Dampak pandemi COVID-19 terhadap penyandang disabilitas

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Pandemi COVID-19 membawa pengaruh yang signifikan terhadap para penyandang disabilitas. Mereka memiliki tingkat risiko kematian yang lebih besar. Di antara yang paling terdampak adalah penyandang disabilitas intelektual, mereka yang tinggal di fasilitas perawatan, dan perempuan dengan disabilitas. Pandemi COVID-19 berisiko meningkatkan morbiditas dan mortalitas penyandang disabilitas karena keterbatasan layanan perawatan yang tersedia.[1] Jumlah penyandang kecacatan juga diperkirakan mengalami peningkatan akibat pandemi.[2] Penyandang disabilitas yang terdiri atas penyandang cacat fisik, mental, intelektual, atau sensorik, secara umum menghadapi kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan, memiliki kebutuhan kesehatan yang lebih besar, menghadapi risiko keparahan yang lebih tinggi, dan berhadapan dengan peraturan dan stigma yang diskriminatif.[3] Pandemi COVID-19 turut memperparah kondisi kesenjangan ini.

Penyandang disabilitas juga rentan menjadi korban kekerasan domestik dan pelecehan.[4] Mereka lebih berisiko kehilangan pekerjaan dan menghadapi kesulitan menemukan moda transportasi untuk menjangkau tempat kerjanya di masa pandemi. Penyandang disabilitas anak terganggu kegiatan belajarnya.[5] Anak-anak dengan disabilitas menghadapi banyak kesulitan ketika belajar secara daring, misalnya kesulitan mendapatkan terapi fisik dan okupasi serta akses ke teknologi bantu.[6]

Di masa pandemi COVID-19, risiko penyandang cacat untuk sakit atau meninggal empat kali lebih besar daripada non disabilitas. Bukan hanya karena faktor kecacatannya, tetapi juga akibat kebijakan, perencanaan, dan praktik kesehatan yang masih mengabaikan kebutuhan mereka.[7]

Risiko penyakit[sunting | sunting sumber]

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan penyandang disabilitas lebih berisiko tertular COVID-19. Tindakan pencegahan sulit diterapkan pada kelompok ini. Pemberlakuan jarak sosial, misalnya, sulit dilakukan karena mereka membutuhkan orang lain sebagai pendukung.[2] Tantangan yang lain adalah akses terhadap informasi terkait pandemi, risiko perburukan karena kondisi disabilitas yang telah ada, dan gangguan pada layanan pendukung dan perawatan selama pandemi. Informasi terkait pencegahan penyakit juga belum semuanya tersedia dalam format yang sesuai dengan kebutuhan mereka.[2]

Penyandang disabilitas umumnya juga terkonsentrasi di pusat perawatan yang rentan penularan, seperti panti jompo atau fasilitas perawatan lainnya.[8] Kematian karena COVID-19 di fasilitas perawatan mencapai antara 19% sampai 72%. Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan sekitar 46% individu berusia 60 tahun atau lebih di seluruh dunia merupakan penyandang disabilitas. Sebanyak 80% berada di negara berkembang yang memiliki keterbatasan layanan kesehatan.[9]

Dampak pandemi[sunting | sunting sumber]

Sosial[sunting | sunting sumber]

Hasil studi selama pandemi menyatakan bahwa penyandang disabilitas lebih rentan mengalami tekanan sosial dan psikologis.[10] Mereka cenderung merasakan kesepian dan isolasi yang kemudian bisa memicu masalah kesehatan lainnya.[11] Para penyandang disabilitas intelektual dan perkembangan setidaknya menghadapi tiga kondisi sulit, yaitu kehilangan kontak sosial dan kedekatan dengan orang lain, tinggal di rumah dalam jangka waktu lama sehingga kehidupan sehari-hari mereka berubah, dan kesulitan memahami tindakan pencegahan.[12] Pada penyandang disabilitas fisik, pandemi berdampak pada perubahan pola kehidupan sehari-hari, termasuk menurunnya akses terhadap perawatan kesehatan. Pergeseran kebiasaan sosial dan gaya hidup, perubahan suasana hati, dan penurunan tingkat aktivitas fisik juga dilaporkan lazim terjadi.[13] Kekhawatiran terhadap penularan virus dan tentang bagaimana penyandang disabilitas anak dapat bertahan tanpa program rehabilitasi menjadi beban pikiran tersendiri bagi pengasuh (orangtua dan anggota keluarga yang lain). Akibatnya, pengasuh lebih rentan terhadap stres, depresi, dan kecemasan.[14]

Risiko paparan terhadap kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan seksual juga cenderung lebih tinggi pada perempuan penyandang disabilitas dan perempuan yang merawat penyandang disabilitas. Mereka juga kesulitan menjangkau layanan kesehatan reproduksi dan mengalami kerugian sosial ekonomi yang terkait pandemi.[15]

Pekerjaan[sunting | sunting sumber]

Penelitian di Inggris menemukan bahwa selama tiga bulan pertama pandemi, partisipan penyandang disabilitas telah mengalami pemotongan jam kerja dan tekanan keuangan lebih besar daripada rekan kerjanya.[16] PBB juga menyatakan penyandang disabilitas lebih rentan kehilangan pekerjaan saat pandemi dan menghadapi lebih banyak kesulitan saat ingin kembali bekerja di masa pemulihan. Individu yang mengembangkan gejala COVID jangka panjang (long COVID), seperti kelelahan kronis, juga mungkin mengalami kesulitan saat kembali bekerja.[17]

Pendidikan[sunting | sunting sumber]

Seiring dengan penutupan sekolah mulai April 2020 di hampir 190 negara di dunia, 1.5 milyar siswa menjalani pembelajaran jarak jauh, termasuk juga para penyandang disabilitas.[18] Siswa dengan disabilitas memiliki tantangan yang lebih banyak. Tidak hanya ketersediaan akses internet dan sumber belajar, mereka juga memerlukan akses ke alat bantu khusus dan kurikulum pendidikan jarak jauh yang ramah penyandang disabilitas.[18] Selama bersekolah secara normal, mereka mungkin memperoleh akses ke alat bantu yang dimiliki sekolah, tetapi saat belajar jarak jauh mereka tidak mendapatkan itu. Meski kecacatan dapat terjadi di semua lapisan sosial, penelitian di Amerika Serikat menyebutkan bahwa anak-anak penyandang disabilitas lebih banyak ditemukan di keluarga miskin. Keluarga yang memiliki anggota keluarga cacat juga harus mengalokasikan anggaran lebih untuk perawatan dan terapi khusus.[5] Hal ini tentu akan memengaruhi kemampuan orangtua siswa untuk menyediakan alat bantu selama pembelajaran dari rumah.

Rekomendasi[sunting | sunting sumber]

Di masa pandemi, komunitas penyandang disabilitas memerlukan dua jenis kebijakan, yaitu kebijakan arus utama yang lebih inklusif dan kebijakan pengendalian penularan yang dirancang khusus dengan memperhitungkan kebutuhan spesifik mereka.[19] Rekomendasi yang diberikan oleh sejumlah ahli kesehatan mencakup: pelibatan penyandang disabilitas dalam pengambilan keputusan, penyediaan akses informasi dan komunikasi yang inklusif, dan ketersediaan pedoman khusus bagi penyandang kecacatan.[20] Sejumlah peneliti juga merekomendasikan program perlindungan sosial untuk penyandang disabilitas dan keluarganya. Idealnya, jumlah nominal jaminan sosial yang diberikan mempertimbangkan dampak pandemi terhadap keluarga termiskin dan biaya perawatan tambahan yang diperlukan oleh penyandang disabilitas.[21]

Daftar referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Kuper, Hannah; Heydt, Phyllis (2019). The missing billion: access to health services for 1 billion people with disabilities. London: London School of Hygiene and Tropical Medicine. hlm. 1–28. 
  2. ^ a b c Kuper, Hannah; Banks, Lena Morgon; Bright, Tess; Davey, Calum; Shakespeare, Tom (2020-04-28). "Disability-inclusive COVID-19 response: What it is, why it is important and what we can learn from the United Kingdom's response". Wellcome Open Research. 5. doi:10.12688/wellcomeopenres.15833.1. ISSN 2398-502X. PMC 7236579alt=Dapat diakses gratis. PMID 32500099. 
  3. ^ "Preventing discrimination against people with disabilities in COVID-19 response". UN News (dalam bahasa Inggris). 2020-03-19. Diakses tanggal 2021-03-22. 
  4. ^ Courtenay, K.; Perera, B. (2020/09). "COVID-19 and people with intellectual disability: impacts of a pandemic". Irish Journal of Psychological Medicine (dalam bahasa Inggris). 37 (3): 231–236. doi:10.1017/ipm.2020.45. ISSN 0790-9667. 
  5. ^ a b Blagg, Kristin; Blom, Erica; Gallagher, Megan; Rainer, Macy (2020/04/00). Mapping Student Needs during COVID-19: An Assessment of Remote Learning Environments (dalam bahasa Inggris). Urban Institute. 
  6. ^ Azevedo, João Pedro; Hasan, Amer; Goldemberg, Diana; Geven, Koen; Iqbal, Syedah Aroob (2021). "Simulating the Potential Impacts of COVID-19 School Closures on Schooling and Learning Outcomes: A Set of Global Estimates". The World Bank Research Observer: 1–59. doi:https://doi-org.wikipedialibrary.idm.oclc.org/10.1093/wbro/lkab003 Periksa nilai |doi= (bantuan). 
  7. ^ Pineda, Victor Santiago; Corburn, Jason (2020-06-01). "Disability, Urban Health Equity, and the Coronavirus Pandemic: Promoting Cities for All". Journal of Urban Health (dalam bahasa Inggris). 97 (3): 336–341. doi:10.1007/s11524-020-00437-7. ISSN 1468-2869. PMC 7179953alt=Dapat diakses gratis. PMID 32328866. 
  8. ^ "Disability considerations during the COVID-19 outbreak". www.who.int (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-10-08. 
  9. ^ Policy Brief: A Disability-Inclusive Response to COVID-19 (PDF). United Nations. 2020. 
  10. ^ "How COVID-19 impacts people with disabilities". American Psychological Association. 2020-05-06. Diakses tanggal 2020-10-08. 
  11. ^ Naomi Thomas. "Covid-19 has disproportionately impacted those with developmental disabilities". CNN. Diakses tanggal 2020-10-08. 
  12. ^ Embregts, Petri J. C. M.; Bogaard, Kim J. H. M. van den; Frielink, Noud; Voermans, Moniek A. C.; Thalen, Marloes; Jahoda, Andrew (2020-10-05). "A thematic analysis into the experiences of people with a mild intellectual disability during the COVID-19 lockdown period". International Journal of Developmental Disabilities. 0 (0): 1–5. doi:10.1080/20473869.2020.1827214. ISSN 2047-3869. 
  13. ^ "Impact of COVID-19 on people with physical disabilities: A rapid review". Disability and Health Journal (dalam bahasa Inggris). 14 (1): 101014. 2021-01-01. doi:10.1016/j.dhjo.2020.101014. ISSN 1936-6574. 
  14. ^ Grumi, Serena; Provenzi, Livio; Gardani, Alice; Aramini, Valentina; Dargenio, Erika; Naboni, Cecilia; Vacchini, Valeria; Borgatti, Renato; Group, Engaging with Families through On-line Rehabilitation for Children during the Emergency (EnFORCE) (2021-01-02). "Rehabilitation services lockdown during the COVID-19 emergency: the mental health response of caregivers of children with neurodevelopmental disabilities". Disability and Rehabilitation. 43 (1): 27–32. doi:10.1080/09638288.2020.1842520. ISSN 0963-8288. PMID 33167738 Periksa nilai |pmid= (bantuan). 
  15. ^ Women with Disabilities in a Pandemic (COVID-19) (PDF). UN Women. 2020. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2020-12-03. Diakses tanggal 2021-03-22. 
  16. ^ Emerson, Eric; Stancliffe, Roger; Hatton, Chris; Llewellyn, Gwynnyth; King, Tania; Totsika, Vaso; Aitken, Zoe; Kavanagh, Anne (2021). "The impact of disability on employment and financial security following the outbreak of the 2020 COVID-19 pandemic in the UK". Journal of Public Health. doi:https://doi-org.wikipedialibrary.idm.oclc.org/10.1093/pubmed/fdaa270 Periksa nilai |doi= (bantuan). 
  17. ^ Spiggle, Tom. "Are Long-Term Coronavirus Complications Considered Disabilities Under The ADA?". Forbes (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-03-23. 
  18. ^ a b "Child disability and COVID-19". UNICEF DATA (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-03-23. 
  19. ^ Sakellariou, Dikaios; Malfitano, Ana Paula Serrata; Rotarou, Elena S. (2020-08-03). "Disability inclusiveness of government responses to COVID-19 in South America: a framework analysis study". International Journal for Equity in Health (dalam bahasa Inggris). 19 (1): 131. doi:10.1186/s12939-020-01244-x. ISSN 1475-9276. PMC 7396888alt=Dapat diakses gratis. PMID 32746851. 
  20. ^ Mörchen, Manfred; Kapoor, Harpreet; Varughese, Sara (2020). "Disability and COVID-19". Community Eye Health. 33 (109): 10–11. ISSN 0953-6833. PMC 7677814alt=Dapat diakses gratis. PMID 33304037 Periksa nilai |pmid= (bantuan). 
  21. ^ Banks, Lena Morgon; Davey, Calum; Shakespeare, Tom; Kuper, Hannah (2021-01-01). "Disability-inclusive responses to COVID-19: Lessons learnt from research on social protection in low- and middle-income countries". World Development (dalam bahasa Inggris). 137: 105178. doi:10.1016/j.worlddev.2020.105178. ISSN 0305-750X.