Revolusi Agung
Revolusi Agung, dinamakan juga Revolusi 1688 (bahasa Irlandia: An Réabhlóid Ghlórmhar, bahasa Skots: Gloryws Revolution, bahasa Gaelik Skotlandia: Rèabhlaid Ghlòrmhor, dan bahasa Wales: Chwyldro Gogoneddus), adalah penggulingan Raja James II dari Inggris (James VII dari Skotlandia) oleh perserikatan anggota Parlemen Inggris dan stadtholder Belanda, William III dari Oranye. Invasi sukses William terhadap Inggris dengan armada dan tentara Belanda menyebabkannya naik takhta sebagai raja dengan gelar William III dari Inggris. Bersama dengan istrinya Mary II dari Inggris, putri James, mereka menyetujui Rancangan Undang-Undang Hak 1689.
Kebijakan Raja James mengenai toleransi beragama setelah 1685 ditentang oleh para anggota dari kalangan politik terkemuka yang terganggu oleh agama Katolik raja dan hubungan dekatnya dengan Prancis. Setelah mengadili tujuh uskup yang menolak Deklarasi Pengampunan, ketakutan terhadap munculnya dinasti Katolik di antara masyarakat dan anggota parlemen Inggris menguat. Hal ini menyebabkan naiknya nama William III dan Mary II sebagai penerus Kerajaan Inggris. Krisis yang dihadapai raja mencapai puncaknya pada tahun 1688, yakni pada saat kelahiran James Francis Edward Stuart, tanggal 10 Juni (kalender Julian).[a]
Kedatangan William III dengan seluruh prajuritnya menerima simpati yang besar dari masyarakat Inggris. Hal ini juga didukung oleh banyak politikus Inggris yang kemudian menunjukkan keberpihakannya pada William III. Pada tanggal 11 Desember 1688, James II melakukan usaha melarikan diri, tetapi ditangkap dan dibawa sebagai tahanan ke London. Mengetahui mertuanya melakukan usaha tersebut, William kemudian membiarkannya melarikan diri ke Rochester. Kekosongan kekuasaan tersebut selanjutnya diisi oleh William III sebagai raja dan Mary II sebagai ratu dengan penobatan dilakukan pada 11 April 1689.[1]
Latar Belakang
[sunting | sunting sumber]Popery dan anti-popery
[sunting | sunting sumber]Setelah kejadian Plot Bubuk Mesiu, teori mengenai Inggris sebagai negara satelit dari kerajaan-kerajaan Katolik berkembang. Dalam teori tersebut, disebutkan bahwa kekatolikan di Inggris berniat untuk menggulingkan protestanisme dan penganut Katolik segan untuk menghormati pemerintah Protestan. [2] Citra-citra klise yang muncul di masyarakat mengenai kekatolikan (yang secara merendahkan disebut popery) memperkuat ketakutan masyarakat mengenai naiknya pemerintahan Katolik. Penganut Protestan tidak mempermasalahkan keimanan penganut Katolik,[3] namun pengaruh politik yang menyebar membuat kelompok-kelompok agama yang ada menjadi saling terpisah. Hal ini menyebabkan kemunculan sentimen anti-popery di antara masyarakat Inggris. Kemunculan sentimen popery dan anti-popery di masyarakat timbul dan tenggelam seiring dengan perubahan politik sepanjang jaman, tetapi keduanya timbul cukup kuat pada Periode Stuart. Kehidupan Charles II dan saudaranya, James II di Prancis dipercaya menginspirasi keduanya mengenai pemerintahan Katolik absolut layaknya Louis XIV dari Prancis. [4] Hal ini dilihat sebagai suatu ancaman oleh penganut sentimen anti-popery.
Hubungan Inggris, Prancis, dan Belanda
[sunting | sunting sumber]Perpindahan pasar serta penguatan Amsterdam sebagai pusat perdagangan baru mengokohkan perokonomian Belanda. Setelah penandatanganan Traktat Münster dan pencabutan embargo Spanyol, pedagang Belanda merasakan angin segar dalam usaha mereka.[5] Mereka menggunakan kesempatan ini untuk membanjiri pasar dengan barang-barang murah dari perdagangan bebas mereka. Hal ini semakin menguat pada abad ke-17, di mana invasi pedagang Belanda menyentuh teritori Inggris. Sistem perdagangan bebas Belanda yang menawarkan harga bersaing serta meningkatnya jumlah pedagang Belanda menyebabkan pedagang Inggris kesusahan. Selain itu, pedagang Inggris juga menuduh Belanda memanfaatkan masa Perang Saudara Inggris, yang mana dihindari oleh Belanda dengan tidak mengirimkan bantuan apapun. [6] Melihat perkembangan ini, Inggris berusaha menekan dengan mengeluarkan Undang-Undang Navigasi Inggris pada tahun 1651.[7] Undang-undang ini membatasi pedagang Belanda untuk bertransaksi dengan Inggris dan Koloni Inggris di Asia, Amerika, dan Afrika. Hal ini menyebabkan beberapa perang antara Inggris dan Belanda pada tahun 1652-1654 dan 1665-1667. Pada Perang Inggris-Belanda Kedua, Angkatan Laut Inggris dikepalai oleh James II sebagai laksamana. Keduanya kemudian mengakhiri perang lewat penandatanganan Traktat Breda pada tahun 1667, di mana Undang-Undang Navigasi diubah untuk mempermudah pedagang Belanda masuk ke pasar Inggris. [8]
Selain Inggris dan Belanda, Prancis juga ikut menjadi sekutu sebagai pihak anti-Habsburg. Ketiganya bergabung dan membentuk Aliansi Tiga Negara untuk menyerang Spanyol pada tahun 1596. [9] Setelah itu, Prancis dengan setengah hati terus beraliansi dengan Belanda hingga 1662, tetapi berusaha menghindari perang tersebut. Hal ini disadari betul oleh Belanda. Di sisi lain, Prancis menduga Belanda akan menolak keinginan mereka untuk menginvasi Belanda Spanyol (yang membuat motto "Gallus amicus non vicinus" yang berarti "Prancis sebaiknya menjadi teman, bukan tetangga" menyebar di Belanda), tetapi juga melihat kemenangan Inggris sebagai pemicu kembalinya kekuasaan Keluarga Orange. Menyadari kemungkinan tersebut, Prancis berusaha menjadi penengah untuk mencegah terjadinya Perang Inggris-Belanda tahun 1665, namun gagal.[10] [11] Selanjutnya, setelah penandatangan Traktat Breda, Belanda berusaha untuk menjadi penengah konfilk Prancis-Spanyol dengan dibantu oleh Inggris dan Swedia. [12] Kegagalan Johan de Witt dalam menjembatani keinginan Inggris, Spanyol, dan Prancis membuatnya kehilangan simpati Louis XIV. Louis XIV menyatakan perang dengan aliansi Inggris, Belanda, dan Swedia untuk mengklaim "hak" atas Belanda Spanyol berdasarkan pernikahannya dengan Maria Theresia. [13] [14] Tahun 1670, secara rahasia Charles II menandatangani Traktat Dover dengan Louis XIV dan membuat Inggris membantu Prancis melawan Belanda pada perang tahun 1972. Pada perang ini, James II menjadi laksamana untuk Angkatan Laut Inggris, sementara William III bersama prajuritnya menggantikan prajurit de Witt. Kemudian keadaan segera dibalik oleh Belanda lewat pernikahan William III dengan Mary, anak James II yang membuat Inggris kembali beraliansi dengan Belanda. James menyetujui pernikahan ini dengan setengah hati. Hal ini berakhir dengan penandatanganan Traktat Nijmegen pada tahun 1678. [15] Setelah itu, Inggris dan Belanda bergabung dalam suatu aliansi, yakni Aliansi Besar. [16]
Naiknya James II
[sunting | sunting sumber]James II menyatakan diri sebagai penganut Katolik di bawah pemerintahan kakaknya, Charles II, pada tahun 1668. [17] Walaupun begitu, ia tetap aktif berasosiasi dengan penganut Anglikan dan Katolik Prancis, bahkan menjadi satu-satunya orang Katolik yang bertahan di parlemen pada jaman itu. [17][18] Setelah kematian Charles II, yang notabene tidak dikaruniai seorang anakpun, jabatan raja jatuh kepadanya. Ia memulai pemerintahannya di umur 52 tahun. Pada masa awal jabatannya, ia membebaskan banyak pastur dan orang-orang yang menerima hukum agama. Sikap dan pidatonya dinilai bermoral dan sangat hati-hati, tetapi kepercayaannya dan kekakuannya memperburuk ketakutan atas popery. [19] James II mengerti bahwa gerakan anti-popery sangat mengakar di parlemen lama, sehingga ia merasa terancam. Oleh karena itu ia membubarkan parlemen lama dan membentuk parlemen baru, yakni Parlemen Loyal. Dalam pembentukannya, James II tidak membatasi anggota parlemen lama untuk bergabung, asalkan mereka berjanji mengikuti keinginannya. Parlemen ini kemudian diisi oleh orang-orang baru, tetapi sebaliknya, James II tetap menggunakan mentri-mentri dari pemerintahan Charles II. Hal ini dilakukan untuk mempermudah negosiasi dengan parlemen baru. [20] Negosiasi yang paling berhasil pada masa pemerintahannya adalah pembagian hasil pemungutan pajak sebesar £ 2.000.000 pertahun selama lima tahun. Hal ini membuatnya menjadi salah satu pemimpin Inggris yang tidak meninggalkan utang. [21] Namun keberhasilan ini gagal diulang saat ia ingin mengusahakan penghapusan Undang-Undang Uji (Test Act) yang membuat seluruh anggota parlemen Katolik terpaksa turun pada pemerintahan Charles II.
Setelah pembentukan parlemen, pada tahun 1678 ia mengusahakan Deklarasi Pengampunan untuk memberikan kebebasan beragama tanpa menurunkan kehormatan Gereja Inggris, serta memberikan kebebasan melakukan ritual agama di rumah. Hal ini diterapkan pertama kali di Skotlandia dan kemudian seluruh Inggris. [22] Deklarasi ini kemudian dibacakan di seluruh Gereja Anglikan di London selama dua minggu. Keberadaan deklarasi ini menyebabkan keistimewaan Gereja Inggris harus dihapuskan dengan memasukkan beberapa anggota Katolik di dalamnya.
Pada tahun 1685 ia kembali mengusahakan deklarasi pengampunan untuk dibacakan di gereja, namun ia menerima penolakan dari enam uskup bersama seorang uskup agung. Hal ini membuat mereka diadili atas tuduhan penghasutan. [23] Tuduhan ini membuat gerakan anti-popery semaking kuat. Kelahiran James Francis Edward Stuart, anak laki-laki pertamanya dengan Ratu Maria semakin memperkuat ketakutan atas adanya dinasti Katolik. Ketakutan atas kemungkinan ini kemudian membuat hubungan James II dengan kaum Anglikan memburuk.[22]
Undangan dan Invasi
[sunting | sunting sumber]Oleh ketakutan ini, maka muncul nama anak pertama James II, Mary II yang menikah dengan William III. Atas permintaan Raja Charles II, ia memperbolehkan anaknya untuk dididik oleh Gereja Inggris. Hal ini membuat anaknya lebih mengenal ajaran Protestan. Mengetahui kenyataan bahwa Mary dan William menganut Protestan, beberapa politikus Anglikan memperkuat keinginannya untuk menarik William III ke dalam Kerajaan Inggris. William III dan beberapa politikus Inggris telah melakukan kontak sejak pengukuhan James II dilakukan. [24] Ia melakukan pendekatan atas alasan perdamaian sejak Perang Inggris-Belanda Ketiga berakhir. Setelah beredar berita mengenai kelahiran anak laki-laki pertama James II, ia semakin giat berkontak dengan politikus Anglikan. Ia juga mengirimkan surat terbuka mengenai pendapatnya terhadap keadaan tersebut, yang kemudian menarik simpati masyarakat Inggris dan mendorongnya untuk melakukan invasi. [25]
Pada tahun 1685, beberapa waktu setelah pengadilan ketujuh uskup, beberapa politikus yang disebut Tujuh Orang Hidup (Immortal Seven) mengirimkan undangan untuk William. Isi undangan tersebut adalah untuk melakukan invasi terhadap Inggris. Sebelumnya, beberapa sejarawan menyatakan bahwa ia sudah mempersiapkan invasi ini jauh sebelum undangan dikirimkan. Hal ini memperkuat dugaan atas lamanya korespondensi antara William dengan politikus Inggris. Dalam pembicaraan ini, ia sempat menolak rencana invasi, tetapi setelah melihat perkembangan situasi yang ada ia setuju. [26] Selanjutnya, atas permintaan tersebut ia pergi ke Brixham, Teluk Tor, bersama dengan pasukan Belanda dan sampai di sana pada tanggal 5 November 1688 (gaya baru). [27] Dalam invasi ini ia membawa 463 kapal dengan 14.000 prajurit. Kedatangannya sudah diantisipasi sejak bulan September. Hal ini membuat masyarakat tergerak untuk membantu dengan menjadi tenaga tambahan yang membuat anggotanya bertambah hingga sejumlah 20.000 orang. [28] Kedatangan William ke Inggris segera menurunkan simpati James II di masyarakat. Banyak politikus yang juga menyatakan bahwa mereka berpihak pada William. [29] Kedatangan William dan pengikutnya diketahui oleh James II dengan baik. Walaupun secara jumlah prajurit James II lebih banyak, tetapi melihat bagaimana keadaan politik dan simpati masyarakat serta fakta bahwa anaknya, Putri Anne, juga sudah berpihak pada William, ia mengurungkan niatnya dan memilih untuk melarikan diri. Tanggal 12 Desember James II melakukan percobaan untuk melarikan diri, namun gagal dan ditangkap oleh pemburu Papist. Selanjutnya ia dibawa ke London sebagai tahanan. [30] Melihat hal ini, William mengijinkan James II untuk pergi ke Rochester.
Naiknya William III dan Mary II
[sunting | sunting sumber]Setelah kepergian James II, terjadi kekosongan pemerintahan. Parlemen melihat hal ini sebagai kesempatan untuk menaikkan Mary, anak James II sebagai ratu. Selain pandangan ini, terdapat banyak pemikiran lain yang berkembang, tetapi segera dipatahkan oleh William. William menyatakan bahwa ia ingin memimpin sebagai raja bersama istrinya atau ia akan meninggalkan Inggris. [1] Atas desakan tersebut, Parlemen Inggris menerima William sebagai raja dengan kekuasaan yang lebih dominan serta Mary sebagai ratu. Keduanya dikukuhkan di Westminster Abbey tanggal 11 April 1689 oleh Uskup London Henry Compton.
Baik parlemen maupun WIlliam sadar akan kebutuhannya atas keberadaan masing-masing pihak. Oleh karena itu, untuk mengakomodasi kebutuhannya selama perang, ia menyetujui Rancangan Undang-Undang Hak 1689 yang diajukan oleh parlemen. [31] Keberadaaan aturan ini membuatnya harus terus melaporkan keuangannya kepada parlemen. Awal pemerintahan William III difokuskan kepada perang, sehingga Mary menggantikannya selama absen. Pengukuhan William III sebagai raja dianggap menjadi suatu momentum yang baik bagi negara-negara anti-Prancis untuk mendorong Prancis kembali ke batasnya. Mengetahui hal ini William III berusaha membangun aliansi antar negara anti-Prancis dan ikut dalam Perang Sembilan Tahun bersama negara-negara lainnya. [32]
Catatan Kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ Dalam artikel ini "Gaya Baru" berarti permulaan tahun disesuaikan ke 1 Januari. Peristiwa di daratan Eropa biasanya dinyatakan menggunakan kalender Gregorian, sementara peristiwa di Britania Raya dan Irlandia biasanya dinyatakan menggunakan kalender Julian dengan tahun disesuaikan ke 1 Januari. Tanggal tanpa catatan tambahan Julian atau Gregorian yang jelas akan menggunakan kalender yang sama sebagai tanggal terakhir dengan catatan tambahan yang jelas. Untuk penjelasan dari perubahan-perubahan dalam kalender dan gaya penanggalan, lihat Tanggal Gaya Lama dan Gaya Baru
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b Coward 1980, hlm. 314.
- ^ Sowerby 2012, hlm. 28.
- ^ Sowerby 2012, hlm. 29.
- ^ Vallance 2011.
- ^ Rijksmuseum.
- ^ Rommelse 2010, hlm. 595.
- ^ Rommelse 2010, hlm. 596.
- ^ Ormrod 2003, hlm. 38.
- ^ Wernham 1994.
- ^ Rowen 1954, hlm. 3.
- ^ Grever 1982, hlm. 237.
- ^ Rowen 1954, hlm. 5.
- ^ Wolf 1968, hlm. 117.
- ^ Rowen 1954, hlm. 12-13.
- ^ Pritchard 2012, hlm. 267.
- ^ Onnekink & Rommelse 2016, hlm. 283-284.
- ^ a b Callow & 2000 p143-144.
- ^ Kenyon 1927, hlm. 104-105.
- ^ Wakeling 1896, hlm. 88-89.
- ^ Maurice 1907, hlm. 160.
- ^ Maurice 1907, hlm. 165.
- ^ a b Harris 2006.
- ^ Maurice 1907, hlm. 225-228.
- ^ Troost 2005, hlm. 172-173.
- ^ Troost 2005, hlm. 186.
- ^ Coward 1980, hlm. 300.
- ^ Robb 2020.
- ^ Britroyals.
- ^ Maurice 1907, hlm. 255.
- ^ Maurice 1966, hlm. 173-174.
- ^ Living Heritage.
- ^ Routh & 1904 p61-63.
Daftar Pustaka
[sunting | sunting sumber]Buku
[sunting | sunting sumber]- Baxter, Stephen B (1966). William III. Longmans. ISBN 978-1848321571. OCLC 415582287.
- Beddard, Robert (1988). A Kingdom without a King: The Journal of the Provisional Government in the Revolution of 1688. Phaidon. ISBN 978-0-7148-2500-7.
- Black, Jeremy; MacRaid, Donald M. (2000). Studying History (edisi ke-2). Palgrave. ISBN 0-333-80183-0.
- Callow, John (2000). The Making of King James II: The Formative Years of a Fallen King (dalam bahasa Inggris). Sutton. hlm. 143–144. ISBN 978-0-7509-2398-9.
- Carpenter, Edward (1956). The Protestant Bishop. Being the Life of Henry Compton, 1632–1713. Bishop of London. London: Longmans, Green and Co. OCLC 1919768.
- Childs, John (1980). The Army, James II, and the Glorious Revolution. Manchester University Press. ISBN 978-0-7190-0688-3.
- Coward, Barry (1980). The Stuart Age: A History of England 1603–1714 (edisi ke-7th). Longman. ISBN 978-0-582-48833-5.
- Dalrymple, John (1790). Memoirs of Great Britain and Ireland; from the Dissolution of the last Parliament of Charles II till the Capture of the French and Spanish Fleets at Vigo. London.
- Dekrey, Gary S. (2008), "Between Revolutions: Re-appraising the Restoration in Britain", History Compass, 6, ISSN 1478-0542, Section 3.
- Davies, D. (1989). "James II, William of Orange and the admirals". Dalam Cruickshanks, Eveline. By force or default? The revolution of 1688–1689. Edinburgh: John Donald Publishers. ISBN 978-0-85976-279-3.
- Engels, Friedrich (1997). "Introduction to Socialism: Utopian and Scientific". Dalam Feuerbach, L.; Marx, K.; Engles, F. German Socialist Philosophy. Continuum International Publishing Group. ISBN 0-8264-0748-X.
- Goodlad, Graham (2007), "Before the Glorious Revolution: The Making of Absolute Monarchy? Graham Goodlad Examines the Controversies Surrounding the Development of Royal Power under Charles II and James II", History Review, 58, ISSN 0962-9610
- Grever, John H. (1982). "Louis XIV and the Dutch Assemblies: The Conflict about the Hague". Legislative Studies Quarterly. 7 (2). doi:10.2307/439669. ISSN 0362-9805.
- Harris, Tim (2006). Revolution: The Great Crisis of the British Monarchy, 1685–1720. Allen Lane. ISBN 978-0-7139-9759-0.
- Hoak, Dale (1996). "The Anglo-Dutch revolution of 1688–89". Dalam Dale Eugene Hoak, Mordechai Feingold. The World of William and Mary: Anglo-Dutch Perspectives on the Revolution of 1688–89. Stanford University Press. ISBN 978-0-8047-2406-7.
- Horwitz, Henry (1977). Parliament, Policy and Politics in the Reign of William III. Manchester University Press. ISBN 978-0-7190-0661-6.
- Information Services, "William of Orange's Itinerary", Manuscripts and Special Collections, University of Nottingham, diakses tanggal 5 August 2010
- Israel, Jonathan I. (1991). "The Dutch role in the Glorious Revolution". Dalam Israel, J.I. The Anglo-Dutch Moment. Essays on the Glorious Revolution and its world impact. Cambridge University Press. ISBN 0-521-39075-3.
- Israel, Jonathan I.; Parker, Geoffrey (1991). "Of Providence and Protestant Winds: the Spanish Armada of 1588 and the Dutch armada of 1688". Dalam Israel, J.I. The Anglo-Dutch Moment. Essays on the Glorious Revolution and its world impact. Cambridge University Press. ISBN 0-521-39075-3.
- Israel, Jonathan I (2003). The Anglo-Dutch Moment: Essays on the Glorious Revolution and its World Impact. Cambridge University Press. ISBN 0-521-54406-8.
- Jardine, Lisa (2008). Going Dutch: How England Plundered Holland's Glory. Harper. ISBN 978-0-00-719734-7. one of the few scholarly studies that sides with James II and denounces the episode as a Dutch invasion and British defeat
- Jones, Clyve (1973), "The Protestant Wind of 1688: Myth and Reality", European Studies Review, 3, ISSN 0014-3111
- Jones, J. R. (1988). The Revolution of 1688 in England. Weidenfeld and Nicolson. ISBN 978-0-297-99569-2.
- Kenyon, J. P. (1927). The Popish Plot 2nd Edition. London: William Heinemann Ltd. ISBN 9780713910872.
- Macaulay, Thomas Babington (1889). The History of England from the Accession of James the Second. Popular Edition in Two Volumes. I. London: Longmans.
- Marquess of Cambridge (1966). The March of William of Orange from Torbay to London – 1688. Journal of Society for Army Historical Research. XLIV.
- Maurice, Ashley (1907). James II. London: J. M. Dent.
- Maurice, Ashley (1966). The Glorious Revolution of 1688. Hodder & Stoughton.
- Mitchell, Leslie (2009) [1790]. "Introduction". Dalam Burke, Edmund. Reflections on the Revolution in France. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-953902-4.
- Onnekink, David; Rommelse, Gijs (2016). Ideology and foreign policy in early modern Europe (1650-1750). Routledge. ISBN 978-1-315-58778-3. OCLC 952729322.
- Ormrod, David (2003-03-13). The Rise of Commercial Empires: England and the Netherlands in the Age of Mercantilism, 1650-1770 (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-81926-8.
- Pincus, Steve (2009). 1688: The First Modern Revolution. Yale University Press. ISBN 978-0-300-17143-3.
- Pritchard, James (2012). The Franco-Dutch War, 1672–1678. In In Search of Empire: The French in the Americas. Cambridge: Cambrige University Press. (Perlu mendaftar (help)).
- Prud'homme van Reine, Ronald (2009). Opkomst en Ondergang van Nederlands Gouden Vloot – Door de ogen van de zeeschilders Willem van de Velde de Oude en de Jonge. Amsterdam: De Arbeiderspers. ISBN 978-90-295-6696-4.
- Rodger, N.A.M (2004). The Command of the Ocean: A Naval History of Britain 1649–1815. Penguin Group. ISBN 978-0-393-06050-8.
- Rommelse, Gijs (2010). "The role of mercantilism in Anglo-Dutch political relations, 1650-74". The Economic History Review. 63 (3). ISSN 0013-0117.
- Rowen, Herbert H. (1954). "John de Witt and the Triple Alliance". The Journal of Modern History. 26 (1). ISSN 0022-2801.
- Routh, Enid M. G. (1904). "The Attempts to Establish a Balance of Power in Europe during the Second Half of the Seventeenth Century (1648-1702): (Alexander Prize, 1903)". Transactions of the Royal Historical Society. 18. doi:10.2307/3678070. ISSN 0080-4401.
- Schuchard, Keith (2002). Restoring the Temple of Vision: Cabalistic Freemasonry and Stuart. Brill. ISBN 90-04-12489-6.
- Schwoerer, L.G. (2004). The Revolution of 1688–89: Changing Perspectives. Cambridge University Press. ISBN 0-521-52614-0.
- Sowerby, Scott (2012). "Opposition to Anti-Popery in Restoration England". Journal of British Studies. 51 (1). ISSN 0021-9371.
- Sowerby, Scott (2013). Making Toleration: The Repealers and the Glorious Revolution. Harvard University Press. ISBN 978-0-674-07309-8.
- Speck, William Arthur (1989). Reluctant Revolutionaries. Englishmen and the Revolution of 1688. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-285120-8.
- Speck, William Arthur (2002). James II. Longman. ISBN 978-0-582-28712-9.
- Stanhope, Philip Henry, 5th Earl of (2011). Notes of Conversations with the Duke of Wellington 1831-1851. Pickle Partners Publishing. footnote 90. ISBN 978-1-908692-35-1.
- Swetschinsky, Daniël; Schönduve, Loeki (1988). De familie Lopes Suasso: financiers van Willem III. Zwolle. ISBN 978-90-6630-142-9.
- Troost, Wouter (2005). William III the Stadholder-king: A Political Biography (dalam bahasa Inggris). Ashgate Publishing, Ltd. ISBN 978-0-7546-5071-3.
- Troost, Wout (2001). Stadhouder-koning Willem III: Een politieke biografie. Uitgeverij Verloren, Hilversum. ISBN 978-90-6550-639-9.
- Van der Kuijl, Arjen (1988). De glorieuze overtocht: De expeditie van Willem III naar Engeland in 1688. Amsterdam: De Bataafsche Leeuw. ISBN 978-90-6707-187-1.
- Vries, Jan de; Woude, Ad van der (1997). The First Modern Economy: Success, Failure, and Perseverance of the Dutch Economy, 1500–1815. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-57061-9.
- Webb, Stephen Saunders (1995), Lord Churchill's Coup, Syracuse, New York: Syracuse University Press
- Wakeling, George Henry (1896). King and Parliament (1603-1714). Scribner.
- Wernham, R. B. (1994). The Treaties of Greenwich and the Triple Alliance (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. doi:10.1093/acprof:oso/9780198204435.001.0001/acprof-9780198204435-chapter-6. ISBN 978-0-19-167627-7.
- Williams, E. N. (1960). The Eighteenth-Century Constitution. 1688–1815. Cambridge University Press. OCLC 1146699.
- Western, John R. (1972). Monarchy and Revolution. The English State in the 1680s. London: Blandford Press. ISBN 978-0-7137-3280-1.
- Windeyer, W. J. Victor (1938). "Essays". Dalam Windeyer, William John Victor. Lectures on Legal History. Law Book Co. of Australasia.
- Wolf, John B. (1968). Louis XIV. New York: W. W. Norton & Company Inc.
Situs
[sunting | sunting sumber]- Robb, Nesca A. (2020). "William III - King of England". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-08-27.
- Britroyals. "King William III and Queen Mary II". www.britroyals.com. Diakses tanggal 2020-08-27.
- Living Heritage. "The Convention and Bill of Rights". UK Parliament (dalam bahasa English). Diakses tanggal 2020-08-28.
- Rijksmuseum. "1648 Treaty of Munster - Timeline Dutch History - Rijksstudio". Rijksmuseum (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-08-23.
- Vallance (2011). "BBC - History - British History in depth: The Glorious Revolution". www.bbc.co.uk (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-08-21.
Bacaan tambahan
[sunting | sunting sumber]- Cruickshanks, Eveline (2000). The Glorious Revolution (British History in Perspective). Palgrave Macmillan. ISBN 0-312-23009-5.
- DeKrey, Gary S. (2007). Restoration and Revolution in Britain: A Political History of the Era of Charles II and the Glorious Revolution. Palgrave Macmillan. ISBN 978-0-333-65103-2. A scholarly history of the era.
- Glassey, Lionel K. J., ed. (1997). The Reigns of Charles II and James VII and II. ISBN 978-0-333-62500-2. Articles by scholars.
- Hamowy, Ronald (2008). "Glorious Revolution". The Encyclopedia of Libertarianism. Thousand Oaks, CA: SAGE; Cato Institute. doi:10.4135/9781412965811.n125. ISBN 978-1-4129-6580-4. LCCN 2008009151. OCLC 750831024.
- Harris, Tim (2006). Revolution: The Great Crisis of the British Monarchy, 1685–1720. Allen Lane. ISBN 978-0-14-101652-8.
- Harris, Tim and Stephen Taylor, eds (2013). The Final Crisis of the Stuart Monarchy: The Revolutions of 1688–91 in their British, Atlantic and European Contexts. Boydell. ISBN 978-1-84383-816-6.
- MacCubbin, R. P.; Hamilton-Phillips, M., ed. (1988). The Age of William III and Mary II: Power, Politics and Patronage, 1688–1702. College of William and Mary in Virginia. ISBN 978-0-9622081-0-2.
- McCaffrey, Carmel (2006). In Search of Ireland's Heroes. Ivan R Dee. ISBN 978-1-56663-615-5.
- Miller, John (1997). The Glorious Revolution (edisi ke-2). ISBN 0-582-29222-0.
- Ogg, David (1956). William III. A brief scholarly biography.
- Onnekink, David (2007). The Anglo-Dutch Favourite: The Career of Hans Willem Bentinck, 1st Earl of Portland (1649–1709). Ashgate Publishing. ISBN 0-7546-5545-8.
- Pincus, Steven C. A. (2005). England's Glorious Revolution 1688–89: A Brief History with Documents. Bedford/St. Martin's. ISBN 0-312-16714-8.
- Prall, Stuart (1972). The Bloodless Revolution: England, 1688. Anchor Books. OCLC 644932859.
- Vallance, Edward (2006). The Glorious Revolution: 1688 – Britain's Fight for Liberty. Brown Little. ISBN 1-933648-24-4.
Pranala luar
[sunting | sunting sumber]- Weiss, B.: Medals of the Glorious Revolution: The Influence of Catholic-Protestant Antagonism, ANS Magazine, Vol. 13, Issue 1, pp. 6–23. American Numismatic Society, New York, 2014.
- Glorious Revolution di In Our Time di BBC. (listen now)
- BBC staff. "Charles II (1630–1685)". BBC. Diakses tanggal 15 August 2010.
- Catholic Encyclopedia editors. "English Revolution of 1688". Catholic Encyclopedia.
- The Civil War team, presented by Tristram Hunt (7 January 2001), Aftershocks – The Glorious Revolution, open2.net (BBC & Open University)
- Hallas, Duncan, O'Callaghan, Einde, ed., "The Decisive Settlement", Marxists Internet Archive transcribed from the "The Decisive Settlement". Socialist Worker Review (113): 17–20. October 1988.
- Prince of Orange (20 November 2001) [1688], "Declaration of the Prince of Orange, 10 October 1688", dalam McFerran, Noel S., The Jacobite Heritage Cites Beddard, Robert, ed. (1988), "A Kingdom without a King", The Journal of the Provisional Government in the Revolution of 1688, Oxford: Phaidon Press: 124–28, 145–49
- Quinn, Stephen (17 April 2003), "The Glorious Revolution of 1688", dalam Whaples, Robert, EH.Net Encyclopedia
- Royal Household at Buckingham Palace, ed. (2008–2009). "History of the Monarchy >United Kingdom Monarchs (1603–present) >The Stuarts >Mary II, William III and The Act of Settlement > William III (r. 1689–1702) and Mary II (r. 1689–1694)". official web site of the British Monarchy.
- Wilkes Jr., Donald E.; Kramer, Matthew. "The Glorious Revolution of 1688". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-09. Diakses tanggal 15 August 2010.
- How Glorious was the "Glorious Revolution"?