Lompat ke isi

Alex Mendur

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Alex Mendur
Lahir(1907-11-07)7 November 1907
Kawangkoan, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara
Meninggal30 Desember 1984(1984-12-30) (umur 77)
Bandung
PekerjaanFotografer
Suami/istriEmmy Agustina Wowor (1929–1950)
Ines Manaroinsong (1950–1984)
AnakMeity Mendur (dengan Emmy)
Lexi Rudolp Mendur (dengan Emmy)
Mayon Mendur (dengan Ines)

Alexius Impurung Mendur (7 November 1907 – 30 Desember 1984) adalah seorang fotografer jurnalistik yang termasuk dalam kelompok yang mendirikan Indonesia Press Photo Service (IPPHOS) yang banyak menyumbangkan foto-foto terkenal selama Revolusi Nasional Indonesia.

Semasa Pendudukan Belanda dan Jepang

[sunting | sunting sumber]

Mendur lahir di Kawangkoan pada 7 November 1907. Ia adalah anak pertama dari sebelas anak dari August Mendur dan Ariance Mononimbar.[1] Ia menyelesaikan sekolah rakyat atau Volkschool, tetapi tidak melanjutkan studinya karena alasan keuangan.[2] Pada tahun 1922, Mendur pindah ke Batavia dengan Anton Nayoan, seorang kerabat keluarga yang telah menetap di Batavia. Nayoan bekerja untuk perusahaan Belanda yang menjual perlengkapan fotografi dan Nayoanlah yang mengajarinya cara menggunakan kamera.[3] Mendur akhirnya bekerja untuk perusahaan yang sama dan juga perusahaan pemasok fotografi lainnya.

Pada tahun 1932, Mendur menjadi fotografer jurnalistik di Java-bode.[4] Pada tahun 1936, ia pindah pekerjaan ke perusahaan pelayaran KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij).[5] Selama pendudukan Jepang, Mendur ditugaskan ke cabang lokal dari kantor berita Jepang Dōmei Tsushin, di mana Mendur menjadi kepala departemen fotografi.[6]

Kemerdekaan Indonesia dan IPPHOS

[sunting | sunting sumber]
Bung Tomo
Foto Bung Tomo yang diambil Alex Mendur
IPPHOS
Mendur bersama pendiri IPPHOS lainnya

Melalui kontaknya di Domei, Mendur mendapat kabar tentang upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Dia pergi dengan saudaranya, Frans Mendur, ke kediaman Sukarno di mana upacara itu diadakan.[7][8] Mereka berdua mengambil foto-foto upacara proklamasi, tetapi hanya foto-foto Frans yang dapat diproses dan diterbitkan karena film Alex disita oleh pasukan Jepang.[6][9]

Setelah proklamasi, Mendur sempat bekerja sebentar di surat kabar Indonesia Merdeka pimpinan B.M. Diah.[10] Kemudian pada 2 Oktober 1946, Mendur mendirikan IPPHOS bersama Oscar Ganda, Alex Mamusung, Frans Mendur, Frans Umbas, dan Justus Umbas. Mereka melihat perlunya menyediakan foto-foto kepada kantor-kantor berita lokal dan asing tentang keadaan dan perjuangan kemerdekaan di Indonesia. Mereka juga melihat pekerjaan mereka sebagai kontribusi mereka dalam perjuangan tersebut. Para fotografer IPPHOS diberi kredit untuk banyak foto-foto terkenal yang mendokumentasikan perjuangan kemerdekaan dan juga dipandang sebagai "saksi-saksi" penting sejarah.[11][12]

Salah satu foto dari Mendur adalah foto pidato Bung Tomo yang dipublikasikan pertama kali di majalah dwi bahasa Mandarin-Indonesia bernama Nanjang Post edisi Februari 1947.[13] Foto diambil ketika Bung Tomo sedang berpidato di lapangan Mojokerto dalam rangka mengumpulkan pakaian untuk korban perang Surabaya yang jatuh miskin bertahan di pengungsian di Mojokerto. Pada waktu itu, kota Surabaya masih diduduki oleh Belanda.

Penghargaan Anumerta

[sunting | sunting sumber]

Mendur meninggal pada 30 Desember 1984 di Bandung. Mendur bersama dengan saudaranya, Frans, menerima secara anumerta Bintang Jasa Utama pada tahun 2009 untuk peran jurnalistik foto mereka selama awal republik.[14] Tahun berikutnya, mereka menerima anumerta Bintang Mahaputera Nararya.[15] Sebuah monumen dan museum kecil untuk menghormati mereka di kota kelahiran Kawangkoan diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 11 Februari 2013.[16]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Kuswiah (1986), hlm. 6.
  2. ^ Kuswiah (1986), hlm. 9.
  3. ^ Kuswiah (1986), hlm. 12.
  4. ^ Kuswiah (1986), hlm. 16.
  5. ^ Grafiti Pers (1981), hlm. 379.
  6. ^ a b Kuswiah (1986), hlm. 19.
  7. ^ Harbunangin (1986), hlm. 56.
  8. ^ Wijaya (2014), hlm. 9.
  9. ^ Wijaya (2014), hlm. 23.
  10. ^ Zoelverdi (1985).
  11. ^ Hartanto (2007), hlm. 705.
  12. ^ Majalah Indonesia (1989), hlm. 8.
  13. ^ Kompas (2014).
  14. ^ Bambang (2009).
  15. ^ Siwi Tri Puji B (2010).
  16. ^ Prasetyo (2014).

Sumber referensi