Pendakian gunung di Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pendakian gunung di Indonesia memiliki sejarah yang sulit untuk ditelusuri. Umumnya, pendakian gunung di Indonesia dilakukan oleh komunitas pecinta alam dari kalangan pelajar dan mahasiswa sebagai sebuah olahraga dan petualangan. Di Indonesia basanya memerlukan dokumen tertentu agar pendaki dapat melakukan pendakian gunung. Kegiatan pendakian gunung di Indonesia umumnya dilakukan pada bulan Juni hingga Agustus setiap tahunnya, khususnya menjelang hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia. Pendakian yang terkenal di Indonesia berpusat di beberapa gunung di pegunungan yang ada di Jawa dan Bali.  Tingkat bahaya pendakian gunung di Indonesia tegolonh rendah karena keterjalan gunung di Indonesia yang rendah dan lingkungan yang tidak ekstrim.

Di lain hal, pendakian gunung di Indonesia mengakibatkan kematian dan kecelakaan atas belasan pendaki gunung tiap tahunnya. Penyebab kematian dan kecelakaan khususnya akibat perlengkapan mendaki yang kurang memadai dan hipotermia. Masalah lain dalam pendakian gunung di Indonesia adalah etika pembuangan sampah saat mendaki oleh pendaki yang termasuk buruk.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Di Indonesia terdapat kecenderungan masyarakat untuk mengaitkan pendakian gunung ke hal yang bersifat mistis dan gaib, dibandingkan ke aspek petualangan.[1] Karena itu, penelusuran sejarah mengenai pendakian gunung di Indonesia sangat sulit dilakukan. Umumnya, penduduk di sekitar gunung yang ditelusuri sejarah pendakiannya akan menyampaikan keterangan-keterangan yang berkaitan dengan mitologi dan bukan fakta ilmiahnya. Salah satu sumber sejarah pendakian gunung di Indonesia yang memuat data ilmiah yang dapat ditelusuri kembali adalah catatan peninggalan Jan Carstenszoon.[2]

Pada dekade 1970-an hingga 1980-an, pendakian gunung di Indonesia oleh para pemuda lebih bersifat petualangan. Para pecinta alam mengadakan kegiatan berkemah bersama sebagai ajang pertemuan nasional.[3]

Syarat pendakian[sunting | sunting sumber]

Pendakian gunung di Indonesia umumnya dapat dimulai setelah pendaki memenuhi kelengkapan dokumen tertentu. Dua di antara dokumen tersebut adalah surat keterangan sehat dan surat jalan organisasi.[4]

Komunitas[sunting | sunting sumber]

Di Indonesia, pendakian gunung merupakan salah satu kegiatan favorit bagi masyarakatnya.[5] Mendaki gunung dijadikan sebagai salah satu jenis olahraga di Indonesia.[6] Pendaki gunung di Indonesia membentuk komunitas pendaki gunung. Salah satu komunitas yang keanggotaannya cukup banyak adalah komunitas pecinta alam.[7] Pada dekade 1980-an, komunitas pecinta alam di Indonesia umumnya dibentuk oleh para pemuda dari kalangan pelajar sekolah menengah atas dan universitas. Para tokoh pendaki yang terkenal pada masa itu menuliskan kisah pendakiannya yang kemudian menjadi bacaan wajib bagi para pecinta alam di Indonesia.[3] Komunitas pecinta alam di Indonesia telah membuat beberapa rute pendakian di beberapa gunung di Indonesia yang populer untuk didaki.[8]

Kegiatan rutin[sunting | sunting sumber]

Pendakian gunung di Indonesia umumnya dilakukan pada bulan Juni hingga Agustus. Pada masa tersebut, cuaca di pegunungan cerah karena memasuki musim kemarau. Selain itu, masa ini merupakan masa liburan sekolah dan kuliah di Indonesia.[9] Pendakian gunung di Indonesia umumnya semarak pada hari menjelang peringatan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus setiap tahunnya. Tujuannya untuk memasang bendera di puncak-puncak gunung. Salah satunya yang terkenal adalah di Puncak Mahameru di Gunung Semeru.[10] Puncak Mahameru menjadi tempat perkumpulan para pendaki gunung di Indonesia karena Gunung Semeru merupakan gunung tertinggi di Pulau Jawa. Selain itu, letak Gunung Semeru berada di Kota Malang yang merupakan salah satu kota dengan jumlah perguruan tinggi terbanyak di Indonesia.[7]

Kegiatan pendakian di Indonesia yang bertujuan sebagai bentuk pariwisata dapat ditemukan di Pulau Bali. Beberapa di antaranya adalah di Gunung Batur, Gunung Abang, Gunung Batukaru dan Gunung Agung. Dari beberapa gunung tersebut, pendakian di Gunung Agung menjadi tempat yang paling banyak peminatnya. Alasannya adalah adanya nilai kesucian oleh masyarakat Hindu di Bali terhadap Gunung Agung. Sejak Letusan Gunung Agung 1963, masyarakat Hindu di Bali menjadikan Gunung Agung sebagai pusat spritiualnya.[11]

Penayangan[sunting | sunting sumber]

Kegiatan pendakian gunung di Indonesia pertama kali ditayangkan melalui program televisi berjudul Jejak Petualang. Program ini dilaksanakan oleh seorang perempuan yang bekerja sebagai pembawa acara televisi, Namanya adalah Riyanni Djangkaru. Sejak penayangannya, Jejak Petualang meningkatkan kegiatan pendakian gunung di Indonesia oleh masyarakat Indonesia.[12]

Pengaruh bagi olahraga lain[sunting | sunting sumber]

Paralayang[sunting | sunting sumber]

Paralayang merupakan bentuk petualangan lain yang dilakukan oleh para pendaki gunung di Indonesia. Setelah lelah mendaki gunung, mereka ingin menuruni gunung dengan cepat. Sehingga berkembanglah paralayang di Indonesia dengan para pendaki gunung sebagai perintisnya. Karena hal tersebut, paralayang di Indonesia pada tahun-tahun pertamanya disebut sebagai olahraga terjun gunung.[13]

Tingkatan bahaya[sunting | sunting sumber]

Gunung-gunung di Indonesia memiliki tingkatan pendakian yang berbeda-beda.[14] Pendakian gunung di Indonesia oleh para pendaki kondisinya tidak terlalu berbahaya. Karena keterjalan gunung-gunung di Indonesia relatif rendah. Suhu lingkungan pegunungan di Indonesia juga tidak terlalu dingin dan hanya dipengaruhi oleh dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Kecelakaan yang terjadi pada kebanyakan pendaki gunung di Indonesia disebabkan oleh tidak memadainya perlengkapan pendakian yang dikenakan oleh pendaki.[15]

Sepanjang tahun 2019, jumlah pendaki gunung di Indonesia yang dinyatakan hilang atau meninggal sebanyak 17 pendaki. Selama tahun 205 hingga 2019, tercatat sebanyak 130 laporan mengenai pendaki yang hilang dengan kasus kematian sebanyak 26 orang. Jumlah kasus hilang sebanyak 29%, sementara kasus kematian terbagi menjadi kasus hipotermia atau sakit sebanyak 47% dan kasus kecelakaan sebanyak 24%.[16] Namun, penyakit gunung akut yang terjadi pada banyak pendaki gunung di dunia, masih tergolong rendah di Indonesia.[17]

Permasalahan[sunting | sunting sumber]

Permasalahan utama dalam pendakian di Indonesia adalah etika pendaki dalam pembuangan sampah. Tumpukan sampah hampir ditemukan di seluruh jalur pendakian pada gunung-gunung di Indonesia.[12]  

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Sujarwo, Anton (2022). Ghost Writer Portofolio. Anton Sujarwo. hlm. 67. 
  2. ^ Sujarwo, Anton (2018). Wajah Maut Mountaineering Indonesia: Jejak Pendakian Gunung Nusantara dalam Arus Media dan Mistisme di Dalamnya. Yogyakarta: Phoenix Publisher. hlm. 61. ISBN 978-602-5416-96-5. 
  3. ^ a b Kusrini, M. D., dan Shannaz, J. (2021). Bukan Carita Parlente: Kisah Operation Raleigh 10F di Taman Nasional Manusela, Seram. Bogor: PT Penerbit IPB Press. hlm. 2. ISBN 978-623-256-820-4. 
  4. ^ Bong, A. Wan (2021). Mimpi di Mahameru: Catatan Perjalanan Pendakian di Gunung Semeru - Gunung Latimojong - Bukit Hitam. Arcopod Journal. hlm. 113. 
  5. ^ Lailissaum, A., Kahar, S., dan Haniah (2013). "Pembuatan Peta Jalur Pendakian Gunung Merbabu" (PDF). Jurnal Geodesi Undip. 2 (4): 210. 
  6. ^ Admojo, F. T., dan Winarko, E. (2016). "Sistem Pencarian Informasi Berbasis Ontologi untuk Jalur Pendakian Gunung Menggunakan Query Bahasa Alami dengan Penyajian Peta Interaktif". IJCCS. 10 (1): 24. ISSN 1978-1520. 
  7. ^ a b Prastowo dan Rasyid 2019, hlm. 114.
  8. ^ Sukmana, Teddie. Menjadi Pecinta Alam. Raih Asa Sukses. hlm. 31. ISBN 978-979-013-023-4. 
  9. ^ Kurniawan, Ehwan (2004). "Panduan Mendaki Gunung dalam Infografis". hlm. 6. 
  10. ^ Prastowo dan Rasyid 2019, hlm. 113-114.
  11. ^ Hutabarat, H., dan Mahagangga, I. G. A. O. (2019). "Perkembagan Wisata Mendaki Di Gunung Agung: Studi Kasus Gunung Agung, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali". Jurnal Destinasi Pariwisata. 7 (2): 218. ISSN 2338-8811. 
  12. ^ a b Aleksander, A., dkk. (2022). Ramadhani, Mutia, ed. Sang Giri: Kumpulan Kisah Pendakian Rimbawan Petualang. Bogor: PT Penerbit IPB Press. hlm. 39. ISBN 978-623-467-175-9. 
  13. ^ Tirtonugroho, W. H. Membuat Parasut. Ganeca Exact. hlm. 34. ISBN 978-979-571-454-5. 
  14. ^ Novianty, Selvia (2015). "Do's and Don'ts While You're in  Outdoor Activities". Suara GEA. Himpunan Mahasiswa Teknik Geologi "GEA" ITB. 2: 56. 
  15. ^ Sastha, Harley Bayu (2007). Mountain Climbing for Everybody: Panduan Mendaki Gunung. Jakarta Selatan: Penerbit Hikmah. hlm. 10. ISBN 978-979-114-147-5. 
  16. ^ Rahmi, M., dan Djunaidi, Z. (2021). "Persepsi Risiko Keselamatan dalam Kegiatan Pendakian Gunung". Jurnal Dunia Kesmas. 10 (2): 230. 
  17. ^ Permatasari, T., dan Sidarta, N. (2021). "Hubungan Tingkat Aktivitas Fisik dengan Acute Mountain Sickness pada Pendaki Gunung". Jurnal Biomedika dan Kesehatan. 4 (3): 106. 

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]