Hubungan Palestina dengan Uni Eropa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Hubungan Palestina dengan Uni Eropa
Peta memperlihatkan lokasiUni Eropa and Palestina

Uni Eropa

Palestina

Hubungan Palestina dengan Uni Eropa (UE) berawal pada tahun 1975, dengan Palestina diwakili oleh Organisasi Pembebasan Palestina pada saat itu.[1] Hubungan ini tercipta setelah diadakannya Dialog Euro-Arab, menyusul krisis yang terjadi antara dunia Arab dan Israel, dimana Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) ikut serta dalam perundingan tersebut.[1] Uni Eropa sendiri adalah anggota dari Kuartet Timur Tengah (Empat negara dan institusi yang memediasi proses perdamaian Israel-Palestina).[2]

Pada tahun 2014, Swedia menjadi anggota Uni Eropa pertama yang mengakui Palestina.[3] Momen pengakuan Swedia atas Palestina memicu dorongan dari beberapa parlemen di negara-negara Uni Eropa lainnya seperti Republik Irlandia, Britania Raya, Prancis, Portugal, Spanyol, dan Italia untuk ikut mengakui Palestina sebagai negara dan juga mengikuti langkah kebijakan Swedia.[3] Sebelum Swedia, Malta dan Siprus juga telah mengakui Palestina sebelum bergabung dengan Uni Eropa, seperti halnya yang dilakukan sejumlah negara anggota Eropa Tengah ketika mereka bersekutu dengan Uni Soviet.[3] Terdapat sedikit kerancuan menegenai bagaimana status pengakuan mereka saat ini, karena beberapa dari negara-negara tersebut (khususnya Republik Ceko) telah menjadi salah satu sekutu terdekat Israel di Eropa.[3] Hingga tahun 2015, terdapat 9 dari 28 negara anggota Uni Eropa yang mengakui Palestina sebagai negara.[3] Menurut Anders Persson, Doktor dari Universitas Linnaeus, apabila merunut sejarah, tren pengakuan Palestina di Uni Eropa dapat meluas ke negara-negara lain diluar Uni Eropa, karena sejak Uni Eropa masih bernama Komunitas Eropa, sikap dan kebijakan Uni Eropa terhadap Palestina selalu berperan dalam kebijakan-kebijakan negara lain terkait Palestina.[3]

Uni Eropa merupakan pendonor bantuan asing terbesar bagi Palestina.[4][5] Antara tahun 2000 dan 2011, Uni Eropa menyumbangkan hampir 4 miliar untuk Palestina.[5] Uni Eropa menyumbang 50 persen dari total dana yang digunakan untuk pembangunan negara dan upaya reformasi yang dilakukan Perdana Menteri Palestina saat itu, Salam Fayyad.[5] Uni Eropa juga merupakan sumber utama bantuan kemanusiaan dan pembangunan, yang pada tahun 2012 menjadi €200 juta, atau dua kali lipat dibandingkan dengan tahun sebelumnya.[5]

Perwakilan[sunting | sunting sumber]

Uni Eropa memiliki kantor perwakilan untuk Otoritas Palestina di Ramallah.[6] Diberi nama Kantor Asistensi Teknis Uni Eropa untuk Tepi Barat dan Jalur Gaza, kantor ini berperan sebagai kantor penghubung untuk urusan Uni Eropa dengan Palestina, utamanya dalam isu bantuan, pembangunan, dan juga membantu Otoritas Palestina mengikuti perkembangan dari Proses Barcelona, sehingga suara mereka tetap terdengar dalam isu Eropa-Mediterania.[6] Staf kantor perwakilan Uni Eropa ini diisi oleh pejabat Komisi Eropa dari berbagai kebangsaan Eropa yang diutus dari Brussel, lalu staf Palestina setempat, serta tim ahli teknis, yang memberi saran kepada Komisi Eropa terkait identifikasi, perumusan dan implementasi dari proyek Uni Eropa di Palestina.[6] Utusan khusus Uni Eropa untuk Proses Perdamaian Timur Tengah adalah Fernando Gentilini.[7]

Sedangkan Palestina dalam hal ini PLO memiliki delegasi umum untuk Uni Eropa di Brussels,[8] yang awalnya didirikan sebagai kantor biro penghubung dan informasi pada bulan September 1976.[1] Representasi PLO lainnya juga didirikan di hampir setiap ibu kota Eropa, dan banyak yang telah diberikan status diplomatik penuh.[1] Di wilayah Eropa Barat, Spanyol adalah negara pertama yang memberikan status diplomatik kepada perwakilan PLO, diikuti kemudian oleh Portugal, Austria, Prancis, Italia dan Yunani.[9]

Posisi Uni Eropa terhadap Isu Ketegangan Palestina-Israel[sunting | sunting sumber]

Uni Eropa bersikeras bahwa pihaknya tidak akan mengakui perubahan apa pun terhadap wilayah Palestina dan israel selain perbatasan "Pra-1967" atau apabila terdapat perubahan yang mana disepakati oleh kedua belah pihak.[10] Uni Eropa menilai program pemukiman Israel yang dianggap menempati wilayah Palestina, pembangunan tembok pemisah, serta penghancuran rumah-rumah Palestina adalah penyebab ketegangan, dan penghambat bagi kedua belah pihak untuk menemukan solusi bersama, Uni Eropa juga menganggap program pemukiman Israel dan blokade ekonomi terhadap Gaza adalah tindakan yang ilegal menurut hukum internasional.[10] Pada tahun 2008, selama masa kepemimpinan Prancis di Dewan Uni Eropa, Uni Eropa berusaha untuk meningkatkan kerjasama dengan Amerika Serikat (AS) pada isu-isu Timur Tengah, antara lain dengan bersama-sama sepakat untuk memberikan tekanan politik terhadap Israel.[11] Uni Eropa juga mengkritisi tindakan militer Israel di wilayah Palestina dan Lebanon, menyebut aksi mereka dengan sebutan "tidak proporsional" dan menggunakan "kekuatan yang berlebihan".[10]

Kuartet Timur Tengah[sunting | sunting sumber]

Kuartet Timur Tengah, atau biasa disebut Kuartet saja, merupakan kumpulan empat negara dan institusi supranasional yang terlibat dalam memediasi proses perdamaian Israel-Palestina.[12] Tujuan dari Kuartet adalah untuk memediasi proses perdamaian Israel-Palestina dan juga membantu pembangunan ekonomi dan institusi di Palestina.[12] Uni Eropa merupakan salah satu anggota Kuartet bersama dengan PBB, Amerika Serikat, dan Rusia.[12] Kuartet didirikan di Madrid pada tahun 2002, dengan latar belakang meningkatnya konflik di Timur Tengah pada saat itu.[13] Saat ini Kepala Misi Kuartet adlah Kito de Boer, menggantikan Tony Blair pada 2015.[14] Uni Eropa merupakan salah satu institusi penyumbang dana terbesar untuk Kuartet, nomor dua dibawah Amerika Serikat. Sejak 2007 hingga 2016 Komisi Eropa menyumbang hingga $9.894.194 untuk operasional Kuartet.[15]

Posisi Terhadap Status Kenegaraan Palestina[sunting | sunting sumber]

Uni Eropa mendukung gagasan kenegaraan Palestina untuk pertama kalinya dalam Deklarasi Berlin 1999.[16] Sebelumnya, Uni Eropa dan pendahulunya, Komisi Eropa, sejak tahun 1973 melalui berbagai deklarasi melegitimasi hak-hak Palestina dalam bentuk pengakuan Palestina sebagai "rakyat", yang mempunyai kebutuhan untuk memiliki "tanah air" dan melaksanakan "hak untuk menentukan nasib mereka sendiri".[16]

Pada pidatonya di London bulan Juli 2009, kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Javier Solana memberikan tenggat waktu kepada PBB untuk segera mengakui negara Palestina, meskipun jika penyelesaian konflik antara kedua belah pihak belum tercapai: "Mediator harus mengatur jadwal waktu, apabila kedua belah pihak belum mencapai kesepakatan maka solusi yang diberikan oleh komunitas internasional harus dipertimbangkan. Setelah batas waktu yang ditetapkan, resolusi Dewan Keamanan PBB ... akan menerima negara Palestina sebagai anggota penuh PBB, dan menetapkan waktu untuk mengimplementasikannya.".[17]

Pada bulan Desember, Dewan Uni Eropa memberikan jumpa pers yang isinya mendukung serangkaian kesimpulan mengenai konflik Israel-Palestina yang pada akhirnya membentuk dasar kebijakan Uni Eropa saat ini.[18] Hal ini menegaskan kembali pentingnya solusi internasional untuk membagi wilayah tersebut kepada kedua negara, dan menekankan bahwa Uni Eropa tidak akan mengakui perubahan apa pun terhadap batas wilayah pra-1967 (termasuk yang berkaitan dengan Yerusalem) selain yang disepakati oleh kedua belah pihak. Uni Eropa juga menegaskan tidak pernah mengakui aneksasi Yerusalem Timur dan bahwa Negara Palestina harus memiliki ibu kotanya di Yerusalem.[18]

Setahun kemudian, pada bulan Desember 2010, Dewan Uni Eropa mengulangi kembali kesimpulan-kesimpulan diatas dan mengumumkan kesiapannya, bila perlu, untuk mengakui negara Palestina, tetapi tetap mendorong kembalinya kedua belah pihak ke meja negosiasi.[19]

Pada tahun 2011, pemerintah Palestina meminta dukungan Uni Eropa untuk mengakui kedaulatan Palestina dalam sidang PBB yang dijadwalkan pada 20 September.[20] Negara anggota Uni Eropa sendiri terpecah pendapatnya atas masalah ini. Beberapa, termasuk Spanyol, Prancis dan Inggris, menyatakan bahwa mereka dapat mengakui Palestina apabila perundingan tidak berjalan, sementara yang lain, termasuk Jerman dan Italia, menolak.[20] Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Catherine Ashton mengatakan bahwa posisi Uni Eropa akan bergantung pada kalimat yang dituliskan dalam proposal yang akan diberikan oleh Palestina pada sidang tersebut.[21]

Pada tahun 2014, Uni Eropa dan Amerika Serikat secara resmi mengkritik kebijakan pemukiman Israel di Yerusalem Timur, yang dianggap Palestina sebagai ibu kota resmi mereka, dan memperingatkan agar menghentikan pembangunan lebih lanjut pemukiman Israel di tanah yang sedang disengketakan kedua belah pihak tersebut.[22]

Bantuan Kepada Palestina[sunting | sunting sumber]

Surat kabar Palestina, Ma'an melaporkan pada tahun 2011, mengutip seorang pejabat senior di Kementerian Perencanaan Palestina, bahwa Otoritas Palestina telah menerima sekitar US$20 miliar dana donor sejak proses perdamaian dimulai, dan dari dana tersebut diperkirakan bahwa Uni Eropa (termasuk sumbangan perorangan oleh anggotanya) telah menyumbang €10 miliar kepada Palestina sejak proses perdamaian dimulai pada 1994.[16] Bantuan ekonomi kepada Otoritas Palestina dan rakyat Palestina merupakan program bantuan luar negeri per kapita tertinggi bagi Uni Eropa.[16]

Pada Januari 2018, Uni Eropa kembali mengumumkan bahwa pihaknya berjanji akan memberikan tambahan bantuan kepada Palestina senilai £37 juta pada tahun ini, setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump menyatakan akan menahan bantuan senilai $65 juta kepada Palestina, karena Amerika Serikat merasa tidak mendapatkan apresiasi dan hormat dari Palestina bahkan setelah diberikan bantuan.[23] Pihak Uni Eropa sendiri merasa bahwa kebijakan Amerika Serikat ini dapat membahayakan perundingan yang sedang berjalan, dan kembali menekankan pentingnya peran dunia internasional untuk memberikan asistensinya dalam mendamaikan dan memediasi kedua belah pihak.[23] Komisaris Uni Eropa untuk Kebijakan tetangga Eropa (ENP), mengatakan "dengan paket bantuan baru ini Uni Eropa akan terus mendukung warga Palestina dalam berjuang mendirikan negara mereka sendiri sebagai bagaian dari solusi dua-negara dengan Yerusalem sebagai ibu kota bagi Israel dan juga Palestina."[16]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d Allen, D; Pijpers, A (1984). European Foreign Policy-Making and the Arab-Israeli Conflict. Martinus Nijhoff Publishers. ISBN 978-90-247-2965-4. 
  2. ^ "About Us". Office of The Quartet. Diakses tanggal 27 Mei 2018. 
  3. ^ a b c d e f Persson, Anders (2015). "Sweden's Recognition of Palestine: A Possible Snowball Effect?". The Palestine-Israel Journal. 20 (2&3). 
  4. ^ "Too early to recognize Palestinian state: Bildt". The Local. 17 November 2009. Diakses tanggal 25 Mei 2018. 
  5. ^ a b c d Miller, Rory (15 April 2013). "Progress without Peace; Enhancing the EU's role in Science and Technology in the Palestinian Private Sector". Science & Diplomacy. Center for Science Diplomacy of the American Association for the Advancement of Science (AAAS). 
  6. ^ a b c Office of the European Union Representative West Bank and Gaza Strip. "The Role of the Office of the European Union Representative". European Union.
  7. ^ "COUNCIL DECISION (CFSP) 2016/597; of 18 April 2016; extending the mandate of the European Union Special Representative for the Middle East Peace Process (MEPP)". Official Journal of the European Union. THE COUNCIL OF THE EUROPEAN UNION. 18 April 2016. Diakses tanggal 25 Mei 2018. 
  8. ^ Permanent Observer Mission of Palestine to the United Nations. "Palestine Embassies, Missions, Delegations Abroad". Palestine Liberation Organisation. diakses tanggal 25 Mei 2018.
  9. ^ Katz, J.E. "The Palestine Liberation Organization (PLO)". Eretz Yisroel. diakses 25 Mei 2018
  10. ^ a b c McCarthy, Rory (1 Desember 2009). "East Jerusalem should be Palestinian capital, says EU draft paper". The Guardian. Diakses tanggal 25 Mei 2018. 
  11. ^ Hershco, Tsilla (19 Juli 2009). "France, the EU Presidency and Implications for the Middle East Conflict". The Israel Journal of Foreign Affairs. 3 (2): 63–73. 
  12. ^ a b c "About Us". Office of the Quartet. Diakses tanggal 16 Juni 2018. 
  13. ^ Lasensky, Scott. "Underwriting Peace in the Middle East: U.S. Foreign policy and the Limites of Economic Inducements", Middle East Review of International Affairs, Vol. 6, No. 1, Maret 2002. Diakses tanggal 16 Juni 2018.
  14. ^ "Welcome to the website of the Office of the Quartet". Office of the Quartet. 8 November 2015. Diakses tanggal 16 Juni 2018. 
  15. ^ "How we are funded and supported". Office of the Quartet. Diakses tanggal 16 Juni 2018. 
  16. ^ a b c d e Persson, Anders (2014). The EU and the Israeli-Palestinian Conflict 1971-2013: In Pursuit of a Just Peace. Lanham: Lexington Books. ISBN 978-0739192443. 
  17. ^ Woodward, Paul (14 Juli 2009). "EU calls for possible recognition of Palestinian state". The National. Diakses tanggal 25 Mei 2018. 
  18. ^ a b COUNCIL OF THE EUROPEAN UNION (8 Desember 2009). "PRESS RELEASE; 2985th Council meeting; Foreign affairs". European Commission. 
  19. ^ COUNCIL OF THE EUROPEAN UNION (13 Desember 2010). "PRESS RELEASE; 3058th Council meeting; Foreign Affairs". European Commission. Diakses tanggal 25 Mei 2018. 
  20. ^ a b "Palestinians see progress in EU stance on UN bid". Ma'an News Agency. 28 Agustus 2011. Diakses tanggal 25 Mei 2018. 
  21. ^ Bekker, Vita (24 Juni 2011). "EU casts doubt on chances of UN vote on Palestinian statehood". The National. Diakses tanggal 25 Mei 2018. 
  22. ^ "European Union Slams Israel on New Settlement Plan". Telesur. 4 Oktober 2014. Diakses tanggal 25 Mei 2018. 
  23. ^ a b Stone, Jon (31 Januari 2018). "EU pledges €42.5m extra aid to Palestinians after Donald Trump cuts US contribution". The Independent. Diakses tanggal 1 Juni 2018.