Perang Minahasa melawan kolonialisme Spanyol

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Perang Minahasa Melawan Kolonialisme Spanyol adalah perang yang terjadi yang dilakukan oleh Suku Minahasa terhadap upaya kolonialisme yang dilakukan oleh Bangsa Spanyol di wilayah tempat tinggal mereka

Latar belakang perang[sunting | sunting sumber]

Penyebab usaha kolonialisme di daerah ini karena para Bangsa Eropa melihat kemampuan dataran gigir milik Suku Minahasa memproduksi beras dalam jumlah besar. Perdagangan beras pertama dimulai dari kapal pertama milik Bangsa Belanda yang mengangkut hasil perdagangan beras pada tahun 1608.[1]

Pada tahun 1615 raja Kerajaan Babontehu yang berlokasi di Pulau Manado Tua mengundang Lucas De Vergara yang merupakan Bangsa Spanyol untuk mengunjungi Manado. Vergara pun mengirimkan dua orang pastor yang bernama Sciallamonte dan Cosmas Pintto sebagai utusannya. Karena kedatangan kedua utusan inilah, maka pada tahun 1617 dibangunlah sebuah benteng di wilayah Sungai Manarow sebagai pemukiman, penyimpanan bahan-bahan dagang sekaligus sebagai benteng dari serangan musuh yang populasinya terus bertambah pada tahun 1619 dengan bangsa Spanyol yang lari dari Filipina karena perang.[2]

Karena kegiatan berdagang yang semakin masif dan menguntungkan Bangsa Spanyol, maka pada tahun 1623 Raja Spanyol memerintahkan pembuatan kapal niaga sebagai alat transportasi pengangkutan hasil perdagangan serta renovasi benteng hingga memiliki meriam dengan kaliber 9 mm. Pembangunan ini pun memperkuat posisi Spanyol dan memukul mundur Bangsa Eropa lain, seperti Bangsa Portugis.[2] Lalu, pada tahun 1627, Raja Spanyol memerintahkan pembangunan benteng di Manado untuk mengantisipasi pemberian upeti beras yang akan dilakukan oleh Suku Minahasa. Kepentingan Bangsa Spanyol ini didasari atas kebutuhan makanan yang besar untuk para garnisun yang berada di Maluku.[1]

Akhirnya, posisi Spanyol yang kuat mengancam kekuasaan raja, terutama terhadap kuasanya terhadap suku alfuru karena pembelian beras yang awalnya melalui perantara raja, kini bisa dilakukan langsung tanpa melalui perantara.[1]

Perang yang terjadi[sunting | sunting sumber]

Perang tahun 1644[sunting | sunting sumber]

Pada bulan Desember tahun 1643, bentrokan antar Minahasa dan Spanyol menewaskan 40 tentara Spanyol di Tanawangko yang terdiri dari Bangsa Spanyol dan Bangsa Filipina. Karena takut menghadapi serangan balasan dari Spanyol, maka Suku Minahasa meminta bantuan VOC pada tanggal tanggal 21 April 1644. Mereka mengutus delapan orang untuk menemui Wouter Seroijen yang menjabat sebagai gubernur Maluku saat itu yang terdiri dari Lumi, Posuma, Taulu , Siwi , Kalangi dan Timbuleng dan dua orang Siau sebagai pemilik perahu.[3] Pada awalnya, Seroijen ragu untuk memberikan bantuan, tetapi berkat dorongan Sultan Ternate yang juga merupakan musuh spanyol, maka permintaan bantuan pun dituruti dan menjadikan serangan ini sebagai ekspedisi gabungan antara Belanda dan Ternate. Bantuan ini tediri dari kapal Egmont dengan pasukan Belanda berjumlah 70 orang ditambah dengan 50 orang tentara budak yang telah merdeka serta kora-kora dari Kesultanan Ternate.[4] Pasukan ini dipimpin oleh Paulus Andriessen.[5] Meskipun mendapat bantuan, Pihak Belanda mengalami kekalahan karena sepertinya pihak Kesultanan tidak serius dalam berperang.[4]

Selain pertempuran Belanda melawan Spanyol, Spanyol juga mengalami serangan dari tentara pribumi pada tanggal 10 Agustus 1644 yang menewaskan pendeta Lorenza Geralda. Peristiwa penyerbuan itu terjadi karena Spanyol telah melakukan kejahatan, seperti pemaksaan, perampasan/perampokkan hasil pertanian serta penganiayaan dan pemerkosaan terhadap perempuan Minahasa. Konflik ini juga diperparah dengan Spanyol melukai pemimpin Tomohon. Seperti pernyataan yang disampaikan Juan Iranzo, pemimpin Tomohon meminta bantuan terhadap 3 wilayah lainnya, yaitu Pakasa'an Tonsea, Tondano dan Tontemboan. Akhirnya, keempat wilayah tersebut melakukan penyerangan dengan beranggotakan 10.000 tentara.[3]

Pada awalnya direncanakan perjanjian untuk tidak membunuh para pendeta, tapi para pemimpin pasukan ini mengatakan bila para pendeta tidak dibunuh, maka mereka akan terkena bencana karena dimukain dewa. Maka diambillah keputusan untuk tetap membunuh para pendeta. Saat itu, Geralda lari ke gunung dan akhirnya dibunuh sambil berlutut. Geralda meninggal pada tanggal 14 Agustus 1644 dan dikuburkan di Kali.[6] Setelah dibunuh, kepala lorenzo juga dipenggal dan diletakkan di tiang batu yang mungkin juga telah direbus dan dimakan sebagai bagian upacara tarian Rumages.[7] Pendeta Juan Iranzo selamat karena diselamatkan oleh Ukung Lumi dengan menyembunyikan dirinya di rumahnya selama semalam dan memindahkannya saat subuh ke Lotta, Pineleng.[8] Dia bersembunyi dari bulan Agustus 1644 sampai April 1645 di biaranya. Pada bulan April 1645, Iranzo melarikan diri ke Ternate melalui Sangir.[9] Seluruh cerita tentang pengalaman tentang serangan ini diceritakan oleg Iranzo dari Filipina pada tanggal 4 Agustus 1645.[7] Menurut Hendricus Benedictus Palar, pertempuran ini berakhir hingga sekitar tahun 1646-1647.[6] Meskipun, menurut Mieke Shouten, Spanyol berhasil dipukul mundur keluar dari minahasa pada tahun 1645.[8] Spanyol akhirnya mundur ke Pulau Siau.[7]

Perang tahun 1654[sunting | sunting sumber]

Meskipun mengalami kekalahan pada tahun 1644, VOC masih saja mengunjungi Minahasa diam- diam seperti untuk membeli beras dan berdagang di Wenang pada periode 1645-1650.[4] Spanyol kembali menyerang Minahasa dengan menguasai Uwuran Amurang untuk menguasai beras dan hasil bumi, seperti dari Tondanouw dan Pontak.[10] Kemudian, para kepala walak pada tahun 1654 mengadakan musyawarah di bukit Tindurukan Pinawetengan yang menhasilkan keputusan untuk meminta bantuan terhadap V.O.C di Ternate dengan mengirim Ukung Lonto, Ukung Supit dan Ukung Ranti dan sejumlah pasukan pengawal.[10] Kedatangan ini diterima oleh Arnold de Vlamingh van Outhoorn selaku Gubernur Ternate yang meneruskan permintaan ini ke pemerintahan VOC di Betawi. Niat para utusan ini juga diteruskan kepada Heeren XVII yang berada di Belanda, bahwa pihak Minahasa ingin mengajak untuk membentuk aliansi dan permintaan untuk membangun loji di Minahasa. Berdasarkan laporan yang tertulis pada tanggal 10 Juli 1655, Jacob Hustaert pun dikirim untuk meninjau lokasi di Wenang. Proses pendirian pun dilakukan setelah Hustaert berhenti menjabat dan diteruskan oleh Simon Cos. Benteng kayu ini dibangun pada tahun 1657 dan ditanda tangani oleh Aytomara dengan nama De Netherlandsche Vastigheit. Pembangunan benteng akhirnya memperkokoh posisi Belanda dalam usaha mengusir Spanyol[4] Selain Benteng, pihak Belanda juga membangun perkubuan di di wilayah muara sungai Temberan Selanjutnya kepemimpinan benteng diserahkan kepada Andriessen sekaligus menjadi residen pertama Manado.[11] Berdasarkan surat pada tanggal 30 Desember 1665, perintah untuk memugar benteng dilakukan dengan menggantinya menjadi sebuah benteng batu dengan nama Nieuw Amsterdam.[12] Pada tahun 1703, benteng ini juga diperkuat dengan penambahan tinggi hingga tiga setengah kaki dan dilengkapi enam buah meriam.[11]

Perang tahun 1661-1664[sunting | sunting sumber]

Perlawanan di Walak Tomohon[sunting | sunting sumber]

Saat para pihak Spanyol menculik anak perempuan dari wilayah Ukung Tombulu yang bernama Tendenuata, para pasukan Tombulu diperintahkan untuk mengejar dan merebut kembali putrinya yang diculik. Pengejaran ini pun berhasil menolong sang putri dalam keadaan selamat serta membunuh beberapa perwira dari Spanyol.[10]

Perlawanan Walak Toulour[sunting | sunting sumber]

Saat Spanyol berada di wilayah Walak Toulour (nama lama Tondano), mereka merasa marah atas sikap Ukung wilayah tersebut yang bernama Mononimbar karena tidak menuruti perintah untuk memberikan hasil tanaman padi kepada Spanyol, meskipun telah dibayar. Akibat perilaku ini, Pedro Alkasas berhasil memperdaya Mononimbar dengan memberikannya wiski agar sang ukung mabuk. Saat keadaan mabuk, mereka pun menangkap Mononimbar dan mengikatnya di pohon sampai tewas. Karena pemimpinnya telah tewas, masyarakat tondano marah dan mememerangi warga Spanyol sampai mundur samapai wilayah pantai timur Minahasa.[10]

Perlawanan Walak Tonsea[sunting | sunting sumber]

Setelah kalah di walak Tondano, Spanyol tetap berusaha menguasai walak Tonsea yaitu Sawangan. Mereka menyerang wilaha ini bersama dengan Tidore dan berhasil membunuh seorang Walian saat upacara ritual Poso sekaligus menangkap para perempuan dan menjadikan mereka budak. Selanjutnya mereka juga memerangi walak tonsea bersama dengan pasukan Bolaang Mongondouw serta Tidore di Pantai Kaburukan. Walak Tonsea berhasil memenangkan peperangan ini dengan dipimpin oleh beberapa Teterusan, seperti Rumopa Porong, Wenas, Dumanau, Lengkong, dan Wahani sebagai pemimpin perang dan memukul mundur pasukan musuh tersebut keluar dari pantai Kaburukan.[10]

Perlawanan Walak-Walak Tonsawang, Tombasian dan Temboan di Amurang[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1664, Spanyol kembali menngunjungi Amurang dengan jumlah pasukan yang lebih besar untuk menguasai sumber daya wilayah di Minahasa, terutama Pontak dan Tonsawang. Pihak Tonsawang dipimpin oleh teterusan, seperti Ukung Oki serta suaminya Londe, Lelengboto, Pongulu, Koba, Mororongan, Gandey, Pondolos, Ratumbanua, Karema Urei Otombuat, dan Tenden Wulan serta teterusanteterusan dari Tombasian dan Temboan, seperti Rumokoy, Worotikan, Tumiwa, Raranta, Mamarimbing, Sangian, Wawu Kineke, Kendang Wulan, dan Lingkan Wene bertempur dengan melawan pasukan Spanyol hingga tahun 1665. Peperangan ini diperkirakan berhasil menawan puluhan pasukan/perwira membunuh ratusan orang dari pihak Spanyol yang akhirnya melarikan diri ke Filipina yang dipimpin oleh oleh Soisa.[10]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c Henley, David E. F. (2021). Nationalism and Regionalism in a Colonial Context (dalam bahasa Inggris). Leiden: Brill. hlm. 31. ISBN 978-90-04-48692-8. 
  2. ^ a b Taroreh, Novy (16 Maret 2017). "Sejarah Perang Minahasa — Spanyol 1651-1664 (Bagian I) –". SulutPos.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-14. Diakses tanggal 14 Januari 2021. 
  3. ^ a b Wenas 2007, hlm. 44.
  4. ^ a b c d Manewus, David (11 November 2019). Manewus, David, ed. "Aliansi Minahasa, Belanda, dan Ternate Mengusir Spanyol dari Wilayah Sulawesi Utara". TribunManado Wiki. Diakses tanggal 15 Januari 2021. 
  5. ^ Wuntu 2002, hlm. 18.
  6. ^ a b Manewus, David (11 November 2019). "Perlawanan Orang Minahasa Sampai Keluarnya Orang Spanyol Dari Minahasa". TribunManado Wiki. Diakses tanggal 15 Januari 2021. 
  7. ^ a b c Wenas 2007, hlm. 45.
  8. ^ a b Karundeng, Rikson (13 Maret 2019). "Perang Minahasa-Spanyol, Heroisme Waraney dan Lahirnya Mahassa - Kelung". kelung.id (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 17 Januari 2022. 
  9. ^ Manewus, David (11 November 2019). "'Martir-Martir' di Tanah Sulawesi, Wilayah Keuskupan Manado". TribunManado Wiki. Diakses tanggal 17 Januari 2022. 
  10. ^ a b c d e f Taroreh, Novy (16 Maret 2017). "Sejarah Perang Minahasa — Spanyol 1651-1664 (Bagian II) – SulutPos.com". sulutpos.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-20. Diakses tanggal 20 Januari 2022. 
  11. ^ a b Wuntu 2002, hlm. 19.
  12. ^ Wuntu 2002, hlm. 20.

Daftar Pustaka[sunting | sunting sumber]