Dispnea

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Dispnea
Informasi umum
Nama lainSesak napas
Pelafalan
  • Dyspnea: /dɪspˈniːə/;
SpesialisasiPulmonologi

Sesak napas atau dispnea (bahasa Inggris: dyspnea, shortness of breath) adalah kondisi kesehatan ketika seseorang mengalami kesulitan bernapas.[1] Dispnea terjadi karena tidak terpenuhinya pasokan oksigen ke paru-paru sehingga menyebabkan pernapasan seseorang menjadi lebih cepat, pendek, dan dangkal. Tingkat pernapasan normal untuk orang dewasa dan remaja berkisar antara 12-16 napas per menit.[2] Namun saat mengalami dispnea, pola dan frekuensi pernapasan akan berubah.[3]

Sesak napas bisa menjadi gejala masalah kesehatan yang sering kali terkait dengan penyakit jantung atau paru-paru. Tapi dispnea juga dapat dialami setelah melakukan latihan olahraga secara intens.[4]

Definisi[sunting | sunting sumber]

Organisasi nirlaba American Thoracic Society (ATS) mendefinisikan dispnea sebagai pengalaman subjektif dari ketidaknyamanan pernapasan, yang terdiri dari sensasi berbeda secara kualitatif dengan intensitas bervariasi. Dispnea dapat disebabkan karena penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), asma, penyakit paru interstitial, gangguan neuromuskuler, kanker paru-paru, dan penyakit jantung koroner.[5]

Menurut dokter spesialis anak RSIA Catherine Booth dr.Irvan Auwriadharma, dispena atau sesak nafas merupakan kondisi di mana seseorang susah bernapas. Kondisi tersebut biasanya terjadi ketika seseorang sedang melakukan aktivitas fisik. Sesak napas dapat terjadi baik pada orang dewasa, remaja, maupun anak-anak dan bayi sekalipun.[6]

Dispnea tidak boleh disamakan dengan pernapasan cepat (takipnea), pernapasan berlebihan (hiperpnea), atau hiperventilasi. Dispnea paling sering digambarkan sebagai sesak napas, ketidakmampuan untuk menarik napas dalam-dalam, atau dada sesak.[7]

Definisi lain[sunting | sunting sumber]

Definisi lain dari dispnea atau sesak napas, di antaranya yaitu:

  • Dispnea yaitu kesulitan dalam bernapas, yang berkaitan dengan paru-paru atau penyakit jantung dan dapat menyebabkan sesak napas. Dispena juga disebut dengan istilah kelaparan udara (air hunger).[8]
  • Dispnea adalah pernapasan seseorang yang tidak teratur atau tidak memadai.[9]
  • Dispnea didefinisikan sebagai pengalaman sesak napas, baik akut ataupun kronis.[10]

Diagnosis[sunting | sunting sumber]

Sebelum memberikan diagnosis, Dokter akan memeriksa dan mendengarkan paru-paru pasien. Selanjutnya, pasien akan menjalani tes fungsi paru-paru, yang disebut spirometri, untuk mengukur berapa banyak udara yang dapat dihirup dan dihembuskan dari paru-paru dan seberapa cepat aktifitas itu dilakukan oleh paru-paru. Tes tersebut dapat membantu mendiagnosis asma dan COPD (Chronic obstructive pulmonary disease) atau penyakit paru obstruktif kronis.[11]

Tes lain yang mungkin akan Dokter lakukan:[11]

  • Oksimetri denyut. Dokter menjepit alat ke jari atau daun telinga pasien untuk mengukur berapa banyak oksigen dalam darah.
  • Tes darah. Untuk menunjukkan apakah pasien menderita anemia atau infeksi dan dapat memeriksa bekuan darah atau cairan di paru-paru pasien.
  • Rontgen dada atau CT scan. Untuk mengetahui apakah pasien menderita pneumonia, pembekuan darah di paru-paru, atau penyakit paru-paru lainnya. CT scan mengumpulkan beberapa sinar-X yang diambil dari berbagai sudut untuk membuat gambaran yang lengkap.
  • Elektrokardiogram (EKG). Mengukur sinyal listrik dari jantung pasien untuk melihat apakah pasien mengalami serangan jantung dan mengetahui seberapa cepat jantung pasien berdetak dan apakah memiliki ritme yang sehat.

Diagnosis yang ditandai dengan gejala dispnea antara lain:

Sindrom koroner akut[sunting | sunting sumber]

Penyumbatan arteri koroner

Sindrom koroner akut atau acute coronary syndrome (ACS) merupakan suatu masalah kardiovaskular[12] yang terjadi karena aliran darah menuju jantung berkurang secara drastis atau tiba-tiba.[13] Sindrom koroner akut dapat disebabkan karena dispnea (sesak napas), sakit kepala atau pusing, gelisah, dan denyut jantung tidak teratur.[14]

COVID-19[sunting | sunting sumber]

Penyakit koronavirus 2019 (bahasa Inggris: coronavirus disease 2019, disingkat COVID-19) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh SARS-CoV-2, salah satu jenis koronavirus. Penyakit tersebut dapat menyebabkan penyakit infeksi saluran pernapasan, mulai flu biasa hingga penyakit yang serius seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS). Gejala umum yang dialami oleh penderita COVID-19 yaitu demam, batuk kering dengan disertai kesulitan bernapas (dispnea).[15] Selain itu, ada juga gejala lain seperti nyeri otot, batuk ringan, dan timbul rasa lelah pada tubuh.[16]

Dari sebuah penelitian yang telah dilakukan,[17] gejala yang paling sering dilaporkan pada pasien yang menderita Covid-19 antara lain batuk (61,0%), demam (53,0%), malaise (32,4%) dan dispnea (30,2%), sedangkan pneumonia terjadi pada 41,1% pasien. Proporsi pasien dengan pneumonia dan gejala tersebut di atas, secara signifikan lebih tinggi dialami oleh pasien yang meninggal akibat covid-19. Dalam penelitian juga dibuktikan bahwa di antara kasus COVID-19 yang dikonfirmasi di laboratorium di Jakarta, kemungkinan kematian lebih besar jika pasien lebih tua, menderita dispnea, pneumonia, dan hipertensi yang sudah ada sebelumnya.

Dispnea, pengalaman subjektif dari ketidaknyamanan pernapasan, telah dilaporkan memengaruhi kurang dari 50% pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2 dan lebih sering terjadi pada pasien yang akan meninggal dibandingkan dengan mereka yang akan pulih. Dispnea sangat terkait dengan prognosis yang buruk pada populasi umum, pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik, dan juga pada pasien yang selamat dari gagal napas hiperkapnik akut.[18]

Mengalami sesak napas yang berat merupakan salah satu gejala yang umum terjadi pada ⅖ pasien bangsal dan ⅔ pasien ICU. Studi di Perancis menyimpulkan bahwa pasien yang dirawat inap saat infeksi akut COVID-19 umumnya memiliki gejala yang menetap, termasuk dispnea yang mencapai 42%.[19]

Asma[sunting | sunting sumber]

Asma merupakan penyakit pada saluran pernapasan yang ditandai dengan penyempitan saluran napas sehingga penderita mengalami kesulitan bernapas, mengi, dan dada terasa sesak.[20] Dispnea adalah salah satu gejala utama yang dilaporkan oleh pasien asma, seperti batuk, mengi, dan sensasi sesak di dada. Pada individu penderita asma, ada bukti kuat bahwa persepsi dispnea dikaitkan dengan peningkatan upaya pernapasan yang dihasilkan oleh peningkatan resistensi saluran napas.[21]

Menghindari aktivitas fisik disarankan untuk penderita asma karena bisa dengan mudah mengalami sesak napas (yaitu, dispnea) yang dirasakan selama aktivitas.[22]

Tanda-tanda dan gejala[sunting | sunting sumber]

Pasien dispnea sering bernapas dengan cepat dan dangkal. Otot aksesori pernapasan dapat digunakan, dan retraksi supraklavikula dan interkostal dapat dilihat. Pemeriksaan jantung, paru, dan neuromuskuler harus mendapat perhatian khusus pada pasien dengan dispnea.[7] Tanda-tanda dan gejala yang akan dialami seseorang ketika mengalami dispnea atau sesak napas, di antaranya:

  • Mengi
  • Nyeri dada
  • Kulit pucat
  • Napas berbunyi
  • Kulit dingin dan lembap
  • Kesulitan dalam mengatur napas
  • Kecemasan atau perasaan panik [23]
  • Takipnea, yaitu kondisi ketika laju pernapasan seseorang lebih cepat dan pendek dari kondisi normal [24]

Jenis dan penyebab dispnea[sunting | sunting sumber]

Menurut dokter Steven A. Wahls dari Rush Medical College di Chicago, penyebab paling umum terjadinya dispnea yaitu disebabkan oleh asma, gagal jantung, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK),[25] penyakit paru interstitial,[26] pneumonia, tumor atau kondisi lain yang berhubungan dengan kanker,[27] dan masalah psikogenik yang biasanya terkait dengan kecemasan.[28] Dispnea dapat terjadi secara mendadak jika ada makanan atau benda lain yang menghalangi jalan napas. Cedera yang merusak paru-paru atau menyebabkan kehilangan darah dengan cepat juga akan membuat lebih sulit bernapas.[4] Jika sesak napas tidak terjadi secara tiba-tiba melainkan tetapi dialami selama kurang lebih empat minggu, sesak napas ini dianggap kronis. Dispnea atau sesak napas dibagi menjadi dua jenis, yaitu dispnea akut dan dispena kronis.[6]

Dispnea akut[sunting | sunting sumber]

Dispena akut merupakan sesak napas yang berlangsung kurang dari satu bulan.[6] Penyebab terjadinya dispnea akut di antaranya sebagai berikut:[28]

Dispnea kronis[sunting | sunting sumber]

Dispnea kronis merupakan sesak napas yang berlangsung lebih dari satu bulan.[6] Penyebab terjadinya dispnea kronis di antaranya sebagai berikut:[28]

Selain penyebab diatas, berikut terdapat beberapa kondisi tambahan yang menyerang paru-paru dan dapat menyebabkan sesak napas:[30]

Dispnea dapat dikaitkan dengan hipoksia atau hipoksemia, yang merupakan kadar oksigen darah yang rendah. Hal ini dapat menyebabkan penurunan tingkat kesadaran dan gejala parah lainnya. Jika dispnea kronis berlanjut selama beberapa waktu, dapat terjadi risiko gangguan kognitif sementara atau permanen. Hal Ini juga bisa menjadi tanda timbulnya atau memburuknya masalah medis lainnya.[30]

Pengobatan dan pencegahan[sunting | sunting sumber]

Pengobatan[sunting | sunting sumber]

Pengobatan dan penanganan untuk penderita dispnea berbeda-beda, tergantung pada penyebabnya. Di antaranya sebagai berikut:

  • Menggunakan obat untuk menghilangkan kecemasan, sehingga dapat membantu menghilangkan panik ketika mengalami dispnea. Selain itu, juga dapat menggunakan obat pereda nyeri untuk mempermudah pernapasan.[31]
  • Apabila penderita dispnea disebabkan oleh efusi pleura, maka disarankan diobati dengan menggunakan metode pengobatan thoracentesis, chest tube, pleural drain, dan lainnya.[32]
  • Apabila dispnea terjadi karena dipicu oleh asma atau PPOK, maka dapat menggunakan obat-obatan seperti bronkodilator dan steroid. Penggunaan steroid dapat membantu mengurangi edema paru-paru.[33][31]
  • Apabila dispnea berkaitan dengan infeksi seperti pneumonia bakterial, maka disarankan diobati dengan menggunakan antibiotik.[34]
  • Melakukan terapi oksigen hiperbarik bagi penderita hipoksia.[35]

Rekomendasi terapi pelengkap untuk mengelola dispnea tanpa obat, seperti:[27]

  • Teknik pernapasan
  • Teknik relaksasi
  • Strategi gangguan
  • Teknik postur tubuh
  • Terapi fisik
  • Akupresur, yaitu ketika tekanan fisik diterapkan ke titik-titik akupunktur
  • Pijat refleksi, yang menerapkan tekanan pada kaki, tangan, dan telinga

Pencegahan[sunting | sunting sumber]

Beberapa tindakan pencegahan yang dapat dilakukan ketika mengalami dispnea, di antaranya yaitu:

  1. Hindari merokok.
  2. Menghindari atau menjauhi paparan polusi udara.
  3. Menurunkan berat badan dan rutin berolahraga.[1]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b "Sesak Napas (Dispnea): Penyebab dan Cara Mengatasi". Hello Sehat. 2020-07-24. Diakses tanggal 2021-02-26. 
  2. ^ "Normal Breathing Rate for a Teenager". LIVESTRONG.COM (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-02-27. 
  3. ^ "Macam-Macam Penyebab Dyspnea dan Cara Meredakannya". Alodokter. 2019-08-16. Diakses tanggal 2021-02-27. 
  4. ^ a b Roland, James (2019). "Dyspnea". Healthline. Diakses tanggal 18 Maret 2021. 
  5. ^ Rose, Verna L. (1999-06-01). "American Thoracic Society Issues Consensus Statement on Dyspnea". American Family Physician. 59 (11): 3259. ISSN 0002-838X. 
  6. ^ a b c d Hasniati, Hasniati; Arianti, Arianti; Philip, William (2018-06-10). "Penerapan Metode Bayesian Network Model Untuk Menghitung Probabilitas Penyakit Sesak Nafas Bayi". Jurnal Rekayasa Teknologi Informasi (JURTI) (dalam bahasa Inggris). 2 (1): 64–65. doi:10.30872/jurti.v2i1.1415. ISSN 2580-667X. 
  7. ^ a b Bass, Jr John B. (1990). Clinical Methods: The History, Physical, and Laboratory Examinations. 3rd edition. Boston. 
  8. ^ "dyspnea". The Free Dictionary. 
  9. ^ "UpToDate". www.uptodate.com. Diakses tanggal 2021-02-28. 
  10. ^ "dyspnea - General Practice Notebook". web.archive.org. 2011-06-13. Archived from the original on 2011-06-13. Diakses tanggal 2021-02-28. 
  11. ^ a b "Dyspnea (Shortness of Breath): Symptoms,causes, and treatment". WebMD. 2020. Diakses tanggal 18 Maret 2021. 
  12. ^ "WHO | Catastrophic health expenditure on acute coronary events in Asia: a prospective study". WHO. Diakses tanggal 2021-03-06. 
  13. ^ Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut (PDF). Centra Communications. 2015. hlm. 1. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-01-18. Diakses tanggal 2021-03-05. 
  14. ^ "Sindrom Koroner Akut: Kenali Gejala, Penyebab, dan Penanganannya". Alodokter. 2017-08-29. Diakses tanggal 2021-03-05. 
  15. ^ "Kementerian Kesehatan Republik Indonesia". www.kemkes.go.id. Diakses tanggal 2021-03-06. 
  16. ^ "QA for public". www.who.int (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-03-06. 
  17. ^ Rozaliyani, Anna (2020). "Factors Associated with Death in COVID-19 Patients in Jakarta, Indonesia: An Epidemiological Study". Acta Medica Indonesiana: The Indonesian Journal of Internal Medicine. 52 (3): 246–254. 
  18. ^ Allali, Gilles; Marti, Christophe (2020). "Dyspnea: The vanished warning symptom of COVID‐19 pneumonia". Medical Virology. 92 (11): 2272–2273. 
  19. ^ Utami, Jocelyn Prima (2021). "Efek Jangka Panjang Dari COVID-19". Alomedika. Diakses tanggal 24 Maret 2021. 
  20. ^ "Asthma". www.who.int (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-03-06. 
  21. ^ Parente, Ana Alice (2011). "Perception of dyspnea in childhood asthma crisis by the patients and those in charge of them". Jornal de Pediatria. 87 (6). 
  22. ^ Moore, Linn E. (2018). "Exertional dyspnea and operating lung volumes in asthma". Journal of Applied Physiology. Vol. 125 (3). 
  23. ^ "Signs and symptoms of breathlessness | Coping physically | Cancer Research UK". www.cancerresearchuk.org. Diakses tanggal 2021-02-27. 
  24. ^ "What Causes Rapid, Shallow Breathing?". Healthline (dalam bahasa Inggris). 2012-07-17. Diakses tanggal 2021-02-27. 
  25. ^ "COPD - Symptoms and causes". Mayo Clinic (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-02-26. 
  26. ^ "Interstitial Lung Disease". www.lung.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-02-26. 
  27. ^ a b "Shortness of Breath or Dyspnea". Cancer.net. 2019. Diakses tanggal 18 maret 2021. 
  28. ^ a b c "Dyspnea: Causes, diagnosis, and treatment". www.medicalnewstoday.com (dalam bahasa Inggris). 2018-07-23. Diakses tanggal 2021-02-26. 
  29. ^ "Causes". stanfordhealthcare.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-02-26. 
  30. ^ a b Dresden, Danielle (2018). "What is dyspnea?". Medical News Today (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 18 Maret 2021. 
  31. ^ a b "Lung Cancer: Managing Shortness of Breath - Health Encyclopedia - University of Rochester Medical Center". www.urmc.rochester.edu. Diakses tanggal 2021-03-05. 
  32. ^ "Efusi Pleura". Alodokter. 2020-05-09. Diakses tanggal 2021-02-28. 
  33. ^ "Bronchodilators". nhs.uk (dalam bahasa Inggris). 2017-10-20. Diakses tanggal 2021-03-05. 
  34. ^ Aliyah, Muta (2020). "Pola penggunaan obat bronkodilator pada pasien penyakit paru obstruktif kronik di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Sidoarjo". Widya Mandala Catholic University Surabaya Repository. hlm. 3-4. Diakses tanggal 5 Maret 2021. 
  35. ^ "How does hyperbaric oxygen therapy work?". University of Iowa Hospitals & Clinics (dalam bahasa Inggris). 2017-09-14. Diakses tanggal 2021-03-05.