Tatalaksana Penyakit Koronavirus

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Penyakit Koronavirus merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus Sars-Cov-2. Penyakit ini pertama kali diumumkan di Indonesia pada 4 Maret 2020 dengan kasus pertama sebanyak 2 kasus dan terus berkembang hingga saat ini sebanyak 1.443.853 (18 Maret 2021) penduduk Indonesia yang terkonfirmasi positif.[1][2]

Kasus Koronavirus dengan hasil usap nasofaring positif dibagi menjadi :[3]

  1. Tanpa gejala
  2. Derajat ringan dengan gejala yang muncul seperti demam, batuk, kelelahan, anoreksia, napas pendek, dan myalgia (nyeri otot). Gejala tidak spesifik lainnya seperti sakit tenggorokan, hidung tersumbat, sakit kepala, diare, mual dan muntah, hilang kemampuan penghidu (anosmia) atau hilang pengecapan (ageusia) yang muncul sebelum onset gejala pernapasan.
  3. Derajat sedang, dengan tanda klinis pneumonia (demam, batuk, sesak, napas cepat) tetapi tidak ada tanda pneumonia berat termasuk saturasi oksigen > 93% dengan udara ruangan atau pada anak-anak ditandai dengan pneumonia tidak berat (batuk, sulit bernapas, napas cepat dan/atau terdapat tarikan dinding dada) dan tidak ada tanda pneumonia berat.
  4. Derajat berat, dengan tanda klinis pneumonia (demam, batuk, sesak, napas cepat) ditambah satu dari: frekuensi napas > 30 x/menit, distres pernapasan berat, atau saturasi oksigen < 93% pada udara ruangan. Atau pada anak dengan tanda klinis pneumonia (batuk atau kesulitan bernapas).
  5. Kritis, dengan Sindrom Distres Pernapasan Akut, sepsis, dan syok sepsis.

Penanganan Koronavirus bersifat suportif tergantung gejala yang muncul pada penderita, seperti pemberian obat-obatan untuk meringankan keluhan, terapi cairan, pemberian oksigen tambahan, dan posisi tengkurap untuk membantu melegakan pernapasan.[4][5]

Isolasi dan Pemantauan[sunting | sunting sumber]

Isolasi mandiri dilakukan untuk memisahkan orang yang terinfeksi Koronavirus dari orang yang tidak terinfeksi di rumah selama 10 hari sejak pengambilan spesimen diagnosis konfirmasi, baik isolasi mandiri di rumah maupun di fasilitas publik yang dipersiapkan pemerintah. Penderita dipantau melalui telepon oleh petugas Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Selanjutnya penderita diminta kontrol di FKTP terdekat setelah 10 hari untuk pemantauan klinis.[6][3]

Nonfarmakologi[sunting | sunting sumber]

  • Penderita harus selalu menggunakan masker jika keluar kamar dan saat berinteraksi dengan anggota keluarga, mencuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau penyanitasi tangan sesering mungkin, menjaga jarak dengan anggota keluarga yang lain, upayakan tidur di kamar tidur terpisah dan menggunakan kamar mandi yang berbeda bila memungkinkan, menerapkan etika batuk, segera mencuci alat makan dan minum dengan air dan sabun, berjemur dibawah sinar matahari minimal sekitar 10-15 menit setiap harinya (sebelum jam 9 pagi dan setelah jam 3 sore), memasukkan pakaian yang telah dipakai ke dalam kantong plastik/wadah tertutup yang terpisah dengan pakaian kotor keluarga yang lainnya sebelum dicuci dan segera dimasukkan mesin cuci. Untuk pemantauan, penderita harus mengukur dan mencatat suhu tubuh 2 kali sehari (pagi dan malam) serta menginformasikan ke petugas pemantau FKTP atau keluarga jika terjadi peningkatan suhu tubuh > 38o C.[3][7]
  • Keluarga yang berkontak erat dengan penderita sebaiknya memeriksakan diri ke FKTP/Rumah Sakit, anggota keluarga selalu mengenakan masker, menjaga jarak minimal 1 meter dari penderita, rajin mencuci tangan, dan membersihkan sesering mungkin daerah yang tersentuh pasien.[3]
  • Lingkungan, penderita dan keluarga membuka jendela kamar secara berkala, menggunakan Alat Pelindung Diri saat membersihkan kamar (minimal masker dan bila memungkinkan menggunakan sarung tangan dan kacamata pelindung), dan membersihkan kamar setiap hari dengan air sabun atau bahan desinfektan lainnya.[3]

Farmakologi[sunting | sunting sumber]

Tatalaksana farmakologi pada penyakit Koronavirus didasarkan pada tingkat keparahan penyakit. Secara umum, obat-obatan yang dapat diberikan sesuai kondisi penderita antara lain sebagai berikut:

  1. Vitamin C sebagai antioksidan yang memiliki sifat antiinflamasi, mempengaruhi imunitas seluler dan integritas vaskular, dan berfungsi sebagai kofaktor dalam pembentukan katekolamin endogen.[8]
  2. Vitamin D bekerja dengan menekan sitokin-sitokin inflamasi.[9]
  3. Vitamin B membantu aktivasi respon imun, mengurangi kadar sitokin proinflamasi, mempertahankan integritas endotel, dan mencegah hiperkoagulabilitas.[10]
  4. Antivirus yang bekerja secara langsung dengan cara memengaruhi proses RNA capping yang diperlukan untuk stabilitas RNA dan proses translasi dari virus dan menghambat polimerase RNA virus. Adapun mekanisme secara tidak langsung terjadi melalui proses: penghambatan inosine monophosphate (IMP) dehydrogenase yang dapat menghambat proses replikasi virus dan efek imunomodulator dengan mempertahankan respon imun dari Sel T pembantu tipe 1.[1]
  5. Antibiotik (pada kasus berat)[3]
  6. Antikoagulan untuk mencegah pembentukan bekuan pada pembuluh darah.[11]
  7. Tocilizumab dengan menekan dampak interleukin-6 terhadap peradangan paru dan pembuluh darah[3]
  8. Anakinra merupakan antagonis reseptor interleukin-1 rekombinan yang memiliki mekanisme untuk menetralisasi reaksi hiperinflamasi yang terjadi pada kondisi Sindrom Distres Pernapasan Akut yang disebabkan oleh Penyakit Koronavirus.[3]
  9. Sel Punca bekerja sebagai immunomodulator yang menekan produksi substansi-substansi reaktif penyebab hiperinflamasi yang mencederai jaringan paru, serta memiliki efek antifibrotik yang dapat memperbaiki jaringan paru yang fibrosis.[1][4]
  10. Immunoglobulin Intravena adalah konsentrat immunoglobulin G yang diisolasi dari plasma donor yang normal.[3]
  11. Terapi Plasma Konvalesen yaitu memberikan antibodi terhadap penyakit infeksi tertentu kepada seseorang dengan tujuan mengobati atau mencegah orang tersebut dari penyakit itu dengan cara memberikan imunitas yang bersifat cepat. Plasma konvalesen diperoleh dari penderita penyakit Koronavirus yang telah sembuh, diambil melalui metoda plasmaferesis dan diberikan kepada penderita Koronavirus dengan gejala berat atau potensial mengancam nyawa.[3][12]
  12. Vaksinasi untuk memberikan kekebalan spesifik terhadap Penyakit Koronavirus sehingga apabila suatu saat terpajan maka tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan.[3]
  13. N-Asetilsistein dihipotesiskan dapat meningkatkan glutation, meningkatkan respon sel T, dan modulasi inflamasi.[13]
  14. Kolkisin, pemberian kolkisin dapat menurunkan kebutuhan penggunaan oksigen, mengurangi lama rawat, dan menurunkan CRP.[3]
  15. Spironolakton dihipotesiskan mampu memitigasi abnormalitas ekspresi Angiotensin Converting Enzyme-2 (ACE-2), memperbaiki keseimbangan ACE-2 yang tersirkulasi dan terikat pada membran, menghambat aktivitas Transmembran Protease Serin 2 yang termediasi androgen, dan memperbaiki disfungsi regulasi sistem renin-angiotensin-aldosteron yang berpotensi mengurangi pematangan virus.[3]
  16. Bronkoskopi terapeutik karena sumbatan akibat lendir[3]
  17. Plasmaferesis, yaitu pemisahan plasma dari komponen darah lain dimana plasmaferesis dapat mengeluarkan antibodi, kompleks imun, lipoptotein, makromolekul, serta toksin dan molekul inflamasi yang ada didalam plasma.[3][12]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c Bergman, Scott J (2021-03-15). "COVID-19 Treatment: Investigational Drugs and Other Therapies: Introduction, Antiviral Agents, Immunomodulators and Other Investigational Therapies". 
  2. ^ Satuan Tugas Penanganan Covid, Komite Nasional Penanganan Covid dan Pemulihan Ekonomi Nasional. "Peta Sebaran COVID-19". covid19.go.id. Diakses tanggal 2021-03-19. 
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o Burhan dkk, Erlina (2020). Pedoman Tatalaksana COVID-19 (PDF). Jakarta. 
  4. ^ a b Gullick, Roy M; et al. (11-02-2021). "Therapeutic Management". COVID-19 Treatment Guidelines (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-03-19. 
  5. ^ Ghelichkhani, Parisa; Esmaeili, Maryam (2020-04-11). "Prone Position in Management of COVID-19 Patients; a Commentary". Archives of Academic Emergency Medicine. 8 (1). ISSN 2645-4904. PMC 7158870alt=Dapat diakses gratis. PMID 32309812. 
  6. ^ Division of Viral Disease, National Center for Immunization and Respiratory Diseases (NCIRD) (2020-02-11). "Isolate If You Are Sick". Centers for Disease Control and Prevention (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-03-19. 
  7. ^ Crowley, Kelly; et al. (16-03-2021). "Patient education: COVID-19 overview". www.uptodate.com. Diakses tanggal 2021-03-19. 
  8. ^ Gullick, Roy M; et al. (3-11-2020). "Vitamin C". COVID-19 Treatment Guidelines (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-03-19. 
  9. ^ Weir, E Kenneth; Thenappan, Thenappan; Bhargava, Maneesh; Chen, Yingjie (2020-7). "Does vitamin D deficiency increase the severity of COVID-19?". Clinical Medicine. 20 (4): e107–e108. doi:10.7861/clinmed.2020-0301. ISSN 1470-2118. PMC 7385774alt=Dapat diakses gratis. PMID 32503801. 
  10. ^ Shakoor, Hira; Feehan, Jack; Mikkelsen, Kathleen; Al Dhaheri, Ayesha S.; Ali, Habiba I.; Platat, Carine; Ismail, Leila Cheikh; Stojanovska, Lily; Apostolopoulos, Vasso (2021-2). "Be well: A potential role for vitamin B in COVID-19". Maturitas. 144: 108–111. doi:10.1016/j.maturitas.2020.08.007. ISSN 0378-5122. PMC 7428453alt=Dapat diakses gratis. PMID 32829981. 
  11. ^ WHO (26-01-2021). "WHO recommends follow-up care, low-dose anticoagulants for COVID-19 patients". www.who.int (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-03-19. 
  12. ^ a b Setiadi, Adji P.; Wibowo, Yosi I.; Halim, Steven V.; Brata, Cecilia; Presley, Bobby; Setiawan, Eko (2020-03-31). "Tata Laksana Terapi Pasien dengan COVID-19: Sebuah Kajian Naratif". Indonesian Journal of Clinical Pharmacy. 9 (1): 70. doi:10.15416/ijcp.2020.9.1.70. ISSN 2337-5701. 
  13. ^ Poe, Francis L.; Corn, Joshua (2020-10). "N-Acetylcysteine: A potential therapeutic agent for SARS-CoV-2". Medical Hypotheses. 143: 109862. doi:10.1016/j.mehy.2020.109862. ISSN 0306-9877. PMC 7261085alt=Dapat diakses gratis. PMID 32504923.