Loram Kulon, Jati, Kudus: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
BP47Dhorifah (bicara | kontrib)
Tag: BP2014
BP47Dhorifah (bicara | kontrib)
Tag: BP2014
Baris 26: Baris 26:
* '''Tradisi Nganten Mubeng Gapuro/Kirab Nganten'''
* '''Tradisi Nganten Mubeng Gapuro/Kirab Nganten'''
Di Desa Loram Kulon, Kecamatan Jati, Kudus,hingga kini ada tradisi Nganten Mubeng di Masjid Wali. Tradisi ini mewajibkan para pengantin baru melewati pintu Barat dan Timur masjid yang berupa gapura klasik batu bata merah bercorak Hindu setelah prosesi ijab qobul. Pada masa itu, karena banyaknya yang menikah, untuk mempersingkat waktu maka Tjie Wie Gwan berpetuah pada para pengantin yang telah sah, mengelilingi gapura lalu akan di doakan dari depan Masjid dan disaksikan oleh warga setempat. Tradisi Nganten Mubeng tersebut merupakan upaya mengingatkan dan mendekatkan cikal bakal keluarga baru agar selalu dekat dengan Allah. Tradisi yang menjadi ciri khas umat Islam yang tinggal di sekitar [[Masjid]] Wali (Masjid at-Taqwa), tidak terlepas dari sejarah Masjid Wali atau At-Taqwa. Masjid yang terletak sekitar dua kilometer dari Jalan Raya Kudus-Semarang, didirikan pada 1596-1597 pada masa peralihan Hindu-Buddha ke Islam. Masjid ini dibangun Tjie Wie Gwan, seorang pengembara Muslim dari Campa, China, yang mendarat di Jepara semasa pemerintahan [[Ratu Kalinyamat]]. Waktu itu, Jepara masih di bawah Kerajaan Demak. Seiring berjalannya waktu, Wie Gwan yang menjadi orang kepercayaan Sultan Hadirin (suami Ratu Kalinyamat), dipercaya menyebarkan agama Islam di Kudus. Bersama Sultan Hadirin yang juga menantu Sunan Kudus, Wie Gwan membuat masjid dengan gapura menyerupai pura di Bali. Bangunan masjid yang terbuat dari kayu jati, dilengkapi menara, sumur tempat wudlu, dan beduk. Berkat jasanya tersebut, Ratu Kalinyamat menganugerahi Wie Gwan nama baru, Sungging Badar Duwung.
Di Desa Loram Kulon, Kecamatan Jati, Kudus,hingga kini ada tradisi Nganten Mubeng di Masjid Wali. Tradisi ini mewajibkan para pengantin baru melewati pintu Barat dan Timur masjid yang berupa gapura klasik batu bata merah bercorak Hindu setelah prosesi ijab qobul. Pada masa itu, karena banyaknya yang menikah, untuk mempersingkat waktu maka Tjie Wie Gwan berpetuah pada para pengantin yang telah sah, mengelilingi gapura lalu akan di doakan dari depan Masjid dan disaksikan oleh warga setempat. Tradisi Nganten Mubeng tersebut merupakan upaya mengingatkan dan mendekatkan cikal bakal keluarga baru agar selalu dekat dengan Allah. Tradisi yang menjadi ciri khas umat Islam yang tinggal di sekitar [[Masjid]] Wali (Masjid at-Taqwa), tidak terlepas dari sejarah Masjid Wali atau At-Taqwa. Masjid yang terletak sekitar dua kilometer dari Jalan Raya Kudus-Semarang, didirikan pada 1596-1597 pada masa peralihan Hindu-Buddha ke Islam. Masjid ini dibangun Tjie Wie Gwan, seorang pengembara Muslim dari Campa, China, yang mendarat di Jepara semasa pemerintahan [[Ratu Kalinyamat]]. Waktu itu, Jepara masih di bawah Kerajaan Demak. Seiring berjalannya waktu, Wie Gwan yang menjadi orang kepercayaan Sultan Hadirin (suami Ratu Kalinyamat), dipercaya menyebarkan agama Islam di Kudus. Bersama Sultan Hadirin yang juga menantu Sunan Kudus, Wie Gwan membuat masjid dengan gapura menyerupai pura di Bali. Bangunan masjid yang terbuat dari kayu jati, dilengkapi menara, sumur tempat wudlu, dan beduk. Berkat jasanya tersebut, Ratu Kalinyamat menganugerahi Wie Gwan nama baru, Sungging Badar Duwung.
* '''Tradisi Sedekah Nasi Kepal'''
* '''Tradisi Sedekah Nasi Kepel'''
Saat penyebaran agama islam, salah satu warga ada yang ingin bersedekah tetapi belum mengetahui caranya. Sehingga beliaupun berpesan kepada warga silahkan selamatan dengan nasi kepel 7 bungkus dan lauk bothok 7 bungkus. 7 ini maksudnya dalam basa jawa berarti pitu, yang mempunyai arti filsafat Pitulung (pertolongan), Pitutur (nasihat), Pituduh (petunjuk) dalam menjalani hidup di dunia. Diharapkan dengan nasi kepel dan bothok berjumlah 7 tersebut tidak memberatkan warga yang tidak mampu, tetapi ingin bersedekah.
Saat penyebaran agama islam, salah satu warga ada yang ingin bersedekah tetapi belum mengetahui caranya. Sehingga beliaupun berpesan kepada warga silahkan selamatan dengan nasi kepel 7 bungkus dan lauk bothok 7 bungkus. 7 ini maksudnya dalam basa jawa berarti pitu, yang mempunyai arti filsafat Pitulung (pertolongan), Pitutur (nasihat), Pituduh (petunjuk) dalam menjalani hidup di dunia. Diharapkan dengan nasi kepel dan bothok berjumlah 7 tersebut tidak memberatkan warga yang tidak mampu, tetapi ingin bersedekah.
* '''Tradisi Ampyang Maulid'''
* '''Tradisi Ampyang Maulid'''

Revisi per 15 Oktober 2014 14.25

Loram Kulon
Negara Indonesia
ProvinsiJawa Tengah
KabupatenKudus
KecamatanJati
Kode pos
59344
Kode Kemendagri33.19.03.2009
Luas194.410 Ha
Jumlah penduduk8970.orang

Loram Kulon adalah desa di kecamatan Jati, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Di desa ini terdapat peninggalan sejarah, seperti makam ulama, gapura peninggalan Walisongo, dan gentong antik sepanjang 4 meter.


Asal-usul

Dalam bahasa Jawa, nama Loram Kulon berarti "Loram Barat". Loram berasal nama pohon lo (sebangsa kluwing) yang hanya ada satu-satunya di desa ini.

Pendidikan

Event

Desa Loram Kulon memiliki beberapa acara tahunan, yaitu:

  • Tradisi Nganten Mubeng Gapuro/Kirab Nganten

Di Desa Loram Kulon, Kecamatan Jati, Kudus,hingga kini ada tradisi Nganten Mubeng di Masjid Wali. Tradisi ini mewajibkan para pengantin baru melewati pintu Barat dan Timur masjid yang berupa gapura klasik batu bata merah bercorak Hindu setelah prosesi ijab qobul. Pada masa itu, karena banyaknya yang menikah, untuk mempersingkat waktu maka Tjie Wie Gwan berpetuah pada para pengantin yang telah sah, mengelilingi gapura lalu akan di doakan dari depan Masjid dan disaksikan oleh warga setempat. Tradisi Nganten Mubeng tersebut merupakan upaya mengingatkan dan mendekatkan cikal bakal keluarga baru agar selalu dekat dengan Allah. Tradisi yang menjadi ciri khas umat Islam yang tinggal di sekitar Masjid Wali (Masjid at-Taqwa), tidak terlepas dari sejarah Masjid Wali atau At-Taqwa. Masjid yang terletak sekitar dua kilometer dari Jalan Raya Kudus-Semarang, didirikan pada 1596-1597 pada masa peralihan Hindu-Buddha ke Islam. Masjid ini dibangun Tjie Wie Gwan, seorang pengembara Muslim dari Campa, China, yang mendarat di Jepara semasa pemerintahan Ratu Kalinyamat. Waktu itu, Jepara masih di bawah Kerajaan Demak. Seiring berjalannya waktu, Wie Gwan yang menjadi orang kepercayaan Sultan Hadirin (suami Ratu Kalinyamat), dipercaya menyebarkan agama Islam di Kudus. Bersama Sultan Hadirin yang juga menantu Sunan Kudus, Wie Gwan membuat masjid dengan gapura menyerupai pura di Bali. Bangunan masjid yang terbuat dari kayu jati, dilengkapi menara, sumur tempat wudlu, dan beduk. Berkat jasanya tersebut, Ratu Kalinyamat menganugerahi Wie Gwan nama baru, Sungging Badar Duwung.

  • Tradisi Sedekah Nasi Kepel

Saat penyebaran agama islam, salah satu warga ada yang ingin bersedekah tetapi belum mengetahui caranya. Sehingga beliaupun berpesan kepada warga silahkan selamatan dengan nasi kepel 7 bungkus dan lauk bothok 7 bungkus. 7 ini maksudnya dalam basa jawa berarti pitu, yang mempunyai arti filsafat Pitulung (pertolongan), Pitutur (nasihat), Pituduh (petunjuk) dalam menjalani hidup di dunia. Diharapkan dengan nasi kepel dan bothok berjumlah 7 tersebut tidak memberatkan warga yang tidak mampu, tetapi ingin bersedekah.

  • Tradisi Ampyang Maulid

Ampyang maulid adalah perayaan yang dilaksanakan masyarakat loram kulon yang digunakan untuk memperingati maulid Nabi Muhammad SAW di masjid loram kulon yang bernuansa islami. Ampyang maulid menjadi salah satu budaya yang dilestarikan sampai sekarna dan diperingati setiap tanggal 12 robiul awal untuk memperoleh berkah. Tradisi Ampyang di desa Loram Kulon memiliki ciri khas dan keunikan yang telah ada sejak zaman Tjie Wie Gwan. Namun pada zaman penjajahan Belanda, dilanjutkan zaman penjajahan jepang tahun 1941-1945 tidak dapat dilaksanakan karena kondisi dan situasi politik yang berakibat krisis panjang mpada masa itu. Menjelang timbulnya gerakan partai komunis Indonesia(PKI) sampai masa akhir G 30 S PKI, tradisi ampyang ini sempat terhenti juga karena situasi politik. Dalam perkembangannya tahun 1995 M tradisi ampyang ini kembali dilaksanakan sebagai syiar agama islam.

  • Loram Expo

Loram Expo adalah ajang promosi produk kerajinan tangan dan produk rumah tangga dari Desa Loram Kulon.

Olahraga

Kepala Desa Loram Kulon bersama warga mengupayakan membentuk klub ssb bernama LOKUMOTIF FC (singkatan dari: Loram Kulon Moeda Inspiraif Football Club) untuk mengikuti Liga PSSI Pengcab Kudus, Supaya bisa mengharumkan nama Desa Loram Kulon.