Lompat ke isi

Amir Fatah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Amir Fatah adalah seorang pemberontak Negara Islam Indonesia di wilayah Provinsi Jawa Tengah. Ia memulai pemberontakan bersama pasukan Hizbullah pada tahun 1950 setelah ditandatanganinya Perjanjian Renville antara Belanda dan Indonesia. Basis pemberontakan Amir Fatah berada di wilayah pegunungan Provinsi Jawa Tengah bagian barat yang berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat. Pemberontakan Amir Fatah berlangsung singkat dan berakhir dengan penyerahan diri pada bulan Desember 1951.

Masa muda

[sunting | sunting sumber]

Nama lengkap Amir Fatah ialah Amir Fatah Wijaya Kusumah.[butuh rujukan]

Pemberontakan

[sunting | sunting sumber]

Penyebab pemberontakan

[sunting | sunting sumber]

Pada tanggal 3 Agustus 1947, pasukan Belanda yang menyerang wilayah Indonesia mengadakan gencatan senjata. Hal ini sebagai bentuk penerimaan Belanda atas Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun Tentara Nasional Indonesia dan pasukan Belanda tetap saling menyerang karena pasukan Belanda melanggar resolusi dengan melakukan pengepungan dan penyerangan atas wilayah Indonesia.[1]

Pada tahun 1947, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa memutuskan untuk membentuk Komisi Jasa-Jasa Baik. Komisi ini bertujuan untuk menengahi diplomasi antara Pemerintah Belanda dan Pemerintah Indonesia yang sedang terlibat konflik. Komisi Jasa-Jasa Baik terdiri dari negara perwakilan Indonesia yakni Australia, negara perwakilan Belanda yakni Belgia, dan negara pihak ketiga yakni Amerika Serikat. Komisi ini kemudian dikenal sebagai Komisi Tiga Negara. Kesepakatan yang diperoleh ialah pengadaan sebuah perjanjian pada tanggal 8 Desember 1947 di atas Kapal Renville untuk perundingan antara perwakilan Indonesia dan perwakilan Belanda. Amir Syarifuddin menjadi perwakilan Indonesia, sementara Abdulkadir Wijiyoatmojo menjadi perwakilan Belanda. Pada tanggal 17 Januari 1948, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda menyetujui dan mengesahkan Perjanjian Renville.[2]

Perjanjian Renville merugikan pihak Indonesia karena wilayah Indonesia menjadi semakin sempit akibat ditetapkannya Garis Van Mook. Penetapan batas ini membuat basis pertahanan Indonesia dipindah ke wilayah Yogyakarta.[2] Setelah Perjanjian Renville dilaksanakan, terjadi kekosongan kekuasaan di Jawa Tengah yang meliputi wilayah Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Brebes dan Kabupaten Tegal. Kekosongan kekuasaan ini disebabkan oleh pindahnya aparat pemerintah dan Tentara Nasional Indonesia dari ketiga wilayah ini.[3] Pasukan Tentara Nasional Indonesia yang menolak Perjanjian Renville menolak untuk pindah ke Yogyakarta. Salah satunya ialah pasukan Hizbullah yang dipimpin oleh Amir Fatah yang memilih untuk tidak bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia. Pasukan ini kemudian mengambil alih kekuasaan di wilayah tersebut.[3]

Sebelum Perjanjian Renville ditandatangani, Amir Fatah merupakan salah satu pemimpin Hizbullah Fisabilillah di Besuki, Jawa Timur. Setelah Perjanjian Renville, seluruh kekuatan Republik Indonesia di Jawa Timur dipindahkan ke Jawa Tengah termasuk pasukan yang dipimpin oleh Amir Fatah.[butuh rujukan] Setelah Belanda memulai agresi militer yang kedua, pasukan Tentara Nasional Indonesia dan Amir Fatah kembali mengadakan kesepakatan untuk bekerja sama. Amir Fatah kemudian ditetapkan sebagai koordinator pasukan untuk operasi militer di daerah Kabupaten Tegal dan Kabupaten Brebes.[3] Namun Amir Fatah kemudian bergabung dengan Kartosoewirjo dalam pemberontakan Negara Islam Indonesia. Amir Fatah kemudian diangkat sebagai Komandan Pertempuran Jawa Tengah. Pangkat yang diterimanya ialah Jenderal Mayor Tentara Islam Indonesia.[4] Pada tahun 1950, ia memproklamirkan wilayahnya merupakan bagian Negara Islam Indonesia pimpinan Kartosuwiryo.[butuh rujukan] Akhirnya terjadi konflik antara pasukan Amir Fatah dan pasukan Tentara Nasional Indonesia.[3]

Pusat pemberontakan

[sunting | sunting sumber]

Amir Fatah dan pasukannya memusatkan pemberontakan Negara Islam Indonesia di wilayah Kecamatan Salem, Kabupaten Brebes di wilayah Jawa Tengah. Lokasinya berbatasan langsung dengan Kabupaten Kuningan di wilayah Jawa Barat. Pemilihan Kecamatan Salem oleh pasukan Negara Islam Indonesia di Jawa Tengah karena merupakan pegunungan. Kondisi ini memudahkan dalam taktik gerilya dan memudahkan komunikasi antara Amir Fatah dengan Kartosoewirjo. Sementara operasi pemberontakan berlangsung di wilayah Kabupaten Brebes, Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Tegal.[5]

Operasi penuntasan pemberontakan

[sunting | sunting sumber]

Pemberontakan Negara Islam Indonesia di Jawa Tengah diatasi dengan dibentuknya operasi militer gabungan dengan nama Operasi Gerakan Banteng Negara. Tujuan awal dari Operasi Gerakan Banteng Negara untuk memisahkan hubungan antara pasukan Negara Islam Indonesia yang dipimpin oleh Amir Fatah di Jawa Tengah dengan pasukan lainnya yang dipimpin oleh Kartosoewirjo di Jawa Barat. Operasi Gerakan Banteng Negara dilaksanakan berdasarkan Instruksi Siasat Panglima Divisi III - Gubernur Militer Kolonel Gatot Subroto dengan metode intelijen khusus. Setelah itu, operasi ini dilanjutkan dengan menghancurkan angkatan bersenjata milik Negara Islam Indonesia dan menangkap para pimpinannya.[6]

Para pemimpin Operasi Gerakan Banteng Negara meliputi 3 orang letnan kolonel yakni Sarbini, M. Bahrum, dan Ahmad Yani. Pasukan utama pada Operasi Gerakan Banteng Negara terdiri dari tujuh batalion. Sedangkan pasukan bantuan digunakan untuk urusan administrasi, perhubungan dan logistik.[6]

Amir Fatah berhasil melarikan diri bersama pasukannya selama awal Operasi Gerakan Banteng Negara. Ia kemudian kembali memproklamirkan Negara Islam Indonesia di pegunungan wilayah Kabupaten Brebes bagian tenggara. Komando Daerah Militer IV kemudian membentuk sebuah satuan pasukan bernama Banteng Raiders untuk menumpas pasukan Amir Fatah. Namun Amir Fatah kembali berhasil melarikan diri.[butuh rujukan]

Pemberian amnesti

[sunting | sunting sumber]

Pada tanggal 14 November 1950, Mohammad Natsir selaku Perdana Menteri Republik Indonesia menawarkan amnesti kepada seluruh angkatan bersenjata yang masih memberontak terhadap Pemerintah Indonesia. Mohammad Natsir mengutus seorang kyai bernama Muslich untuk menyampaikan pesan ini kepada Amir Fatah yang masih menjadi pemimpin pasukan Negara Islam Indonesia di Jawa Tengah. Muslich ketika itu menjabat sebagai Kepala Kantor Urusan Agama Provinsi Jawa Tengah.[7] Di sisi lain, Amir Fatah dan pasukannya sedang menuju ke wilayah Jawa Barat untuk bertemu dengan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.[8]

Penyerahan diri

[sunting | sunting sumber]

Kekuatan pasukan Amir Fatah sempat melemah akibat operasi militer yang diadakan oleh Tentara Nasional Indonessia. Namun pemberontakan masih berlansgung di kawasan hutan di Gunung Karang Gumantun di wilayah Dayeuhluhur.[butuh rujukan]

Pemberontakan yang diadakan oleh Amri Fatah dan pasukannya kurang memperoleh dukungan dari rakyat. Sehingga masa pemberontakannya tidak berlangsung lama.[3] Setelah mengalami pengejaran oleh pasukan Tentara Nasional Indonesia ketika menuju ke Jawa Barat untuk bertemu dengan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, Amir Fatah dan pasukannya menyatakan untuk menyerah.[8] Penyerahan diri Amir Fatah terjadi pada bulan Desember 1951.[3] Kekalahan Amir Fatah dan pasukannya di perbatasan antara Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Pekalongan.[butuh rujukan]

Referensi

[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Aman 2015, hlm. 27.
  2. ^ a b Aman 2015, hlm. 28.
  3. ^ a b c d e f Yanuarti 2018, hlm. 50.
  4. ^ Menteri Sekretaris Negara Republik Indonesia (1981). 30 Tahun Indonesia Merdeka: 1951-1964. Jakarta: PT Tira Pustaka. hlm. 62. 
  5. ^ Aman 2015, hlm. 46.
  6. ^ a b Yuniarti 2018, hlm. 64-65.
  7. ^ Al Chaidar 2008, hlm. 60-61.
  8. ^ a b Al Chaidar 2008, hlm. 61.

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]