahun, oksidator kuat kalium permanganat (KMnO4) digunakan untuk mengukur kebutuhan oksigen kimiawi. Efektivitas kalium permanganat dalam mengoksidasi senyawa organik sangat bervariasi, dan dalam banyak kasus hasil pengukuran kebutuhan oksigen hayati (KOH) sering kali jauh lebih besar daripada hasil pengukuran KOK. Hal ini menunjukkan bahwa kalium permanganat tidak mampu secara efektif mengoksidasi semua senyawa organik dalam air, menjadikannya sebagai agen pengoksidasi yang cenderung buruk dalam penetapan nilai KOK.

Sejak itu, zat oksidator lain seperti serium(IV) sulfat, kalium iodat, dan kalium dikromat mulai digunakan untuk menetapkan nilai KOK. Dari senyawa-senyawa tersebut, kalium dikromat adalah yang paling efektif: harganya relatif murah, mudah dimurnikan, dan mampu mengoksidasi hampir semua senyawa organik dengan sempurna.

Dalam metode ini, oksidator dalam jumlah berlebih terukur ditambahkan ke sampel yang dianalisis. Setelah direaksikan dalam proses refluks, konsentrasi zat organik dalam sampel dihitung dengan metode volumetri atau spektrofotometri melalui pengukuran jumlah oksidator yang masih tersisa dalam sampel. Seperti metode kolorimetri lainnya, blanko digunakan untuk mengoreksi hasil yang mungkin terpengaruh gangguan dari luar.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ [1]
  2. ^ "General Chemistry Online: Glossary". antoine.frostburg.edu. 
  3. ^ [2]

Pranala luar[sunting | sunting sumber]