Arkeologi di Kampung Lamalera

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Arkelogi[1] di kampung adat Lamalera yaitu peninggalan kehidupan dan kebudayaan zaman Portugis dan Belanda berupa bangunan dan benda-benda peninggalan. Peninggalan itu tetap dibiarkan terpelihara karena bernilai sejarah, yaitu pos jaga Belanda, lonceng, dan meriam[2] serta benda-benda lain.[3]

Kampung Adat Lamalera[sunting | sunting sumber]

Lamalera sebuah kampung nelayan yang dihuni oleh masyarakat asli yang disebut suku Lamalera. Kampung ini terletak di desa Lamalera A di Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. Kampung yang berada di kaki gunung Labalekang itu menghadap ke selatan, ke laut Sawu yang menjadi sumber penghidupan warga. Kampung itu diapit oleh dua tanjung, yaitu Vovolatu dan Nubivutun.[2]

Kampung adat Lamalera terkenal juga sebagai kampung nelayan pemburu paus yang selalu muncul antara bulan April sampai September, saat bumi bagian Selatan mengalami musim dingin.[4] Pemburuan ikan paus di kampung Lamalera dilakukan sejak abad ke-17. Mamalia raksasa yang tidak semua nelayan menangkapnya, tetapi orang Lamalera dapat mengalahkan binatang laut itu secara berkelompok dengan menggunakan peralatan tradisional, yakni pelédang (berok atau sampan), dan tempuling yaitu tombak yang berkait dari besi.[2]

Pada awal 'musim berburu paus' mereka terlebih dahulu mengadakan ritual atau seremonial adat, Tobo Nama Fata (ritus penyelesaian masalah suku dan tuan tanah) yang di adakan di situs Ie Gerek, dipimpin oleh tuan tanah dari Suku Lango Wujo. Upacara itu mereka lakukan pada tanggal 29 April setiap tahun, sedangkan Misa, yaitu ibadat secara agama Katolik untuk memohon berkat dan perlindungan dari Tuhan dilakukan pada tanggal 1 Mei setiap tahun juga. Dan sesudah mengadakan ritual adat dan keagamaan itu mereka memulai masa perburuan paus yang berlangsung dari bulan April sampai September.[2]

Pemburuan paus memiliki aspek religius di setiap kegiatan mulai dari persiapan, pembuatan peledang, pengangkatan layar, serta pelemparan tombak yang didahului dengan doa dan sudah membudaya serta dagingnya dinikmati seluruh warga desa. Budaya berburu paus mendapat kritikan dari pemerhati lingkungan hidup, tetapi tetap diakui dunia internasonal, karena merupakan budaya yang langka; hanya ada di Kanada dan Lamalera - Indonesia. Aspek sosial budaya penangkapan paus juga teratur dan semua warga desa Lamalera mendapat bagian.[5]

Aturan pembagian hasil daging ikan paus yang sudah mentradisi sebagai berikut: pemilik peledang atau perahu motor, para pemburu yaitu mereka yang turut dalam peledang, ketua suku lango fujo, bagian untuk rumah adat dan lamafa, bagian untuk laba ketilo, matros dan lemauri, dan juga bagian untuk para janda.[5]

Peninggalan Arkeologi dari Masa Portugis dan Belanda[sunting | sunting sumber]

Bangunan dan benda-benda peninggalan zaman Portugis dan Belanda,[3] yaitu: lonceng, meriam, bangunan serta benda-benda lain.[2]

Rumah Jaga Belanda[3]: rumah persegi delapan dari bahan batu, semen, kayu menggunakan atap dari alang-alang. Rumah itu menjadi semacam pos jaga, sekaligus juga menjadi kantor Hamete artinya kantor kecamatan yang didirikan pada masa kolonial Belanda. Dasar bangunan persegi delapan dengan atap berbentuk segi empat. Mempunyai sebuah pintu dengan tujuh jendela pada tujuh sisi. Pada zaman penjajahan rumah jaga itu dilengkapi juga dengan telepon, namun masa tidak ada lagi. Rumah jaga masih digunakan sampai sekarang bila ada tamu pemerintah yang datang berkunjung di kampung Lamalera.[2]

Ukuran bangunan: panjang 6 meter, lebar 6 meter dan terletak sebelah timur rumah kepala desa Lamalera Lama.[2]

Lonceng;[3] yaitu genta dengan dasar bulat berdiameter lebih kecil dari penampangnya. Pada bagian tengah atau badan terdapat huruf dan angka kode produksi, yakni Ɔ626 di bagian dalam dan angka tahun di bagian luar yakni B.V.G. 1921. Lonceng itu tergantung di halaman depan rumah kepala desa, dan tetap difungsikan dalam urusan tertentu, misalnya perteman masyarakat kampung atau ada tamu penting yang datang berkunjung.[2]

Ukuran lonceng: tinggi 47 cm, diameter bawah 46 cm, diameter atas 24 cm, tebal 3 cm. Sedangkan pemukul lonceng panjang 44 cm dengan diameter 10 cm dan tebal 3 cm.[2]

Meriam pertama:[3] Ada tiga senjata peninggalan bangsa Portugis dan Belanda. Meriam pertama yaitu senjata berbentuk tabung dengan pangkal lebih besar daripada ujung. Bagian pangkal terbuka pada bagian atas menyerupai palung berhiaskan ukir-ukiran bermotif bunga dan daun. Bagian bawah meruncing berhiaskan ukiran bermotif dedaunan. Pada bagian tengah berhiaskan ukir-ukiran daun serta bunga. Pada ujung meriam juga berhiaskan motif daun dan bunga. Meriam ini terletak di depan rumah kepala desa sebagai benda peninggalan yang wajib dijaga.[2]

Ukuran meriam: panjang 191 cm, lebar 20 cm, diameter mulut 11,5 cm, lebar tempat peluru 10 cm dan terletak di tangga naik ke rumah kepala desa, kampung Lamalera Lama.[2]

Meriam kedua:[3] bentuknya mirip dengan meriam pertama yang menyerupai tabung. Pada bagian pangkal berukuran lebih besar daripada bagian ujung. Juga terdapat lubang di bagian atas berukuran kecil, serta di bagian belakang terdapat tonjolan bulat. Pada bagian ujung meriam penampangnya melebar dengan ukuran lebih besar dari bagian ujung. Meriam ini bentuknya polos tanpa motif hias, dibagian tengah terdapat tonjolan disamping kanan dan kiri. Meriam ini juga terletak di depan rumah rumah kepala desa sebagai hiasan bersejarah.[2]

Ukuran meriam kedua: panjang 121 cm dengan diameter belakang 19 cm, diameter badan 15 cm, diameter moncong 18 cm. Senjata kuno kedua ini terletak di tangga ke rumah kepala desa Lamalera Lama.[2]

Meriam ketiga[3]: senjata ketiga juga berbentuk tabung dengan pangkal lebih besar daripada bagian ujung. Pada senjata kuno ini tonjolan runcing pada bagian belakang, sedangkan di bagian tengah terdapat lubang menyerupai palungan. Di bagian atas lubang terdapat hiasan segitiga. Terdapat tonjolan di bagian kanan dan kiri badan meriam dengan hiasan segitiga yang penuh dengan ukiran. Di bagian ujung polos dengan penampang melebar. Meriam ketiga tersimpan di depan rumah penduduk sebagai hiasan.[2]

Ukuran: meriam ketiga panjangnya 191 cm dan lebarnys 20 cm serta bagian moncong berdiameter mulut 11,5 cm, dan tempat peluru 10 cm, Senjata kuno peninggalan bangsa penjajah ini terletakan di tangga naik menuju rumah kepala desa.[2]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Setiawan, Ebta (2012-2019). "Kamus Besar Bahasa Indonesia". Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Diakses tanggal 5/4/2019. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o "tinggalan-akeologi-di-kampung-adat-lamalera-kabupaten-lembata-nusa-tenggara-timur". Indonesiana Platform Kebudayaan. kebudayaan.kemdikbud.go.id. 1 Februari 2018. Diakses tanggal 27/3/2019. 
  3. ^ a b c d e f g Keraf, Piter (27 Mei 2018). "tak-hanya-legenda-lamalera-juga-memiliki-peninggalan-bersejarah". Tak Hanya Legenda Lamalera juga Memiliki Peninggalan Bersejarah. oranglembata.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-08-12. Diakses tanggal 27/3/2019. 
  4. ^ Rahmawati, Ita (27/12/2016). "pergantian-dan-pembagian-musim-di-bumi". Pergantian dan Pembagian Musim di Bumi. pendidikan.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-27. Diakses tanggal 27/3/2019. 
  5. ^ a b Yudono, Yodhi (30 Maret 2015). Yudono, Jodhi, ed. "Cerita dari Lamalera". Kompas.com. Travel.kompas.com. Diakses tanggal 27/3/2019.