Perenialisme pendidikan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Perenialisme pendidikan adalah salah satu aliran dalam pendidikan yang muncul pada abad ke-20an. Parenialisme lahir sebagai reaksi terhadap pendidikan progresif. Parenialisme menentang pandangan progresivisme yang memfokuskan terhadap perubahan sesuatu yang baru.[1]

Jalan yang ditempuh oleh kaum perenialisme adalah jalan yang mundur ke belakang, yaitu dengan memakai kembali nilai-nilai serta prinsip-prinsip umum yang sudah menjadi pandangan hidup yang kuat, kuku pada zaman kuno dan abad pertengahan.[1]

Menurut kaum parenialisme, pendidikan harus lebih banyak fokus pada kebudayaan ideal yang teruji serta tangguh. Parenialisme memandang pendidikan sebagai jalan pulang atau suatu proses untuk mengembalikan manusia ke dalam kebudayaan yang ideal.[1]

Tokoh-tokoh[sunting | sunting sumber]

Teori atau konsep pendidikan perenalisme dilatarbelakangi oleh filsafat-filsafat seperti Plato sebagai Bapak Idealisme Klasik, filsafat Aristoteles sebagai Bapak Realisme Klasik, dan filsafat Thomas Aquinas yang mencoba melakukan perpaduan antara filsafat Aristoteles dengan ajaran Gereja Katolik yang berkembang pada zamannya.[2]

Plato[sunting | sunting sumber]

Plato merupakan salah seorang filsuf yunani yang hidup pada zaman filsafat sopisme. Menurut Plato, tujuan utama dalam pendidikan adalah melakukan pembinaan pemimpin yang sadar terhadap pentingnya asas normatif dan melaksanakannya dalam seluruh aspek kehidupan. menurut Plato, masyarakat yang ideal adalah masyarakat adil dan sejahtera. Manusia yang paling baik adalah manusia yang hidup atas dasar prinsip ide mutla, yaitu satu prinsip mutlak yang dijadikan sumber realitas semesta serta hakikat kebeneran abadi yang bersifat transendental untuk membimbing manusia agar menemukan kriteria moral, politik, dan sosial.[1]

Aristoteles[sunting | sunting sumber]

Aristoteles merupakan salah seorang murid Plato. Hasil pemikiran Aristoteles dianggap atau disebut dengan filsafat realisme. Aristoteles mengajarkan manusia bagaimana cara berpikir berdasarkan atas prinsip realistis yang lebih dekat pada alam kehidupan manusia sehari-hari. Menurut Aristoteles, manusia merupakan makhluk materi dan rohani. Sebagai makhluk materi, Aristoteles menyadari bahwa manusia dalam hidupnya berada dalam keadaan yang meliputi kondisi alam, materi, dan sosial. Sebagai makhluk rohani, manusia menurut Aristoteles sadar bahwa manusia akan menuju proses yang lebih tinggi yaitu menuju pada manusia yang ideal.[1]

Thomas Aquinas[sunting | sunting sumber]

Thomas berpandangan bahwa pendidikan adalah penuntun agar kemampuan-kemampuan yang masih tidur menjadi aktif atau nyata tergantung pada kesadaran tiap-tiap individu. Seorang guru berfungsi sebagai penolong untuk membangkitkan potensi yang masih tersembunyi dari anak agar menjadi aktif dan nyata..[1]

Teori belajar[sunting | sunting sumber]

Menurut kaum perenialisme, teori dasar dalam belajar adalah sebagai berikut;

  • Mental disiplin, menurut kaum parenialisme, latihan dan pembinaan berpikir (mental discipline) merupakan salah satu kewajiban dan keutamaan dalam proses belajar.
  • Rasionalitas dan asas Kemerdekaan, makna rasionalitas dan asas kemerdekaan adalah otoritas berpikir harus disempurnakan dan menjadikan manusia untuk menjadi dirinya sendiri.
  • Belajar untuk berfikir, para kaum parenalisme meyakini bahwa dengan adanya asas pembentukan kebiasaan dalam permulaan anak.
  • Belajar sebagai persiapan hidup, belajar sebagai persiapan hidup adalah tiap-tiap proses belajar harus menuju terhadap kesempurnaan hidup, baik duniawi maupun surgawi
  • Belajar melalui pengajaran, belajar melalui pengajaran bertujuan agar siswa dapat ke tahap selanjutnya yaitu learning by discovery. Menurut kaum parenialisme, seorang guru harus mengembangkan potensi-potensi yang ada pada diri siswa, serta melakukan moral authority atas murid-muridnya.[1]

Peran pendidik dan peserta didik menurut perenialisme[sunting | sunting sumber]

Menurut kaum parenialisme, peserta didik adalah makhluk rasional karena itu pendidik mempunyai posisi yang penting dalam kegiatan pembelajaran dikelas, dan membimbing jalannya pembelajaran atau diskusi yang mempermudah para peserta didik. Peserta didik juga diangap bahwa mereka sudah memiliki potensi dari lahir yang harus diarahkan sehingga peserta didik dapat menyimpulkan kebeneran-kebenaran secara tepat.[3]

Pandangan perenialisme mengenai kurikulum[sunting | sunting sumber]

Kurikulum yang digunakan dalam pendidikan perenialisme adalah kurikulum yang berorientasi terhadap mata pelajaran (subject centered). Parenialisme juga membedakan kurikulum berdasarkan dengan tingkatan pendidikan yaitu:[3]

  • Pendidikan dasar, pendidikan dasar bertujuan sebagai persiapan kehidupan di tengah masyarakat. Pada pendidikan dasar ini kurikulum difokuskan pada hal-hal seperti membaca, menulis, dan berhitung.
  • Pendidikan Menengah, kurikulum pendidikan menengah fokus pada latihan-latihan berfikir (aspek kognitif) seperti bahasa asing, logika, retorika, dan lain sebagainya.
  • Pendidikan Tinggi/Universitas, pendidikan tinggi merupakan lanjutan dari pendidikan menegah. Pendidikan tinggi memiliki prinsip mengarahkan yang bertujuan untuk mencapai tujuan kebajikan intelektual “the intellectual love of God”.
  • Pendidikan Orang Dewasa, menurut kaum parenialisme pendidikan orang dewasa adalah untuk mengembangkan sikap bijaksana, agar orang dewasa mampu memerankan perannya sebagai pendidik bagi anak-anaknya.[3]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e f g Kristiawan, Muhammad (2016). Filsafat Pendidikan: The Choice is Yours. Jogjakarta: Valia Pustaka Jogjakarta. hlm. 25. ISBN 978-602-71540-8-7. 
  2. ^ Pelu, Musa (233). "Lintasan sejarah filsafat pendidikan perenialisme dan aktualisasinya". Agastya. 1 (2): 239. 
  3. ^ a b c Arfan Mu'ammar, Muhammad (2014). "Perenialisme pendidikan (analisis konsep filsafat perenial dan aplikasinya dalam pendidikan Islam". Nur El-Islam. 1 (2): 20–22.