Aria Wiraraja
Arya Wiraraja | |
---|---|
Raja Lamajang Tigang Juru ke-1 | |
Masa jabatan 1295 M – 1300 M | |
Mantri Makapramuka Majapahit | |
Masa jabatan 1294 M – 1295 M | |
Adipati Sumenep | |
Masa jabatan 1269 M – 1294 M | |
Informasi pribadi | |
Lahir | 1232 M Singosari |
Meninggal | 1300 M Lamajang, Jawa Timur |
Sunting kotak info • L • B |
Arya Wiraraja atau Banyak Wide adalah nama seorang tokoh Jawa pemimpin pada abad ke-13 M di Jawa dan Madura. Aria Wiraraja adalah Penasehat negara di Kerajaan Singhasari dan sekaligus saudara sepupu Kertanagara.Arya wiraraja Merupakan Cucu dari Ranggawuni / Raja Seminingrat , Ayah dari Arya Wiraraja bernama Nararya Kirana yang juga pernah menjabat sebagai Adipati Wengker lalu pindah tugas ke Lamajang sebagai Adipati pertama dari Kadipaten Lamajang Tigang Juru. Dalam sejarah, ia dikenal sebagai pengatur siasat pada masa kejatuhan Kerajaan Singhasari dan kematian raja Kertanegara pada 1292, serta bangkitnya Raden Wijaya dalam usaha penaklukan Kerajaan Kadiri dan pendirian Kerajaan Majapahit tahun 1293. Arya Wiraraja memiliki putra yaitu Arya Wirondaya atau Ranggalawe dan Nambi.
Kelahiran dan masa muda
[sunting | sunting sumber]Menurut Babad Pararaton, nama kecilnya adalah Banyak Wide, yang secara etimologis yaitu, "Banyak" adalah biasanya adalah nama yang disandang kaum Brahmana, sedangkan "Wide" yang berarti "Widya" yang berarti pengetahuan. jadi nama banyak wide sendiri berarti brahmana yang punya banyak pengatahuan atau cerdik. Hal ini kemudian sesuai dengan perjalanan kariernya kemudian. Tentang kelahiran Banyak wide, Babad Pararaton menyebutkan, beberapa keterangan yang penting.
- "Hana ta wongira, babatanganira buyuting Nangka, aran Banyak Wide, sinungan pasenggahan Arya Wiraraja, arupa tan kandel denira, dinohaken, kinon Adipati ing Songenep, anger ing Madura wetan"
yang artinya:
- "Ada seorang hambanya (Kertanegara) merupakan keturunan tetua di Nangka bernama Banyak Wide yang kemudian bergelar Arya Wiraraja dan dijauhkan menjadi adipati Sumenep, Madura wetan".
Dari keterangan ini, dapat dinilai bahwa ia dilahirkan di desa Nangka, namun daerah mana belum diketahui dengan jelas.
Dikenal ada 4 versi tentang kelahiran Arya Wiraraja.
Pertama, dari keluarga besar trah Sunan Kalijaga bahwa Sunan Kali Jaga merupakan keturunan dari Bangsawan Wengker, Arya Wiraraja yang lahir di desa Nongkodono, Kauman, Ponorogo anak dari adipati Wengker ( Ponorogo). Dalam silsilah yang masih dipegang oleh Keluarga besar trah Sunan Kali Jaga sebagai Berikut:
Adipati (Wengker) Ponorogo yang antara lain berputra yang selanjutnya menurunkan:
- Arya Wiraraja atau Banyak Wide.
- Arya Adikara atau Arya Ranggalawe.
- Arya Teja I (Bupati Tuban).
- Arya Teja II.
- Arya Teja III.
Raden Sahur atau Tumenggung Wilatikta, beristeri Dewi Retno Dumilah antara lain berputra Sunan Kalijaga. maka dari itu Sunan Kali Jaga gemar menggenakan pakaian serba hitam karena beliau adalah seorang warok yang teguh akan budaya jawa, akan tetapi lebih memilih tidak patuh kepada Majapahit meski ayahnya seorang pejabat Majapahit.[1]
Kedua, versi dari penulis Sumenep bahwa ia dilahirkan di desa Karang Nangka, Kecamatan Ruberu, Kabupaten Sumenep.
Ketiga, versi tradisional Bali di mana menurut "Babad Manik Angkeran", ia dilahirkan di Desa Besakih, Rendang, Karangasem, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali.
Keempat, menurut Mansur Hidayat, seoarang penulis sejarah Lumajang, bahwa ia diperkirakan lahir di dusun Nangkaan, Desa Ranu Pakis, Kecamatan Klakah, Kabupaten Lumajang. Hal ini berdasarkan analisisnya di mana Pararaton tentang pemindahan Arya Wiraraja ke Sumenep dalam rangka "dinohken" yang berarti "dijauhkan", sehingga dimungkinkan ia bukan berasal dari Madura.[2] Kelahiran Arya Wiraraja di wilayah Lumajang (Lamajang) juga dideduksi berdasarkan pemindahan kerajaannya dari Sumenep ke Lamajang pada tahun 1292-1294 Masehi.
Sebagai seoarang politisi ulung, tampaknya ia sudah mengenal betul daerah Lamajang. Demikian pun di sekitar Dusun Nangkaan ini terdapat sebuah situs besar yang pernah digali tim "Balai Arkeologi Yogyakarta" pada tahun 2007, di mana situs ini dimungkinkan adalah pemukiman dengan komplek peribadatannya. Tentang kelahirannya tokoh ini diperkirakan lahir pada tahun 1232 Masehi karena dalam "Babad Pararaton" dinyatakan ketika terjadi ekpedisi Pamalayu, ia berusia sekitar 43 tahun dan menjadi Adipati Sumenep pada usia 37 tahun. Dalam perjalanan politik selanjutnya, nama Banyak Wide atau Arya Wiraraja lebih mencuat dalam sejarah politik di kerajaan Singhasari.
Penasehat Negara Kerajaan Singhasari
[sunting | sunting sumber]Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Harsawijaya mengisahkan Arya Wiraraja semula menjabat sebagai rakryan demung sedangkan Babad Pararaton dan "Kidung Ronggolawe" menjelaskan bahwa jabatannya adalah "Babatangan" yang berarti tukang ramal atau bisa ditafsirkan sebagai "Penasehat Kenegaraan" pada masa pemerintahan Kertanagara di Singhasari. Arya Wiraraja merupakan tokoh muda Singhasari yang terbilang cemerlang, karena di usia 30-an ia sudah menduduki jabatan sebagai "penasehat raja".
Di kerajaan Singhasari sendiri, terdapat konflik intern yang sangat parah yang diwariskan sejak zaman pemerintahan Ken Arok yang merupakan pendiri kerajaan. Ada 2 Wangsa yang bertentangan ketika itu yaitu Wangsa Rajasa (keturunan Ken Dedes- Ken Arok) dan Wangsa Sinelir (keturunan Ken Dedes- Tunggul Ametung). Nah, Arya Wiraraja ini termasuk seoarang pendukung Wangsa Rajasa karena ia telah merupakan seorang murid politik dari Narasinghamurti.
Dalam perkembangan politik, sepeninggal raja Wisnuwardhana yang kemudian digantikan oleh raja Kertanegara pada tahun 1269 Masehi di mana raja ini mempunyai kebijakan politik untuk menundukkan kerajaan sekitar atau dikenal dengan "Doktrin Drnnyawipantara" yang akan meluaskan wilayahnya ke Jawa dan Sumatra. Dirakertialam politik internnya, raja Kertanegara kurang menyukai peran Wangsa Rajasa dan kemudian menyingkirkannya baik di turunkan pangkatnya seperti Pendeta Santasmerthi(dari pendeta kerajaan menyingkir ke pegunungan), Patih Mpu Raganatha (dari Patih ke Jaksa) maupun Tumenggung Wirakerti. Sedangkan Banyak wide di naikkan pangkatnya namun dipindahkan jauh dari pusat kerajaan menjadi "Adipati" di Sumenep. Pemindahan besar-besaran ini terjadi pada tahun 1269 Masehi di mana Banyak Wide kemudian memperoleh gelar "Arya Wiraraja" yang berarti "pemimpin yang berani".
Namun penurunan pangkat dan pemindahan ini tidak menjadikan Wangsa Rajasa tercerai berai. Mantan Patih Raganatha merupakan penasehat utama yang mengamati keadaan di ibu kota, sedangkan Arya Wiraraja bertugas memantau perkembangan dari luar. Secara perlahan-lahan Arya Wiraraja membangun Kadipaten Sumenep menjadi sebuah pelabuhan dagang yang penting sehingga menimbulkan kemajuan besar bagi perekonomian daerah ini yang sangat tandus. Hubungan perdagangan yang besar ini menyebabkan Arya Wiraraja banyak mendapatkan hubungan dengan negeri asing seperti kekaisaran Mongol.
Dalam perkembangan selanjutnya Sri Kertanegara semakin bernafsu mengirim tentara ke luar Singhasari misalnya pada tahun 1275 mengirim "Ekspedisi Pamalayu" yang dipimpin oleh Kebo Anabrang, di mana pasukan Singhasari berusaha menundukkan kerajaan Melayu Dharmasraya dan kemudian menolak untuk mengakui kemaharajaan Mongol Tartar di tanah Jawa. Arah kebijakan luar negeri yang semakin ekspansif ini menyebabkan pertentangan politik intern Singhasari semakin memanas. Dua Wangsa yang selama ini bertentangan saling mempersiapkan kelemahan lawan. Menurut Prasasti Mula Malurung yang dikeluarkan oleh raja Wisnu wardhana (ayah raja Kertanegara), Jayakatwang sendiri merupakan keponakannya yang kemudian di jadikan menantunya yaitu dikawinkan dengan putrinya yang bernama Nararya Turuk Bali dan diberi wilayah di Wurawan. Setelah pemerintahan raja Kertanegara sendiri Jayakatwang yang merupakan adik ipar raja Kertangara diangkat menjadi raja bawahan yang berkuasa di Daha yang merupakan kerajaan bawahan Singhasari yang paling penting. Demikian juga putra dari Jayakatwang ini yang bernama Nararya Ardharaja dijadikan menantu.
Ketika kerajaan Singhasari masih dalam suasana pertentangan melawan kerajaan Mongol Tartar, pada tahun 1292 Masehi terjadi kudeta berdarah yang menewaskan raja Kertanegara tersebut. Ini adalah suatu "blank spot" dalam sejarah di mana tiba-tiba Raden Wijaya dari wangsa Rajasa melarikan diri ke madura dan menemui penasehatnya yaitu Arya Wiraraja di Sumenep. Menurut Babad Pararaton Arya Wiraraja mengetahui kalau Jayakatwang bupati Gelang-Gelang berniat memberontak, untuk membalas kekalahan leluhurnya, yaitu Kertajaya raja terakhir Kadiri yang digulingkan oleh Ken Arok pendiri Kerajaan Tumapel atau Singhasari. Wiraraja pun mengirim surat melalui putranya yang bernama Wirondaya, yang berisi saran supaya Jayakatwang segera melaksanakan niatnya, karena saat itu sebagian besar tentara Singhasari sedang berada di luar Jawa. Tetapi dalam buku sejarah terbaru karangan Mansur Hidayat, dimungkinkan bahwa Jayakatwang yang merupakan orang terdekat raja Kertanegara merupakan "korban politik" dari lawan-lawannya yaitu Wangsa Rajasa yang kemudian gagal mengambil alih kerajaan dan kemudian memanfaatkan kedatangan pasukan asing Mongol Tartar menyerang tanah Jawa.[2]
Persekutuan Aria Wiraraja dengan Raden Wijaya
[sunting | sunting sumber]Menantu Kertanagara yang bernama Raden Wijaya mengungsi ke Sumenep meminta perlindungan Aria Wiraraja. Semasa muda, Wiraraja pernah mengabdi pada Narasingamurti kakek Raden Wijaya. Maka, ia pun bersedia membantu sang pangeran untuk menggulingkan Jayakatwang. Raden Wijaya bersumpah jika ia berhasil merebut kembali takhta mertuanya, maka kekuasaannya akan dibagi dua, yaitu untuk dirinya dan untuk Wiraraja.
Mula-mula Wiraraja menyarankan agar Raden Wijaya pura-pura menyerah ke Kadiri. Atas jaminan darinya, Raden Wijaya dapat diterima dengan baik oleh Jayakatwang. Sebagai bukti takluk, Raden Wijaya siap membuka Hutan Tarik di Tarik, Sidoarjo, Jawa Timur menjadi kawasan wisata bagi Jayakatwang yang gemar berburu. Jayakatwang mengabulkannya. Raden Wijaya dibantu orang-orang Madura kiriman Wiraraja membuka hutan tersebut, dan mendirikan desa Majapahit di dalamnya.
Pada tahun 1293 datang tentara Mongol untuk menghukum Kertanagara yang berani menyakiti utusan Kubilai Khan tahun 1289. Raden Wijaya selaku ahli waris Kertanagara siap menyerahkan diri asalkan ia terlebih dahulu dibantu memerdekakan diri dari Jayakatwang. Maka bergabunglah pasukan Mongol dan Majapahit menyerbu ibu kota Kadiri. Setelah Jayakatwang kalah, pihak Majapahit ganti mengusir pasukan Mongol dari tanah Jawa.
Menurut "Kidung Panji Wijayakrama" dan "Kidung Harsawijaya", pasukan Mongol datang atas undangan Wiraraja untuk membantu Raden Wijaya mengalahkan Kadiri, dengan imbalan dua orang putri sebagai istri kaisar Mongol. Oleh para sejarawan kisah tersebut dianggap hanyalah ciptaan si pengarang yang tidak mengetahui kejadian sebenarnya. Diketahui tujuan kedatangan pasukan Mongol adalah untuk menaklukkan Kertanagara penguasa Jawa.
Jabatan di Majapahit
[sunting | sunting sumber]Raden Wijaya menjadi raja pertama Majapahit yang merdeka tahun 1293. Dari prasasti Kudadu (1294) diketahui jabatan Aria Wiraraja adalah sebagai pasangguhan dengan gelar Rakryan Mantri Arya Wiraraja Makapramuka. Pada prasasti Penanggungan (1296) nama Wiraraja sudah tidak lagi dijumpai.
"Prasasti Kudadu" menyebutkan bahwa ketika Raden Wijaya melarikan diri bersama 12 pengawal setianya ke Madura, Adipati Arya Wiraraja memberikan bantuan kemudian melakukan kesepakatan "pembagian tanah Jawa menjadi dua" yang sama besar yang kemudian di sebut "Perjanjian Sumenep". Setelah itu Adipati Arya Wiraraja memberi bantuan besar-besar kepada Raden Wijaya termasuk mengusahakan pengampunan politik terhadap Prabu Jayakatwang di Kediri dan pembukaan "hutan Tarik' menjadi sebuah desa bernama Majapahit. Dalam pembukaan desa Majapahit ini sungguh besar jasa Adipati Arya Wiraraja dan pasukan Madura. Raden wijaya sendiri datang di desa Majapahit setelah padi-padi sudah menguning.
Kira-kira 10 bulan setelah pendirian desa Majapahit ini, kemudian datanglah pasukan besar Mongol Tartar pimpinan Jenderal Ike Mese serta Jendral Shih Pi (Shi-bi) yang mendarat di pelabuhan Tuban. Adipati Arya Wiraraja kemudian menasehati raden wijaya untuk mengirim utusan dan bekerja sama dengan pasukan besar ini dan menawarkan bantuan dengan iming-iming harta rampasan perang dan putri-putri Jawa yang cantik. Setelah dicapai kesepakatan maka diseranglah Prabu Jayakatwang di Kediri yang kemudian dapat ditaklukkan dalam waktu yang kurang dari sebulan. Setelah kekalahan Kediri, Jendral Shih Pi meminta janji putri-putri Jawa tersebut dan kemudian sekali lagi dengan kecerdikan Adipati Arya Wiraraja utusan Mongol dibawah pimpinan Jendral Kau Tsing (Gaoxing) menjemput para putri tersebut di desa Majapahit tanpa membawa senjata. Hal ini dikarenakan permintaan Arya Wiraraja dan Raden Wijaya untuk para penjemput putri Jawa tersebut agar meletakkan senjata dikarenakan permohonan para putri yang dijanjikan yang masih trauma dengan senjata dan peperangan yang sering kali terjadi. Setelah pasukan Mongol Tartar masuk desa Majapahit tanpa senjata, tiba-tiba gerbang desa ditutup dan pasukan Ranggalawe maupun Mpu Sora bertugas membantainya. Hal ini diikuti oleh pengusiran pasukan Mongol Tartar baik di pelabuhan Ujung Galuh (Surabaya) maupun di Kediri oleh pasukan Majapahit dan laskar Madura. Dalam catatan sejarah, kekalahan pasukan Mongol Tartar ini merupakan kekalahan yang paling memalukan karena pasukan besar ini harus lari tercerai berai.
Setahun setelah pengusiran pasukan Mongol Tartar, menurut "Kidung Harsawijaya", sesuai dengan "Perjanjian Sumenep" tepatnya pada 10 November 1293 Masehi, Raden Wijaya diangkat menjadi raja Majapahit yang wilayahnya meliputi wilayah-wilayah Malang (bekas kerajaan Singosari), Pasuruan, dan wilayah-wilayah di bagian barat sedangkan di wilayah timur berdiri "kerajaan Lamajang Tigang Juru" yang dipimpin oleh Arya Wiraraja yang kemudian dalam dongeng rakyat Lumajang disebut sebagai "Prabu Menak Koncar I". Kerajaan Lamajang Tigang Juru ini sendiri menguasai wilayah seperti Madura, Lamajang, Patukangan atau Panarukan dan Blambangan. Dari pembagian bekas kerajaan Singosari ini kemudian kita mengenal adanya 2 budaya yang berbeda di Provinsi Jawa Timur, di mana bekas kerajaan Majapahit dikenal mempunyai budaya Arekan, sedang bekas wilayah kerajaan Lamajang Tigang Juru dikenal dengan "budaya Pendalungan (campuran Jawa dan Madura)" yang berada di kawasan Tapal Kuda sekarang ini. Prabu Menak Koncar I (Arya Wiraraja) ini berkuasa dari tahun 1293- 1316 Masehi.
Dalam versi lain disebutkan pada tahun 1295 salah satu putra Wiraraja yang bernama Ranggalawe melakukan pemberontakan dan menemui kematiannya. Peristiwa itu membuat Wiraraja sakit hati dan mengundurkan diri dari jabatannya. Ia lalu menuntut janji Raden Wijaya, yaitu setengah wilayah Majapahit. Raden Wijaya mengabulkannya. Wiraraja akhirnya mendapatkan Majapahit sebelah timur dengan ibu kota di Lumajang.
Akhir Kemerdekaan Lamajang Tigang Juru atau Majapahit Timur
[sunting | sunting sumber]Ketika mendengar salah satu putranya gugur melawan kerajaan majapahit, ia sebagai ayah sangat sedih dan oleh karenanya mempersiapkan benteng pertahanan di ibu kotanya Lamajang. Ibu kotanya itu bernama Arnon dan sekarang dikenal sebagai Situs Biting yang berada dalam wilayah desa bernama "Kutorenon". Kutorenon sendiri dalam bahasa jawa kuno berarti, "Kuto itu artinya kota berbenteng" dan "Renon berasal dari kata Renu artinya marah". Jadi Kutorenon sendiri berarti kota yang dibangun karena marah. Inilah awal konflik 2-kerajaan besar di tanah Jawa yaitu Majapahit dan Lamajang Tigang Juru atau disebut juga Majapahit timur. Namun selagi ada Arya Wiraraja, wilayah Lamajang ini tidak berani disentuh oleh Majapahit. Arya Wiraraja atau Prabu Menak Koncar I meninggal dan diperabukan di ibu kota Arnon dan sekarang tempat ini dikenal sebagai Makam/ Petilasan Arya Wiraraja di Dusun Biting, Desa Kutorenon, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Lumajang.
Baru setelah Arya Wiraraja meninggal pada tahun 1316 Masehi dan Nambi yang merupakan Maha Patih Majapahit sebagai salah satu putranya sedang menengok ke Lumajang disertai 7-pembesar utama kerajaan difitnah oleh Mahapati dihadapan raja Jayanagara sebagai pengganti Raden Wijaya.
Pararaton menyebutkan pada tahun 1316 terjadi pemberontakan Nambi di Lumajang terhadap Jayanagara raja kedua Majapahit. Kidung Sorandaka mengisahkan pemberontakan tersebut terjadi setelah kematian ayah Nambi yang bernama Pranaraja. Sedangkan, Pararaton dan Kidung Harsawijaya menyebut Nambi adalah putra Wiraraja. Menurut prasasti Kudadu (1294) Pranaraja tidak sama dengan Wiraraja.
Berdasarkan analisis Slamet Muljana menggunakan bukti prasasti Kudadu dan prasasti Penanggungan (dalam bukunya, Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya, 1979), Wiraraja lebih tepat sebagai ayah Ranggalawe daripada ayah Nambi. (Lihat Ranggalawe)[3]
Menurut analisis Mansur Hidayat, salah seorang penulis Arya Wiraraja dan kerajaan Lamajang Tigang juru, bahwa istilah "pemberontakan" semestinya diganti karena pada masa tersebut, Nambi difitnah dan tidak pernah mau memberontak. Demikian juga kerajaan Lamajang Tigang Juru sebagai hasil dari Perjanjian Sumenep antara Arya Wiraraja dan Raden wijaya pada tahun 1292 Masehi merupakan negara yang sah. Jadi penyerangan Majapahit ke Lamajang sepeninggal Arya Wiraraja yang sangat disegani adalah ekpansi yang kemudian menimbulkan perlawanan terus menerus. Setelah kejatuhan Lamajang pada tahun 1316 Masehi, telah menyebabkan perlawanan di kota-kota pelabuhannya seperti Sadeng dan Patukangan (Panarukan) yang kemudian dikenal sebagai Perang Sadeng dan Ketha. Demikianpun ketika Hayam Wuruk melakukan perjalanan keliling daerah Lamajang pada tahun 1359 Masehi tidak berani singgah di bekas ibu kota Arnon (Situs Biting). Malah perlawanan daerah timur kembali bergolak ketika adanya perpecahan Majapahit menjadi barat dan timur dengan adanya "Perang Paregreg" pada tahun 1401-1406 Masehi.[2]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ keris, dunia (MARCH 25, 2018). "Tiga Versi asal usul Sunan Kali Jaga". Sunia Keris. Diakses tanggal 22 juli 2021.
- ^ a b c Mansur Hidayat, "Sejarah Lumajang: Melacak Ketokohan Arya Wiraraja dan Keemasan Lamajang Tigang Juru". Denpasar: Cakra Press, 2012.
- ^ Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara.
Pustaka tambahan
[sunting | sunting sumber]- Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan. Yogyakarta: LKIS
- Mansur Hidayat, Arya Wiraraja dan Lamajang Tigang Juru: Menafsir Ulang Sejarah Majapahit Timur. Denpasar: Pustaka Larasan, 2013.