Budaya

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Kebudayaan)
Menara Kuil Shri Mariamman di Singapura yang menggambarkan kepercayaan dan seni ekspresif sebagai bagian dari budaya manusia.
Perayaan, ritual, dan festival merupakan aspek-aspek penting dari folklor

Budaya adalah cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi namun tidak turun temurun[1]. Sedangkan kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budia atau akal),[2] diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Bentuk lain dari kata budaya adalah kultur yang berasal dari bahasa Latin yaitu cultura.

Pengertian[sunting | sunting sumber]

Budaya[sunting | sunting sumber]

Membudaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sekelompok orang, serta tidak diwariskan dari generasi ke generasi. Membudaya yakni Budaya yang terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Seseorang bisa berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaan di antara mereka, sehingga membuktikan bahwa budaya bisa dipelajari.[3]

Budaya merupakan suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosial-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.[4]

Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri. "Citra yang memaksa" itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti "individualisme kasar" di Amerika, "keselarasan individu dengan alam" di Jepang, dan "kepatuhan kolektif" di Tiongkok.[butuh rujukan]

Citra budaya yang bersifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka. Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain.

Kebudayaan[sunting | sunting sumber]

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Antropolog Melville J. Herskovits dan Bronisław Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah determinisme budaya (cultural-determinism).

Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun-temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganik. Sementara menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan ,serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual, dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.

Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi menyatakan bahwa kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.[5] Sementara itu, M. Selamet Riyadi, budaya adalah suatu bentuk rasa cinta dari nenek moyang kita yang diwariskan kepada seluruh keturunannya, dan menurut Koentjaraningrat, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan dan tindakan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dimiliki manusia dengan belajar.[6]

Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sementara itu, perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku, dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang semuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

Unsur[sunting | sunting sumber]

Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur kebudayaan, antara lain sebagai berikut:

  • Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki empat unsur pokok, yaitu alat-alat teknologi, sistem ekonomi, keluarga, dan kekuasaan politik.[7]
  • Bronislaw Malinowski mengatakan empat unsur pokok kebudayaan yang meliputi sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya; organisasi ekonomi; alat-alat, dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama); dan organisasi kekuatan (politik)
  • Clyde Kluckhohn mengemukakan ada tujuh unsur kebudayaan secara universal, yaitu bahasa; sistem pengetahuan; sistem teknologi dan peralatan; sistem kesenian; sistem mata pencarian hidup; sistem religi; sistem kekerabatan; dan organisasi kemasyarakatan.[8]

Wujud dan komponen[sunting | sunting sumber]

Wujud[sunting | sunting sumber]

Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan artefak.[9]

  • Gagasan (wujud ideal)
    Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak yaitu tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam pemikiran masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.
  • Aktivitas (tindakan)
    Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial, yang terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati, serta didokumentasikan.
  • Artefak (karya)
    Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret di antara ketiga wujud kebudayaan. Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh, wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.

Sementara itu, menurut Koentjaraningrat, wujud kebudayaan dibagi menjadi nilai budaya, sistem budaya, sistem sosial, dan kebudayaan fisik.[10]

  • Nilai-nilai budaya
    Istilah ini merujuk kepada penyebutan unsur-unsur kebudayaan yang merupakan pusat dari semua unsur yang lain. Nilai-nilai kebudayaan yaitu gagasan-gagasan yang telah dipelajari oleh warga sejak usia dini sehingga sukar diubah. Gagasan inilah yang kemudian menghasilkan berbagai benda yang diciptakan oleh manusia berdasarkan nilai-nilai, pikiran, dan tingkah lakunya.
  • Sistem budaya
    Dalam wujud ini, kebudayaan bersifat abstrak sehingga hanya dapat diketahui dan dipahami. Kebudayaan dalam wujud ini juga berpola dan berdasarkan sistem-sistem tertentu.
  • Sistem sosial
    Sistem sosial merupakan pola-pola tingkah laku manusia yang menggambarkan wujud tingkah laku manusia yang dilakukan berdasarkan sistem. Kebudayaan dalam wujud ini bersifat konkret sehingga dapat diabadikan.
  • Kebudayaan fisik
    Kebudayaan fisik ini merupakan wujud terbesar dan juga bersifat konkret. Misalnya bangunan megah seperti candi Borobudur, benda-benda bergerak seperti kapal tangki, komputer, piring, gelas, kancing baju, dan lain-lain.

Komponen[sunting | sunting sumber]

Berdasarkan wujudnya tersebut, kebudayaan memiliki beberapa elemen atau komponen, menurut ahli antropologi Cateora, yaitu:

  • Kebudayaan material
    Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata atau konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.
  • Kebudayaan nonmaterial
    Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.
  • Lembaga sosial
    Lembaga sosial dan pendidikan memberikan peran banyak dalam konteks berhubungan dan berkomunikasi di alam masyarakat. Sistem sosial yang terbentuk dalam suatu negara akan menjadi dasar dan konsep yang berlaku pada tatanan sosial masyarakat. Contoh di Indonesia pada kota, dan desa di beberapa wilayah, wanita tidak perlu sekolah yang tinggi apalagi bekerja pada suatu instansi atau perusahaan. Tetapi di kota – kota besar hal tersebut terbalik, wajar jika seorang wanita memiliki karier.
  • Sistem kepercayaan
    Bagaimana masyarakat mengembangkan, dan membangun sistem kepercayaan atau keyakinan terhadap sesuatu akan memengaruhi sistem penilaian yang ada dalam masyarakat. Sistem kepercayaan ini akan memengaruhi kebiasaan, pandangan hidup, cara makan, sampai dengan cara berkomunikasi.
  • Estetika
    Berhubungan dengan seni dan kesenian, musik, cerita, dongeng, hikayat, drama, dan tari–tarian, yang berlaku, dan berkembang dalam masyarakat. Seperti di Indonesia setiap masyarakatnya memiliki nilai estetika sendiri. Nilai estetika ini perlu dipahami dalam segala peran agar pesan yang akan disampaikan dapat mencapai tujuan dan efektif. Misalkan di beberapa wilayah, dan bersifat kedaerahan, setiap akan membangun bangunan jenis apa saja harus meletakkan janur kuning, dan buah-buahan sebagai simbol, di mana simbol tersebut memiliki arti berbeda di setiap daerah. Tetapi di kota besar seperti Jakarta jarang terlihat masyarakatnya menggunakan cara tersebut.
  • Bahasa
    Bahasa merupakan alat pengantar dalam berkomunikasi, bahasa untuk setiap wilayah, bagian, dan negara memiliki perbedaan yang sangat kompleks. Dalam ilmu komunikasi bahasa merupakan komponen komunikasi yang sulit dipahami. Bahasa memiliki sifat unik dan kompleks yang hanya dapat dimengerti oleh pengguna bahasa tersebut. Jadi keunikan, dan kekompleksan bahasa ini harus dipelajari, dan dipahami agar komunikasi lebih baik serta efektif dengan memperoleh nilai empati dan simpati dari orang lain.

Hubungan di antara unsur-unsur kebudayaan[sunting | sunting sumber]

Komponen-komponen atau unsur-unsur utama dari kebudayaan antara lain:

Peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi)[sunting | sunting sumber]

Teknologi merupakan salah satu komponen kebudayaan.

Teknologi menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai, serta memelihara segala peralatan, dan perlengkapan. Teknologi muncul dalam cara-cara manusia mengorganisasikan masyarakat, dalam cara-cara mengekspresikan rasa keindahan, atau dalam memproduksi hasil-hasil kesenian.

Masyarakat kecil yang berpindah-pindah atau masyarakat pedesaan yang hidup dari pertanian paling sedikit mengenal delapan macam teknologi tradisional (disebut juga sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik), yaitu alat-alat produksi, senjata, wadah, alat-alat menyalakan api, makanan. pakaian, tempat berlindung dan perumahan, serta alat-alat transportasi

Sistem mata pencaharian hidup[sunting | sunting sumber]

Perhatian para ilmuwan pada sistem mata pencaharian ini terfokus pada masalah-masalah mata pencaharian tradisional saja, di antaranya berburu dan meramu, beternak, bercocok tanam di ladang, dan menangkap ikan.

Sistem kekerabatan dan organisasi sosial[sunting | sunting sumber]

Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial. Meyer Fortes mengemukakan bahwa sistem kekerabatan suatu masyarakat dapat dipergunakan untuk menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang bersangkutan.

Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek, dan seterusnya. Dalam kajian sosiologi-antropologi, ada beberapa macam kelompok kekerabatan dari yang jumlahnya relatif kecil hingga besar seperti keluarga ambilineal, klan, fatri, dan paroh masyarakat. Di masyarakat umum kita juga mengenal kelompok kekerabatan lain seperti keluarga inti, keluarga luas, keluarga bilateral, dan keluarga unilateral.

Sementara itu, organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara. Sebagai makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia membentuk organisasi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat mereka capai sendiri.

Bahasa[sunting | sunting sumber]

Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.

Bahasa memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi menjadi fungsi umum, dan fungsi khusus. Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat untuk berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial, sedangkan fungsi bahasa secara khusus adalah untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni (sastra), mempelajari naskah-naskah kuno, dan untuk mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kesenian[sunting | sunting sumber]

Karya seni dari peradaban Mesir kuno.

Kesenian mengacu pada nilai keindahan (estetika) yang berasal dari ekspresi hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati dengan mata ataupun telinga. Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana hingga perwujudan kesenian yang kompleks.

Sistem kepercayaan[sunting | sunting sumber]

Adakalanya pengetahuan, pemahaman, dan daya tahan fisik manusia dalam menguasai, dan mengungkap rahasia-rahasia alam sangat terbatas. Secara bersamaan, muncul keyakinan akan adanya penguasa tertinggi dari sistem jagat raya ini, yang juga mengendalikan manusia sebagai salah satu bagian jagat raya. Sehubungan dengan itu, baik secara individual maupun hidup bermasyarakat, manusia tidak dapat dilepaskan dari religi atau sistem kepercayaan kepada penguasa alam semesta.

Agama dan sistem kepercayaan lainnya sering kali terintegrasi dengan kebudayaan. Agama (bahasa Inggris: Religion, yang berasar dari bahasa Latin religare, yang berarti "menambatkan"), adalah sebuah unsur kebudayaan yang penting dalam sejarah umat manusia Kamus Filosofi dan Agama mendefinisikan agama sebagai berikut:

... sebuah institusi dengan keanggotaan yang diakui dan biasa berkumpul bersama untuk beribadah, dan menerima sebuah paket doktrin yang menawarkan hal yang terkait dengan sikap yang harus diambil oleh individu untuk mendapatkan kebahagiaan sejati.[11]

Agama biasanya memiliki suatu prinsip, seperti "10 Firman" dalam agama Kristen atau "5 rukun Islam" dalam agama Islam. Kadang-kadang agama dilibatkan dalam sistem pemerintahan, seperti misalnya dalam sistem teokrasi. Agama juga memengaruhi kesenian.

Agama Samawi[sunting | sunting sumber]

Tiga agama besar, Yahudi, Kristen, dan Islam, sering dikelompokkan sebagai agama Samawi[12] atau agama Abrahamik.[13] Ketiga agama tersebut memiliki sejumlah tradisi yang sama, tetapi juga memiliki perbedaan-perbedaan yang mendasar dalam inti ajarannya. Ketiganya telah memberikan pengaruh yang besar dalam kebudayaan manusia di berbagai belahan dunia.

Agama dan filsafat dari Timur[sunting | sunting sumber]

Agni, dewa api agama Hindu

Agama dan filosofi sering kali saling terkait satu sama lain pada kebudayaan Asia. Agama dan filosofi di Asia kebanyakan berasal dari India dan Tiongkok, dan menyebar di sepanjang benua Asia melalui difusi kebudayaan dan migrasi. Agama Hindu dan Agama Buddha berasal dari Asia Selatan, sedangkan Agama Konghucu dan Taoisme merupakan dua filosofi asal Tiongkok yang memengaruhi berbagai aspek, baik dari religi, seni, politik, maupun tradisi filosofi di seluruh Asia.

Pada abad ke-20, di kedua negara berpenduduk paling padat se-Asia, dua aliran filosofi politik tercipta. Mahatma Gandhi memberikan pengertian baru tentang Ahimsa, inti dari kepercayaan Hindu maupun Jaina, dan memberikan definisi baru tentang konsep antikekerasan, dan antiperang. Pada periode yang sama, filosofi komunisme Mao Zedong menjadi sistem kepercayaan sekuler yang sangat kuat di China.

Agama tradisional[sunting | sunting sumber]

Agama tradisional, atau kadang-kadang disebut sebagai "agama nenek moyang", dianut oleh sebagian suku pedalaman di Asia, Afrika, dan Amerika. Pengaruh mereka cukup besar; mungkin bisa dianggap telah menyerap kedalam kebudayaan atau bahkan menjadi agama negara, seperti misalnya agama Shinto. Seperti kebanyakan agama lainnya, agama tradisional menjawab kebutuhan rohani manusia akan ketentraman hati di saat bermasalah, tertimpa musibah, tertimpa musibah, dan menyediakan ritual yang ditujukan untuk kebahagiaan manusia itu sendiri.

"Impian Amerika Serikat"[sunting | sunting sumber]

Impian Amerika Serikat adalah sebuah gagasan yang dipercayai oleh banyak orang di Amerika Serikat. Mereka percaya bahwa melalui kerja keras, pengorbanan, dan kebulatan tekad, tanpa memedulikan status sosial, seseorang dapat mendapatkan kehidupan yang lebih baik.[14] Gagasan ini berakar dari sebuah keyakinan bahwa Amerika Serikat adalah sebuah "kota di atas bukit" ("city upon a hill"), "cahaya untuk negara-negara" ("a light unto the nations"),[15] yang memiliki nilai, dan kekayaan yang telah ada sejak kedatangan para penjelajah Eropa sampai generasi berikutnya.

Pernikahan[sunting | sunting sumber]

Agama sering kali memengaruhi pernikahan, dan perilaku seksual. Kebanyakan gereja Kristen memberikan pemberkatan kepada pasangan yang menikah; gereja biasanya memasukkan acara pengucapan janji pernikahan di hadapan tamu, sebagai bukti bahwa komunitas tersebut menerima pernikahan mereka. Umat Kristen juga melihat hubungan antara Yesus Kristus dengan gerejanya.

Gereja Katolik Roma mempercayai bahwa sebuah perceraian adalah perbuatan tercela yang disebabkan oleh sikap egoistis dari individu masing-masing. Alasan perceraian umumnya beragam mulai dari perselingkuhan, ketidak sesuian sifat, perlakukan kasar pasangan, fundamental paham yang sudah tidak sejalan yang dalam pandangan Gereja Katolik Roma sebuah alasan yang mengada-ada. Gereja Katolik Roma berdasarkan ajaran Yesus Kristus beranggapan bahwa seseorang yang terikat dalam intitusi pernikahan melakukan perceraian adalah bagian dari bentuk dari perjinahan kepada Tuhan, dan umat. Berdasarkan pemikiran ini, maka seseorang yang telah bercerai tidak dapat dinikahkan kembali di gereja terkecuali bercerai karena salah satu pasangannya telah dipanggil ke hadapan Tuhan. Sementara Agama Islam memandang pernikahan sebagai suatu kewajiban. Islam menganjurkan untuk tidak melakukan perceraian, namun memperbolehkannya.

Sistem ilmu dan pengetahuan[sunting | sunting sumber]

Secara sederhana, pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia tentang benda, sifat, keadaan, dan harapan-harapan. Pengetahuan dimiliki oleh semua suku bangsa di dunia. Mereka memperoleh pengetahuan melalui pengalaman, intuisi, wahyu, dan berpikir menurut logika, atau percobaan-percobaan yang bersifat empiris.

Sistem pengetahuan tersebut dikelompokkan menjadi pengetahuan tentang alam; pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan dan hewan di sekitarnya; pengetahuan tentang tubuh manusia, pengetahuan tentang sifat, dan tingkah laku sesama manusia; serta pengetahuan tentang ruang dan waktu.

Perubahan sosial budaya[sunting | sunting sumber]

Perubahan sosial budaya dapat terjadi bila sebuah kebudayaan melakukan kontak dengan kebudayaan asing.

Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial, dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan ini merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat, dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan. Ada tiga faktor yang dapat memengaruhi perubahan sosial, yaitu tekanan kerja dalam masyarakat, keefektifan komunikasi, dan perubahan lingkungan alam.[16]

Perubahan budaya juga dapat timbul akibat timbulnya perubahan lingkungan masyarakat, penemuan baru, dan kontak dengan kebudayaan lain. Sebagai contoh, berakhirnya zaman es berujung pada ditemukannya sistem pertanian, dan kemudian memancing inovasi-inovasi baru lainnya dalam kebudayaan.

Penetrasi kebudayaan[sunting | sunting sumber]

Penetrasi kebudayaan adalah masuknya pengaruh suatu kebudayaan ke kebudayaan lainnya. Penetrasi kebudayaan dapat terjadi dengan dua cara:

Penetrasi damai
Masuknya sebuah kebudayaan dengan jalan damai. Misalnya, masuknya pengaruh kebudayaan Kpop, Hollywood, Bollywood, dan lain-lain sebagainya ke Indonesia[butuh rujukan]. Penerimaan kebudayaan tersebut tidak mengakibatkan konflik, tetapi memperkaya khasanah budaya masyarakat setempat. Pengaruh kedua kebudayaan ini pun tidak mengakibatkan hilangnya unsur-unsur asli budaya masyarakat.
Penyebaran kebudayaan secara damai akan menghasilkan Akulturasi, Asimilasi, atau Sintesis.

Akulturasi adalah bersatunya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru tanpa menghilangkan unsur kebudayaan asli. Contohnya, bentuk bangunan Candi Borobudur yang merupakan perpaduan antara kebudayaan asli Indonesia, dan kebudayaan India. Asimilasi adalah bercampurnya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru. Sedangkan Sintesis adalah bercampurnya dua kebudayaan yang berakibat pada terbentuknya sebuah kebudayaan baru yang sangat berbeda dengan kebudayaan asli.

Penetrasi kekerasan
Masuknya sebuah kebudayaan dengan cara memaksa, dan merusak. Contohnya, masuknya kebudayaan Barat ke Indonesia pada zaman penjajahan disertai dengan kekerasan sehingga menimbulkan goncangan-goncangan yang merusak keseimbangan dalam masyarakat[butuh rujukan].

Wujud budaya dunia barat antara lain adalah budaya dari Belanda yang menjajah selama 350 tahun lamanya. Budaya warisan Belanda masih melekat di Indonesia antara lain pada sistem pemerintahan Indonesia.

Cara pandang terhadap kebudayaan[sunting | sunting sumber]

Kebudayaan sebagai peradaban[sunting | sunting sumber]

Kebanyakan orang memahami gagasan "budaya" yang dikembangkan di Eropa pada abad ke-18 dan awal abad ke-19. Gagasan tentang "budaya" ini merefleksikan adanya ketidakseimbangan antara kekuatan Eropa dan kekuatan daerah-daerah yang dijajahnya. Mereka menganggap 'kebudayaan' sebagai "peradaban" sebagai lawan kata dari "alam". Menurut cara pikir ini, kebudayaan satu dengan kebudayaan lain dapat diperbandingkan; salah satu kebudayaan lebih tinggi dari kebudayaan lainnya.[butuh rujukan]

Artefak tentang "kebudayaan tingkat tinggi" (High Culture) oleh Edgar Degas.

Pada praktiknya, kata kebudayaan merujuk pada benda-benda, dan aktivitas yang "elit" seperti misalnya memakai baju yang berkelas, fine art, atau mendengarkan musik klasik, sementara kata berkebudayaan digunakan untuk menggambarkan orang yang mengetahui, dan mengambil bagian, dari aktivitas-aktivitas di atas.[butuh rujukan]

Sebagai contoh, jika seseorang berpendendapat bahwa musik klasik adalah musik yang "berkelas", elit, dan bercita rasa seni, sementara musik tradisional dianggap sebagai musik yang kampungan, dan ketinggalan zaman, maka timbul anggapan bahwa ia adalah orang yang sudah "berkebudayaan".[butuh rujukan]

Orang yang menggunakan kata "kebudayaan" dengan cara ini tidak percaya ada kebudayaan lain yang eksis; mereka percaya bahwa kebudayaan hanya ada satu, dan menjadi tolok ukur norma, dan nilai di seluruh dunia. Menurut cara pandang ini, seseorang yang memiliki kebiasaan yang berbeda dengan mereka yang "berkebudayaan" disebut sebagai orang yang "tidak berkebudayaan"; bukan sebagai orang "dari kebudayaan yang lain." Orang yang "tidak berkebudayaan" dikatakan lebih "alam," dan para pengamat sering kali mempertahankan elemen dari kebudayaan tingkat tinggi untuk menekan pemikiran "manusia alami".[butuh rujukan]

Sejak abad ke-18, beberapa kritik sosial telah menerima adanya perbedaan antara berkebudayaan, dan tidak berkebudayaan, tetapi perbandingan itu -berkebudayaan, dan tidak berkebudayaan- dapat menekan interpretasi perbaikan, dan interpretasi pengalaman sebagai perkembangan yang merusak, dan "tidak alami" yang mengaburkan, dan menyimpangkan sifat dasar manusia.[butuh rujukan]

Dalam hal ini, musik tradisional (yang diciptakan oleh masyarakat kelas pekerja) dianggap mengekspresikan "jalan hidup yang alami", dan musik klasik sebagai suatu kemunduran, dan kemerosotan.[butuh rujukan]

Saat ini kebanyak ilmuwan sosial menolak untuk memperbandingkan antara kebudayaan dengan alam, dan konsep monadik yang pernah berlaku. Mereka menganggap bahwa kebudayaan yang sebelumnya dianggap "tidak elit" dan "kebudayaan elit" adalah sama - masing-masing masyarakat memiliki kebudayaan yang tidak dapat diperbandingkan.[butuh rujukan]

Pengamat sosial membedakan beberapa kebudayaan sebagai budaya populer, yang berarti barang atau aktivitas yang diproduksi, dan dikonsumsi oleh banyak orang.[17][18]

Kebudayaan sebagai "sudut pandang umum"[sunting | sunting sumber]

Selama Era Romantis, para cendekiawan di Jerman, khususnya mereka yang peduli terhadap gerakan nasionalisme - seperti misalnya perjuangan nasionalis untuk menyatukan Jerman, dan perjuangan nasionalis dari etnis minoritas melawan Kekaisaran Austria-Hungaria - mengembangkan sebuah gagasan kebudayaan dalam "sudut pandang umum".

Pemikiran ini menganggap suatu budaya dengan budaya lainnya memiliki perbedaan, dan kekhasan masing-masing. Karenanya, budaya tidak dapat diperbandingkan. Meskipun begitu, gagasan ini masih mengakui adanya pemisahan antara "berkebudayaan" dengan "tidak berkebudayaan" atau kebudayaan "primitif."

Pada akhir abad ke-19, para ahli antropologi telah memakai kata kebudayaan dengan definisi yang lebih luas. Bertolak dari teori evolusi, mereka mengasumsikan bahwa setiap manusia tumbuh, dan berevolusi bersama, dan dari evolusi itulah tercipta kebudayaan.

Pada tahun 50-an, subkebudayaan - kelompok dengan perilaku yang sedikit berbeda dari kebudayaan induknya - mulai dijadikan subjek penelitian oleh para ahli sosiologi. Pada abad ini pula, terjadi popularisasi ide kebudayaan perusahaan - perbedaan, dan bakat dalam konteks pekerja organisasi atau tempat bekerja.

Kebudayaan sebagai mekanisme stabilisasi[sunting | sunting sumber]

Teori-teori yang ada saat ini menganggap bahwa (suatu) kebudayaan adalah sebuah produk dari stabilisasi yang melekat dalam tekanan evolusi menuju kebersamaan, dan kesadaran bersama dalam suatu masyarakat, atau biasa disebut dengan tribalisme.

Kebudayaan di antara masyarakat[sunting | sunting sumber]

Sebuah kebudayaan besar biasanya memiliki sub-kebudayaan (atau biasa disebut sub-kultur), yaitu sebuah kebudayaan yang memiliki sedikit perbedaan dalam hal perilaku, dan kepercayaan dari kebudayaan induknya. Munculnya sub-kultur disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya karena perbedaan umur, ras, etnisitas, kelas, aesthetik, agama, pekerjaan, pandangan politik dan gender,

Ada beberapa cara yang dilakukan masyarakat ketika berhadapan dengan imigran, dan kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan asli. Cara yang dipilih masyarakat tergantung pada seberapa besar perbedaan kebudayaan induk dengan kebudayaan minoritas, seberapa banyak imigran yang datang, watak dari penduduk asli, keefektifan, dan keintensifan komunikasi antar budaya, dan tipe pemerintahan yang berkuasa.

  • Monokulturalisme: Pemerintah mengusahakan terjadinya asimilasi kebudayaan sehingga masyarakat yang berbeda kebudayaan menjadi satu, dan saling bekerja sama.
  • Leitkultur (kebudayaan inti): Sebuah model yang dikembangkan oleh Bassam Tibi di Jerman. Dalam Leitkultur, kelompok minoritas dapat menjaga, dan mengembangkan kebudayaannya sendiri, tanpa bertentangan dengan kebudayaan induk yang ada dalam masyarakat asli.
  • Melting Pot: Kebudayaan imigran/asing berbaur, dan bergabung dengan kebudayaan asli tanpa campur tangan pemerintah.
  • Multikulturalisme: Sebuah kebijakan yang mengharuskan imigran, dan kelompok minoritas untuk menjaga kebudayaan mereka masing-masing, dan berinteraksi secara damai dengan kebudayaan induk.

Kebudayaan menurut wilayah[sunting | sunting sumber]

Seiring dengan kemajuan teknologi, dan informasi, hubungan, dan saling keterkaitan kebudayaan-kebudayaan di dunia saat ini sangat tinggi. Selain kemajuan teknologi, dan informasi, hal tersebut juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi, migrasi, dan agama.

Afrika

Beberapa kebudayaan di benua Afrika terbentuk melalui penjajahan Eropa, seperti kebudayaan Sub-Sahara. Sementara itu, wilayah Afrika Utara lebih banyak terpengaruh oleh kebudayaan Arab, dan Islam.

Orang Hopi yang sedang menenun dengan alat tradisional di Amerika Serikat.
Amerika

Kebudayaan di benua Amerika dipengaruhi oleh suku-suku Asli benua Amerika; orang-orang dari Afrika (terutama di Amerika Serikat), dan para imigran Eropa terutama Spanyol, Inggris, Prancis, Portugis, Jerman, dan Belanda.

Asia

Asia memiliki berbagai kebudayaan yang berbeda satu sama lain, meskipun begitu, beberapa dari kebudayaan tersebut memiliki pengaruh yang menonjol terhadap kebudayaan lain, seperti misalnya pengaruh kebudayaan Tiongkok kepada kebudayaan Jepang, Korea, dan Vietnam.

Dalam bidang agama, agama Budha dan Taoisme banyak memengaruhi kebudayaan di Asia Timur. Selain kedua Agama tersebut, norma dan nilai Agama Islam juga turut memengaruhi kebudayaan terutama di wilayah Asia Selatan dan Tenggara.

Australia

Kebanyakan budaya di Australia masa kini berakar dari kebudayaan Eropa dan Amerika. Kebudayaan Eropa, dan Amerika tersebut kemudian dikembangkan, dan disesuaikan dengan lingkungan benua Australia, serta diintegrasikan dengan kebudayaan penduduk asli benua Australia, Aborigin.

Eropa

Kebudayaan Eropa banyak terpengaruh oleh kebudayaan negara-negara yang pernah dijajahnya. Kebudayaan ini dikenal juga dengan sebutan "kebudayaan barat". Kebudayaan ini telah diserap oleh banyak kebudayaan, hal ini terbukti dengan banyaknya pengguna bahasa Inggris, dan bahasa Eropa lainnya di seluruh dunia. Selain dipengaruhi oleh kebudayaan negara yang pernah dijajah, kebudayaan ini juga dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani kuno, Romawi kuno, dan agama Kristen, meskipun kepercayaan akan agama banyak mengalami kemunduran beberapa tahun ini.

Timur Tengah dan Afrika Utara

Kebudayaan didaerah Timur Tengah dan Afrika Utara saat ini kebanyakan sangat dipengaruhi oleh nilai, dan norma agama Islam, meskipun tidak hanya agama Islam yang berkembang di daerah ini.

Lihat juga[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ https://katadata.co.id/safrezi/berita/61e128ff924cd/budaya-adalah-cara-hidup-begini-penjelasannya
  2. ^ Liputan6.com (11 Januari 2019). Fahrudin, Nanang, ed. "Pengertian Budaya Menurut Para Ahli, Jangan Keliru Memaknainya". Liputan6.com. Diakses tanggal 20 Juli 2021. 
  3. ^ Tubbs, Stewart L.; Moss, Sylvia (2000). Human communication: konteks-konteks komunikasi. Diterjemahkan oleh Mulyana, Deddy. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. ISBN 979-514-578-9. OCLC 975153443. 
  4. ^ Mulyana, Deddy; Rakhmat, Jalaluddin (2009). Komunikasi Antarbudaya:Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya. hlm. 25. ISBN 979-514-782-X. OCLC 953657615. 
  5. ^ Bauto, Laode Monto (Desember 2014). "Perspektif Agama Dan Kebudayaan Dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia (Suatu Tinjauan Sosiologi Agama". Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial. 23 (2): 17. 
  6. ^ Marzali, Amri (Oktober 2014). "Memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia". Humaniora. 26 (3): 258. 
  7. ^ Ryan Prayogi, Endang Danial (2016). "Pergeseran Nilai-Nilai Budaya Pada Suku Bonai Sebagai Civic Culture Di Kecamatan Bonai Darussalam Kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau". Humanika. ISSN 1412-9418. 
  8. ^ Gunsu Nurmansyah, Nunung Rodliyah, Recca Ayu Hapsari (2019). Pengantar Antropologi: Sebuah Ikhtisar Mengenal Antropologi. Aura Publisher. hlm. 76–81. ISBN 978-623-211-107-3. 
  9. ^ Eviyanti, Sari (20 Juni 2013). TAMAN BUDAYA KALIMANTAN TENGAH (Tesis). Universitas Atma Jaya Yogyakarta. http://e-journal.uajy.ac.id/2374/. 
  10. ^ Firosya, Baladan Hadza. "Memahami Pengertian Budaya Menurut Berbagai Ahli". detikedu. Diakses tanggal 2024-01-14. 
  11. ^ Reese, William L. (1980). Dictionary of Philosophy and Religion: Eastern and Western Thought. Humanities Press. hlm. 488. OCLC 608923087. 
  12. ^ Dari bahasa Arab, artinya: "agama langit"; karena dianggap diturunkan dari langit berupa wahyu.
  13. ^ Karena dianggap muncul dari suatu tradisi bersama Semit kuno dan ditelusuri oleh para pemeluknya kepada tokoh Abraham/Ibrahim, yang juga disebutkan dalam kitab-kitab suci ketiga agama tersebut.
  14. ^ Boritt, Gabor S. Lincoln and the Economics of the American Dream, p. 1.
  15. ^ Ronald Reagan. "Final Radio Address to the Nation" Diarsipkan 2016-01-30 di Wayback Machine..
  16. ^ O'Neil, D. 2006. "Processes of Change" Diarsipkan 2016-10-27 di Wayback Machine..
  17. ^ Meilani, Dwi Puspa (2018-10-01). "Fenomena Kue Kekinian Di Kalangan Remaja Kota Bogor (Studi Kasus:Cakekinian Bogor)". Jakarta: FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 
  18. ^ Faisal, Muhammad Agung; Lusiana, Yusida; Firmansyah, Dian Bayu (2022-04-25). "Hegemonisasi Budaya Populer Jepang dalam Komunitas Otaku". KIRYOKU (dalam bahasa Inggris). 6 (1): 9–15. doi:10.14710/kiryoku.v6i1.9-15. ISSN 2581-0960. 

Bacaan lanjutan[sunting | sunting sumber]

"Ritual and Social Change: A Javanese Example", American Anthropologist, Vol. 59, No. 1. — 1957.

Pranala luar[sunting | sunting sumber]