Persyaratan vaksinasi untuk perjalanan internasional

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Persyaratan vaksinasi untuk perjalanan internasional adalah aspek kebijakan vaksinasi yang berhubungan dengan pergerakan orang-orang antar batas negara. Negara di seluruh dunia menyaratkan wisatawan yang berangkat ke negara lain atau tiba dari negara lain untuk divaksinasi melawan penyakit infeksius tertentu untuk mencegah epidemi. Wisatawan diperiksa di pos lintas batas negara dan diharuskan menunjukkan bukti vaksinasi melawan penyakit spesifik; catatan vaksinasi yang paling sering digunakan adalah Sertifikat Vaksinasi Internasional atau profilaksis (ICVP atau Carte Jaune/Kartu kuning).

Variola (1944–1981)[sunting | sunting sumber]

Sertifikat vaksinasi internasional pertama terhadap variola dikembangkan oleh Konvensi Sanitasi Internasional 1944 [1] (merupakan amandemen Konvensi Sanitasi Internasional 1926 untuk Navigasi Maritim dan Konvensi Sanitasi Internasional 1933 untuk Navigasi Udara).[2] Sertifikat ini awalnya valid hingga maksimum tiga tahun.[1]

Kebijakan ini memiliki beberapa kekurangan: sertifikat vaksinasi variola tidak selalu diperiksa oleh anggota bandara yang layak atau ketika penumpang dipindahkan di bandara di negara yang bebas variola. Agensi perjalanan salah menyediakan sertifikat ke beberapa pelanggan yang tidak divaksinasi dan ada beberapa kejadian dokumen palsu. Sebagian kecil penumpang yang membawa sertifiikat resmi juga masih terkena variola karena tidak mengalami vaksinasi yang layak. Walaupun begitu, semua ahli setuju kewajiban memiliki sertifikasi vaksinasi meningkatkan jumlah wisatawan yang telah divaksinasi sehingga berkontribusi mencegah penyebaran variola. terutama ketika periode perkembangan cepat perjalanan udara pada dekade 1960an dan 1970an yang mengurangi waktu perjalanan dari negara endemik ke negara lainnya menjadi beberapa jam.[1]

Setelah wabah variola selesai dibasmi pada tahun 1980, Sertifikasi Vaksinasi Internasional terhadap Variola tidak lagi digunakan pada tahun 1981 dan formulir baru tahun 1983 tidak lagi mencantumkan persyaratan vaksinasi variola.[1]

Demam kuning[sunting | sunting sumber]

Vaksinasi terhadap demam kuning 10 hari sebelum masuk ke negara/wilayah tertentu dibutuhkan untuk wisatawan dari negara
  Semua negara
  Negara berisiko (termasuk perpindahan di bandara)[note 1]
  Negara berisiko (tidak termasuk perpindahan di bandara)[note 2]
  Tidak ada persyataran (negara berisiko) [note 3]
  Tidak ada persyaratan (negara tidak berisiko)

Wisatawan yang ingin masuk ke negara atau wilayah tertentu harus divaksinasi vaksin demam kuning sepuluh hari sebelum melewati batas wilayah dan mampu memberikan sertifikat/catatan vaksinasi di pos batas wilayah negara.[3] Pada beberapa kasus, persyaratan perjalanan ini tergantung dari apakah negara asal dari wisatawan ditetapkan sebagai negara dengan risiko penyebaran demam kuning. Akantetapi, di beberapa negara, tidak masalah asal negara asal wisatawan; Setiap orang yang ingin masuk ke negara ini harus divaksinasi demam kuning. Ada pengecualian kepada anak baru lahir; Dalam beberapa kasus, anak dengan usia minimum 9 bulang atau satu tahun harus divaksinasi.[4]

COVID-19[sunting | sunting sumber]

Selama pandemi COVID-19, beberapa vaksin COVID-19 telah dikembangkan dan pada bulan December 2020, kampanye vaksinasi pertama telah direncanakan.[5]

"Orang-orang memiliki pilihan dua minggu karantina atau divaksinasi."[6]

Scott Morrison: "People have the choice of two weeks of quarantine or being vaccinated."

Menantikan vaksin, pada tanggal 23 November 2020, Qantas mengumumkan bahwa perusahaan tersebut akan meminta bukti vaksinasi COVID-19 dari wisatawan internasional. Menurut Alan Joyce, pejabat eksekutif tertinggi (CEO) dari perusahaan ini, vaksin koronavirus akan menjadi sebuah "kebutuhan" ketika melakukan perjalanan. Dia berkata "Kami meminta tiap orang melakukan vaksinasi sebelum naik ke pesawat".[7] Perdana menteri Australia, Scott Morrison mengumumkan bahwa semua wisatawan yang terbang ke Australia tanpa bukti vaksinasi COVID-19 akan diminta untuk karantina dengan biaya sendiri.[6] Premier Victoria, Daniel Andrews dan CEOs dari Bandara Melbourne , Bandara Brisbane dan Flight Centre mendukung kebijakan morrison. Akantetapi, CEO dari Bandara Sydney menyarankan uji yang lebih maju mungkin juga cukup menhilangkan karantina di masa depan.[8] Asosiasi Pengangkutan Udara Internasional (IATA) mengumumkan bahwa mereka hampir selesai mengembangkan izin kesehatan digital yang memuat uji positif COVID-19 dan informasi vaksinasi penumpang kepada jasa penerbangan dan pemerintah.[9]

Korean Air dan Air New Zealand serius mempertimbangkan kewajiban vaksinasi, tetapi akan bernegosiasi dengan pemerintah setempat.[10] CEO dari KLM, Pieter Elbers merespons pada tanggal 24 November bahwa KLM belum memiliki rencana untuk kewajiban vaksinasi untuk penerbangannya. Brussels Airlines dan Lufthansa mengatkan perusahaan mereka belum memiliki rencan mewajibkan penumpang untuk memberikan bukti vaksinasi sebelum pemberangkatan. Akantetapi, CEO Bandara Brussels, Arnaud Feist menyetuji kebijakan Qantas dengan menyatakan: " Segera atau nanti , memiliki bukti vaksinasi atau uji negatif akan menjadi kewajiban".[11]Ryanair mengumumkan bahwa mereka tidak membutuhkan bukti vaksinasi untuk perjalanan udara sekitar Uni Eropa. EasyJet menyatakan bahwa mereka tidak membutuhkan bukti sama sekali. The Irish Times berkomentar bahwa sertifikat vaksinasi untuk penerbangan cukup biasa di negara di seluruh dunia, seperti demam kuning di banyak Negara Afrika.[12]

Catatan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Juga dibutuhkan untuk wisatawan yang melakukan transit (lebih dari 12 jam) melalui bandara di negara berisiko.
  2. ^ Tidak dibutuhkan untuk wisatawan yang melakukan transit di bandara negara berisiko.
  3. ^ WHO telah menetapkan sebagian Argentina, Brasil dan Peru sebagai negara berisiko, tetapi negara ini tidak membutuhkan wisatawan melakukan vaksinasi terhadap demam kuning.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d Fenner, Frank (1988). "Developments in vaccinatino and control between 1900 and 1966" (PDF). Smallpox and Its Eradication (dalam bahasa Inggris). Geneva: World Health Organization. hlm. 312. ISBN 978-92-4-156110-5. 
  2. ^ Whiteman, Marjorie Millace (1968). Digest of International Law (dalam bahasa Inggris). Washington: U.S. Department of State. hlm. 1202. 
  3. ^ World Health Organization (2012). "Vaccine-preventable diseases and vaccines (2019 update)" (PDF). International Travel and Health : situation as on 1 January 2012. Geneva: World Health Organization. hlm. 44–45. ISBN 978-92-4-158047-2. OCLC 778418809. 
  4. ^ "Countries with risk of yellow fever transmission and countries requiring yellow fever vaccination (July 2019)". World Health Organization. United Nations. 4 Juli 2019. Diakses tanggal 24 Maret 2021. 
  5. ^ Stewart, Heather; Boseley, Sarah; Boffey, Daniel (2 Desember 2020). "Covid vaccinations will begin next week, says Boris Johnson". the Guardian (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 24 Maret 2021. 
  6. ^ a b Maiden, Samantha (25 November 2020). "PM signals tough rules on vaccine travel". NewsComAu (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 24 Maret 2021. 
  7. ^ "Covid: Vaccination will be required to fly, says Qantas chief". BBC News (dalam bahasa Inggris). 23 November 2020. Diakses tanggal 24 Maret 2021. 
  8. ^ Hatch, Patrick (25 November 2020). "'No jab, no fly': COVID-19 vaccine key to opening borders, travel leaders say". The Sydney Morning Herald (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 24 Maret 2021. 
  9. ^ Jenkins, Cameron (24 November 2020). "Airlines discussing requiring proof of COVID-19 vaccination for passengers: report". TheHill (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 24 Maret 2021. 
  10. ^ "Airlines mull mandatory COVID jabs for international flyers". www.aljazeera.com (dalam bahasa Inggris). 24 Januari 2020. Diakses tanggal 24 Maret 2021. 
  11. ^ "Brussels Airlines will not make proof of coronavirus vaccination mandatory". The Brussels Times (dalam bahasa Inggris). 24 November 2020. Diakses tanggal 24 Maret 2021. 
  12. ^ Pope, Conor (24 November 2020). "Covid jab: Ryanair will not ask for proof of vaccination within EU". The Irish Times (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 24 Maret 2021.