Lompat ke isi

Jilbab

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Jilbāb)

Jilbāb (bahasa Arab: جلباب) adalah busana muslim terusan panjang menutupi seluruh badan kecuali tangan, kaki, dan wajah yang biasa dikenakan oleh para wanita muslim. Penggunaan jenis pakaian ini terkait dengan tuntunan syariat Islam untuk menggunakan pakaian yang menutup aurat atau dikenal dengan istilah hijab. Sementara kerudung sendiri di dalam Al-Qur'an disebut dengan istilah khumur, sebagaimana terdapat pada surat An Nuur ayat 31 sebagai berikut.

Hendaklah mereka menutupkan khumur (kerudung-nya) ke dadanya. (An Nur 6:31)

Etimologi

[sunting | sunting sumber]

Secara etimologis, jilbab berasal dari bahasa arab jalaba yang berarti menghimpun atau membawa.[1] Istilah jilbab digunakan pada negeri-negeri berpenduduk muslim lain sebagai jenis pakaian dengan penamaan berbeda-beda.[1] Di Iran disebut chador, di India dan Pakistan disebut pardeh, di Libya milayat, di Irak abaya, di Turki çarşaf, dan tudung di Malaysia, sementara di negara Arab-Afrika disebut hijab.[1]

Di Indonesia, penggunaan kata jilbab digunakan secara luas sebagai busana kerudung yang menutupi sebagian kepala perempuan (rambut dan leher) yang dirangkai dengan baju yang menutupi tubuh kecuali telapak tangan dan kaki.[1] Kata ini masuk dalam lema Kamus Besar Bahasa Indonesia pada tahun 1990 bersamaan dengan mulai populernya penggunaan jilbab di kalangan muslimah perkotaan.[1] Dalam kosakata bahasa Indonesia menurut KBBI daring, jilbab adalah kerudung lebar yang dipakai perempuan muslim untuk menutupi kepala dan leher sampai ke dada.[2] Secara umum mereka yang menutupi bagian itu disebut orang yang berjilbab.[1]

Asal-usul perintah berhijab

[sunting | sunting sumber]

Awalnya istri-istri Nabi Muhammad tidak berhijab, dan tidak pula Sang Nabi memerintahkan istri-istri beliau untuk mengenakannya. Pada suatu saat, Umar bin Khattab menyarankan agar Nabi Muhammad menghijabi istri-istri beliau, tetapi hal itu tidak dihiraukan oleh Sang Nabi. Di zaman Nabi Muhammad, jika istri-istri beliau ingin buang air besar, mereka keluar pada waktu malam menuju tempat buang hajat yang berupa tanah lapang dan terbuka bernama Al-Manasi. Mengetahui hal tersebut, Umar yang begitu antusias agar ayat hijab diturunkan pun menunggu ketika salah satu istri Nabi akan buang air besar, yang mana pada saat itu adalah Saudah, lalu Umar berseru kepadanya,"Sungguh kami telah mengenalmu wahai Saudah!". Takut akan hal itu terulang, Saudah pun melaporkan hal tersebut kepada Nabi. Dan tidak lama berselang ayat-ayat hijab pun diturunkan. Dan istri-istri Nabi kembali diizinkan untuk buang air besar.[3][4][5]

Sejarah dan kontroversi pemakaian jilbab

[sunting | sunting sumber]
Sebuah tempat yang disebut dengan Medina quarter di Essaouira, Moroko, menunjukkan para wanita yang sedang menggunakan jilbab tradisional.
  • Di Iran pada tahun 1936 Shah Reza Pahlevi mengeluarkan perintah yang melarang penggunaan segala bentuk pakaian bernuansa Islami oleh perempuan di Iran.[6]
  • Di Turki, wanita tidak dapat bekerja di beberapa lembaga publik dengan jilbab mereka karena "Peraturan tentang Aturan Berpakaian di Kantor Publik", yang dikeluarkan setelah Kudeta Turki 1980 dan tetap berlaku selama 31 tahun.[7][8]
  • Di Turki pada 2006 seorang arkeolog pakar Sumeria bernama Muazzez İlmiye Çığ, dalam bukunya yang berjudul Vatandaşlık Tepkilerim, menyebut jilbab terkait dengan prostitusi pada masa peradaban Sumeria. Menurut Cig, asal usul jilbab sudah dilacak sejak peradaban Sumeria di wilayah Mesopotamia (kini wilayah Irak tenggara) 5.000 tahun silam, jauh sebelum agama Islam hadir di dunia. Saat itu, sudah banyak perempuan yang mengenakan jilbab. Biasanya, jilbab digunakan perempuan yang bekerja di prostitusi di kuil-kuil untuk membedakannya dengan biarawati di kuil tersebut. Akibat dari pernyataannya tersebut ia digugat di pengadilan Turki namun akhirnya divonis bebas.[9]

Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1983 perdebatan tentang penggunaan "jilbab" di sekolah antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Noegroho Notosoesanto yang kemudian direspons oleh MUI, masih menggunakan kata kerudung.[10][11][1] Noegroho menyatakan bahwa pelajar yang karena suatu alasan merasa harus memakai kerudung, pemerintah akan membantunya pindah ke sekolah yang seragamnya memakai kerudung.[11] Sebelumnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan juga mengadakan pertemuan khusus dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan menegaskan bahwa seragam harus sama bagi semua orang berkaitan dengan peraturannya, karena bila tidak sama berarti bukan seragam.[11]

Di Indonesia pada Kamus Umum Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka cetakan ke-7 tahun 1984 belum ada lema kata jilbab, lema yang digunakan adalah kata yang belum populer di Indonesia (saat itu) yaitu "hijab" yang merujuk pada kain penutup aurat bagi perempuan muslim.[1]

Fatwa berjilbab bagi para penganutnya

[sunting | sunting sumber]

Menurut Muhammad Nashiruddin Al-Albany kriteria jilbab yang benar harus menutup seluruh badan, kecuali wajah dan dua telapak, jilbab bukan merupakan perhiasan, tidak tipis, tidak ketat sehingga menampakkan bentuk tubuh, tidak disemprot parfum, tidak menyerupai pakaian kaum pria atau pakaian wanita-wanita kafir dan bukan merupakan pakaian untuk mencari popularitas.[12]

Pendapat yang sama sebagaimana dituturkan Ikrimah, jilbab itu menutup bagian leher dan mengulur ke bawah menutupi tubuhnya,[13] sementara bagian di atasnya ditutup dengan khimâr (kerudung)[14] yang juga diwajibkan, sesuai dengan salah satu ayat surah An-Nur 24:31, yang berbunyi:

Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak dari padanya, dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita... (QS an-Nur [24]: 31)

Pendapat ini dianut juga oleh Qardhawi sebagaimana dicantumkan pada kumpulan fatwa kontemporernya.[15]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c d e f g h Prasetia, Heru. "Pakaian, Gaya, dan Identitas Perempuan Islam". Identitas Perempuan Indonesia: Status, Pergeseran Relasi Gender, dan Perjuangan Ekonomi Politik. Desantara Foundation. Depok. November 2010.
  2. ^ Kamus Bahasa Indonesia:Jilbab
  3. ^ "Hadits Shahih Al-Bukhari No. 143 - Kitab Wudlu". Hadits.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-07-19. Diakses tanggal 2021-07-22. 
  4. ^ "Sahih Muslim 2170d". Sunnah.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-07-20. Diakses tanggal 2021-07-22. 
  5. ^ "Sahih al-Bukhari 146". Sunnah.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-07-19. Diakses tanggal 2021-07-22. 
  6. ^ Susilo, Taufik Adi. Ensiklopedi Pengetahuan Dunia Abad 20. Javalitera, Yogyakarta. 2010
  7. ^ Türkiye’de başörtüsü yasağı: Nasıl başladı, nasıl çözüldü?
  8. ^ KAMU KURUM VE KURULUŞLARINDA ÇALIŞAN PERSONELİN KILIK VE KIYAFETİNE DAİR YÖNETMELİK
  9. ^ Arkeolog yang Menjadi Terdakwa Pelecehan Jilbab Dibebaskan Diarsipkan 2015-01-19 di Wayback Machine. rakyatmerdeka. diakses 19 Januari 2015
  10. ^ Nuraini Juliastuti. Politik Pakaian Muslim. KUNCI Cultural Studies
  11. ^ a b c Suciati, S.Pd., M.Ds. Gaya Busana Unisex. Makalah. Diakses 14 Mei 2011
  12. ^ Dikutip dari Kitab Jilbab Al-Marah Al-Muslimah fil Kitabi was Sunnah (Syaikh Al-Albany)
  13. ^ Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur'ân al'Azhîm, vol. 3 (Riyadh: Dar 'Alam al-Kutub, 1997), 637
  14. ^ "Said Hawa, al-Asâs fî Tafsîr, vol. 8 (tt: Dar as-Salam, 1999), 4481". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-03-11. Diakses tanggal 2006-09-13. 
  15. ^ Yusuf Qardhawi, Fatwa kontemporer: Apakah cadar itu bid'ah