Dampak pandemi COVID-19 terhadap penerbangan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Disinfeksi kabin pesawat

Pandemi COVID-19 telah memberikan dampak yang signifikan terhadap industri penerbangan akibat pemberlakuan pembatasan perjalanan dan menurunnya jumlah penumpang. Penurunan jumlah penumpang berakibat pada pembatalan penerbangan sehingga banyak maskapai penerbangan terpaksa melakukan PHK besar-besaran atau bahkan bangkrut. Beberapa maskapai lainnya tidak mengembalikan dana tiket yang dibatalkan untuk mengurangi kerugian. Produsen pesawat terbang dan operator bandara juga dilaporkan melakukan PHK terhadap para pegawainya.

Krisis dunia penerbangan saat pandemi COVID-19 dianggap sebagai krisis terparah dalam sejarah penerbangan menurut CEO Airbus SE, Guillaume Faury,[1] CEO EasyJet, Johan Lundgren,[2] petinggi United Airlines, Oscar Munoz,[3] CEO Qantas, Alan Joyce,[4] dan beberapa media, seperti Financial Times,[5] The New York Times,[6] dan The Independent.[7]

Pembatalan penerbangan[sunting | sunting sumber]

Regulasi dari pemerintah di Eropa, Amerika Serikat, dan Indonesia mewajibkan maskapai penerbangan untuk mengembalikan biaya tiket dari penerbangan yang dibatalkan. Namun, dalam beberapa kasus, maskapai justru menawarkan voucher penerbangan sebagai gantinya. Setelah kontroversi yang terjadi, Departemen Transportasi Amerika Serikat tetap mewajibkan maskapai untuk mengembalikan biaya tiket untuk penerbangan yang dibatalkan, kecuali pembatalan penerbangan akibat larangan bepergian, perintah tinggal di rumah, dan larangan lainnya.[8] Sementara itu, Kementerian Perhubungan Republik Indonesia memberi keringanan bagi maskapai penerbangan untuk memberikan voucher penerbangan sebagai ganti biaya tiket penerbangan yang dibatalkan.[9]

Tercatat adanya penurunan sebesar 80% pada sektor penerbangan di seluruh dunia, termasuk Amerika, Eropa, Asia Pasifik, dan Timur Tengah hingga 4 Mei 2020.[10]
Sebagian besar penerbangan dari Hong Kong yang dibatalkan karena pandemi.

Pada awal Maret 2020, terjadi peningkatan jumlah penerbangan yang dibatalkan sebesar 10% dibandingkan tahun 2019. Pada akhir Maret 2020, aktivitas penerbangan menurun hingga 40–60%, dengan penerbangan internasional mendapatkan dampak terbesar. Hingga April 2020, lsebih dari 80% penerbangan terpaksa dibatalkan akibat pembatasan aktivitas di seluruh dunia.[10]

Penelitian menunjukkan bahwa butuh waktu sekitar 2,4 tahun (hingga akhir 2022) untuk memulihkan jumlah penumpang akibat pandemi COVID-19. Perhitungan paling optimis memperkirakan bahwa pemulihan penumpang dapat selesai dalam waktu 2 tahun (pertengahan 2022), sementara perhitungan paling pesimis memperkirakan butuh waktu hingga 6 tahun.[11]

Kargo[sunting | sunting sumber]

Dibatalkannya sebagian besar penerbangan penumpang juga berdampak pada pengiriman kargo melalui jalur udara. Hal ini karena hampir setengah kargo di dunia yang dikirimkan melalui jalur udara dibawa oleh pesawat penumpang.[12] Ketika pandemi memaksa dibatalkannya penerbangan penumpang, kapasitas angkut kargo menurun dan menyebabkan biaya pengiriman naik hingga tiga kali lipat.[13]

Biaya pengiriman kargo melintasi Samudra Atlantik naik dari yang semula seharga $0.80 per kg menjadi $2.50–4 per kg. Kenaikan ini membuat beberapa maskapai penerbangan penumpang untuk mengubah layanan menjadi penerbangan kargo.[14] Maskapai penerbangan kargo juga menambah jumlah penerbangan dengan cara menerbangkan pesawat lama dan memanfaatkan turunnya harga minyak dunia.[12]

Penyebaran virus[sunting | sunting sumber]

Pergerakan penumpang pesawat seringkali dikaitkan dengan penyebaran virus korona.[15] Organisasi Kesehatan Dunia menyatakan bahwa "Transmisi virus dapat terjadi antarpenumpang yang duduk di area yang sama di pesawat. Transmisi biasanya bermula ketika penumpang yang terinfeksi batuk-batuk, bersin, atau menyentuh benda-benda di sekitarnya".[16] Saat pandemi, sebagian maskapai menjual tiket dengan harga yang lebih murah. Akibatnya, beberapa orang terdorong untuk membeli tiket tersebut dan menghadiri perayaan atau perkumpulan.[17]

Meskipun penyaring HEPA menangkap 99.97 partikel yang melayang di udara, penyaring tersebut tidak menyaring udara yang tidak melaluinya. Oleh karena itu, maskapai penerbangan tetap mewajibkan penumpang untuk memakai masker di dalam kabin pesawat.[18] Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat, patogen tidak menyebar dengan mudah di pesawat, tetapi kemungkinan infeksi tetap ada akibat dekatnya jarak antarpenumpang.[19]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Jolly, Jasper (29 April 2020). "Airlines may not recover from Covid-19 crisis for five years, says Airbus". The Guardian. We are now in the midst of the gravest crisis the aerospace industry has ever known 
  2. ^ "Airlines increase job cuts as coronavirus pandemic crushes air travel". Boston Herald. 28 Mei 2020. Diakses tanggal 29 Mei 2020. This is still the worst crisis that this industry has ever been faced with [...] 
  3. ^ Assis, Claudia (2020-04-30). "United Airlines says coronavirus pandemic is worst crisis 'in the history of aviation'". MarketWatch. the most disruptive crisis in the history of aviation 
  4. ^ "Virus worst crisis to hit aviation: Joyce". ABC's 7.30 program. 19 March 2020 – via The Canberra Times. This is the worst crisis the aviation industry has gone through 
  5. ^ Hollinger, Peggy (20 April 2020). "How coronavirus brought aerospace down to earth". Financial Times. [...] cancel orders to survive the worst crisis in aviation history. 
  6. ^ Chokshi, Niraj (12 April 2020). "Flight Attendants and Pilots Ask, 'Is It OK to Keep Working?'". The New York Times. [...] the current crisis, which is seen by many as the worst in the history of aviation. 
  7. ^ Calder, Simon (2 April 2020). "British Airways furloughs 36,000 staff in worst-ever crisis". The Independent (dalam bahasa Inggris). 
  8. ^ Schaper, David (7 April 2020). "Airlines Want To Cancel Rule Requiring Them To Refund Fares For Canceled Flights". NPR. 
  9. ^ Puspa, Anitana Widya (2020-04-24). "Maskapai Tidak Diwajibkan Melakukan 'Refund' Secara Tunai". Bisnis ID. 
  10. ^ a b Santos, Danny (4 Mei 2020), How Airports Globally are Responding to Coronavirus by Aislelabs, diakses tanggal 8 Mei 2020 
  11. ^ Gudmundsson, S.V.; Cattaneo, M.; Redondi, R. (2021-03-01). "Forecasting temporal world recovery in air transport markets in the presence of large economic shocks: The case of COVID-19". Journal of Air Transport Management (dalam bahasa Inggris). 91 (2021): 1. doi:10.1016/j.jairtraman.2020.102007. ISSN 0969-6997. 
  12. ^ a b Cirium. "Freight rates on the rise amid slump in passenger flights". Flight Global (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-03-22. 
  13. ^ Bradsher, Keith; Swanson, Ana (2020-03-23). "The U.S. Needs China's Masks, as Acrimony Grows". The New York Times (dalam bahasa Inggris). ISSN 0362-4331. Diakses tanggal 2021-03-22. 
  14. ^ Asaf, Seher. "Airlines remove seats from planes for cargo". Business Traveller. Diarsipkan dari versi asli tanggal 16 Agustus 2020. 
  15. ^ McKeever, Amy (6 March 2020). "Here's how coronavirus spreads on a plane—and the safest place to sit" (dalam bahasa Inggris). National Geographic. Diakses tanggal 20 April 2020. 
  16. ^ Passy, Jacob (14 Maret 2020). "Should I cancel my flight? Does recirculated air on a plane spread coronavirus? Here's what you need to know before traveling" (dalam bahasa Inggris). MarketWatch. Diakses tanggal 20 April 2020. 
  17. ^ Hoffower, Hillary (23 March 2020). "'It's Gen Z you want': Millennials are defending themselves from accusations that they're out partying and ignoring warnings amid the coronavirus pandemic". Business Insider (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 20 April 2020. 
  18. ^ Read, Johanna (2020-08-28). "How clean is the air on planes?". National Geographic Travel (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-10-15. 
  19. ^ CDC (2020-02-11). "Coronavirus Disease 2019 (COVID-19)". Centers for Disease Control and Prevention (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-11-04.