Jamalul Alam dari Aceh
Sultan Jamalul Alam Badrul Munir (meninggal setelah 1736) adalah sultan kedua puluh dua di Kesultanan Aceh. Dia memerintah pada tahun 1703 dan digulingkan pada tahun 1726. Merupakan sultan ketiga dari Wangsa Syarif yang memerintah Aceh sejak tahun 1699.
Masa awal pemerintahan
[sunting | sunting sumber]Pada masa pemerintahan sultan sebelumnya dia telah dipersiapkan untuk menduduki takhta kesultanan. Dia bernama Aluddin merupakan putra mahkota dari Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin. Pada tahun 1702 Sultan Badrul Alam meninggal dunia tidak lama setelah digulingkan. Kematian sultan mewariskan takhta yang menjadi rebutan antara Alauddin dengan pamannya Perkasa Alam Syarif Lamtui. Namun dua bulan setelah pemerintahan Perkasa Alam Syarif Lamtui kedudukan Alauddin diakui menjadi sultan dengan gelar Sultan Jamalul Alam Badrul Munir. Masa-masa awal pemerintahannya dia digambarkan sebagai sultan yang mampu memerintah Aceh dengan baik. Rentang waktu pemerintahan dia merupakan periode paling lama bagi sultan Aceh dari wangsa Syarif. Menurut seorang Belanda yang melaporkan tentang keadaan masa pemerintahan dia mencatat bahwa ramai saudagar yang bermukim di Aceh. Sultan yang tidak mengambil hak pada bidang perdagangan tetapi mengambil 10% pajak dari nilai barang impor.[1]
Hubungannya dengan Eropa
[sunting | sunting sumber]Menurut laporan VOC yang mendominasi perdagangan di beberapa bagian pantai barat Sumatra, sultan merencanakan merebut kembali wilayah Aceh yang telah dikuasai Belanda. Dalam upaya tersebut pada tahun 1712, dia menyiapkan armada yang akan menundukkan daerah pesisir Padang. Pada tahun yang sama dia gagal membujuk Sultan Johor untuk membantu dia menyerang Belanda di Melaka.[2] Akibatnya rencana dia sama sekali tidak bisa dilaksakan. Aceh yang sejak terakhir kalinya pada masa Sultan Iskandar Muda telah kehilangan kemampuan tertinggi militernya. Untuk menjaga keamanan di Aceh sultan berusaha memperluas hubungan dagang dengan orang-orang Inggris yang memiliki berada di Madras India dan Bengkulu di Sumatra. Pada saat ini banyak pedagang Aceh mengunjungi pantai India. Tahun 1709 Jamalul Alam mengundang pedagang Inggris dari Madras untuk datang ke Aceh. Saran itu diterima dengan baik dan banyak kapal-kapal Inggris berlabuh di pelabuhan Aceh pada tahun-tahun berikutnya. Perdagangan Inggris di Aceh menurun dari tahun 1716 hingga 1730 ketika para pedagang China mulai menghindari Aceh dan lebih tertarik untuk berlabuh di Kepulauan Riau. Penurunan volume perdagangan ini membuat sultan terpaksa memperketat kontrol perdagangan di seluruh pelabuhan Aceh, hal ini mengubah situasi yang sekian lama relatif tenang menjadi kekacauan internal yang cukup serius.[3]
Tahun-tahun akhir
[sunting | sunting sumber]Pada tahun 1723-1724 Batubara memisahkan diri dari Aceh dengan melakukan pemberontakan beberapa tahun setelah kekacauan. Jamalul Alam akhirnya menyiapkan dan memimpin pasukan dari Aceh untuk menumpas pemberontakan orang-orang Batubara. Namun dia tidak pernah berhasil memadamkan pemberontakan itu. Menurut cerita yang berkembang bahwa para pemimpin Batubara pura-pura tunduk dan mengirim kelapa muda dicampur racun kepada sultan yang diminum oleh dia tanpa rasa curiga. Dia jatuh sakit dan segera menarik diri dari kampanye militer yang segera diikuti oleh armada nya. Para pemberontak lalu membentengi Batubara terhadap kemungkinan serangan lebih lanjut.[1] Dalam satu babad disebutkan bahwa popularitas sultan Jamalul Alam tenggelam sejak dia mendatangkan orang-orang Afrika untuk menjadi pengawalnya. Namun orang-orang Afrika ini digambarkan gemar melakukan kekacauan dan tidak disukai oleh orang-orang Aceh.[4]
Dua tahun setelah pembelotan Batubara sultan mengunjungi XXII Mukim, satu wilayah dari tiga wilayah sagi Aceh. Kedatangan dia dalam sebuah rencana yang dirahasiakan untuk menangkap serta memenjarakan Muda Setia (panglima XXII mukim) yang tidak disukai oleh sultan. Rencana rahasia itu terbongkar sebelum sultan menangkap Muda Setia yang akhirnya melarikan diri dan mengumpulkan pasukan besar guna menghadapi Jamalul Alam. Pertempuran pecah antara pasukan setia kepada sultan dengan orang-orang XXII mukim yang melindungi Muda Setia. Kekerasan bersenjata itu berakhir dengan kekalahan sultan dan dengan terpaksa dia mencari perlindungan ke sebuah benteng serta mendengarkan segala arahan dari para penasehatnya. Oleh Panglima Maharaja sultan disarankan untuk mengasingkan diri ke Pidie serta mempercayakan pertahanan benteng utama ibu kota ketangan seorang perwira Bugis Maharaja Lela hingga keadaan berhasil di atasi dan kekuasaan sultan dipulihkan. Sultan menjalankan saran Panglima Maharaja dan mengungsi ke Pidie pada bulan November tahun 1726.[5]
Peranan setelah turun tahta
[sunting | sunting sumber]Setelah beberapa kekacauan Panglima Maharaja mengambil alih kekuasaan sebagai Sultan Jauharul Alam Aminuddin Syah, namun pemerintahannya hanya berlangsung beberapa hari dan digantikan oleh Sultan Syamsul Alam. Kelakpada tahun 1727 Maharaja Lela dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Alauddin Ahmad Syah. Maharaja Lela yang masih menghormati Jauharul Alam pada masa akhir pemerintahannya mengundang dia bersama para panglima dari XXII mukim, XXV mukim dan XXVI mukim ke ibu kota guna membicarakan suksesi takhta kesultanan. Namun pertemuan itu gagal mempersatukan pendapat resmi tentang takhta sultan. Ketika Alauddin Ahmad Syah meninggal pada tahun 1735, para panglima XXII dan XXV mukim memilih Alauddin Johan Syah sebagai sultan sedangkan XXVI Mukim mendukung Jamalul Alam.[4] Sekali lagi kisruh internal istana ini meluas menjadi perseteruan bersenjata para pihak yang saling mengklaim kekuasaan. Sultan resmi Alauddin Johan Syah yang menuai banyak dukungan dari wilayah sagi mencoba untuk menghindari pertikaian perang sipil yang mungkin akan segera pecah di Aceh. Dalam kapasitas dia sebagai sultan dia memperingatkan saudara bungsunya Pocut Muhammad agar tidak menyerang Jamalul Alam yang juga menobatkan diri sebagai sultan tandingan yang memerintah dari benteng Gampong Jawa. Meskipun telah diingatkan agar tidak menyerang keturunan Nabi, Pocut Muhammad tetap mengibarkan bendera perang terhadap Jamalul Lail. Dengan dukungan sepenuhnya dari orang-orang Pidie Pocut Muhammad berhasil mengusir Jamalul Alam dari Gampong Jawa dan akhirnya meninggal di Gampong Kandang, Neusu.[6] Kisah ini dituliskan secara heroik dalam sebuah babad sejarah Hikayat Pocut Muhammad.[7]
Referensi
[sunting | sunting sumber]Pranala luar
[sunting | sunting sumber]- Coolhaas, W.P., ed. (1976) Generale missiven van Gouverneurs-Generaal en Raden aan Heren XVII der Verenigde Oostindische Compagnie, Deel VI: 1698-1713. 's-Gravenhage: M. Nijhoff.
- Djajadiningrat, Raden Hoesein (1911) 'Critische overzicht van de in Maleische werken vervatte gegevens over de geschiedenis van het soeltanaat van Atjeh', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 65, pp. 135–265.
- Drewes, G.W.J. (1979) Hikajat Potjut Muhamat: An Achehnese Epic. The Hague: M. Nijhoff.
- Lee Kam Hing (1995) The Sultanate of Aceh: Relations with the British, 1760-1824. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
- Taniputera, Ivan (2013) Kerajaan-kerajaan Nusantara pascakeruntuhan Majapahit. Jakarta: Gloria Group.
- publisher=acehbooks.org Hikayat Pocut Muhammad (acehbooks.org)
Didahului oleh: Perkasa Alam Syarif Lamtui |
Sultan Aceh 1703—1726 |
Diteruskan oleh: Sultan Jauharul Alam Aminuddin Syah |