Lompat ke isi

Johannes Cornelis Wilhelmus Diedericus Adrianus van der Wyck

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Jhr. Johannes Cornelis Wilhelmus Didericus Adrianus van der Wyck (6 Oktober 1838 – 5 Juni 1914), adalah seorang politikus Belanda yang pernah menjabat sebagai Residen Manado sejak tanggal 15 Januari 1885 hingga tahun 1888. Ia dikenal sebagai orang Eropa pertama yang mencapai Danau Poso di Sulawesi Tengah dalam perjalanan yang dilakukannya pada tanggal 15 hingga 22 Oktober 1865.[1]

Ia pernah menjadi Ambtenaar Paguat di masa Residen Willem Christiaan Happe yang menjabat pada tahun 1862 hingga 1864. Johannes kemudian diangkat menjadi Asisten Residen Gorontalo dan mulai menjabat pada bulan Januari 1884 hingga Januari 1885.[2]

Selama menjadi Residen Manado, ia telah melakukan beberapa perjanjian. Salah satunya adalah kontrak kerja sama yang diteken Raja Tahuna Egenos Laurens Tamarol Rasubalah dengan Johannes, tentang batas-batas kekuasaan Kerajaan Tahuna.[3]

Van der Wijck, di Sulawesi Tengah

[sunting | sunting sumber]

Provinsi Sulawesi Tengah baru benar-benar "diperhatikan" oleh Pemerintah Hindia Belanda pada periode tahun 1860-an. Seorang pejabat pemerintah bernama Johannes Cornelis Wilhelmus Diedericus Adrianus van der Wyck, berhasil mengunjungi Danau Poso pada tahun 1865—menjadi orang Eropa dan Belanda pertama yang melakukannya, dan memperkenalkan suku asli di Wilayah Grup Poso-Tojo yaitu Suku Bare'e (Bare'e-Stammen).

Suku Bare'e atau bahasa Belandanya Bare'e-stammen (De Bare'e-Sprekende jilid 1 halaman 119)[4] yang pada waktu itu sudah banyak yang beragama Islam yang disebut Belanda dengan nama Mohammadisme, dan sebagian kecil Orang Poso masih beragama Lamoa (Langit), cara Belanda mengidentifikasikan Alfouren yang disebut Belanda dengan istilah Toradja yaitu Orang Toraja tersebut berpenampilan seperti Gelandangan yang berbeda penampilannya dengan Suku Bare'e yang merupakan Suku Asli di wilayah Grup Poso-Tojo.

Kemudian orang-orang yang berpenampilan seperti Gelandangan tersebut diberinama Alfouren yang kemudian diganti oleh A. C. Kruyt dan Dr. N. Adriani dengan nama Toradja (Toraja), sementara yang sudah beragama islam masih disebut Suku Bare'e (Bare’e-Stammen).

Setelah mempelajari Watu Mpoga'a[5], maka para gelandangan yang telah menjadi Umat Kristen tersebut mengetahui asal usul mereka sebelum berada di wilayah Grup Poso-Tojo yaitu berasal dari wilayah Wotu.[6]

Dan Wilayah Poso dan Todjo kemudian dinamakan Grup Poso-Tojo (Toraja Poso-Tojo, atau Toraja Timur (Toradja Bare’e) dengan Bahasa Bare’e (Bare'e-Taal)[7] sebagai bahasa asli di wilayah tersebut.

Penolakan istilah Toraja di Sulawesi Tengah

[sunting | sunting sumber]

Bugis dan To Luwu adalah masyarakat yang pertama kali menolak penyebutan Toraja untuk Umat Kristen di Sulawesi Selatan, dan hal tersebut diakui oleh Makkole dan Maddika Luwu saat itu, dan juga karena wilayah yang dihuni Suku Toraja adalah wilayah Kerajaan Luwu yang mana wilayah kerajaan Luwu mulai dari Selatan, Pitumpanua ke utara Morowali[8], dan dari Tenggara Kolaka (Mengkongga) sampai ke seluruh wilayah Tana Toraja, oleh karena itu To Luwu menolak terhadap istilah Toraja (Toradja) untuk penyebutan Umat Kristen di Sulawesi Selatan.

Penolakan atas istilah Toraja inilah yang membuat ragu masyarakat Sulawesi pada saat terjadi gerakkan Monangu Buaya oleh Kerajaan Luwu, karena bunyi dari Monangu Buaya adalah sangat bertentangan dengan penolakan istilah Toraja (Toradja) yang terjadi di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah, karena bunyi dari Monangu Buaya (Monangu Buaja) adalah "Semua Suku Toraja (Toradja-Stammen) dan Umat Kristen di Tana Poso harus mendukung semua Budaya Luwu termasuk Monangu Buaya", dan itu sangat tidak mungkin terjadi dimana sedang terjadi salah paham dan "pengusiran" antara pihak masyarakat Sulawesi Selatan yang menentang istilah Toraja ciptaan misionaris Belanda dan Budaya Luwu Monangu Buaya yang didukung misionaris Belanda dengan kata lain sedang terjadi permusuhan antara masyarakat Sulawesi Selatan dengan pihak misionaris Belanda, sehingga semua masyarakat Sulawesi berkesimpulan bahwa gerakan menarik upeti Monangu Buaya (Monangu Buaja; krokodilzwemmen)[9] adalah bukan dari Kerajaan Luwu tetapi Monangu Buaya adalah ciptaan misionaris Hindia Belanda. Terbukti dari Monangu Buaya mengutip ayat dari Alkitab Injil yaitu " dengan melihat kepada Tokoh Alkitab Injil yaitu "sejarah kematian Lazarus" yang menceritakan bahwa Baju Adat Inodo bukan bajunya umat kristen yang diwakili tokoh Lazarus".[10]

Di zaman moderen para peneliti dan akademisi Sulawesi seperti Priyanti Pakan, Mashudin Masyhuda, Andi Mattulada, dan Lorraine Aragon juga pada awalnya menolak penerapan istilah Toraja bagi penduduk Sulawesi Tengah.[11]

Van der Wijck, di Jawa Timur

[sunting | sunting sumber]

Pada 20 Oktober 1936 di pesisir utara Jawa, tepatnya di perairan Brondong, kapal Belanda van der Wijck tenggelam, sebuah peristiwa yang mengilhami novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck oleh Hamka. Kapal mewah yang dibuat di galangan kapal Feijenoord, Rotterdam, Belanda pada tahun 1921 merupakan kapal milik perusahaan Koninklijke Paketvaart Maatschappij, Amsterdam. Tahun 2013, sebuah film mengangkat cerita tenggelamnya kapal tersebut berdasarkan buku Hamka dengan judul yang sama.

Atas jasa nelayan Brondong dan Blimbing, awak kapal dan penumpang dapat diselamatkan. Pemerintah Hindia Belanda mendirikan monumen di halaman Kantor Pelabuhan Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur[12] untuk mengenang peristiwa tersebut dan menghormati jasa nelayan.

Kehidupan pribadi

[sunting | sunting sumber]

Ia menikahi Christine Charlotte Ruël (1841-1921) pada tanggal 7 Juli 1866 di Surabaya. Putrinya yang bernama Caroline, lahir pada tanggal 6 Januari 1872 di Kayu Tanam.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Sarasin & Sarasin 1905, hlm. 240.
  2. ^ Kojongian 1980, hlm. 23.
  3. ^ Kojongian 1980, hlm. 45.
  4. ^ De Bare'e-Sprekende de Toradja in midden celebes jilid 1 halaman 119, [1]", Diakses 29 Mei 2023.
  5. ^ DATA CAGAR BUDAYA DI SULAWESI TENGAH (per Des 2014) [2]", Diakses 29 Mei 2023.
  6. ^ Idwar Anwar (2005). Ensiklopedi Sejarah Luwu. Collaboration of Komunitas Kampung Sawerigading, Pemerintah Kota Palopo, Pemerintah Kabupaten Luwu, Pemerintah Kabupaten Luwu Utara, and Pemerintah Kabupaten Luwu Timur. ISBN 979-98372-1-9. 
  7. ^ De Bare'e-Sprekende de Toradja in midden celebes The Series, [3]", Diakses 29 Mei 2023.
  8. ^ KEDATUAN LUWU wilayahnya hanya sampai Morowali, kabupaten poso, sulawesi tengah. [4].
  9. ^ Sumber buku "POSSO" LIHAT & DOWNLOAD HALAMAN 151: MONANGU BUAJA (krokodilzwemmen), menyatakan Monangu buaya yaitu budaya ciptaan Misionaris Belanda dengan meminjam nama dari Kerajaan Luwu , [5], Diakses 30 Juni 2023.
  10. ^ "POSSO" LIHAT & DOWNLOAD HALAMAN 151: MONANGU BUAJA (krokodilzwemmen), kematian Lazarus yang berbaju apa adanya (To Lampu) berbeda dengan Baju Mewah atau Baju Inodo yang milik dari Suku Bare'e (Bare'e-Stammen), [6].
  11. ^ Aragon 2000, hlm. 2.
  12. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-10-30. Diakses tanggal 2006-11-20. 

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]