Hormatilah ayahmu dan ibumu

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

"Hormatilah ayahmu dan ibumu", atau "Hormatilah ibu bapamu", adalah salah satu dari Sepuluh Perintah Allah dalam Alkitab Ibrani dan Perjanjian Lama. Dalam sumber-sumber Protestan dan Yahudi, perintah ini umumnya dipandang sebagai perintah kelima baik dalam Kitab Keluaran 20:1–21 maupun dalam Ulangan (Devārīm) 5:1–23. Kalangan Katolik memandangnya sebagai perintah keempat.[1]

Perjanjian Baru[sunting | sunting sumber]

Rut menghormati Naomi, ibu mertuanya yang telah menjadi janda; lukisan karya Simeon Solomon, 1860.

Dalam Injil, Yesus menegaskan arti penting menghormati ayah dan ibu sendiri (Matius 15:1–9, Matius 19:17–19, Markus 10:17–19, Lukas 18:18–21). Rasul Paulus mengutip perintah ini dalam suratnya kepada jemaat di Efesus:

Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu--ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi.

— Efesus 6:1–2, lihat pula Kolose 3:20

Dalam suratnya kepada jemaat di Roma dan kepada Timotius, Rasul Paulus menjelaskan bahwa ketidaktaatan kepada orang tua adalah suatu dosa yang serius (Roma 1:29–31, 2 Timotius 3:2).

Perkataan Yesus dan ajaran Rasul Paulus mengindikasikan bahwa anak-anak yang telah beranjak dewasa tetap berkewajiban menghormati orang tua mereka dengan menyediakan kebutuhan jasmani. Dalam Injil, Yesus digambarkan menegur beberapa orang yang menghindari kewajiban untuk menyediakan kebutuhan materiil bagi orang tua mereka dengan mengklaim bahwa uangnya telah digunakan untuk "persembahan kepada Allah" (Matius 15:3–8, Markus 7:9–12; dalam perikop-perikop ini Yesus mengutip Yesaya 29:13). Menurut Injil Yohanes, ketika Yesus disalibkan, Ia meminta Rasul Yohanes untuk merawat ibu biologis-Nya dan ia menyanggupi permintaan-Nya.[2]

Menurut Injil Matius, kewajiban untuk menghormati orang tua sendiri dibatasi oleh kewajiban seseorang kepada Allah: "Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih daripada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku" (Matius 10:37). Batasan tersebut, dan keutamaan perintah itu, membuat para akademisi menyimpulkan bahwa menghormati orang tua sendiri tidak berarti seseorang dapat melanggar hukum Allah (dengan berbuat dosa) atas perintah orang tuanya.[3][4]

Nasihat Rasul Paulus kepada Timotius terkait perawatan fisik para janda mencakup hal berikut:

Tetapi jikalau seorang janda mempunyai anak atau cucu, hendaknya mereka itu pertama-tama belajar berbakti kepada kaum keluarganya sendiri dan membalas budi orang tua dan nenek mereka, karena itulah yang berkenan kepada Allah.

— 1 Timotius 5:4

Pandangan Ortodoks[sunting | sunting sumber]

Pastor Seraphim Stephens memandang "penghormatan" sebagai "cinta dan rasa hormat", serta menyatakan bahwa perintah ini diposisikan di antara perintah-perintah yang membahas kewajiban seseorang kepada Allah dengan perintah-perintah yang mengatur bagaimana seseorang harus memperlakukan sesamanya. "Hal ini jelas meletakkan dasar bagi hubungan kita dengan Allah dan dengan semua orang lain."[5] Richard D. Andrews menjelaskan bahwa, "Setiap kali kita melakukan sesuatu yang baik, adil, murni, dan saleh, kita membawa kehormatan bagi orang tua kita."[6]

Pandangan Katolik[sunting | sunting sumber]

Paus Benediktus XVI menyatakan bahwa Rabi Jacob Neusner "secara tepat memandang perintah ini sebagai penahan jantung tatanan sosial". Perintah keempat memperkuat hubungan antargenerasi, menjalin hubungan yang jelas antara tatanan keluarga dan stabilitas sosial, serta mengungkapkan bahwa keluarga "dikehendaki sekaligus dilindungi oleh Allah."[7] Katekismus Gereja Katolik (KGK) 2197 secara jelas menyatakannya kalau perintah untuk menghormati ayah dan ibu sendiri mengungkapkan "tata cinta kasih" yang dikehendaki oleh Allah – pertama-tama Allah, kemudian orang tua, lalu orang-orang lainnya.[8] KGK 2200 menyebutkan bahwa memelihara perintah untuk menghormati orang tua sendiri mendatangkan pahala atau ganjaran rohani maupun jasmani, sebaliknya, kegagalan untuk melakukannya mendatangkan kerugian pada individu itu sendiri serta masyarakat.[8]

Karena cinta tanpa syarat orang tua bagi anak-anak mereka mencerminkan kasih Allah, dan karena mereka memiliki suatu tugas untuk meneruskan iman kepada anak-anak mereka, KGK menyebut keluarga sebagai suatu "gereja domestik" ("gereja rumah tangga"), suatu "komunitas istimewa" dan "sel awal mula kehidupan sosial".[9]

KGK menjelaskan bahwa perintah keempat ini mensyaratkan kewajiban anak-anak kepada orang tua mereka yang meliputi: [8]

  1. Hormat kepada orang tua yang juga ditujukan kepada saudara saudari sekandung.
  2. Rasa terima kasih, sebagaimana diungkapkan dalam sebuah kutipan dari Kitab Sirakh: "Ingatlah bahwa engkau adalah anak mereka. Bagaimana gerangan engkau dapat membalas budi atas apa yang mereka perbuat bagimu?"[9][10]
  3. Ketaatan kepada orang tua selama sang anak tinggal di rumah "apabila itu adalah untuk kebaikannya atau kebaikan keluarga",[9] kecuali jika ketaatan mengharuskan sang anak untuk melakukan sesuatu yang salah secara moral.
  4. Dukungan yang mensyaratkan anak-anak yang telah dewasa untuk menawarkan dukungan moril dan materiil bagi orang tua mereka yang lanjut usia, terutama pada saat "sakit, kesepian, atau menderita".[8][9]

Menurut KGK, untuk memelihara perintah ini juga disyaratkan kewajiban orang tua kepada anak-anak mereka yang meliputi:

  1. "Pendidikan moral, pembentukan rohani dan pewartaan iman" bagi anak-anak mereka
  2. Menghormati anak-anak mereka sebagai anak-anak Allah dan pribadi-pribadi manusia.
  3. Disiplin yang tepat bagi anak-anak dan berhati-hati agar tidak membangkitkan amarah di dalam hati mereka.
  4. "Menghindari pemaksaan untuk memilih pasangan hidup ataupun pekerjaan tertentu", tanpa mengesampingkan orang tua dari pemberian "nasihat yang bijaksana".[11]
  5. "Menjadi contoh yang baik" bagi anak-anak mereka.
  6. "Mengakui kesalahan mereka sendiri" kepada anak-anak mereka agar lebih mudah membimbing dan memperbaiki kesalahan anak-anak tersebut.[8][11]

Perluasan oleh Yesus[sunting | sunting sumber]

Injil Matius mengisahkan bahwa ketika ibu-Nya dan saudara-saudara-Nya sedang menanti untuk bertemu dengan-Nya, Yesus menjawab, "Siapa ibu-Ku? Dan siapa saudara-saudara-Ku?" Ia kemudian menunjuk ke arah murid-murid-Nya dan berkata, "Ini ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku! Sebab siapapun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di sorga, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku."[12] Paus Benediktus XVI menyatakan bahwa pernyataan Yesus ini mengangkat perintah keempat ke suatu tingkatan yang baru dan lebih tinggi. Dengan melakukan kehendak Allah, setiap orang dapat menjadi bagian dari keluarga universal Yesus.[13] Dengan demikian, tanggung jawab yang tercakup dalam perintah keempat diperluas hingga masyarakat yang lebih besar dan mensyaratkan rasa hormat kepada "otoritas sosial yang sah". KGK menyebutkan "kewajiban dari warga negara dan bangsa", dirangkum oleh Peter Kreeft menjadi:

  1. "Ketaatan dan rasa hormat" kepada "semua orang yang demi kebaikan kita telah menerima otoritas dari Allah di dalam masyarakat".
  2. Kewajiban warga negara untuk "membayar pajak, melaksanakan hak pilih, dan membela negara".
  3. "Kewajiban untuk bersikap waspada dan kritis", yang mengharuskan warga negara untuk menyampaikan kritik atas hal-hal yang merugikan martabat manusia dan masyarakat.
  4. "Kewajiban untuk tidak mematuhi" peraturan dan otoritas sipil yang bertentangan dengan tatanan moral.
  5. "Mempraktikkan amal kasih", yang merupakan suatu "keharusan bagi setiap keluarga yang bekerja atau masyarakat"; hal ini merupakan "perintah sosial yang terbesar" dan mengharuskan manusia untuk mengasihi Allah dan sesamanya.
  6. "Menampung orang asing" yang membutuhkan keamanan dan penghidupan yang tidak mereka dapatkan di negara asalnya.
  7. "Kewajiban bagi negara-negara kaya untuk membantu negara-negara miskin", terutama pada saat adanya "kebutuhan yang mendesak".
  8. "Suatu harapan bagi keluarga-keluarga untuk membantu keluarga lainnya".[8][14]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ (Inggris) Article ‘’Ten Commandments,’’ New Bible Dictionary, Second Edition, Tyndale House, 1982 pp. 1174–1175
  2. ^ (Inggris) "Honor your father and mother", The Ethics and Religious Liberty Commission of the Southern Baptist Convention
  3. ^ (Inggris) Matthew Henry's Concise Commentary on Exodus 20:12–17 read online (accessed 31 August 2009)
  4. ^ (Inggris) NIV Study Bible. 1999. Zondervan. Note on Colossians 3:20 with reference to Acts 5:29
  5. ^ (Inggris) Stephens, Seraphim. "Honor thy Father and thy Mother", Orthodox America, 1996 Diarsipkan 2017-01-18 di Wayback Machine.
  6. ^ (Inggris) Andrews, Richard Demetrius. "Honor thy Father and Mother", Orthodoxy Today, June 2, 2007 Diarsipkan 2017-02-26 di Wayback Machine.
  7. ^ Benedict XVI, p. 113
  8. ^ a b c d e f (Inggris) "Paragraphs 2197–2257", Catechism of the Catholic Church, Second Edition, Libreria Editrice Vaticana, 2012 
  9. ^ a b c d Kreeft, p. 217–219
  10. ^ Sirakh 7:27–28
  11. ^ a b Kreeft, p. 220
  12. ^ Matius 12:46–50
  13. ^ Benedict XVI, p. 117
  14. ^ Kreeft, p. 222

Sumber kutipan[sunting | sunting sumber]

Bacaan tambahan[sunting | sunting sumber]

Pranala luar[sunting | sunting sumber]