Sultanah Nahrasyiya

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Sultanah Nahrasyiya (Nahrasyiah/Nahrisyah) adalah seorang putri keturunan Sultan Zainal Abidin bin Ahmad bin Muhammad bin Al-Malik Ash-Shahih (Sultan Malik As-Saleh) dan merupakan raja perempuan (sultanah) pertama serta satu-satunya yang pernah memimpin Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Ia wafat pada tanggal 17 Zulhijah 832 atau 27 September 1428.[1] Selama masa kepemimpinannya sejak tahun 1405-1428 M (23 tahun), Kerajaan Samudera Pasai mengalami masa kejayaan dimana emansipasi semakin berkembang dan kaum wanita turut serta menyebarkan agama Islam. Ia dikenal memiliki sifat keibuan dan penuh kasih sayang, serta selalu memuliakan harkat dan martabat perempuan. Ia mendapatkan gelar Malikah Muazzamah (Ratu Dipertuankan Agung) dan Ra-Baghsa Khadiyu (Penguasa yang Pemurah) yang dapat ditemukan pada batu nisannya yang ada di Kompleks II (Kuta Karang) di wilayah Gampong Kuta Krueng, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara (18 km di timur Kota Lhokseumawe) dan terletak tidak jauh dari makam Sultan Malikussaleh yang terletak di Kompleks I makam Raja-Raja Samudera Pasai.[2][3][4]

Kondisi Makam[sunting | sunting sumber]

Berdasarkan penuturan dari Prof. Dr. Christiaan Snouck Hurgronje dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar di Rijksuniversiteit Leiden pada tanggal 23 Januari 1907, makam Sultanah Nahrasyiah yang terletak tidak jauh dari Kompleks I malam raja-raja Samudera Pasai ini mungkin adalah makam terindah di Asia Tenggara karena terbuat dari batu pualam yang didatangkan langsung dari Gujarat, India, memiliki jirat yang tinggi dan bersatu dengan bagian nisannya, serta bagian dindingnya dihiasi dengan pahatan ukiran-ukiran kaligrafi Al-Quran yang berbahasa Arab.[2]

Di wilayah makam Sultanah Nahrasyiah terdapat ukiran-ukiran kaligrafi berbahasa Arab yang jika diterjemahkan berbunyi, "Inilah kubur wanita yang bercahaya, yang suci, ratu yang terhormat, almarhumah yang diampunkan dosanya, Nahrasiyah, sulthanah putri Sulthan Zainal Abidin putra Sulthan Ahmad putra Sulthan Muhammad putra Sulthan Al Malikul Salih. Kepada mereka itu dicurahkan rahmat dan diampuni dosanya meninggal dunia dengan rahmat Allah pada Senin, 17 Dzulhijah 832". Pada sisi lain dinding makam juga terdapat ukiran kaligrafi ayat-ayat Al-Quran, seperti Surat Yasin, Surat Al-Baqarah ayat 285 dan 298, serta Surat Ali-Imran ayat 18 dan 19.[2][4]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Selain keterangan yang ada di makam, catatan sejarah mengenai Ratu Nahrisyah juga terdapat pada sejarah Cina, yakni kronik Ying-yai sheng-lan. Dalam naskah tersebut terdapat laporan umum mengenai pantai-pantai Sumatra waktu itu serta menyebutkan raja-raja yang berkuasa. Dalam kronik dinasti Ming (1368-1643) buku 32 diceritakan, Sekandar (Iskandar) keponakan suami kedua Ratu bersama ribuan pengikutnya menyerang armada Cheng Ho yang sedang melakukan ekspedisi ke Nusantara. Tapi, serdadu-serdadu Cina berhasil mengalahkan penyerang tersebut hingga kemudian Sekandar ditangkap dan dibawa sebagai tawanan Istana Maharaja Cina. Di sana, Sekandar dijatuhi hukuman mati. Menurut Ibrahim, Ratu yang dimaksud dalam cerita Cina tersebut adalah Ratu Nahrasiyah, putri Sultan Zainal Abidin atau dalam literatur Cina sebagai Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki.

Sejarawan lain yang menulis kebesaran Ratu Nahrisyah adalah JP Moquette.Dia menulis buku De Grafsteenen Te Pase En Grissee Verge Liken Met Dergelijke Mo Menten Uit Hindoestan, diterbitkan dalam Tijdschrift Voor Indishe Taal Land-en Volkenkunde, Deel LIV, 1921. Menurut JP Moquette Ratu Nahrisiyah meninggal pada 27 September 1428 M. Sultanah Nahrisiyah dikenal sebagai Malikah Muazzamah, yang memiliki arti ratu yang dipertuan agung. Epitaf pada makamnya menyebutkan bahwa Ratu Nahrasiyah bergelar Ra-Baghsa Khadiyu (Penguasa yang Pemurah). Kata dalam gelar tersebut seperti dari bangsa Persia.

T. Ibrahim dan beberapa sejawarawan lain mencatat Ratu Nahrasiyah adalah sosok pemimpin besar yang disegani. Menurut keterangan juru kunci makam dan sesepuh yang ada di sekitarnya, pada era kemepimpinan Ratu Nahrisyah Samodra Pasai menjadi kerajaan yang mampu mengendalikan ekonomi di Kawasan Asia Tenggara. Pada saat itu beredar enam mata uang asing di Pasai, selain dinar yang menjadi mata uang kerajaan Pasai yang waktu itu berbentuk koin emas. Meskipun Ratu Nahrisyah merupakan pemimpin kerajaan yang masyur namun namanya tidak dicantumkan dalam mata uang dinar yang beredar saat itu. Padahal, pencantuman nama sultan di mata uang emas merupakan kebiasaan. Justru nama Salahuddin yang tertera dalam mata uang tersebut dengan gelar Sulthan al Adillah. Salahudin adalah suami Ratu Nahrisiyah yang kedua. Dia kawin dengan Salahudin setelah suami pertamanya wafat.

Tentang Sultanah Nahrasiyah juga ditulis dan dikaji oleh JP Moquette dalam buku De Grafsteenen Te Pase En Grissee Verge Liken Met Dergelijke Mo Menten Uit Hindoestan,diterbitkan dalam Tijdschrift Voor Indishe Taal Land-en Volkenkunde, Deel LIV, 1921.

JP Moquette menghitung meninggalnya Sultanah Nahrasiyah dalam tahun masehi. Menurutnya, mendiang Ratu Nahrasiyah meninggal pada 27 September 1428 M. Sultanah Nahrasiyah adalah salah seorang Ratu Pasai keturunan Malik As-Shalih.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "Perempuan Tangguh, 5 Sultanah Ini Pernah Memimpin Nusantara". www.idntimes.com. Diakses tanggal 2021-03-20. 
  2. ^ a b c El-Zastrow, Ngatawi (2020-03-01). "Ratu Nahrisyah: Pengendali Ekonomi Kawasan Asia Tenggara (Bag-III)". FIN UNUSIA (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-03-20. 
  3. ^ "Ratu Ini Pemimpin Pasai Secara Bijak, Siapa Dia?". Republika Online. 2018-01-06. Diakses tanggal 2021-03-20. 
  4. ^ a b swararahima (2020-03-03). "Ratu Nahrisiyah, Ratu Arif dan Bijak dari Kerajaan Samudra Pasai". Swara Rahima. Diakses tanggal 2021-03-20.